0878 8077 4762 [email protected]

Bersabar di Jalan Dakwah (1)

Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
 
Di dalam buku sejarah dan sirah nabawiyyah telah ditegaskan bahwa Rasulullah SAW mengalami berbagai macam kesulitan dalam menjalankan tugas dakwah di jalan Allah SWT. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa kaum musyrikin pernah mengambil kotoran unta lalu dilemparkan ke kepala beliau saat berada dalam kondisi sujud. Beliau juga pernah diusir dari Thaif disertai dengan lemparan batu yang dilakukan oleh para pemuda kota Thaif. Beliau disakiti baik dengan sikap maupun ucapan. Suatu saat beliau juga pernah pergi ke pasar, lalu berjumpa dengan salah seorang kaum musyrikin yang sedang membawa segenggam tanah, lalu dilemparkan tanah tersebut ke kepala beliau. Beliau kembali pulang ke rumahnya, lalu Fatimah membersihkan sisa tanah dari kepala beliau sambil menangis. Di dalam hadits yang lainnya juga disebutkan bahwa ia pernah mengikatkan batu di perutnya karena rasa lapar yang dialaminya selama tiga hari.
Apa hikmah dibalik semua ini? Apakah ini sesuai dengan kedudukan beliau yang merupakan hamba yang paling dicintai oleh Allah? Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah, “Allah SWT pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu hingga engkau merasa ridha.” serta firman Allah yang lainnya, “Allah akan melindungimu dari gangguan manusia”? Bukankah rasa cinta “mengharuskan-Nya” untuk menjaga beliau dari berbagai gangguan dan kesulitan serta memberikan berbagai kemudahan untuk mencapai kebahagiaan? Lantas mengapa Allah mengujinya, padahal ia sedang berdakwah untuk membela agama dan syari’at-Nya?
Jawabannya ialah bahwa berbagai macam gangguan dan cobaan yang dialami olehnya adalah salah satu bentuk amal yang paling mulia yang ingin ia ajarkan kepada ummatnya. Kedudukannya sama dengan ibadah, muamalah, dan akhlak yang beliau ajarkan kepada mereka. Beliau mengajarkan shalat didepan para sahabatnya, lalu berkata, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.” Beliau juga melaksanakan haji bersama mereka, lalu berkata, “Lakukanlah manasik haji sebagaimana yang aku lakukan.” Sebagaimana beliau mengajarkan kedua hal tadi kepada para sahabatnya, ia juga mengajarkan mereka untuk bersabar dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Siap menerima tantangan dan rintangan dakwah di jalan Allah sebagai bentuk ketundukan dan penghambaannya kepada-Nya. Beliau tahu bahwa apa yang ia rasakan, akan dirasakan pula oleh ummatnya di setiap tempat dan waktu, sehingga harus ada keteladanan yang siap dicontoh oleh ummatnya.
Apa yang beliau hadapi adalah sebuah pelajaran bahwa berdakwah di jalan Allah adalah inti dari sikap menghamba kepada-Nya. Penghambaan kepada-Nya tidaklah sempurna tanpa adanya sebuah taklif. Sebuah taklif tidak akan terlaksana tanpa dilalui dengan kesulitan dan pengorbanan. Seseorang tidaklah dikatakan sebagai muslim yang hakiki jika ia tidak siap menjalani dua tujuan berikut ini:
Pertama, membangun masyarakat muslim sebagaimana yang telah Allah perintahkan. Kedua, merealisasikan tujuan tersebut melalui jalan yang penuh dengan duri, kesulitan, kepedihan, dan berbagai macam tantangan yang menyakitkan. Dengan kata lain, Allah SWT tidak hanya mewajibkan kepada hamba-Nya untuk siap mewujudkan sebuah tujuan, namun, disamping itu ia juga mewajibkan mereka untuk siap berjalan diatas duri dan rintangan untuk sampai kepada tujuan tadi.
Allah SWT bisa saja menjadikan jalan menuju tegaknya masyarakat yang islami begitu mudah untuk dilalui, akan tetapi cara tersebut tidak akan menampakkan ketundukan dan penghambaan seseorang kepada-Nya. Jalan tersebut tidak bisa menjadi bukti bahwa ia telah mengorbankan dirinya dan hartanya demi agama Islam dan ia telah menundukkan hawa nafsunya pada ketetapan-Nya. Jika demikian caranya, tidak ada bedanya antara orang mukmin dengan orang munafik, antara orang yang jujur dengan keimanannya dengan orang yang memiliki keimanan palsu. Dan inilah yang disebutkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabuut: 1-3).
Oleh karenanya, kesulitan dan rintangan ini bukan sekedar sebuah ujian saja, akan tetapi ia adalah jalan menuju tujuan akhir yang telah Allah perintahkan agar kita sampai kepadanya. Seandainya kaum muslimin merenungkan hal ini, maka tidak akan ada lagi rasa pesimis dan sedih atas apa yang mereka hadapi. Bahkan, sebaliknya pasti akan tumbuh rasa optimisme yang tinggi bahwa inilah jalan menuju kemenangan. Sebab, semakin tinggi tantangan dan ujian yang harus dilalui, maka akan semakin besar pula peluang datangnya kemenangan dan pertolongan Allah.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Untukmu Kader Dakwah : Ats Tsabat

