by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jan 26, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Dakwah
Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
Cukuplah satu firman Allah yang suci menjadi dalil atas janji-Nya tersebut, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. al-Baqarah: 214)
Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya, dimana beliau memberikan nasihat kepada Khabbab bin Arb.
Pada saat itu ia datang kepada Rasulullah SAW dalam kondisi ia baru saja mendapatkan siksaan hingga membuatnya hampir mati. Lalu ia menyingkapkan badannya yang terkena api dan berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, tidakkah kau berdo’a agar Allah menolong kita.?” Rasulullah SAW menjawab ucapannya, “Sesungguhnya kaum sebelum kalian, mereka rambutnya disisir dengan sisir besi hingga terkelupas kulit dan dagingnya dan yang tersisa hanya tulangnya saja. Akan tetapi, hal itu tidak membuat mereka berpaling dari agamanya. Allah pasti akan memberikan kemenangan, hingga pada saatnya nanti seseorang yang berkendara dari San’a ke Hadramaut tidak akan merasa ketakutan kecuali hanya kepada Allah saja.”
Apa makna perkataan Rasulullah SAW diatas? Ini adalah sebuah penegasan, bahwa jika engkau mengeluhkan siksaan dan ujian di jalan dakwah, maka ketahuilah bahwa begitulah jalan dakwah yang sebenarnya. Ia adalah Sunnatullah yang telah Ia tetapkan kepada seluruh hamba-Nya. Ujian dan rintangan yang kau hadapi dengan sabar dan ridha, hanyalah sebuah jembatan menuju sebuah kemenangan.
Namun, mungkin ada yang bertanya, apakah ini berarti bahwa kita boleh meminta kepada Allah agar Ia mengirimkan berbagai macam ujian dan cobaan kepada kita? Atau dengan kata lain, bolehkah kita mengharapkan datangnya ujian dan siksaan di saat kita berdakwah di jalan-Nya?
Jawabannya dengan tegas tidak boleh. Pasalnya, Allah-lah yang mengetahui kemampuan kita dalam menerima ujian dari-Nya. Ia hanya menginginkan bukti dari keimanan dan ketundukan kita kepada-Nya, melalui berbagai macam ujian dan cobaan. Allah juga hanya ingin menyadarkan kita, bahwa semua manusia kedudukannya adalah hamba kepada-Nya.
Inilah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW disaat beliau diusir dari Thaif, beliau bermunajat kepada Allah seraya mengakui kelemahan dan kebutuhannya kepada-Nya, “Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu lemahnya kekuatanku, minimnya kemampuanku, dan hinanya aku di mata manusia.Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan bagi hamba-hamba yang lemah, dan Engkau adalah Tuhanku.”
Ini adalah sebuah ikrar dari beliau bahwa ia hanyalah seorang hamba yang lemah dihadapan Allah SWT. Ini bukanlah sebuah keluhan dan kegelisahan yang beliau utarakan kepada Allah, sebab di dalam lanjutan munajatnya, beliau berkata, “Sekiranya Engkau tidak murka kepadaku, maka aku ridha (tidak peduli terhadap apa yang menimpa)…… dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan memberikan kemudahan dalam urusan dunia dan akhirat, Aku berlindung dari murka-Mu dan kemarahan-Mu.”
Inilah dua poros utama dari sikap menghamba kepada Allah, yaitu: Ridha atau pasrah atas takdir-Nya, dan selalu berlindung dan bersandar kepada-Nya. Dan kedua-duanya tidaklah saling bertentangan. Menyadari kelemahan dan kehinaan dihadapan-Nya adalah sebuah sikap menghamba kepada-Nya, dan berdoa memohon bantuan kepada-Nya juga sebuah bentuk ubudiyyah kepada-Nya.
Rasulullah tidak pernah meminta agar ditimpakan kepadanya cobaan dan siksaan yang berat, bahkan di saat ia merasa lemah dan tidak mampu, ia langsung berlindung kepada-Nya agar diberikan kemudahan dan pertolongan dari-Nya. Di sisi lain, ia tetap bersabar dan ridha menjalani tantangan dakwah ini.
