Muhammad saw adalah Rahmat

Berkata Ibnu Abbas, “Nabi Muhammad saw adalah rahmat bagi setiap manusia, maka siapa membenarkannya kan bahagia. Al Qurthuby menambahkan, “Bahkan yang tak beriman tetap selamat dari pembenaman yang terjadi daripada umat sebelumnya.”
Suatu sang Nabi meminta memohonkan ampun kepada orang munafik. Allah swt berfirman, “Orang munafik itu, kau mintakan ampun atau tidak sama saja. Kau mintakan ampun 70 kalipun Allah takkan mengampuni mereka.” Kemudian sang Nabi memohonkan ampun lebih dari 70 kali.
Sebab jika 70 kali belum diampuni, maka jika lebih dari 70 kali semoga Allah ampuni. Maka langitpun takjub pada kemuliaannya dan Allah mengirimkan pujian. Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar diatas akhlak yang agung.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Untukmu Kader Dakwah : Ukhuwah

Oleh: KH. Rahmat Abdullah
 
Arti al ukhuwah yang dimaksud disini adalah
Agar seorang aktifis dakwah menggabungkan antara hati dan ruh dengan tali aqidah, sementara aqidah itu sendiri merupakan tali yang paling kuat dan paling mahal. Ukhuwah (persaudaraan) adalah saudara (teman) seiman, sementara perpecahan itu saudara kekafiran. Kekuatan yang pertama adalah kuatnya persatuan dan kesatuan.
Tak ada persatuan bila tak ada cinta kasih. Sedangkan derajat cinta yang paling rendah adalah hati yang selamat dari buruk sangka kepada muslim lainnya, dan paling tinggi adalah itsar, yaitu mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan pribadi.

(Hasan al Banna)