Oleh: KH. Rahmat Abdullah
 
Yang dimaksud ats tsabat disini adalah
Tetaplah anda sebagai aktifis dakwah yang selalu aktif berjuang pada jalan yang ditujunya walaupun masanya panjang bahkan sampai bertahun-tahun, sampai nanti bertemu Allah Rabbul ‘Alamin dalam kondisi seperti itu, dengan meraih salah satu dari dua kebaikan berhasil mencapai tujuan atau meraih syahadah pada akhirnya. Firman Allah SWT :
“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka adapula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tak mengubah janjinya.” (Q.S. Al Ahzab: 23)
Waktu bagi kami merupakan bagian dari solusi, sebab jalan dakwah itu panjang dan jauh jangkauannya serta banyak rintangannya. Tapi semua itu adalah cara untuk mencapai tujuan dan ada nilai tambah berupa pahala dan balasan yang besar serta menarik.

(Hasan al Banna)

Teguh adalah nafas rijalul haq sepanjang zaman bagi para pejuang kebenaran. Ia adalah nafas al khalil Ibrahim as yang selalu segar dan berenergi bahkan pun ketika sedang terpelanting. Baik Al Hajjaj, Jenderal Graziani, Van Mook, Magellan dan para pengecut sejenis mereka telah menderita kekalahan berabad-abad dibanding kehadiran Sa’id bin Jubair, Umar al Mukhtar, Diponegoro, Muhammad Toha, dan para teguh lainnya yang memandang dunia dengan ringan saat pedang algojo, tali gantungan, sel penjara, pengasingan, dan lautan api menanti mereka.
Ibnu Taimiyah berkata, “Bila mereka penjarakan aku, maka mereka beri aku cuti. Bila mereka buang aku, maka mereka beri aku rekreasi. Dan bila mereka bunuh aku, maka mereka istirahatkan aku.”
Abadi, yang Teguh Karena Dia yang Abadi
Selalu saja ada kalimat tak tertulis yang meneguhkan hati pejuang. Imam Ahmad bin Hambal berfikir tentang seorang rekan sepenjaranya yang tentulah datang dengan sebab berbeda. “Kalaulah dia datang-pergi ke penjara dengan cambukan sejumlah puluhan ribu kali karena sebab kriminalitas. Mengapa aku harus takut berteguh di dalam dakwah, padahal ia terus berbuat amalan ahli neraka dan aku beramal amalan ahli surga?”
“Wahai Imam, anda punya keluarga. Cukup bagimu untuk mengiyakan kepada penguasa bahwa Al Qur’an ini memang makhluk” saran beberapa murid Imam Ahmad
“Tolong lihat, apa yang ada diluar penjara ini. Mereka adalah rakyat Baghdad dengan pena dan kertas di tangan yang menunggu setiap kalimatmu. Nah, apakah pantas aku selamat sendirian, dan mereka semua jadi sesat” Jawab Imam Ahmad dengan teguh
Sikap taqwa dan teguh tak hanya berdampak baik bagi pelakunya, tetapi juga bagi rakyat. Saat sang Imam Ahmad lewat dalam tangan terbelenggu, ditanya seorang perempuan, “Apakah halal menggunakan cahaya obor tentara untuk menjahit pakaian kami?” Sang Imam terharu dan mengetahui perempuan itu adalah saudari Bisyr al Hafi, seorang yang sangat zuhud.
Seorang yang teguh tidak hanya yakin kerjanya benar, seperti yakinnya Ummi Musa yang mantap melarung bayinya (Nabi Musa as) karena taat dan yakin kepada perintah dan janji Allah.
Langkah – Langkah Peneguhan
Keteguhan itu didapat dengan muayasyah (berinteraksi) dan terjun langsung di dunia nyata, dunia para Rasul dan pewaris para Rasul. “Dan masing-masing kami kisahkan kepadamu dari berita besar para Rasul, hal yang dengan itu Kami teguhkan hatimu …” (Q.S. Al Hud: 120)
Pada akhirnya terkait dengan keteguhan seorang da’i apakah ia tetap berada pada gelombang Rasul atau menerima tekanan gelombang lain yang mengalahkannya. Gelombang yang berubah itu menjelaskan tidak ada tsabat dan keteguhan walau berapa ratus jilid kitab Tarikh dibaca dan dihafal.
Perlu kesetaraan sifat dan sikap untuk dapat memahami prinsip kaum teguh dalam tsabat (tegar) dan sabar mereka. Perlu keteguhan untuk sampai pada saatnya masyarakat memahami kiprah da’i yang sesungguhnya, jauh dari prasangka mereka yang selama in terbangun oleh kerusakan perilaku dakwah sebagian kalangan.
Nabi Sulaiman mengoreksi faham yang salah dari Ratu Bilqis, bahwa selalulah orang lain merusak dina  negeri orang kecuali para raja. Atau Dzulqarnain yang menolak anggapan bahwa penguasa harus dilayani dan dibayar. Kaum teguh harus bersabar atas anggapan bahwa perjuangan mereka dibayar, cita-cita mereka di setir dan tujuan mereka dunia yang karenanya tak ada yang tabu. Sogok, suap, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, fitnah, pemutar balikan fakta mereka halalkan, tak peduli bendera apa yang mereka kibarkan: demokrasi, ke-kiyai-an, ataupun HAM.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah
 

