Kisah Hikmah: Bukti Ucapan Rasul SAW

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Sahl bahwa Nabi SAW dan kaum musyrikin bertemu dalam sebuah peperangan. Mereka saling bertempur. Setiap kaum kembali ke kemahnya.
Di antara kaum muslimin terdapat seorang pemberani yang membuntuti setiap musyrik dan menebas dengan pedangnya.
Lalu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada yang melakukan seperti yang dilakukan oleh Fulan.” Beliau menjawab, “Ia termasuk penghuni neraka.” “Jika orang ini termasuk penghuni neraka, lalu siapa di antara kita yang masuk surga?” ujar mereka.
Kemudian ada yang berkata, “Aku akan membuntutinya. Jika ia bergerak cepat atau lambat aku akan selalu bersamanya”.
Sampai akhirnya ia terluka. Maka ia ingin mempercepat kematiannya. Ia letakkan pedangnya di atas tanah dengan mata pedang berada di dadanya. Kemudian ia tancapkan hingga membunuh dirinya.
Segera sahabat yang membuntuti tadi menemui Nabi saw. Ia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau utusan Allah.” “Mengapa?” tanya beliau. Orang itupun menceritakan apa yang terjadi.
Mendengar hal itu Nabi saw bersabda, “Seseorang beramal dengan amal penduduk surga menurut pandangan manusia, padahal ia merupakan penduduk neraka. Sebaliknya bisa jadi seseorang beramal dengan amal penduduk neraka dalam pandangan manusia, padahal ia merupakan penduduk surga.”

Kisah Hikmah: Sang Yahudi Menyuruh Anaknya Masuk Islam

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Setiap hari orang Yahudi satu ini selalu mengejek Rasul, kadang melemparinya dengan batu. Tapi Rasulullah tidak membalasnya.
Suatu hari, Yahudi ini tidak kelihatan batang hidungnya. Rasulullah pun heran. Ia bertanya menanyakan ihwal orang Yahudi yang selalu mengganggunya itu.
Akhirnya beliau mendapat kabar bahwa anaknya sakit. Rasulullah kemudian datang ke rumah orang tersebut dan membawakan makanan bagi anaknya yang sakit itu.
Ketika datang, Yahudi tersebut demikian kaget. Ia tidak menyangka Rasulullah yang tiap hari dia ejek dan lempati batu, ternyata menjenguk anaknya yang tengah sakit. Saudara dan kaumnya sendiri pun tidak ada yang menengoknya.
Rasulullah datang menyampaikan makanan dan berdoa agar anak tersebut sembuh. Lalu Rasulullah bersabda kepada anak tersebut. “Masuklah Islam!”.
Sang anak kemudian menengok kepada bapaknya seakan-akan meminta izin. Akhirnya sang bapak mengatakan, “‘Taati Abul Qasim. Ikutilah apa yang dikatakan Muhammad!”. Akhirnya anak tersebut sembuh dan masuk Islam.

Kisah Hikmah: Kerendahan Hati Sang Pemimpin

Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
 
Islam sangat perhatian dalam urusan kepemimpinan, saking pentingnya masalah ini hingga suatu ketika, saat Rasulullah SAW wafat, jenazahnya tidak segera dimakamkan, karena belum jelas siapakah yang didaulat menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah SAW.
Para sahabat, yang merupakan orang-orang yang paling mengetahui urusan agama setelah Rasulullah SAW tidak segera memakamkan jasad Rasulullah SAW karena mereka paham, pentingnya seorang pemimpin didalam Islam, hingga jasad Rasulullah SAW dimakamkan setelah dipilihnya seorang pemimpin baru menggantikan manusia agung tersebut.
Setelah melakukan proses diskusi akhirnya sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, seorang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW dipilih secara aklamasi untuk menggantikan posisi Rasulullah SAW sebagai pemimpin kaum muslimin. Sempat menolak didaulat sebagai pemimpin, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pun tidak punya alasan kuat untuk tidak menerima amanah tersebut, sebab semua sahabat Rasulullah SAW yang hadir saat itu sepakat untuk menjadikannya sebagai pengganti Rasulullah SAW. Akhirnya Abu Bakar pun menerima amanah berat tersebut
Abu Bakar sangat mengerti bahwa tidaklah mudah menjadi pemimpin dan berat sekali pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT, karenanya ia pun bersedih, dan didalam pidato pelantikannya sebagai pemimpin ia pun menyampaikan sebuah pesan yang sangat berharga, menunjukkan kerendah hatian dan kesungguhannya dalam memimpin. Abu Bakar berpesan :
“Wahai sekalian manusia, hari ini aku telah dipilih sebagai pemimpin bagi kalian, dan aku yakin bahwa aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Maka jika kalian melihat kepemimpinanku dalam kebenaran, bantulah aku. Namun jika kalian melihat kepemimpinanku dalam kebatilan maka ingatkanlah aku dan bersikap keraslah kepadaku”
‘Ibrah :
Saudaraku, banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambi dari kisah diatas, diantaranya :
1. Janganlah kita mengajukan diri sebagai seorang pemimpin, kecuali jika kita benar-benar yakin mampu mengemban amanah tersebut. Sebab sungguh berat pertanggung jawabannya disisi Allah SWT. Namun jika semua orang/sebuah forum sepakat menjadikan kita sebagai pemimpin bagi mereka, maka seorang muslim sejati tidak akan berlari dari amanah dan siap mengemban amanah tersebut tanpa penghianatan sedikitpun.
2. Ketika kita dijadikan sebagai pemimpin, maka bersikap sederhanalah dan jangan mengungkapkan janji-janji yang mewah yang belum tentu kita mampu merealisasikannya. Sebab setiap janji adalah hutang dan detiap hutang dituntut pengembaliannya.
Semoga Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang sederhana didalam kehidupan ini.