Suara merdu persaudaraan sepatutnya didominasi oleh nuansa bening. Serendah-rendahnya bermuatan kelapangan hati dan setinggi-tingginya itsar; memprioritaskan saudara melebihi diri sendiri. Ada hamba Allah bukan nabi bukan syuhada, namun menjadikan iri para nabi dan syuhada.
Mereka orang-orang yang saling mencintai dengan Ruh Allah, bukan karena hubungan sedarah atau kepentingan memperoleh kekayaan. Demi Allah, wajah-wajah mereka cahaya. Mereka takkan merasakan ketakutan ketika banyak orang ketakutan dan tdak akan bersedih bila umat bersedih”. (H.R. Ahmad)
Bersaudara dalam Senang dan Susah
Belakangan, sosok jamaah dengan sejumlah prestasi gemilang justru menjadi pengunjung tetap penjara (zuwwarus sijn). Mereka telah menata siapa yang lebih banyak hafalan Al Qur’an, kuliah penjara atau program lainnya, tambahan bahasa asing. Sehingga mereka keluar penjara dengan hafalan Al Qur’an dan selesai dengan berbagai strata mata kuliah. Kamar sesak tak jadi soal. Yang tidur belakangan merelakan pangkuan menjadi bantal bagi saudaranya.
Banyak orang mengira mampu menghancurkan mereka dengan cara melontarkan fitnah kedalam shaf. Serangan fisik dan penghancuran sebagai sarana. Mungkin kepala dapat terpisah dari jasad namun, ukhuwah tetap kokoh dan abadi, tak terkeruhkan oleh keterbatasan sifat-sifat kemanusiaan.
Ukhuwah yang Jujur dan Benar
Banyak orang bersaudara karena kesatuan suku, usaha, partai, ormas dan jamaah. Tidak sepatutnya ukhuwah Islamiyah dibatasi oleh tembok-tembok rapuh. Karenanya membicarakan keburukan orang lain (ghibah), membawa berita permusuhan (namimah), serta memata-matai orang (tajassus) tidak serta merta menjadi halal, hanya karena mereka bukan saudara seorganisasi. Siapapun mereka dalam ikatan iman telah memiliki kesakralan ukhuwah yang pantang dinodai.
Abdullah bin Amr kecewa karena pengintaiannya beberapa malam dirumah seorang calon penghuni surga gagal total. Karena ia tak menemukan ibadah-ibadah unggulan pada saudaranya tersebut. Namun ia sangat terhibur ketika lelaki sederhana itu mengatakan “Yang selalu kujaga ialah tak pernah menutup mata untuk tidur sebelum melepaskan perasaan tak baik terhadap sesama muslim”.
Dalam kekalahan perang unta melawan Ali bin Abi Thalib ra, seseorang mencerca Aisyah ra. Namun Ammar bin Yasir ra sebagai panglima Ali, membela Aisyah. “Diam kau wahai si buruk laku. Akankah kau sakiti kecintaan Rasulullah SAW. Aku bersaksi bahwa ia adalah istri Rasulullah di surga. Ibunda Aisyah telah memilih jalannya dan kita tahu ia adalah istri Rasulullah SAW. Akan tetapi Allah telah menguji kita dengannya agar ia tahu apakan kepada-Nya kita taat atau kepadanya.”
Ketika Imam Ali bin Abi Thalib ditanya apakah lawan-lawan politiknya itu musyrik? Jawabnya: “Justru dari kemusyrikan mereka berlari.” Tanya lagi: “Jadi siapa mereka itu?” Jawabnya: “Mereka ikhwan (saudara) kita walau berontak kepada kita”
Zaid bin Tsabit pernah berbeda pendapat yang tajam dalam suatu masalah. Namun mereka akur. Ibnu Abbas ra menuntun kendaraan Zaid bin Tsabit. “Tidak usahlah wahai paman Rasulullah” pinta Zaid. “Demikianlah kami diperintahkan menghormati ulama dan pembesar kami”, jawab Ibnu Abbas. Kemudian Zaid mencium tangannya. “Begitulah kami diperintahkan terhadap Ahli bait Rasulullah” ujar Zaid.
Saudara dan Persaudaraan
Arrabi’ Al Aslami dari generasi gemilang sahabat Rasul dipersilahkan mengajukan permintaan. Apa jawab Arrabi? “Kuminta agar dapat tetap menemanimu di surga” sahutnya.
Hasan al Bashri dengan kesederhanaan hidup dan ketajaman pandangannya berujar: “Tak ada yang tersisa dari kehidupan kecuali tiga:
Pertama, saudara (akh)-mu yang dapat kau peroleh kebaikan dari bergaul dengannya. Bila engkau tersesat dari jalan lurus ia akan meluruskanmu.
Kedua, shalat dalam keterpaduan, engkau terlindung dari melupakannya dan meliput ganjarannya
Ketiga, cukuplah kebahagiaan hidup bila engkau tak punya beban tuntutan seseorang yang harus kau tanggung di hari kiamat”.
Syair dari Imam Syafii ra :
Sahabat yang tak berguna saat datangnya derita
Nyarislah seperti seteru lainnya
………………..
Selamat tinggal dunia
Bila tak ada lagi teman sejati
Yang jujur, tepat janji dan saling mengerti
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Dakwatuna, KH Rahmat Abdullah
 

Untukmu Kader Dakwah : Tajarrud

Oleh : KH Rahmat Abdullah
 
Makna at tajarrud bagi kami adalah
Agar anda membersihkan fikrah anda dari segala pengaruh dasar-dasar hidup dan sosok pribadi orang-orang selain fikrahmu, sebab ia paling tinggi dan paling komplit dari yang lainnya.
Firman Allah :
“Celupan Allah dan siapakah yang paling baik celupannya dari Allah?” (Q.S. Al Baqarah : 138)

(Hasan al Bana)

