0878 8077 4762 [email protected]

China Perintahkan Muslim Xinjiang Serahkan Alquran, Sajadah dan Simbol Islam

 
XINJIANG – Aparat polisi China dilaporkan memerintahkan warga muslim di wilayah barat laut Xinjiang menyerahkan Alquran dan peralatan Shalat. Semua semua materi yang berhubungan dengan Islam juga diminta diserahkan.
Perintah polisi itu diungkap Radio Free Asia (RFA). Sasaran polisi adalah masjid dan lingkungan minoritas etnis muslim Uyghur, Kazakh dan Kyrgyz di wilayah barat laut Xinjiang. Mereka diperintahkan menyerahkan materi-materi ibadah itu atau menghadapi hukuman berat jika materi itu ditemukan dalam razia.
Laporan radio yang mengutip sumber di barat laut Xinjiang menyatakan, tindakan aparat polisi China itu merupakan bagian dari kampanye di seluruh wilayah untuk melarang materi publikasi, aktivitas keagamaan dan ajaran “ilegal” yang dituding mengandung ”konten ekstremis” dan dapat digunakan untuk tujuan terorisme.
“Pejabat di tingkat desa, kota dan distrik menyita semua Alquran dan tikar khusus (sajadah) yang digunakan untuk namaaz (salat),” kata seorang sumber warga minoritas Kazakh di prefektur Altay, dekat perbatasan dengan Kazakhstan kepada RFA.”Hampir setiap rumah tangga memiliki Alquran, dan sajadah,” ujarnya.
Awal tahun ini, pihak berwenang Xinjiang mulai menyita semua surat kabar yang mulai terbit lebih dari lima tahun yang lalu, sebagai bagian dari kampanye tersebut.
Dilxat Raxit, juru bicara kelompok Kongres Uighur Dunia, mengatakan bahwa umat Islam diinstruksikan untuk menyerahkan Alquran dan item terkait. Perintah itu, kata dia, disiarkan polisi melalui platform media sosial WeChat.
”Pengumuman tersebut mengatakan bahwa orang harus menyerahkan setiap sajadah sesuai keinginan mereka kepada pihak berwenang, dan juga materi bacaan agama, termasuk apapun yang ada simbol bulan dan bintang di atasnya,” katanya kepada RFA,yang dikutip Jumat (29/9/2017).
”Mereka meminta orang untuk menyerahkan barang-barang ini atas kemauan mereka sendiri,” papar Raxit.
Dia mengatakan ada laporan bahwa minoritas di Kashgar, Hotan dan daerah lainnya juga diberi perintah yang sama pada minggu lalu.
”Kami menerima sebuah pemberitahuan yang mengatakan bahwa setiap etnis Uyghur harus menyerahkan barang-barang yang berhubungan dengan Islam dari rumah mereka sendiri, termasuk Alquran, (buku) doa dan hal lain yang mengandung simbol agama,” kata Raxit.
”Mereka harus menyerahkan secara sukarela. Jika mereka tidak diserahkan, dan ditemukan, maka akan ada hukuman keras,” imbuh Raxit.
 
Sumber : SindoNews

Meski Dibantah, Nyatanya Pelajar Uighur di Mesir Ditahan Atas Permintaan China

Meski Dibantah, Nyatanya Pelajar Uighur di Mesir Ditahan Atas Permintaan China

Mesir menahan mahasiswa Muslim Uighur menanggapi permintaan China melalui polisi Mesir (Jum’at, 07/07/2017). Sejumlah orang Uighur terpaksa melarikan diri di Kairo dan Alexandria setelah polisi menanggapi permintaan Beijing, kata kelompok Hak Asasi Manusia.
Sekitar 20 siswa Uighur dari Universitas Al-Azhar Kairo ditangkap di Alexandria, Polisi Mesir telah menahan sejumlah pelajar China dari etnis minoritas Uighur atas permintaan Beijing, dan memaksa puluhan orang untuk bersembunyi atau melarikan diri ke Turki, kata para aktivis.
“Penyapuan dimulai pada hari Selasa ketika polisi menggerebek dua restoran yang sering dikunjungi oleh siswa Uighur di Kairo dan menahan setidaknya 37 orang, kata Abduweli Ayup, seorang aktivis Uighur di Turki, mengatakan langsung kepada Al Jazeera pada hari Jumat.
Belasan lagi telah ditangkap sejak, Ayup, mengatakan, termasuk 20 orang dari Universitas Al-Azhar Kairo yang berhenti di kota Alexandria dalam perjalanan mereka keluar dari negara tersebut pada Rabu malam.
Mereka diberitahu bahwa mereka akan dideportasi ke China, kata Ayup. “Siswa, terutama mereka yang belajar agama, menjadi sasaran,” kata Ayup.
“Polisi sedang mencari apartemen-apartemen di Kairo, orang-orang bersembunyi, mereka ketakutan, mereka takut untuk pergi keluar.” ujarnya.
Penahanan tersebut dilakukan di tengah laporan bahwa pihak berwenang di tanah air Uighur, Xinjiang di China barat meminta segera Uighur yang belajar di luar negeri.
China menyalahkan kerusuhan di Xinjiang, yang mencakup pemboman dan serangan kendaraan dan pisau, pada kelompok separatis Uighur yang diasingkan.
Namun hal ini karena banyak warga Uighur mengeluhkan penindasan budaya dan agama serta diskriminasi oleh China.
Menurut Lucia Parrucci, juru bicara kelompok advokasi ‘Kelompok Bangsa dan Organisasi yang tidak Terwakili’ (UNPO) mengatakan, bahwa kelompok hak asasi manusia telah memindahkan sekitar 60 siswa Uighur dari Mesir ke tempat yang aman di Turki pada hari Kamis.