Dan begitulah, seorang mukmin yang jujur dengan keimanannya. Ia akan ridha terhadap ujian dan cobaan yang ia hadapi. Terlebih lagi jika hal itu dalam rangka mewujudkan tujuan yang mulia, yaitu membangun sebuah masyarakat dan komunitas muslim yang shaleh dan sesuai dengan syariat Islam.
Wahai saudaraku, Rasulullah SAW telah mengalami siksaan dan ujian yang begitu pedih. Namun, beliau memberikan keteladanan kepada kita bagaimana menyikapi ujian tersebut dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Beliau benar-benar menepati janji dari risalah yang telah Allah tugaskan kepadanya. Dan sekarang, apakah kita sudah siap melanjutkan tugas dari Rasulullah SAW? Apakah kita sudah berada di jalan yang telah ditempuh olehnya? Sudahkah kita meneladani beliau dalam menjalankan misi dakwah Islam ini? Simpanlah jawaban tersebut untuk kau sampaikan nanti di hadapan Allah SWT.
Allahul musta’an, ni’mal mawla wa ni’man nashiir.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Ari Yanto ariyanto | Jan 25, 2016 | AlimanCenter.TV
Video Ceramah Agama Majelis Taklim Al Iman: Bahaya Riya oleh Ustadz Fahmi Bahreisy Lc
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jan 22, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Dakwah
Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
Di dalam buku sejarah dan sirah nabawiyyah telah ditegaskan bahwa Rasulullah SAW mengalami berbagai macam kesulitan dalam menjalankan tugas dakwah di jalan Allah SWT. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa kaum musyrikin pernah mengambil kotoran unta lalu dilemparkan ke kepala beliau saat berada dalam kondisi sujud. Beliau juga pernah diusir dari Thaif disertai dengan lemparan batu yang dilakukan oleh para pemuda kota Thaif. Beliau disakiti baik dengan sikap maupun ucapan. Suatu saat beliau juga pernah pergi ke pasar, lalu berjumpa dengan salah seorang kaum musyrikin yang sedang membawa segenggam tanah, lalu dilemparkan tanah tersebut ke kepala beliau. Beliau kembali pulang ke rumahnya, lalu Fatimah membersihkan sisa tanah dari kepala beliau sambil menangis. Di dalam hadits yang lainnya juga disebutkan bahwa ia pernah mengikatkan batu di perutnya karena rasa lapar yang dialaminya selama tiga hari.
Apa hikmah dibalik semua ini? Apakah ini sesuai dengan kedudukan beliau yang merupakan hamba yang paling dicintai oleh Allah? Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah, “Allah SWT pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu hingga engkau merasa ridha.” serta firman Allah yang lainnya, “Allah akan melindungimu dari gangguan manusia”? Bukankah rasa cinta “mengharuskan-Nya” untuk menjaga beliau dari berbagai gangguan dan kesulitan serta memberikan berbagai kemudahan untuk mencapai kebahagiaan? Lantas mengapa Allah mengujinya, padahal ia sedang berdakwah untuk membela agama dan syari’at-Nya?
Jawabannya ialah bahwa berbagai macam gangguan dan cobaan yang dialami olehnya adalah salah satu bentuk amal yang paling mulia yang ingin ia ajarkan kepada ummatnya. Kedudukannya sama dengan ibadah, muamalah, dan akhlak yang beliau ajarkan kepada mereka. Beliau mengajarkan shalat didepan para sahabatnya, lalu berkata, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.” Beliau juga melaksanakan haji bersama mereka, lalu berkata, “Lakukanlah manasik haji sebagaimana yang aku lakukan.” Sebagaimana beliau mengajarkan kedua hal tadi kepada para sahabatnya, ia juga mengajarkan mereka untuk bersabar dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Siap menerima tantangan dan rintangan dakwah di jalan Allah sebagai bentuk ketundukan dan penghambaannya kepada-Nya. Beliau tahu bahwa apa yang ia rasakan, akan dirasakan pula oleh ummatnya di setiap tempat dan waktu, sehingga harus ada keteladanan yang siap dicontoh oleh ummatnya.
