0878 8077 4762 [email protected]

Guru dan Murid Tertawa Karena Beda Pendapat Tentang Rezeki

Inilah kisah antara Imam Malik sebagai guru dan Imam Syafii sebagai murid.
Imam Malik ( guru Imam Syafii ) dalam majelis menyampaikan :
“Sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan memberikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya.”
Sementara Imam Syafii ( sang murid ) berpendapat lain:
“Seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki.”
Guru dan murid itu bersikukuh pada pendapatnya masing-masing.
Suatu saat tengah meninggalkan pondok, Imam Syafii melihat serombongan orang tengah memanen anggur. Diapun ikut membantu mereka.
Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafii memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.
Imam Syafii girang, bukan karena mendapatkan anggur, tetapi pemberian itu telah menguatkan pendapatnya.
Jika burung tak terbang dari sangkar , bagaimana ia akan mendapat rezeki. Seandainya dia tak membantu memanen, niscaya tidak akan mendapatkan anggur.
Bergegas dia menjumpai Imam Malik sang guru. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, dia bercerita. Imam Syafii sedikit mengeraskan bagian kalimat,
“Seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya.”
Mendengar itu Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Imam Malik berucap pelan,
“Sehari ini aku memang tidak keluar pondok. Hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku.”
“Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab. Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah, niscaya Allah akan berikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya.”
Guru dan Murid itu kemudian tertawa.
Dua Imam madzab mengambil dua hukum yang berbeda dari hadits yang sama.
Begitulah cara Ulama bila melihat perbedaan, bukan dengan cara menyalahkan orang lain dan hanya membenarkan pendapatnya saja.
Semoga dapat menjadi pelajaran buat kita semua.
 
Wallahu’alam

Cerita Imam Syafii yang Berguru Kepada Imam Malik

Salah satu madzhab fiqih yang banyak dianut oleh pemeluk Islam dunia adalah madzhab Syafi’i.
Abu Abdullah Muhammad bin Idris yang lebih terkenal sebagai Imam Syafi’i, pendiri madzhab fiqih Syafi’i, termasuk golongan suku Quraisy, seorang Hasyimi dan keluarga jauh Nabi.
Imam Syafi’i yang lahir di Gaza, Palestina pada tahun 767 M ini dibesarkan oleh ibunya dalam kemiskinan, karena ia telah kehilangan ayahnya ketika masih kanak-kanak.
Ia belajar hadis dan fiqih dari Muslim Abu Khalid Az Zinyi, dan Sufyan ibn Uyaina. Sehingga hafal banyak hadist. Imam Syafii juga telah hafal Alquran pada usia 9 tahun.
Dahulu ketika berumur 11 tahun ia dibawa oleh ibunya ke kota Madinah dan diantar belajar dengan Imam Malik rahimahullah, sebagai pendiri Mazhab Maliki.
Kemiskinan Imam Syafii saat Menimba Ilmu
Suatu ketika saat sesi pengajian, Imam syafi’i meletakkan jari kanannya ke mulut lalu digerak-gerakkan di telapak tangan kirinya seumpama menulis hadits-hadits yang dibaca oleh Imam Malik.
Jari kanannya seumpama pena sementara air liurnya seumpama dakwat. Perbuatan Imam Syafi’i selepas 2-3 kali belajar tidak disenangi oleh Imam Malik.
Beliau menyangka Imam Syafii bermain-main ketika belajar, lalu Imam Malik memanggil Imam Syafii dan berkata ”Selepas ini jangan kau hadir lagi ke kelas pengajianku.”
lmam Syafii bertanya, ”Mengapa Wahai Guruku ? ”
Dijawab oleh Imam Malik, “Engkau bermain-main dengan jarimu seakan menulis, kenapa engkau tidka langsung membawa pena dan kertas?”
Tahu akan dikeluarkan dari kelas pengajian Imam Malik, Syafii pun berterus terang,
“Wahai Guruku, Aku tidak mampu untuk memiliki pena dan kertas tetapi aku mampu membaca hadits-hadits yang telah Tuan Guru ajarkan kepadaku.”
Setelah diizinkan oleh gurunya, maka Imam Syafi’i membaca semua hadits-hadits yang telah diajarkan oleh Imam Malik.
Sang Imam sangat tersentuh melihat keikhlasan dan dan kehebatan Syafi’i lalu mendekatinya dan memberi penghormatan.
Kekuatan Hafal Imam Syafii
Imam Syafii akhirnya telah hafal kitab Muwatta yang merupakan kitab hadis-hadis hukum yang dikumpulkan oleh Imam Malik sejak usia 13 tahun.
Pada usia 20 tahun, Imam Syafi’i menemui Imam Malik bin Anas di Madinah dan mengucapkan seluruh isi kitab Muwatta itu di depan penulisnya langsung.
Ia lalu tinggal dan berguru kepada Imam Malik sampai akhir hayat Imam Malik, tahun 795 M.
Pendiri Metode Ushul Fiqih
Imam Syafi’i sangat terkenal akan kecerdasan dan kearifannya. Ia merupakan penengah antara hukum fiqih dan hadis dengan prinsip metode fiqih. Sehingga Imam Syafii dianggap sebagai pendiri Ushul Fiqih.
Dalam karya-karya tulisnya, ia selalu memanfaatkan ruang dialog dengan baik. Ia menguraikan prinsip fiqih Ar Risalah dan mencoba menjembatani fiqih Hanafi dan Maliki. Hal itulah yang membuat ajarannya dijadikan salah satu pedoman fiqih dan semakin banyak diikuti.
 