Siapapun yang telah berazam menjadikan jihad dan dakwah sebagai jalan hidupnya lalu berfikir dapat keluar dari kesibukannya untuk sejenak mengambil nafas, maka itu adalah benih penyesalan. Sikap menghindar dari pengorbanan terkadang mengalahkan totalitas (tajarrud) sebagai kemutlakan sikap dakwahnya. Kelezatan berkurban yang seharusnya jadi impian setiap dai seyogyanya dapat diraih langsung dari mujahadah (usaha keras), qanaah (rasa penerimaan) dan ridha menghadapi segala cobaan dijalan dakwah.
Kalau ada sesuatu yang sangat menyita perhatian dan menuntut pengorbanan, itulah cinta. Tak ada bukit yang cukup tinggi, tak ada lautan yang cukup dalam, tak ada luka yang cukup pedih bila cinta kekasih telah memenuhi seluruh relung hati.
Medan Dakwah yang Keras
Dakwah telah dikenal bertabiat “thuulu’t thariq, katsratu’aqabat, wa qillatur rijal” (jalanannya panjang, hambatannya banyak dan tokoh pendukungnya sedikit). Bila da’inya bermental ayam negeri yang tak tahan angin, maka kiamat dakwah sudah terdengar serunainya.
Sedikit diantara mereka yang berjalan di atas permadani, makan dari roti lembut dan tidur  nyenyak diatas sutera, namun  mampu mengubah dunia dengan perjuangan yang keras dan sungguh-sungguh. Pilihan hanya satu yaitu tauhid atau syirik maupun taat atau maksiat.
Ketika pembebasan terjadi, seorang aktifis dakwah hanya punya satu pilihan yaitu dakwah atau tidak sama sekali. Ketinggian adab mereka kepada Allah sampai membuat mereka merasakan malu kepada-Nya untuk berfikir, bertindak atau berkhayal di luar syariah. Mereka orang dengan langkah berderap di bumi sedang jiwa mereka melayang di langit.
Tajarrud dan Fanatisme Buta
Tak ada manfaat keyakinan dakwah yang penganutnya ragu-ragu memasyarakatkan dan membelanya. Kadang seorang kader menjadi gamang diserang tuduhan fanatik, sekretarian atau fundamentalis. Padahal penuduh itu sendiri tak mengerti ucapan yang mereka bunyikan. Dengan kejernihan mata hati (bashirah), ketajaman argumentasi dan pertanda-pertanda yang tak dapat diragukan seharunya mereka maju karena para pembela kebatilan membelanya dengan yakin, bangga dan penuh percaya diri.
Tajarrud dalam istilah dakwah adalah totalitas memberi ruang seluas-luasnya bagi para da’i untuk berkiprah. Ia harus menjadi orbit dan kutub memimpin lingkungan dalam gerak keabadian ibadah. Inilah yang dilakukan Khalifah pertama Abu Bakar Shiddiq ra. Dalam surat Ali Imran ayat 44 yang dibacakannya merupakan sesuatu untuk mengingatkan hakikat kehidupan. Betapa Muhammad SAW itu tetaplah seorang manusia yang ada batas hidupnya. Namun lebih dari itu, ayat tersebut bermakna risalah tak boleh berhenti. Aspek pemerintahan, peradilan, dan berbagai tugas yang diperankan Rasulullah SAW tetap harus jalan.
Sang Desertir
Ketika seorang santri, kyai atau da’i mulai menjalani dakwahnya dengan perasaan jenuh, syetan mulai menyusupkan lupa akan tabiat dakwahnya. Selanjutnya akan kehilangan rasa santun, kasih sayang, baik sangka dan empati. Lihatlah kisah Bal’am (dalam Q.S. Al Araf: 175-176) yang kisahnya ia tak beroleh manfaat apapun dari ilmunya yang banyak.
Maka mulialah ahli Madinah, dimana kaum anshar mencintai saudara mereka sendiri kaum Muhajirin sebagai bukti dakwah yang hakiki. Belum lagi sang Rasul berhijrah ke negeri mereka, setiap rumah Madinah sudah rata memiliki banyak penghuni muslim. “Fi kulli duri’i anshar khair” setiap rumah Anshar selalu ada kebajikan, demikian pesan Rasul.
Salman al Farisi tak kehilangan tajarrudnya dengan mengusulkan taktik pertahanan Khandaq. Benteng galian yang biasa dibuat bangsanya di tanah Persia.
Ummu Salamah juga tetap dalam keutuhan tajarrud-nya, ketika menceritakan patung-patung yang dilihatnya di negeri Habasyah dengan cita rasa seninya yang tinggi. Begitupun Rasulullah SAW tak meragukan keimanan Umar bin Khattab yang membawa selembar Taurat dari teman yahudinya.
Sehingga pendidikan tajarrud yang kita dapatkan dari berbagai peristiwa sejarah telah mengantarkan kita betapa aspek ini tak dapat disikapi ringan apalagi main-main.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah
 

Untukmu Kader Dakwah : Ats Tsabat

Oleh: KH. Rahmat Abdullah
 
Yang dimaksud ats tsabat disini adalah
Tetaplah anda sebagai aktifis dakwah yang selalu aktif berjuang pada jalan yang ditujunya walaupun masanya panjang bahkan sampai bertahun-tahun, sampai nanti bertemu Allah Rabbul ‘Alamin dalam kondisi seperti itu, dengan meraih salah satu dari dua kebaikan berhasil mencapai tujuan atau meraih syahadah pada akhirnya. Firman Allah SWT :
“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka adapula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tak mengubah janjinya.” (Q.S. Al Ahzab: 23)
Waktu bagi kami merupakan bagian dari solusi, sebab jalan dakwah itu panjang dan jauh jangkauannya serta banyak rintangannya. Tapi semua itu adalah cara untuk mencapai tujuan dan ada nilai tambah berupa pahala dan balasan yang besar serta menarik.

(Hasan al Banna)

Teguh adalah nafas rijalul haq sepanjang zaman bagi para pejuang kebenaran. Ia adalah nafas al khalil Ibrahim as yang selalu segar dan berenergi bahkan pun ketika sedang terpelanting. Baik Al Hajjaj, Jenderal Graziani, Van Mook, Magellan dan para pengecut sejenis mereka telah menderita kekalahan berabad-abad dibanding kehadiran Sa’id bin Jubair, Umar al Mukhtar, Diponegoro, Muhammad Toha, dan para teguh lainnya yang memandang dunia dengan ringan saat pedang algojo, tali gantungan, sel penjara, pengasingan, dan lautan api menanti mereka.
Ibnu Taimiyah berkata, “Bila mereka penjarakan aku, maka mereka beri aku cuti. Bila mereka buang aku, maka mereka beri aku rekreasi. Dan bila mereka bunuh aku, maka mereka istirahatkan aku.”
Abadi, yang Teguh Karena Dia yang Abadi
Selalu saja ada kalimat tak tertulis yang meneguhkan hati pejuang. Imam Ahmad bin Hambal berfikir tentang seorang rekan sepenjaranya yang tentulah datang dengan sebab berbeda. “Kalaulah dia datang-pergi ke penjara dengan cambukan sejumlah puluhan ribu kali karena sebab kriminalitas. Mengapa aku harus takut berteguh di dalam dakwah, padahal ia terus berbuat amalan ahli neraka dan aku beramal amalan ahli surga?”
“Wahai Imam, anda punya keluarga. Cukup bagimu untuk mengiyakan kepada penguasa bahwa Al Qur’an ini memang makhluk” saran beberapa murid Imam Ahmad
“Tolong lihat, apa yang ada diluar penjara ini. Mereka adalah rakyat Baghdad dengan pena dan kertas di tangan yang menunggu setiap kalimatmu. Nah, apakah pantas aku selamat sendirian, dan mereka semua jadi sesat” Jawab Imam Ahmad dengan teguh
Sikap taqwa dan teguh tak hanya berdampak baik bagi pelakunya, tetapi juga bagi rakyat. Saat sang Imam Ahmad lewat dalam tangan terbelenggu, ditanya seorang perempuan, “Apakah halal menggunakan cahaya obor tentara untuk menjahit pakaian kami?” Sang Imam terharu dan mengetahui perempuan itu adalah saudari Bisyr al Hafi, seorang yang sangat zuhud.
Seorang yang teguh tidak hanya yakin kerjanya benar, seperti yakinnya Ummi Musa yang mantap melarung bayinya (Nabi Musa as) karena taat dan yakin kepada perintah dan janji Allah.
Langkah – Langkah Peneguhan
Keteguhan itu didapat dengan muayasyah (berinteraksi) dan terjun langsung di dunia nyata, dunia para Rasul dan pewaris para Rasul. “Dan masing-masing kami kisahkan kepadamu dari berita besar para Rasul, hal yang dengan itu Kami teguhkan hatimu …” (Q.S. Al Hud: 120)
Pada akhirnya terkait dengan keteguhan seorang da’i apakah ia tetap berada pada gelombang Rasul atau menerima tekanan gelombang lain yang mengalahkannya. Gelombang yang berubah itu menjelaskan tidak ada tsabat dan keteguhan walau berapa ratus jilid kitab Tarikh dibaca dan dihafal.
Perlu kesetaraan sifat dan sikap untuk dapat memahami prinsip kaum teguh dalam tsabat (tegar) dan sabar mereka. Perlu keteguhan untuk sampai pada saatnya masyarakat memahami kiprah da’i yang sesungguhnya, jauh dari prasangka mereka yang selama in terbangun oleh kerusakan perilaku dakwah sebagian kalangan.
Nabi Sulaiman mengoreksi faham yang salah dari Ratu Bilqis, bahwa selalulah orang lain merusak dina  negeri orang kecuali para raja. Atau Dzulqarnain yang menolak anggapan bahwa penguasa harus dilayani dan dibayar. Kaum teguh harus bersabar atas anggapan bahwa perjuangan mereka dibayar, cita-cita mereka di setir dan tujuan mereka dunia yang karenanya tak ada yang tabu. Sogok, suap, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, fitnah, pemutar balikan fakta mereka halalkan, tak peduli bendera apa yang mereka kibarkan: demokrasi, ke-kiyai-an, ataupun HAM.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah
 