Untukmu Kader Dakwah : At Tho'ah

Oleh : KH Rahmat Abdullah
 
Yang dimaksud dengan at tho’ah disini adalah
Melaksanakan  sekaligus menjalankan perintah tanpa reserve (menunda) baik dalam kelapangan maupun dalam kesempitan, dalam suka maupun duka

(Hasan Al Bana)

Di negeri yang malang ini, sikap ekstrem terdiri atas ifrath (keras berlebihan) dan tafrith (lunak berlebihan). Ada orang yang meletakkan akal teronggok begitu saja tanpa kerja. Karenanya seringkali kita temui para pemimpin yang ingin mengambil keuntungan besar, harus menyemai benih-benih kebodohan dan menyikapi langkah pencerahan seseorang sebagai hama yang akan menggagalkan panen mereka.
Sementara sudut ekstrem lawannya membayangkan taat dengan dalil “La tha’ata limakhluqin fi ma’shiyatil Khaliq” (Tidak boleh taat kepada makhluk yang bermaksiat kepada Al Khaliq). Dengan sarat beban duka, kepedihan dan trauma otoriter mereka gunakan dalil tersebut mereka gunakan untuk menolak keputusan syuro jamaah karena tak sejalan dengan persepsi atau ambisi pribadi. Atau mengecam dengan keras perintah seorang pemimpin yang sah karena kesalahan atau maksiat pribadinya.
Betapa selamat umat, komunitas, atau bangsa yang mau berlapang hati untuk mengorbankan kemauan, pandangan dan persepsi pribadinya saat mereka bertentangan dengan sang pemimpin. Lebih beruntung mereka yang tunduk dalam keputusan syura, bahkan sekedar menjalankan perintah seorang pemimpin.
Bangga dalam Taat
Kalaulah mereka tahu kelezatan sebuah ketaatan, sebagaimana seorang Abu Ubaidah Amir bin Jarrah. Sepanjang karirnya sebagai da’i dan panglima tak satupun perintah atasan ditentangnya baik kepada Rasulullah, khalifah Abu Bakar ataupun Umar. Tak satu kata protes disimpannya di hati apalagi di ungkapkan kepada Rasulullah.  Bahkan ketika Rasul menugaskan Abu Ubaidah membawa pasukan ke medan berat hanya dengan bekal sekantung makanan, yang dihitung-hitung setiap prajurit hanya mendapat sebutir sehari untuk makan pagi, siang dan malam.
Berapa Ibnu Atban memenuhi panggilan jihad ketika dia sedang bersama istrinya. Sampai-sampai Rasulullah mengatakan :”Saya telah membuatmu tergesa-gesa wahai saudaraku”.  Taat sebagai sebuah Wala’ (loyalitas) dalam Tarbiyah yang akan memunculkan thaqatu’t taghyir (kekuatan daya ubah) yang  luar biasa. Salah satu pengakuan Rasulullah atas ketaatan perempuan Madinah ialah sikap mereka spontan menyambar apa saja untuk menutupi aurat karena turunnya ayat hijab. Begitupula ketika para penduduk Madinah menerima informasi larangan tuntas meminum khamar, mereka langsung menumpahkan khamr-khamr.
Banyak orang yang mengira, ketaatan hanya ada kepada Rasulullah SAW dan belum tentu untuk masa para sahabat, tabiin atau pemimpin muslim biasa. Ternyata sampai zaman Umar, seorang Abu Ubaidah tetap setia seperti gelar yang diberikan Rasulullah. Sabda beliau : “Setiap umat punya orang kepercayaan (amiin) dan orang kepercayaan umat ini Abu Ubaidah”. Ali tetap mengutus putera-puteranya untuk menjaga khalifah Ustman dari serangan kaum bughat. Hakim (qadhi) Cordova tetap meminta syarat kepada Sultan bila ia tetap ingin menjadi khatib jumat.