Apa yang beliau hadapi adalah sebuah pelajaran bahwa berdakwah di jalan Allah adalah inti dari sikap menghamba kepada-Nya. Penghambaan kepada-Nya tidaklah sempurna tanpa adanya sebuah taklif. Sebuah taklif tidak akan terlaksana tanpa dilalui dengan kesulitan dan pengorbanan. Seseorang tidaklah dikatakan sebagai muslim yang hakiki jika ia tidak siap menjalani dua tujuan berikut ini:
Pertama, membangun masyarakat muslim sebagaimana yang telah Allah perintahkan. Kedua, merealisasikan tujuan tersebut melalui jalan yang penuh dengan duri, kesulitan, kepedihan, dan berbagai macam tantangan yang menyakitkan. Dengan kata lain, Allah SWT tidak hanya mewajibkan kepada hamba-Nya untuk siap mewujudkan sebuah tujuan, namun, disamping itu ia juga mewajibkan mereka untuk siap berjalan diatas duri dan rintangan untuk sampai kepada tujuan tadi.
Allah SWT bisa saja menjadikan jalan menuju tegaknya masyarakat yang islami begitu mudah untuk dilalui, akan tetapi cara tersebut tidak akan menampakkan ketundukan dan penghambaan seseorang kepada-Nya. Jalan tersebut tidak bisa menjadi bukti bahwa ia telah mengorbankan dirinya dan hartanya demi agama Islam dan ia telah menundukkan hawa nafsunya pada ketetapan-Nya. Jika demikian caranya, tidak ada bedanya antara orang mukmin dengan orang munafik, antara orang yang jujur dengan keimanannya dengan orang yang memiliki keimanan palsu. Dan inilah yang disebutkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabuut: 1-3).
Oleh karenanya, kesulitan dan rintangan ini bukan sekedar sebuah ujian saja, akan tetapi ia adalah jalan menuju tujuan akhir yang telah Allah perintahkan agar kita sampai kepadanya. Seandainya kaum muslimin merenungkan hal ini, maka tidak akan ada lagi rasa pesimis dan sedih atas apa yang mereka hadapi. Bahkan, sebaliknya pasti akan tumbuh rasa optimisme yang tinggi bahwa inilah jalan menuju kemenangan. Sebab, semakin tinggi tantangan dan ujian yang harus dilalui, maka akan semakin besar pula peluang datangnya kemenangan dan pertolongan Allah.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Dec 28, 2015 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sebagai seorang muslim, tentu kita ingin merasakan nikmat dan lezatnya iman. Sebab, apalah artinya iman tanpa ada kenikmatan di dalamnya. Apalah artinya berislam tapi tak bisa merasakan kelezatannya. Diantara cara agar kita dapat merasakan nikmatnya iman ialah adanya perasaan cinta dan kasih sayang kepada sesama muslim. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam Shahih Muslim, “Ada tiga hal yang jika engkau mendapatkannya maka engkau merasakan nikmatnya iman,” diantaranya ialah, “Engkau mencintai seseorang hanya karena Allah SWT.”
Rasa cinta kepada sesama muslim ini telah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW, diantaranya ialah kecintaan yang ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib kepada para sahabat, terutama kepada Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhuma. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat akrab dan saling mencintai satu dengan yang lainnya. Hal ini tidaklah aneh sebab keduanya merupakan binaan dari Rasulullah SAW yang selalu mengajarkan ummatya untuk saling menghargai, mencintai dan berkasih sayang.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyah ia berkata, “Aku berkata kepada ayahku, siapakah manusia yang paling mulia setelah Nabi SAW?” Ali r.a. menjawab, “Abu Bakar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Ia menjawab, “Umar.” Bahkan Ali bin Abi Thalib pernah berkata dalam sebuah riwayat dari Imam Ahmad, “Tidak ada seorang pun yang lebih mengutamankanku daripada Abu Bakar dan Umar kecuali aku akan cambuk dia sebagai balasan atas kedustaannya.”
