0878 8077 4762 [email protected]

Keteguhan Imam Ahmad di Penjara

Imam Ahmad ditangkap Al Makmun tahun 832 M yang kemudian menjatuhinya hukuman mati, lalu dipenjara lagi. Dalam perjalanan terantai dari Baghdad ke penjara Ar-Riqqah, Imam Ahmad berdoa agar tak bertemu lagi dengan Al Makmun. Betul, tahun 833 M Al Makmun meninggal (semoga Allah mengampuninya). Lalu bertahtalah adiknya, Al Mu’tashim billah.
Al Mu’tashim menghadirkan Imam Ahmad dalam penghakiman umum yang dihadiri ribuan manusia layaknya hari raya. Dia diminta berhujah.
Imam Ahmad membaca surah At-Taubah ayat 6 yang menyatakan Al Qur’an Kalamullah, bukan makhluk sebagaimana aliran liberal Mu’tazilah. Dan dilanjutkan membaca surah Ar-Rahman ayat 12 yang menyatakan Ar-Rahman mengajarkan bukan menciptakan Al Qur’an. Maka pada hari itu beliau dimasukkan kembali ke penjara untuk menjalani hukumannya sehari-hari; 40 kali deraan setiap pagi dan sore hari.
Hari berikutnya beliau dihadapkan lagi, lalu mengajukan dalil-dalil dari hadis Rasulullah saw. Maka beliaupun dipenjarakan lagi. Beberapa hari berselang, beliau dihadapkan ulang untuk berdebat dengan hakim agung Ibnu Abi Dawud, yang beliau menangkan secara telak.
Suatu hari Al Mu’tashim, Ibnu Abi Dawud, dan para pembesar Mu’tazilah menjenguk ke penjara. Bertanyalah Al Mu’tashim, “Bagaimana keadaanmu hai Ahmad?” Beliau menjawab, “Duh, semalam aku bermimpi Al Qur’an mati terkapar!”
“Celaka kau hai Ahmad! Bagaimana mungkin ia mati!” sahut Al Mu’tashim.
Jawab beliau, “Kenapa heran? Bukankah kalian mengatakan bahwa ia makhluk? Dan bukankah setiap makhluk ada ajalnya?”
Al Mu’tashim terbahak, “Kau cerdas hai Ahmad! Sungguh kau cerdas!”
Kesal dengan cerdik dan teguhnya Imam Ahmad, sang perdana Menteri Ibnu Abu Dawud mengusulkan agar beliau dibunuh. Sang pemimpin liberal awal itu melancarkan fitnah dahsyat!
Tapi Al Mu’tashim menyatakan, “Aku telah bersumpah tak membunuhnya dengan pedang.”
Sahut Bisyr yang liberal Mu’tazilah, “Kalau begitu bunuh dengan cambuk! Deralah terus sampai mati!” Maka siksaan dengan cambuk kian menjadi-jadi hingga wafatlah Al Mu’tashim (moga Allah ampuni) dan bertahtalah putranya, Al Watsiq.
Teriwayat juga tentang seorang sipir yang kasian melihat Imam Ahmad disiksa, maka dia berkata, “Kasihinilah dirimu hai Syaikh, sungguh umurmu telah tua dan tubuhmu uzur, maka ambillah rukhsah; katakan apa yang mereka suka asal hatimu tenteram dengan iman.”
Maka sambil tersenyum Imam Ahmad menjawab, “Penduduk Baghdad duduk didepan pintu rumahnya memegang kertas dan pena, siap menulis apapun yang terucap dari lisan ulama. Maka pantaskah Ahmad selamat, tetapi manusia menjadi sesat?” Dan beliaupun terus istiqamah.
Dimasa Al Watsiq billah, siksaan mulai berkurang dan beliau dihukum hanya pemenjaraan dan pengasingan ke beberapa penjara berbeda. Hingga Al Watsiq yang menurut riwayat di akhir hayatnya bertaubat dari paham khalqul qur’aan; hanya mengenakan pada beliau tahanan rumah. Lalu ba’da wafat Al Watsiq (semoga Allah ampuni), berkuasalah Al Mutawakkil alallah yang membalikkan keadaan. Dia anti Mu’tazilah.
Dia bebaskan Imam Ahmad dan melarang masyarakat memperdebatkan paham-paham nyeleneh. Para ulama Ahlu Sunnah mendapat tempat terhormat.
Tetapi ujian belum usai bagi Imam Ahmad, Al Watsiq berusaha menghadiahkan aneka rupa perhiasan dunia untuk beliau. Dan beliau menolak. Maka dikatakan tentang Imam Ahmad, beliau berhasil melalui ujian 4 khalifah; yang memenjara, menyiksa, mengasingkan, dan merayu
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro-U media

Arti Cinta

Mencintai tak harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau janggut rapi.
Suatu hari ada seseorang yang berkata pada Imam Ahmad, “Alangkah bahagianya andai aku bisa menjumpaimu tiap hari.” Kemudian beliau menjawab, “Tak perlu begitu saudaraku, ada banyak orang yang aku belum pernah menjumpainya, tapi sungguh aku mencintai mereka itu, melebihi cintaku pada orang-orang yang tiap hari bertemu.”
Sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hati kita. Karena cinta memang harus diupayakan. Cinta adalah kata kerja. Lakukanlah kerja jiwa dan raga untuk mencintainya. Maka mata airnya adalah niat baik dari hati yang tulus.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah