0878 8077 4762 [email protected]

Fatwa Al Azhar Mesir : Apa Hukumnya Shalat Tahajud Berjamaah?

Apa hukum melakukan shalat dua rakaat secara berjamaah di masjid setelah shalat Isya’ guna mengingatkan kepada orang-orang tentang kesunnahan shalat Qiyamul Lail dan memotivasi mereka agar melaksanakannya di rumah?
 
Jawaban
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah washsholatu wassalaamu ‘ala sayyidina Rasulillah SAW.
Sebagaimana ditetapkan dalam syariat, bahwa shalat yang tidak disunahkan untuk dilakukan secara berjamaah, karena didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw yang selalu melakukannya sendiri, tidak apa-apa untuk dilakukan secara berjamaah, tanpa ada kemakruhan sama sekali.
Hal ini didasarkan pada perbuatan Ibnu Abbas ra yang menjadi makmum Nabi saw dalam shalat tahajud di rumah bibinya, Ummul Mukminin, Maimunah ra. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Ibnu Mas’ud ra dan yang lainnya juga pernah shalat qiyamul lail di belakang Nabi saw, padahal sebagaimana diketahui bahwa shalat qiyamul lail tidak disunnahkan untuk dilaksanakan secara berjamaah kecuali pada bulan Ramadhan, tapi hal itu dibolehkan sebagaimana telah disebutkan.
Jika ada sejumlah orang berkumpul untuk melaksanakan shalat Tahajud secara bersama-sama, maka hal itu dibolehkan selama tidak mewajibkannya kepada orang-orang. Jika terdapat pemaksaan maka perbuatan itu dimasukkan ke dalam perbuatan bid’ah, karena memaksakan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat.
Oleh karena itulah, ketika pada suatu malam Nabi saw. melakukan salat Tahajud di masjid, lalu ada seseorang yang menjadi makmum beliau dan hal itu terulang-ulang, maka beliau pun meninggalkannya pada malam keempat. Setelah salat Shubuh, beliau menghadap kepada para jamaah dan mengucapkan syahadat lalu bersabda,
ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳَﺨْﻒَ ﻋَﻠَﻰَّ ﻣَﻜَﺎﻧُﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻜِﻨِّﻰْ ﺧَﺸِﻴْﺖُ ﺃَﻥْ ﺗُﻔْﺘَﺮَﺽَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﺘَﻌْﺠِﺰُﻭﺍ ﻋَﻨْﻬَﺎ
Sebenarnya aku mengetahui keberadaan kalian, tapi aku takut kebiasaan itu dianggap wajib sehingga kalian tidak mampu melaksanakannya.” (Muttafaq ‘alaih dari hadits Aisyah).
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, “Nabi saw. mendatangi masjid Quba setiap hari Sabtu terkadang dengan berjalan kaki dan terkadang menaiki tunggangan.”
Abdullah bin Umar pun melakukan hal yang sama. Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul-Bâri, mengatakan, “Hadits ini, dalam semua jalurnya yang berbeda-beda, menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari untuk melakukan beberapa amal saleh dan membiasakannya secara terus menerus.”
Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, maka shalat dua rakaat setelah shalat Isya adalah dibolehkan dan tidak dimakruhkan sama sekali, dengan syarat tidak ada keyakinan tentang keharusan untuk melakukannya.
Jika shalat tersebut dilakukan dengan mengharuskan orang lain untuk melaksanakannya dan menganggap orang yang menolaknya telah berbuat dosa, maka perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang tercela, karena dengan hal itu dia telah mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
Wallahu subhanahu, wa ta’ala a’lam
 
Sumber :
Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 565 Tanggal: 20/03/2005
Penerjemah : Fahmi Bahreisy, Lc 

Dewan Fatwa Mesir : Apakah Bersalaman Antara Laki-laki dan Wanita Membatalkan Wudhu

Bersalaman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah permasalahan khilaf (diperselisihkan) di dalam fiqh Islam ;
Sebagian besar ‘ulama mengharamkan perbuatan tersebut, kecuali para ‘ulama dari kalangan hanafiyah dan hanabilah yang membolehkan bersalaman dengan wanita tua yang sudah sepuh : karena sudah di anggap aman dari fitnah.
Adapun dalil sebagian besar ‘Ulama yang mengharamkannya adalah :

  • Perkataan Aisyah ummul mukminin radhiallahu ‘anha “ Tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh tangan wanita” (H.R. Muttafaqun ‘alaihi)
  • Hadits Mu’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh ditusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan pasak dari besi lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya” (Diriwayatkan oleh Ar-Tauyani di dalam musnadnya dan At-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir).

Sedangkan dalil para ‘ulama yang membolehkannya adalah ;

  • Bahwa ‘umar bin khatab Radhiallahu ‘anhu pernah bersalaman dengan wanita di saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menahan diri dari bersalaman dengan wanita ketika berbai’at kepada beliau, sehingga tidak bersalaman dengan wanita yang bukan mahram adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
  • Dan Abu bakar Ash-shiddiq Radhiyallahu ‘anhu juga pernah bersalaman dengan wanita yang sudah sepuh ketika masa kekhalifahannya.
  • Sebuah Hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjadikan Ummu Haram Radhiyallahu ‘anha membersihkan rambut kepala beliau.
  • Dan juga dari riwayat Bukhari bahwa Aba Musa Al-‘Asy’ari Rahiyallahu ‘anhu pernah menjadikan seorang wanita dari kalalangan Al-‘Asy’ariyyin sebagai pembersih rambut kepalanya sedangkan beliau dalam kedaan ihram haji.

