0878 8077 4762 [email protected]

Hari Raya, Ini Adab-Adabnya

HARI raya atau ‘id dalam Islam hanya ada 3, yaitu ‘Idul Fithri ,‘Idul Adha, kemudian yang ketiga adalah Hari Jum’at.
Dinamakan ‘Id, yang bermakna kembali atau berulang, karena memang hari raya tersebut senantiasa kembali dan berulang setiap tahunnya.
Seperti halnya sekarang, waktu terasa berjalan begitu cepat. Betapa tidak, rasanya kita akan merayakan hari raya Idul Adha, dengan prosesi Shalat sunah Idul Adha dilanjutkan penyembelihan hewan Qurban di depan masjid, kemudian dilanjut makan Sate ramai-ramai. Sekarang tinggal menghitung waktu menuju tanggal 10 Dzulhijjah 1438 H, prosesi atau ritual itu akan terulang kembali.
Ada beberapa adab yang harus diperhatikan ketika kita memasuki hari raya, diantaranya adalah :
1. Mandi Sebelum Shalat ‘Id
Ibnul Qayyim dalam Za’dul Maad mengatakan, Nabi mandi pada dua hari raya, telah terdapat hadits shahih tentang itu, dan ada pula dua hadits dhaif.
Pertama, hadits Ibnu Abbas, dari riwayat Jabarah Mughallis, dan hadits Al Fakih bin Sa’ad, dari riwayat Yusuf bin Khalid As Samtiy. Tetapi telah shahih dari Ibnu Umar –yang memiliki sikap begitu keras mengikuti sunnah- bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar rumah.
2. Memakai Pakaian Terbaik dan Minyak Wangi
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang kami punya, dan berkurban dengan hewan yang paling mahal yang kami punya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak, hasan)
Nafi’ menceritakan tentang Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu saat hari raya: “Beliau shalat subuh berjamaah bersama imam, lalu dia pulang untuk mandi sebagaimana mandi janabah, lalu dia berpakaian yang terbaik, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang dia miliki, lalu dia keluar menuju lapangan tempat shalat lalu duduk sampai datangnya imam, lalu ketika imam datang dia shalat bersamanya, setelah itu dia menuju masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan shalat dua rakaat, lalu pulang ke rumahnya.”
3. Makan Dulu Sebelum Shalat ‘Idul Fitri, Sebaliknya Tidak Makan Dulu Sebelum Shalat Idul Adha
“Pada saat Idul Fitri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah berangkat untuk shalat sebelum makan beberapa kurma.”
Murajja bin Raja berkata, berkata kepadaku ‘Ubaidullah, katanya: berkata kepadaku Anas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Beliau memakannya berjumlah ganjil.” (HR. Bukhari No. 953)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, mengutip dari Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah, mengatakan, “Kami tidak ketahui adanya perselisihan pendapat tentang sunahnya mendahulukan makan pada hari ‘Idul Fithri.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah keluar pada hari Idul Fitri sampai dia makan dulu, dan janganlah makan ketika hari Idul Adha sampai dia shalat dulu.” (HR. At Tirmidzi No. 542, Ibnu Majah No. 1756, Ibnu Hibban No. 2812, Ahmad No. 22984, shahih)
4. Melaksanakan Shalat ‘Id di Lapangan
Shalat hari raya di lapangan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak pernah shalat Id, kecuali di lapangan (mushalla).
Namun, jika ada halangan seperti hujan, lapangan yang berlumpur atau becek, tidak mengapa dilakukan di dalam masjid.
Dikecualikan bagi penduduk Mekkah, shalat ‘Id di Masjidil Haram adalah lebih utama.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata, “Shalat Id boleh dilakukan di dalam masjid, tetapi melakukannya di mushalla (lapangan) yang berada di luar adalah lebih utama, hal ini selama tidak ada ‘udzur seperti hujan dan semisalnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua hari raya di lapangan, tidak pernah Beliau shalat di masjidnya kecuali sekali karena adanya hujan.”
Dari Abu Hurairah, “Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat ‘Id bersama mereka di masjid. (HR. Abu Daud)
5. Dianjurkan Kaum Wanita dan Anak-anak Hadir di Lapangan
Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari raya mesti disambut dengan suka cita. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan: “Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum wanita pada dua hari raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu gadis, dewasa, pemudi, tua renta, dan juga wnaita haid.”
Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata: “Kami diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan anak-anak gadis, wanita haid, wanita yang dipingit, pada hari Idul Fitri dan idul Adha.
“Ada pun wanita haid, mereka terpisah dari tempat shalat. Agar mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudarinya memakaikan jilbabnya untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan ini lafaznya Imam Muslim).