Screenshot_2017-07-11-12-02-23_com.android.chrome_1499861015919

UNPO : Muslim Uighur berdoa memohon keselamatan saat akan dideportasi


Banyak dari mereka yang tersisa di Kairo mengatakan kepada kami bahwa mereka takut untuk tidur di rumah, “Karena takut ditangkap saat sendirian,” katanya dalam sebuah email ke Al Jazeera.
“Sekitar 80 siswa Uighur telah ditangkap sejak penyapuan dimulai”, katanya. Pemerintah China telah memaksa ribuan siswa Uighur ke luar negeri untuk kembali ke rumah sejak Januari 2017, katanya.
Sekitar 90 persen dari sekitar 7.000 – 8.000 warga Uighur yang tinggal di Mesir telah kembali ke China.
“Kami telah mengetahui bahwa banyak siswa telah ditangkap langsung di bandara saat mereka kembali dan dikirim ke camp pendidikan ulang. Tak satu pun dari mereka dapat melihat anggota keluarga dan tidak ada informasi yang diberikan kepada keluarga mereka tentang keberadaan mereka,” kata Lucia.
Human Rights Watch mendesak Mesir pada hari Rabu untuk tidak mengirim tahanan Uighur kembali ke China, dengan mengatakan bahwa mereka akan menghadapi ‘penganiayaan dan penyiksaan’ di sana.
Sarah Leah Whitson, direktur Middle East HRW, juga mendesak pihak berwenang untuk mengungkapkan keberadaan tahanan Uighur dan memberi mereka akses ke pengacara.
PhotoGrid_1499758228970

Video dari akun twitter Turkistan Timur terkait pemborgolan muslim Uighur di Mesir


Video yang belum diverifikasi yang dibagikan di Twitter menunjukkan lebih dari 70 orang Uighur duduk di lantai di gedung pemerintah dan yang lainnya didorong naik truk dengan borgol.
Ayup mengatakan bahwa kelompok hak asasi manusia kehilangan kontak dengan para tahanan pada hari Jumat.
Abdullah, seorang mahasiswa Islam Asia di universitas Al-Azhar, mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa orang-orang Uighur ditahan di daerah Hay el Sabia di distrik Nasr City, Kairo.
Dia hanya memberikan nama depannya, karena takut akan pembalasan. “Mereka kebanyakan menangkap pemuda-pemuda itu.”
Sumaya, seorang wanita Uighur yang tinggal di Kairo, mengatakan kepada The Middle East Eye pada hari Kamis. “Tapi saya tahu wanita yang telah diambil juga, meski kita sembunyikan saat kita mendengar pemerintah mengetuk pintu kita.”
Seorang juru bicara kementerian luar negeri China pada hari Kamis mengakui bahwa warga China telah ditahan di Mesir, mengatakan pada sebuah briefing reguler bahwa pejabat konsuler akan mengunjungi mereka.
Geng Shuang, juru bicara kementerian luar negeri, mengatakan bahwa “sejauh yang saya tahu, kedutaan China di Mesir telah mengirim pejabat konsuler untuk melakukan kunjungan konsuler”.
Dia tidak memberikan rincian lebih lanjut. Polisi Mesir menolak permintaan untuk berkomentar. China telah mencaplok wilayah Turkistan Timur yang mayoritas dihuni muslim Uighur tahun 1949.
 