Sultan menangis oleh pesan-pesan yang mendalam, ikhlas, dan berani. “Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan apabila kamu menyiksa maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku” (Q.S. Asy Syuara : 128-131)
Pemerintahan Abu Bakar yang singkat adalah pembuktian ketaatan Islami, bukan sekedar suatu pergantian kekuasaan menyusul wafatnya sang Rasul SAW. Alangkah sadarnya generasi hari ini untuk seimbang kepada daya kritis yang tidak menafikan ketaatan dan loyalitas yang tetap memelihara kesuburan daya kritis.
Ketaatan dan Daya Sambut (Istijabah)
Hakikat ketaatan ialah kepada Allah, Rasul-Nya dan sesama orang beriman. Bila ketaatan itu terwujud dalam hubungan antara makhluk berupa rakyat dengan pemimpin, maka keikhlasan adalah hal yang paling dominan sehingga ketaatan itu dapat bernas. Sahabat Saad bin Abi Waqash telah memerankan hal tersebut dengan baik. Kecintaannya kepada ibunya tak membuat imannya luluh sekalipun sang ibu telah mogok makan (dan akhirnya berhasil menyadarkan dan membuatnya beriman kepada Allah).
Sudah sepatutnya doa mustajab Rasulullah menjadi haknya. “ Ya Allah, tetapkanlah bidikannya dan kabulkan doanya”, demikian doa beliau. Sampai-sampai menahan diri dari menyumpahi orang karena fitnah yang dilancarkannya. “Ya Allah, jika hamba-Mu ini dusta, maka panjangkanlah umurnya dan panjangkanlah miskinnya”.
Seorang Umar Tilmisani pengacara muda yang necis dan lembut berusaha menjadi murid yang taat dan menyesuaikan diri dengan gurunya Al Bana dalam berkorban, hidup sederhana dan berani. Tak ada kekuatan pemerintahan yang membuatnya takut berkata benar dan tak ada penghinaan yang membuatnya kehilangan kesantunan.
Suatu hari disebuah acara resmi yang disiarkan di media cetak dan elektronik Presiden Anwar Sadat menyerang jamaahnya dengan tuduhan keji dan tak mendasar; separatis dan berbagai tuduhan batil. Dengan tenang syaikh Tilmisani menjawab: “ Hal yang lumrah bila aku dizalimi oleh siapapun untuk mengadukanmu kepada Allah sebagai tempat bernaung kaum tertindas. Sekarang aku mendapatkan kezaliman darimu, karenanya tak ada kemampuan bagiku selain mengadukanmu kepada Allah.”
Spontan Sadat gemetar, ngeri dan mengiba-ngiba agar Syaikh menarik pengaduannya kepada Allah. Dengan tegas, tenang dan kuat Syaikh menjawab: “Aku tak mengadukanmu kepada (penguasa) yang zalim. Aku mengadukanmu hanya kepada Tuhan yang adil yang mengetahui apa yang kukatakan”. Itulah pengalaman dihari-hari terakhir hayatnya. Sadat menyerang seorang pemimpin dan mursyid jamaah, sebelum kematian yang perih membungkamnya.
Mustahilkah jaman kini dari istijabah yang menyuburkan hidup para kader dan aktifis dari kucuran doa para masyaikh dan pemimpin atas pribadi-pribadi ataupun kelompok? Ataukah para pembangkang dan kaum arogan telah siap menerima limpahan yang akan menenggelamkan mereka karena kerontang ketaatan di hati mereka? Sebagai pewaris nabi, para ulama dan masyaikh tak akan mengutuki pengikutnya.
Referensi:
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Da’watuna, KH Rahmat Abdullah