Sumber : Brilio/SurauRiau

3 Amal Yang Paling Berat Menurut Imam Syafi’i

 
SETIAP manusia pastilah menginginkan kehidupan di surga kelak. Untuk menuju hal tersebut kita harus memperbanyak bekal amal untuk menuju surga.
Terdapat 3 amal yang paling berat menurut Imam Syafi’i. Semakin berat suatu amalan, maka semakin berat pula pahala yang akan kita dapatkan. Oleh karena itu, simaklah ketiga amalan berat ini :
1. Murah hati ketika miskin
Sekdekah atau infaq merupakan amalan baik yang dapat mengantarkan kita menuju surga. Ketika seseorang dalam kelapangan atau memperoleh rezeki yang lebih maka ia akan dengan mudah bershodaqoh atau memberikan kelebihannya itu pada orang yang membutuhkan.
Namun berbeda halnya jika kita sedang berada di kondisi yang sempit. Artinya kita sedang mengalami kekurangan, baik itu kekurangan secara fisik atau secara ekonomi.
Pada umumnya orang yang mengalami kekurangan, ia akan mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Oleh karena itu, Allah sangat menyukai orang-orang yang bermurah hati pada orang lain meskipun ia dalam keadaan susah. Sebagai seorang muslim, hal ini juga ditunjukkan oleh Rasulullah. Beliau selalu bermurah hati meskipun dalam keadaan sempit.
Ketika beliau mendapatkan harta yang berlebih maka beliau akan membagikan harta tersebut pada orang lain yang membutuhkan. Bahkan pada suatu hari, beliau pernah mempercepat shalatnya, karena ingin segera menyerahkan harta yang baru saja didapatkannya kepada fakir miskin.
Sebagai umat manusia, hendaknya kita meneladani Rasulullah dalam kondisi lapang maupun sempit, beliau selalu menyempatkan diri untuk berbagi dengan sesama.
2. Wara’ saat sendiri
Wara’ adalah menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Pada umumnya setiap orang akan memperlihatkan sisi positifnya pada orang lain. Hal ini akan berpengaruh pada keikhlasan kita untuk berbuat baik ataupun meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Meninggalkan apa yang dilarang-Nya merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk dilakukan.
Oleh karenanya, banyak orang yang melakukan larangan-larangan Allah seperti berzina, berjudi, minum minuman keras dan masih banyak lagi.
Bahkan mereka tidak lagi malu atau takut melakukannya secara terang-terangan di depan orang lain. Jika kita sedang sendiri, maka kecenderungan untuk kita melakukan larangan tersebut semakin besar. Karena kita merasa bahwa tidak ada orang lain yang mengawasi.
Jadi kita bisa sesuka hati melakukan apapun yang kita mau, termasuk dengan larangan Allah. Hal ini dikarenakan banyak orang yang melakukan perbuatan baik bukan karena keikhlasannya, tetapi hanya ingin dipandang baik oleh orang lain.
Oleh karena itu, orang yang meninggalkan larangan ketika sendiri merupakan orang yang memiliki keimanan kuat pada Allah.
3. Mengungkapkan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti
Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan bahwa kita tidak perlu takut pada apa pun kecuali pada Allah. Namun, sebagai manusia biasa, pastinya kita pernah merasakan takut pada orang yang memiliki kekuasaan lebih tinggi atau kekuatan lebih tinggi.
Hal ini akan berpengaruh pada mental kita untuk mengungkapkan kebenaran. Ketika suatu kebenaran tertutupi, maka sebagai umat muslim yang baik kita harus mengungkapkan kebaikan tersebut.
Namun, karena ketakutan yang kita memiliki menyebabkan hilangnya keberanian untuk mengungkapkan kebenaran di hadapan mereka yang kita takuti. Oleh karena itu, amalan ini termasuk  tiga amalan yang berat karena memang sungguh sulit melakukannya.
Demikianlah tiga amal yang paling berat menurut Imam Syafii. Allah telah menyediakan balasan yang setimpal dengan apa yang kita lakukan. Jika amalan yang kita lakukan berat dan banyak, maka pahala akan terus mengalir pada kita