Sumber : Al Jazeera dan kantor berita utama

Belajar dari Etnis China dan Non Muslim dalam Memilih Pemimpin DKI

Pilkada DKI 2017 mencatat fenomena baru. Bangkitnya partisipasi dan soliditas pemilih dari etnis Cina. Selama ini, etnis Cina dianggap sangat apolitis dan cenderung abai, bahkan menghindar dari urusan politik. Mereka lebih sibuk dan memfokuskan diri pada sektor ekonomi dan perdagangan. Hasilnya kini sangat terasa. Mereka menguasai semua sektor perekonomian, bahkan disebut-sebut segelintir taipan menguasai lebih dari 82 persen perekonomian Indonesia. Buah ketekunan ini sungguh dahsyat.
Di masa lalu, bukan fenomena mengagetkan bila dalam Pilkada atau Pilpres, etnis Cina  memilih berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Tak mengherankan bila tingkat partisipasi mereka sangat rendah. Saat menjelang Pilkada dan Pilpres memang boleh disebut masa “susah” bagi etnis Cina yang dikenal sebagai pedagang yang ulet dan saudagar kaya. Banyak yang jauh hari sudah “menghilang” ke luar kota.
Dalam Pilkada DKI fenomenanya jauh berbeda. Dari data Exit Poll sejumlah lembaga survei dan juga fakta di sejumlah TPS menunjukkan, tingkat partisipasi dan soliditas mereka sungguh luar biasa. Di kantong-kantong pecinan, seperti Pluit, Jelambar, Kelapa Gading dan sejumlah tempat lainnya di Jakarta, mereka berbondong-bondong antre di TPS-TPS. Di TPS Mall of Indonesia (MOI) Kelapa Gading antrean mereka mengular, bahkan sampai pukul 14.00 WIB. Padahal seharusnya TPS pukul 13.00 Wib sudah tutup.
Mereka juga sangat militan memperjuangkan hak suara mereka. Dengan modal KTP mereka bersedia bersitegang, berteriak-teriak bahkan membentak petugas TPS, untuk dapat memilih. Dalam penghitungan suara, mereka juga melakukan sapu bersih. Suara mereka bulat penuh mendukung paslon nomor 2  Basuki-Djarot. Di beberapa TPS bahkan suara mereka 100% untuk paslon nomor 2. Dahsyat. Demikian pula halnya suara pemilih Kristen/Katholik yang lebih dari 95% lari ke Ahok-Djarot.
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, bahkan tak segan mengumbar kekaguman dan apresiasinya. Dahnil menilai Pilkada DKI 2017 sebagai potensi kebangkitan politik mereka. Dahnil tidak melihat itu sebagai sebuah bentuk politik aliran karena mereka solid memilih calon yang seetnis dan seagama.
Fenomena sebaliknya terjadi dengan pemilih muslim. Banyak kalangan muslim yang mengaku dirinya muslim, bahkan mengecam ketika ada yang menyerukan agar memilih sesama pemimpin muslim. Padahal landasannya sangat jelas, yakni kitab suci yang menjadi landasan keimanan umat Islam.
Dalam Quran Surat Al-Maa-idah : 51.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak  memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.”
 
Perlu dicatat, yang diserukan selama ini adalah memilih pemimpin sesama Muslim, bukan sesama Etnis.  Jadi walaupun dia china atau negro jika dia Muslim maka perlu didukung dalam ajaran Islam, sebab satu iman yaitu menyembah Allah swt.
Dalam demokrasi modern, memilih berdasarkan etnis, agama dan kedekatan-kedekatan lain, adalah soal biasa. Di Amerika selama ratusan tahun bahkan dikenal sebuah istilah White, Anglo Saxon, and Protestant (WASP). Muncul semacam kesepakatan bahwa yang boleh dan bisa menjadi Presiden Amerika Serikat haruslah seorang kulit putih, dari negara Anglo Saxon ( British) dan beragama Protestan.
 
Jadi seharusnya sangat wajar sebagai mayoritas secara populasi, pemilih Islam juga menghendaki dan memilih pemimpin Islam.
Begitu pula sangat wajar bila etnis Cina maupun non-muslim menghendaki dan menginginkan pemimpin yang berasal dari kelompok dan sesama mereka. Mereka boleh saja bercita-cita menjadi gubernur bahkan presiden Indonesia.
Tidak perlu ada label rasis, sektarian, anti-pluralisme dan yang paling serem adalah anti-kebhinekaan, anti-NKRI.
Dalam sejarah dunia, kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin muslim, terbukti  sangat mengayomi para pemeluk agama lain dalam kehidupan politik, keagamaan dan sosialnya. Sangat banyak contoh soal ini.
Mulai ketika Nabi Muhammad memimpin pemerintahan di Madinah, dinasti Abbasiyah di Andalusia, Ustmaniah saat menguasai beberapa negara Eropa dan tentu saja jangan lupa apa yang terjadi dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Walupun bukan negara Islam, tapi pemimpin dan mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Kehidupan beragama di Indonesia sering disebut sebagai sebuah contoh bagi dunia.
Cerita sebaliknya justru terjadi di negara-negara dimana Muslim menjadi minoritas. Contoh paling aktual adalah apa yang terjadi dengan komunitas Rohingya di Myanmar. Mereka diperlakukan layaknya bukan manusia, hanya karena alasan etnis dan agama yang berbeda dengan mayoritas warga dan penguasa Myanmar
Jadi bagi anda yang Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghuchu, atau etnis Cina, Jawa, Sunda maupun Papua, silakan anda memilih berdasarkan kesamaan agama atau etnis. Tak perlu khawatir dicap dungu, bodoh, tak beradab, apalagi bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi.
Hanya orang kurang pemahaman, apalagi kalau dia juga seorang muslim yang kurang iman, yang menilai bahwa memilih sesama muslim sebagai pemimpin sebagai tindakan dungu, bodoh dan terbelakang.
 
Disadur dari Republika
Oleh: Hersubeno Arief (Konsultan Media dan Politik)