Mengisi Hari Raya Idul Fitri

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Hari raya Idul Fitri adalah saat-saat umat Islam mensyukuri kesuksesan mereka melaksanakan ibadah Ramadhan. Ia adalah hari  berbahagia dan bersuka cita. Kebahagiaan dan kegembiraan kaum mukminin ketika mereka berhasil menyempurnakan ibadahnya dan memperoleh pahala amalnya dengan kepercayaan terhadap janji-Nya kepada mereka untuk mendapatkan anugerah dan ampunan-Nya. Allah Ta ‘ala berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ(58)
Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (Yunus: 58).
Hari Raya Idul Fitri disebut juga hari pengampunan, sebagaimana riwayat imam Az-Zuhri, ketika datang hari Idul Fitri, maka manusia keluar menuju Allah Swt.
Allah kemudian mendatangi mereka seraya berkata: ”Wahai hamba-Ku! Karena Aku engkau semua berpuasa, karena Aku engkau semua beribadah. Oleh karena itu, maka pulanglah kalian semua (ke rumah masing-masing) sebagai orang yang telah mendapat ampunan (dari-Ku).”
Ketika Nabi Saw tiba di Madinah, kaum Anshar memiliki dua hari istimewa yang mereka bersenang-senang di dalamnya. Maka, Nabi Saw bersabda:
قَإنّ الله قَدْ أبْدَلَكُم بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ الأضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ”.
Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, (yaitu) Idul Fitri dan Idul Adha” (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i dengan sanad hasan).
Hadits ini menunjukkan bahwa menampakkan rasa suka cita di hari raya adalah sunnah dan disyari’atkan. Maka diperkenankan memperluas hari raya tersebut secara menyeluruh kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang tidak diharamkan yang bisa mendatangkan kesegaran badan dan melegakan jiwa, tetapi tidak menjadikannya lupa untuk taat kepada Allah.
Sedangkan apa yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat  di saat hari raya dengan berduyun-duyun pergi memenuhi berbagai tempat hiburan dan permainan adalah tidak dibenarkan. Sebab, hal itu tidak sesuai dengan yang disyari’atkan bagi mereka seperti melakukan dzikir kepada Allah. Apalagi mengisi hari raya dengan kemaksiatan, maka itu jauh dari petunjuk Nabi Saw.
Hari Raya dalam Islam datang setelah umat Islam melaksanakan ibadah, yaitu:
1. Idul Fitri setelah puasa Ramadhan. Hari raya ini terselenggara sebagai pelengkap puasa Ramadhan yang merupakan rukun dan asas Islam keempat. Apabila kaum muslimin merampungkan puasa wajibnya, maka mereka berhak mendapatkan ampunan dari Allah dan terbebas dari api neraka, sebab puasa Ramadhan mendatangkan ampunan atas dosa yang lain dan pada akhirnya terbebas dari neraka.
2. Idul Adha adalah hari raya Qurban. Ia lebih agung dan utama daripada Idul Fitri. Hari raya ini terselenggara sebagai penyempurna ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima. Bila kaum muslimin merampungkan ibadah hajinya, niscaya diampuni dosanya.
Kedua hari raya tersebut diperingati dengan ibadah pula seperti shalat Ied, takbir, tahmid dan lain-lain. Di samping itu dibolehkan bergembira dan bersenang dengan menyediakan makanan yang enak, bertemu famili dan keluarga sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Taala.
 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center