Dimana Akhlak Kita

Ada seorang laki-laki, entah sudah berapa tahun ia mengaji, tapi mengerikan. Ia mencaci maki seorang ustadz, hanya karena berbeda manhaj.
Mengomentari status dengan kata-katanya yang kasar lagi buruk.
Saya liat profil picture laki-laki itu. Apa tulisannya?
“Kata-katamu adalah kualitas dirimu.”
Saya tersenyum sendiri. Lalu ingat sebuah pepatah : “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Meludah ke atas, jatuh menimpa muka sendiri”.
Mungkin terlalu banyak menggeluti ilmu sampai lupa mempelajari adab dan akhlak.
Imam Malik pernah menasehati murid-muridnya, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Mencaci maki itu tiada gunanya. Jika cacianmu benar, tiada menambah kemuliaanmu. Bila cacianmu salah, pastilah merendahkan kehormatanmu.
Para ulama dulu mempelajari adab lebih panjang dari mempelajari ilmu.
“Kami memperlajari adab 30 tahun,” kata Imam Ibnu Mubarak, “Lalu mempelajari ilmu 20 tahun.”
Mereka, orang-orang besar itu, menjadikan ilmu sebagai garam. Dan adab sebagai tepungnya.
Para ulama juga saling mengoreksi. Tapi tak ada yang paling mereka jaga kecuali kemuliaan akhlak. Seorang ulama pernah bersaksi mengenai Imam Asy Syafii.
“Ada dua keperihan berdebat dengan Imam Asy Syafii.
Pertama, kau akan dikalahkan, dengan kecerdasan pikirannya.
Kedua, kalaupun kau menang, kau akan dikalahkan oleh akhlaknya.”
Seberapa berat ilmu-mu?
Seberapa dalam sumur yang kau gali menampung mata air guru-gurumu? Beratnya ilmu akan membuatmu merunduk.
Dalamnya ilmu, akan membuatmu tenggelam dalam kerendahan hati.
Jika tidak: ringan dan dangkal keilmuanmu.
Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengutip perkataan sebagian ulama, “Diantara tanda tawadhu adalah seseorang meyakini bahwa setiap muslim lebih baik daripada dirinya.”
Lalu dimana kita?
Aina nahnu min akhlaqis salaf?
Ingat, daging ulama itu beracun. Kebenaran yang ingin kau sampaikan, tak menghalalkanmu untuk mencaci maki mereka.
Barakallahu fiikum..
Oleh : Ustadz Bakhabazy