Untukmu Kader Dakwah : At Tadhiyah

Oleh : KH. Rahmat Abdullah
 
Yang dimaksud dengan at tadhiyah (pengorbanan) disini adalah
Pengorbanan jiwa raga, harta, dan waktu serta segala sesuatu dalam rangka mencapai tujuan. Dan tidak ada kata dakwah di dunia ini tanpa adanya rasa pengorbanan. Jangan merasa bahwa pengorbanan akan hilang begitu saja demi meniti jalan fikrah ini. Tapi itu tak lain adalah sebuah ganjaran yang melimpah dan pahala yang besar. Dan barangsiapa yang tak mau berkorban dengan kami, maka ia berdosa. Karena Allah Ta’ala telah menegaskan hal itu dalam banyak ayat Al Qur’an. Dengan memahami ini, maka Anda akan memahami doktrin “Mati di jalan Allah adalah cita-cita kami tertinggi”

(Hasan al Bana)

Ajruki ’ala qadri nashabiki (Ganjaranmu tergantung kadar lelahmu) H.R. Muslim dari Aisyah ra.
Kemauan Berkorban dan Sikap Jujur
Kemauan ini yang berani menantang bahaya dan segala hambatan seperti halnya akar sehat yang menembus tanah keras dan bebatuan. Ketika kaum beriman dihadang berulang kali, yang muncul adalah keberanian dalam merespon tantangan. Dua kali mereka berhasil memukul mundur serangan kafir Quraisy di Badar dan Uhud dalam rentang waktu yang amat singkat. Ternyata masih disusul dengan serangan sekutu yang secara kuantitatif tak seimbang (gabungan Yahudi, Quraisy, Ghathafan, dan Munafiqun).
Iman dan amal shalih digemukkan dengan pengorbanan. Ruh pengorbanan semakin besar bila semakin sedikit tubuh mendapat kenikmatan syahwatnya. Kisah Bal’am adalah sejenis makhluk yang mengikuti syahwat dunia. Berapapun ia diberi, tetaplah ia menjulur bagaikan seekor anjing (Q.S. Al Araf :175). Ia rela mengorbankan kehormatannya sebagai orang berilmu demi dunia yang tak memuaskan dahaga.
Jadi Orang Besar dengan Resiko Besar
Apa jadinya bila Nabi Ibrahim gagal berkorban dengan meninggalkan Istrinya dan anaknya Ismail di lembah tak bertanaman didekat Kabah (Q.S. Ibrahim: 37)? Apa jadinya bila Ismail yang telah remaja menghindari bapaknya agar tak terjadi pengorbanan besar itu (Q.S. Shaad : 102)?
Jelas mereka akan menjadi sosok yang tak pernah punya peran di panggung sejarah, karena sejarah tak pernah mau mengabadikan orang-orang biasa yang perjalanannya datar tanpa tantangan.
Belakangan datang generasi yang tak merasakan lelahnya berkorban di zaman awal Islam, saat muhajirin dan anshar bahu membahu. Mereka tak merasakan pergi meninggalkan tanah air atau disita harta dan dibunuhi keluarga mereka. Mereka tak merasakan diblokade tiga tahun di Syi’b, dan memakan daun perdu yang membuat luka kerongkongan.
Suatu hari datanglah Mush’ab bin Umair ke majelis Rasulullah SAW dengan pakaian tambal sambil mengenang masa-masanya dimanjakan orang tuanya dalam jahiliyah. Beliau diingatkan para sahabat agar menunggu masa jaya Islam.
Para sahabat bertanya : “Bukankah saat nanti kami lebih baik, ketika masa kemenangan dan ketenangan, karena sepenuh waktu beribadah dan tercukupi kebutuhan pokok?”
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, kamu hari ini lebih baik daripada hari itu.”
Pengorbanan dan Tabiat Dakwah
Ia adalah langkah kembali yang benar dan jalan menghindari eksploitasi pengorbanan manusia bagi kepentingan Fir’aunisme, Hamanisme, Qarunisme, dan Bal’amnisme. Dan target ini sesungguhnya target dakwah itu sendiri yaitu pembebasan.