Dalam riwayat dari Uqbah bin Harits disebutkan, “Aku pernah keluar bersama Abu Bakar setelah shalat Ashar dan Ali berada disampingnya. Lalu ia bertemu dengan Hasan bin Ali sedang bermain dengan teman sebayanya. Lalu Abu Bakar menggendongnya dan berkata dengan nada bercanda, “Wahai seorang anak yang mirip dengan Nabi, tapi tidak mirip dengan Ali.” Dan saat itu Ali pun tertawa mendengar ucapan Abu Bakar.”
Sebagaimana keakraban dan keharmonisan yang terjalin antara Ali dengan Abu Bakar, begitu juga hubungan antara Ali bin Thalib dengan sahabat-sahabat yang lainnya terutama Umar bin Khattab. Kecintaan Ali kepada tampak jelas ketika Umar bin Khattab mengajak Ali untuk berunding sebelum melakukan peperangan melawan Romawi dan Persia. Pada saat itu, ketika pasukan akan berangkat menuju peperangan, Ali bin Abi Thalib berkhutbah yang mana intinya ialah (sebagaimana yang tertera dalam kitab Nahjul Balaghah); Ali menamakan pasukan yang disiapkan oleh Umar sebagai pasukannya Allah, ia juga menegaskan bahwa dirinya merupakan salah satu bagian dari tentaranya Umar bin Khattab, di dalam khutbah tersebut beliau juga menafikan adanya permusuhan diantara sahabat terutama di masa Umar, bahkan ia menegaskan bahwa dengan keberadaan Umar, Islam menjadi kuat dan kokoh.
Dalam sebuah surat yang dikirim oleh Ali kepada Muawiyah, di dalamnya tertulis mengenai keutamaan Abu Bakar dan Umar yang isinya ialah sebagai berikut, “Muslim yang terbaik dan yang paling setia terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, kemudian setelah itu adalah Umar bin Khattab al-Faruq. Keduanya memiiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Ketiadaan keduanya merupakan musibah yang besar bagi agama Islam. Semoga Allah merahmati keduanya dan membalas kebaikan keduanya.” (Lihat kitab Syarh Nahjul Balaghah).
Subhanallah, inilah pengakuan Ali bin Abi Thalib r.a. akan kemulian kedudukan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Rasa cinta yang tertanam di dalam dirinya merupakan buah akan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah. Dan masih banyak riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan akan besarnya kecintaan dan penghormatan Ali kepada Abu Bakar dan Umar.
Hal ini sekaligus juga membantah anggapan bahwa adanya permusuhan antara Ali bin Abi Thalib –karramahullah wajhahu- dengan dua sahabat yang agung ini. Bahkan rasa cinta tersebut beliau wujudkan dengan menamakan keturunannya dengan nama Abu Bakar dan Umar. Ketika Ali ditanya perihal alasan dari pemberian nama tersebut, ia menjawab bahwa ia ingin anaknya sama seperti dengan Abu Bakar dan Umar.
Ini adalah sebuah gambaran akan eratnya hubungan diantara mereka yang juga seharusnya dicontoh oleh generasi penerus yang mengaku mencintai Abu Bakar, Umar, Ali, dan sahabat-sahabat yang lainnya. Keagungan dan kemuliaan mereka sesuai dengan firman Allah SWT, “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.” (QS. al-Fath: 29). Semoga Allah meridhai mereka semua. Amiin.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman
Edisi 350 – 20 November 2015. Tahun ke-8
***
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Jun 23, 2015 | AlimanCenter.TV
Video Program Spesial Ramadhan: Keistimewaan Ramadhan dan Beramal Didalamnya oleh Ustadz Fahmi Bahreisy, Lc
Youtube Full HD: https://youtu.be/-9ED4S7YHHM
AlimanCenter.Com | Membuka Wawasan – Menggugah Kesadaran