Ketika Ibunda Imam Syafii Menolak Harta Anaknya

Pada saat imam Syafi’i masih kecil dan belajar di Makkah, gurunya berkata kepada Syafi’i kecil, “Anak ku, ilmuku telah habis. Kamu pergi ke Madinah dan teruskan ke Irak, di sana banyak orang-orang Alim yang akan memperkokoh keilmuanmu.”
Kemudian Syafi’i menjawab dengan sopan. Baik guru, namun terlebih dahulu ijinkan kami untuk meminta doa restu kepada ibunda kami.
Setibanya Syafi’i di kediaman ibunya, beliau mengatakan maksud dan tujuannya kepada ibu tercinta.
Ibunya terkejut dan merasa berat hati, karena ia akan berpisah dengan anak tercintanya, namun demi kesuksesan masa depan anak tercinta, Sang ibu merelakan dan berkata; “Berangkatlah anak ku, kita bertemu diakhirat saja”. Allahu Akbar.
Dan akhirnya Syafi’i kecil berangkat ke Madinah kemudian dilanjutkan ke Irak dengan doa dan restu dari ibu tercintanya.
Beberapa tahun kemudian, Imam Syafi’i telah menjadi orang hebat, dan mufti yang tersohor namanya, karena memang Imam Syafi’i memilik kecerdasan yang jarang atau bahkan tidak dimiliki anak seusianya.
Sebab dalam sejarah tercatat; Umur 7 tahun beliau telah hafal al-Quran dengan lancar, dan umur 10 tahun telah hafal kitab hadits karya imam Malik, al-Muwatho’.
Kemudian umur 12 tahun beliau telah disahkan menjadi seorang mufti. Namun meskipun demikian hebatnya, beliau tetap tidak berani pulang, karena ibunya belum memanggilnya pulang.
Ibunda Imam Syafi’i dengan Syekh Makkah (Murid Imam Syafi’i)
Tibalah musim haji, semua orang berkumpul di Makkah untuk melakukan ibadah haji, tanpa terkecuali ibunda imam Syafi’i.
Di dalam Masjidil Haram, sudah menjadi pemandangan lazim para ulama terkemuka mengadakan halaqah pengajian yang diikuti oleh para jamaah dan murid-muridnya.
Ada salah satu halaqah yang sangat besar, yang dipimpin seorang ulama yang terkenal Alim, dan halaqah inipun menjadi pusat perhatian para jamaah haji, tak terkecuali ibunda Imam Syafi’i. Kemudian ibunda Imam Syafi’i mendatangi dan mengikuti pengajian ulama yang terkenal Alim tersebut.
Namun anehnya Syekh itu sering mengatakan; “Qola Muhammad bin Idris As-Syafi’i”. “Muhammad bin Idris As-Syafi’i berkata…”.
Karena penasaran, sang ibunda bertanya kepada Syekh tadi; “Wahai syekh, siapakah Muhammad bin As-Syafi’i yang  sering anda sebutkan, dan seakan menjadi idola anda.
Syekh menjawab; “la adalah orang yang sangat Alim, orang yang sangat hebat, guru yang sangat mulia, keilmuannya tiada tandingannya, dan perlu anda ketahui, beliau aslinya dari Makkah, dan kemudian melanjutkan studinya ke Madinah, dan saat ini beliau telah menjadi mufti termulia di Irak .
Kemudian Ibunda Imam Syafi’i berkata, Ketahuilah wahai Syekh, guru anda yang katanya hebat dan mulia itu adalah anakku.
Aku hanya berpesan sampaikan pada guru anda yang bernama Muhammad bin Idris As Syafi’i itu. Apabila ia mau pulang, maka aku telah mengizinkannya.
Syekh yang alim tersebut terkejut dan kagum kepada ibu tua yang mengaku ibu dari gurunya yang alim tersebut. Ternyata ibunda beliau masih hidup.
Kemudian sang Syekh hanya mampu menundukkan kepala tanda hormat seraya mengucapkan; “Iya akan kami sampaikan kepada guru mulia kami”.
Imam Syafii Mendapat Kabar Ibunya