Sebagai bantahan atas pendapat dari jumhur, mereka mengatakan bahwa hadits Ma’qil bin Yasar yang di pakai oleh jumhur ‘ulama di atas adalah dha’if, karena terdapat Syidad bin Sa’id yang jalur periwayatannya lemah. Redaksi hadits ini juga hanya diriwayatkan olehnya secara marfu’.
Walaupun demikian, ia bisa jadi pegangan seandainya tidak ada hadits lain yang memiliki redaksi yang berbeda dengannya. Pada kenyataannya, Basyir bin ‘Uqbah –beliau adalah di antara yang meriwayatkan hadits shahih- meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang berbeda.
Diriwayatkan dari Ibni Abi Syaibah di dalam kitab “Mushannif” dari jalur Basyir bin ‘Uqbah dari Abi Al-‘Ala’, dari Mu’qil dengan hadits Mauquf dengan lafadz : “Seandainya salah seorang di antara kalian menusukkan jarum hingga menancap di kepalaku, hal itu lebih aku senangi daripada ada seorang wanita yang bukan mahram mencuci/membasuh kepalaku”.
Dengan demikian, terkait dengan kasus ini, diperbolehkan untuk mengikuti ‘ulama yang membolehkan bersalaman dengan wanita.
Namun demikian, keluar dari perbedaan (untk memilih sikap yang tidak diperdebatkan) adalah lebih utama.
Adapun yang berkaitan dengan apakah bersalaman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu’ atau tidak juga termasuk permasalahan khilaf di dalam Fiqh Islam.

  1. Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut membatalkan wudhu’ walaupun tidak disertai dengan syahwat.
  2. Adapun Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa bersentuhan tidak membatalkan wudhu’ walaupun dengan syahwat.
  3. Sedangkan Imam Malik membedakan antara kedua hal tersebut, jika bersentuhan dengan syahwat maka membatalkan wudhu’. Dan jika tanpa syahwat, maka tidak membatalkan wudhu’. Di dalam mazhab ( Imam Malik) ada juga riwayat lain yang menjelaskan pendapat-pendapat yang berbeda, sebagaimana juga riwayat dari Imam Ahmad yang semuanya telah dijelaskan beserta dalilnya di berbagai macam kitab fiqh.

Kaidah-kaidah yang telah diakui oleh syari’at di dalam permasalahan khilafiyah :

  1. Bahwasanya yang wajib diingkari adalah kesalahan yang telah disepakati kemungkarannya, bukan yang diperselisihkan.
  2. Bagi yang jatuh dalam permasalahan khilaf, dia boleh mengikuti pendapat yang membolehkannya.
  3. Keluar dari permasalahan khilaf adalah lebih utama.

Adapun pandangan seorang laki-laki terhadap wanita yang bukan mahramnya, berdasarkan pendapat dari berbagai ‘Ulama Fiqh hanya di bolehkan melihat wajahnya dan kedua telapak tangannya saja. Imam Abu Hanifah menambahkan kedua kakinya tanpa di ikuti oleh syahwat dan terhindar dari fitnah.
Ini menunjukkan bahwa bentuk perintah menundukkan pandangan yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak bersifat mutlak, berbeda dengan perintah menjaga kemaluan yang bersifat mutlak.
Az-Zamahsyari di dalam sebuah kitabnya “Al-Kasyaf” menafsirkan Firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya……..” (QS. An-Nur : 30) ;
Bahwa Kata “مِنْ/dari” yang terdapat pada kalimat “ﻏﺾ ﺍﻟﺒﺼﺮ/Menundukkan pandangan” yang mana kata tersebut tidak terdapat pada kalimat “ﺣﻔﻆ ﺍﻟﻔﺮﺝ/menjaga kemaluan” menunjukkan bahwa perkara “pandangan” memiliki cakupan yang lebih luas.
Bukankah seorang yang mahram tidak mengapa jika dilihat rambutnya, betisnya dan kakinya, demikian juga budak-budak yang diperjual-belikan?
Adapun wanita yang bukan mahram hanya boleh dilihat wajahnya, kedua telapak tangannya dan kedua kakinya pada riwayat yang lain. Sedangkan yang berkaitan dengan “kemaluan” cakupannya sempit.
Perbedaan dua hal diatas dapat disimpulkan, bahwa diperbolehkan memandang sesuatu kecuali terhadap apa yang telah di larang, dan dilarang melakukan jima’ (berhungan intim) kecuali terhadap apa yang telah di bolehkan.
Maka selain daripada wajah, kedua telapak tangan, dan kedua kaki dari wanita yang bukan mahram dilarang dilihat kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk pengobatan, dan lain-lain yang sejenis dengannya. Wallahu subhanahu wa ta’ala ‘a’lam.
 
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 4614
Tanggal : 13/01/2011
Penerjemah : Syahrul