Pengorbanan dan Tabiat Dakwah menjadi perlindungan bagi hamba-hamba tak berdaya, membawa uang yang mereka peroleh dengan keringat dan darah bagi monster riba yang kejam dan mati rasa, bagi pemilik modal yang arogan dan sadis, dimangsa para kamera elit yang tak bermalu, pemimpin dengan fanatisme yang dendam dan dusta.
Pengorbanan rakyat yang terus dibodohi oleh para pemimpin berbaju paderi dan kiai, yang memanfaatkan kultus individu dan keyakinan lugu tentang kewalian dan adi kodrati. Padahal sang pemimpin lebih dekat kepada ateisme daripada monotaisme bahkan daripada politeisme sekalipun.
Pengorbanan menjadi shahih bila dapat mengantarkan atau mempersembahkan supremasi tertinggi di tangan Allah dan termuliakannya darah dan nyawa. Karenanya, tertutup semua jalan bagi berjayanya para penipu, pemeras dan kalangan yang memperdayakan mayoritas mengambang.
Kisah pengorbanan umat sebelumnya lebih berat, saat Rasul menceritakan kepada sahabatnya. “Sesungguhnya pada sebelum kamu, ada yang disisir dengan besi yang menancap ke bawah tulang, daging atau syarafnya. Semua itu tak mengalihkan merela dari agama. Sungguh Allah akan sempurnakan urusan ini, sampai seseorang dapat pergi sendirian dari Shan’a ke Hadhramaut tanpa takut kepada siapapun kecuali Allah” (Al Buthy, Fiqh Sirah 106)
Hanya Untuk-Nya
Dalil apapun tak terbuka bagi pengorbanan individu untuk kepentingan figur bagi dirinya sendiri. Justru yang ada melimpahnya teks larangan kultus, dan celaan bagi orang yang senang berdiri menyambut kedatangannya.
Ketika Imam Ali bin Abi Thalib berkunjung ke suatu tempat, rakyat datang dengan sikap merunduk-runduk. Kemudian Ali menasihati “Alangkah ruginya kelelahan yang berujung siksaan. Dan alangkah beruntungnya sikap ringan yang berubah aman bagi mereka”.
Seseorang yang menikmati ketentraman ibadah ritualnya dan melupakan tugas jihad lisan untuk menasihati mencegah kemungkaran di masyarakat ibarat burung unta yang merasa aman karena telah berhasil menyembunyikan kepalanya ke dalam gundukan pasir.
Suatu hari Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk menumpahkan adzab kepada penduduk suatu negeri. “Ya Rabbi, disana ada seorang shalih,” lapor malaikat dan sungguh Allah tahu hal itu. “Justru mulailah dari dia, karena tak pernah wajahnya memerah karena-Ku” (ketersinggungan karena kehormatan Allah dihinakan) H.R. Ahmad
Mahar perjuangan yang mahal tidak hanya menjadi tiket menuju kemenangan generasi ta’sis (perintis), tetapi juga bagi generasi sesudahnya. Dan mereka harus membayar dengan pengorbanan yang sama dalam bentuk, format, dan gaya yang berbeda.
Bagi generasi yang tak terdesak oleh jihad tangan (qital) selalu terbuka pengorbanan dengan berbagai jalan : pengorbanan waktu, perasaan, harta, kesenangan diri, dan lain sebagainya.
Mukmin sejati takkan bergembira karena tertinggal dari kesertaan berkorban, betapapun uzur bagi mereka rukhsah (keringanan), namun “Mereka berpaling dengan mata yang basah menangis karena tak menemukan biaya (untuk biaya angkutan perang).” Q.S. At Taubah : 92.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Dakwatuna, KH Rahmat Abdullah