Sesampainya di kota Irak, murid imam Syafi’i tersebut langsung menyampaikan pesan yang menjadi amanahnya.
Mendengar berita itu, Imam Syafi’i sangat gembira, dan memang berita inilah yang ditunggu-tunggu sejak lama.
Karena beliau selalu ingat pesan sang ibu : “Bahwa beliau berdua bertemu diakhirat saja”. Artinya : sudah tidak ada harapan untuk bertemu di dunia.
Setelah menyelesaikan tugasnya, dan dengan waktu yang telah direncanakan, Imam Syafi’i akan segera berangkat pulang, untuk melepas rindu kepada ibunda tercinta.
Karena waktu itu imam Syafi’i adalah ulama mulia dan tersohor, sontak berita kepulangan imam Syafi’i cepat tersebar keseluruh pelosok tanah Irak.
Pecinta dan pengagum Imam Syafi’i memberi bekal dan oleh-oleh untuk dibawa pulang kerumahnya. Ada yang memberikan beberapa onta, ada juga yang memberikan beberapa dinar emas.
Sehingga dengan sekejap imam Syafi’i menjadi orang kaya, dikisahkan Imam Syafi’i pulang dengan membawa beberatus onta dan beratus-ratus uang dinar.
Mengutus Murid untuk Izin Bertemu Ibundanya
Tibalah waktunya imam Syafi’i pulang ke ibunda tercinta. Sesampainya imam Syafi’i di batas tapal kota Makkah, imam Syafi’i memerintahkan muridnya untuk memberitahu dan meminta izin kepada ibunya untuk memasuki kota Makkah.
Murid mengetuk pintu rumah ibunda tercinta imam Syafi’i dengan mengucapkan salam : “Assalamualaikum,,,
Ibunda : Wa’alaikumsalam,,, siapa anda?
Murid : Saya muridnya imam Syafi’i, putramu. Kami ingin memberitahukan bahwaImam Syafi’i telah sampai di batas kota Makkah, memohon izin untuk masuk.
Ibunda : Syafi’i anak ku membawa apa?
Murid : la membawa banyak harta, berupa onta dan beberatus uang dinar.
Dengan nada marah sang ibunda menjawab : Sampaikan ke Syafi’i, saya menyuruh meninggalkan kota Makkah bukan untuk mencari harta, bilang ke dia, saya tidak butuh hartanya, dan suruh ia kembali lagi ke kotanya.
Menjalankan Perintah Ibunda Demi Ridhanya
Murid Imam Syafi’i terkejut dengan jawaban ibunya. Kemudian ia kembali kepada gurunya, dan menceritakan tentang apa yang telah ia alami.
Kemudian imam Syafi’i mengatakan; ” Wahai muridku kamu salah menjawab pertanyaan ibuku. Sekarang kamu panggil seluruh penduduk kota Makkah, dan bagikan semua harta yang kita bawa ini.
Kemudian sang murid melakukan apa yang telah diperintahkan gurunya, dan membagikan semua harta itu sampai habis tak tersisa.
Nah, sekarang kamu datangi ibunda ku lagi, dan sampaikan bahwa harta Syafi’i telah habis dibagikan, yang tertinggal hanya ilmu dan kitabnya saja.
Kemudian barulah Imam Syafi’i diperkenankan masuk kota Makkah, dan bertemu melepas rindu dengan ibunda tercinta.
Refleksi Hikmah dari para Ulama:

  1. Jika orang tua rela melepas anaknya untuk mencari ilmu, walaupun jauh disana, maka Allah akan mempertemukan mereka di dunia, apalagi di akhirat.
  2. Orang tua jangan menjadikan anaknya ‘sapi perah’ untuk mencari dunia.
  3. Orang yang mencari ilmu bukan bertujuan untuk dunia, namun ikhlas untuk akhirat, maka ia juga akan diberi bonus oleh berupa kekayaan duniawi.
  4. Doa orang tua adalah kunci sukses dalam menuntut ilmu.
  5. Suri tauladan kesabaran orang tua dan anak ketika proses mencari ilmu.

 
Sumber riwayat : Ceramah Buya Yahya, Ulama Cirebon