Untukmu Kader Dakwah : At Tho'ah

Oleh : KH Rahmat Abdullah
 
Yang dimaksud dengan at tho’ah disini adalah
Melaksanakan  sekaligus menjalankan perintah tanpa reserve (menunda) baik dalam kelapangan maupun dalam kesempitan, dalam suka maupun duka

(Hasan Al Bana)

Di negeri yang malang ini, sikap ekstrem terdiri atas ifrath (keras berlebihan) dan tafrith (lunak berlebihan). Ada orang yang meletakkan akal teronggok begitu saja tanpa kerja. Karenanya seringkali kita temui para pemimpin yang ingin mengambil keuntungan besar, harus menyemai benih-benih kebodohan dan menyikapi langkah pencerahan seseorang sebagai hama yang akan menggagalkan panen mereka.
Sementara sudut ekstrem lawannya membayangkan taat dengan dalil “La tha’ata limakhluqin fi ma’shiyatil Khaliq” (Tidak boleh taat kepada makhluk yang bermaksiat kepada Al Khaliq). Dengan sarat beban duka, kepedihan dan trauma otoriter mereka gunakan dalil tersebut mereka gunakan untuk menolak keputusan syuro jamaah karena tak sejalan dengan persepsi atau ambisi pribadi. Atau mengecam dengan keras perintah seorang pemimpin yang sah karena kesalahan atau maksiat pribadinya.
Betapa selamat umat, komunitas, atau bangsa yang mau berlapang hati untuk mengorbankan kemauan, pandangan dan persepsi pribadinya saat mereka bertentangan dengan sang pemimpin. Lebih beruntung mereka yang tunduk dalam keputusan syura, bahkan sekedar menjalankan perintah seorang pemimpin.
Bangga dalam Taat
Kalaulah mereka tahu kelezatan sebuah ketaatan, sebagaimana seorang Abu Ubaidah Amir bin Jarrah. Sepanjang karirnya sebagai da’i dan panglima tak satupun perintah atasan ditentangnya baik kepada Rasulullah, khalifah Abu Bakar ataupun Umar. Tak satu kata protes disimpannya di hati apalagi di ungkapkan kepada Rasulullah.  Bahkan ketika Rasul menugaskan Abu Ubaidah membawa pasukan ke medan berat hanya dengan bekal sekantung makanan, yang dihitung-hitung setiap prajurit hanya mendapat sebutir sehari untuk makan pagi, siang dan malam.
Berapa Ibnu Atban memenuhi panggilan jihad ketika dia sedang bersama istrinya. Sampai-sampai Rasulullah mengatakan :”Saya telah membuatmu tergesa-gesa wahai saudaraku”.  Taat sebagai sebuah Wala’ (loyalitas) dalam Tarbiyah yang akan memunculkan thaqatu’t taghyir (kekuatan daya ubah) yang  luar biasa. Salah satu pengakuan Rasulullah atas ketaatan perempuan Madinah ialah sikap mereka spontan menyambar apa saja untuk menutupi aurat karena turunnya ayat hijab. Begitupula ketika para penduduk Madinah menerima informasi larangan tuntas meminum khamar, mereka langsung menumpahkan khamr-khamr.
Banyak orang yang mengira, ketaatan hanya ada kepada Rasulullah SAW dan belum tentu untuk masa para sahabat, tabiin atau pemimpin muslim biasa. Ternyata sampai zaman Umar, seorang Abu Ubaidah tetap setia seperti gelar yang diberikan Rasulullah. Sabda beliau : “Setiap umat punya orang kepercayaan (amiin) dan orang kepercayaan umat ini Abu Ubaidah”. Ali tetap mengutus putera-puteranya untuk menjaga khalifah Ustman dari serangan kaum bughat. Hakim (qadhi) Cordova tetap meminta syarat kepada Sultan bila ia tetap ingin menjadi khatib jumat.