Kisah Hikmah: Engkau Sudah Berperang dengan Romawi?

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Seorang yang senang berghibah duduk di dekat ar-Rabi ibn Khutsaym. Sebagian orang memang memiliki lisan yang suka membicarakan keburukan orang. Ia laksana gergaji yang memotong kehormatan atau seperti lalat yang suka bertengger pada bagian yang luka.
Setiap manusia memiliki kesalahan. Namun peng-ghibah suka mengumpulkannya. Ia suka memperhatikan orang-orang. Ia tidak senang dengan kesuksesan orang. Dirinya sakit. Melihat orang dengan pandangan buruk. Yang terlihat hanya aib dan kekurangan orang.
Namun sebagian lagi memiliki hati yang bersih. Ia selalu berusaha memaklumi saudaranya. Ia melihat pada sisi-sisi positif dari kehidupan mereka dan kepada akhlak mereka yang mulia. Ia memuji sisi tersebut.
Nah, orang yang suka berghibah tadi datang kepada ar-Rabi ibn Khutsaym. Mendengar hal itu a-Rabi berujar, “Engkau sudah berperang dengan Romawi?”
“Belum,” jawabnya.
“Engkau sudah berjihad melawan Persia?” tanyanya lagi
“Belum.” jawabnya
“Romawi dan Persia selamat darimu, sementara saudaramu sendiri sesama muslim tidak selamat dari lisanmu?!”

Kisah Hikmah: Syar’iat-Mu lah yang Benar Ya Rabb

Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
 
Abdullah adalah hamba Allah yang beruntung, ia sosok seorang muslim yang gigih dalam bekerja. Karena kegigihannya Allah menjadikanya seorang yang kaya raya, kebahagiaan Abdullah semakin lengkap karena ia dikaruniai beberapa orang anak yang sehat tanpa cacat.
Abdullah mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan, segala apa yang diinginkan mampu untuk ia hadirkan, karena memang ia mampu untuk memilikinya. Ia sangat mencintai anak-anaknya, karena mereka anak-anak yang rajin juga berbakti kepadanya.
Di usia senjanya, Abdullah merasa senang karena anak-anaknya dengan sukarela bergantian merawatnya. Setiap hari mereka bergantian datang ke rumah sang ayah untuk memberikan pengabdiannya. Abdullah sangat senang dengan bentuk pengabdian yang diberikan oleh anak-anaknya, ia pun berencana memberikan hadiah yan sangat spesial kepada anak-anaknya.
Setelah berpikir, akhirnya Abdullah berencana membahagiakan anak-anaknya dengan cara membagikan seluruh harta yang dimilikinya sebelum kematiaannya, agar kelak anak-anaknya tidak ribut soal pembagian hartanya.
Abdullah sadar dan paham, bahwa syari’at agama mengatur pembagian harta warisan setelah kematian namun, karena kecintaan yang besar kepada anak-anaknya maka Abdullah tetap membagikan seluruh hartanya kepada anak-anaknya sebelum kematiannya.
Tibalah hari, dimana Abdullah mengumpulkan semua anak-anaknya dan kemudian membagiakan seluruh hartanya kepada mereka. Di hari itu pula Abdullah berwasiat agar mereka tetap akur dan bersedia menjaga ayahnya.
Setelah pembagian harta dilakukan, ternyata semuanya berubah, anak-anak yang tadinya silih berganti merawat sang ayah, kini satu persatu mulai enggan meneruskan pengabdiannya, harta yang telah dibagikan satu persatu mulai diambil dan diganti kepemilikannya, bahkan hingga akhirnya yang sangat menyedihkan adalah salah seorang anak mengusir sang ayah dari rumahnya sendiri karena sang anak menganggap bahwa rumah tersebut sudah diberikan kepadanya dan rumah itu akan ia jual.
Abdullah pun mengisi hari-harinya dengan kesedihan dan penderitaan, ia heran dan sempat tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh anak-anaknya kepadanya setelah semua harta yang dimilikinya dibagikan kepada mereka.
Abdullah menangis dan menyadari bahwasannya syari’at Allah-lah yang benar dan sempurna, ia pun menyesal telah melanggar syari’at dengan membagikan harta warisan sebelum kematian. Ia menyesal, sangat menyesal.
Ibrah :
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya segala peraturan kehidupan yang telah Allah tetapkan itu amatlah tepat buat kita, meskipun terkadang kita belum tahu apa hikmah dibalik ketetapan yang Allah berikan. Maka terimalah ketetapan Allah dan jalanilah apa yag telah Allah tetapkan buat kita semua.
* Kisah nyata terjadi dinegeri Arab, berdasarkan penuturan syaikh DR. Muhammad Shofa (Dosen Tafsir LIPIA asal Saudi Arabia)
**Abdullah bukan nama sebenarnya
ed : danw