Sultan menangis oleh pesan-pesan yang mendalam, ikhlas, dan berani. “Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan apabila kamu menyiksa maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku” (Q.S. Asy Syuara : 128-131)
Pemerintahan Abu Bakar yang singkat adalah pembuktian ketaatan Islami, bukan sekedar suatu pergantian kekuasaan menyusul wafatnya sang Rasul SAW. Alangkah sadarnya generasi hari ini untuk seimbang kepada daya kritis yang tidak menafikan ketaatan dan loyalitas yang tetap memelihara kesuburan daya kritis.
Ketaatan dan Daya Sambut (Istijabah)
Hakikat ketaatan ialah kepada Allah, Rasul-Nya dan sesama orang beriman. Bila ketaatan itu terwujud dalam hubungan antara makhluk berupa rakyat dengan pemimpin, maka keikhlasan adalah hal yang paling dominan sehingga ketaatan itu dapat bernas. Sahabat Saad bin Abi Waqash telah memerankan hal tersebut dengan baik. Kecintaannya kepada ibunya tak membuat imannya luluh sekalipun sang ibu telah mogok makan (dan akhirnya berhasil menyadarkan dan membuatnya beriman kepada Allah).
Sudah sepatutnya doa mustajab Rasulullah menjadi haknya. “ Ya Allah, tetapkanlah bidikannya dan kabulkan doanya”, demikian doa beliau. Sampai-sampai menahan diri dari menyumpahi orang karena fitnah yang dilancarkannya. “Ya Allah, jika hamba-Mu ini dusta, maka panjangkanlah umurnya dan panjangkanlah miskinnya”.
Seorang Umar Tilmisani pengacara muda yang necis dan lembut berusaha menjadi murid yang taat dan menyesuaikan diri dengan gurunya Al Bana dalam berkorban, hidup sederhana dan berani. Tak ada kekuatan pemerintahan yang membuatnya takut berkata benar dan tak ada penghinaan yang membuatnya kehilangan kesantunan.
Suatu hari disebuah acara resmi yang disiarkan di media cetak dan elektronik Presiden Anwar Sadat menyerang jamaahnya dengan tuduhan keji dan tak mendasar; separatis dan berbagai tuduhan batil. Dengan tenang syaikh Tilmisani menjawab: “ Hal yang lumrah bila aku dizalimi oleh siapapun untuk mengadukanmu kepada Allah sebagai tempat bernaung kaum tertindas. Sekarang aku mendapatkan kezaliman darimu, karenanya tak ada kemampuan bagiku selain mengadukanmu kepada Allah.”
Spontan Sadat gemetar, ngeri dan mengiba-ngiba agar Syaikh menarik pengaduannya kepada Allah. Dengan tegas, tenang dan kuat Syaikh menjawab: “Aku tak mengadukanmu kepada (penguasa) yang zalim. Aku mengadukanmu hanya kepada Tuhan yang adil yang mengetahui apa yang kukatakan”. Itulah pengalaman dihari-hari terakhir hayatnya. Sadat menyerang seorang pemimpin dan mursyid jamaah, sebelum kematian yang perih membungkamnya.
Mustahilkah jaman kini dari istijabah yang menyuburkan hidup para kader dan aktifis dari kucuran doa para masyaikh dan pemimpin atas pribadi-pribadi ataupun kelompok? Ataukah para pembangkang dan kaum arogan telah siap menerima limpahan yang akan menenggelamkan mereka karena kerontang ketaatan di hati mereka? Sebagai pewaris nabi, para ulama dan masyaikh tak akan mengutuki pengikutnya.
Referensi:
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Da’watuna, KH Rahmat Abdullah

X