by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | Apr 21, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Klausul ini tidak mencakup kaum wanita, hingga banyak wanita mukmin yang datang dan berhijrah termasuk Ummu Kultsum binti Uqbah ra. Sebenarnya keluarga Ummu Kultsum ra. meminta kepada Rasul untuk mengembalikan putri mereka, namun Rasul menolak permintaan mereka. Penolakan ini juga disebabkan turunnya ayat Al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Berdasarkan ayat tersebut, Rasulullah memastikan kembali apakah para wanita mukmin itu benar-benar hijrah karena Allah, Rasul dan Islam? Jika iya, maka Rasulullah tidak akan mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir .
Ummu Kultsum ra. pun menceritakan sendiri pengalaman pribadinya ketika hijrah, “Aku suka pulang pergi ke kampung pedalaman yang disana tinggal beberapa keluargaku. Aku menginap disana selama tiga atau empat malam. Kampung itu terletak tidak jauh dari Tan’im. Setelah menginap, aku kembali lagi kepada keluargaku, sehingga mereka tidak curiga dengan kepergianku ke kampung itu. Hal itu terus aku lakukan sampai aku benar-benar bertekad untuk meninggalkan Makkah. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah. Setibanya disana aku langsung menuju ke rumah Ummu Salamah. Pada saat itu ia tidak mengenaliku karena aku menggunakan cadar. Setelah aku buka cadarku, ia mulai mengenaliku.
Ummu Salamah berkata, “Engkau telah berhijrah karena Allah dan Rasulullah”. Aku membalas, “Benar, masalahnya aku takut Rasulullah akan mengembalikanku kepada keluargaku karena aku telah berhijrah. Apalagi aku sudah meninggalkam rumah berhari-hari.”
Tidak lama kemudian Rasulullah datang dan masuk kedalam rumah Ummu Salamah. Ummu Salamah pun langsung memberitahu keberadaan Ummu Kultsum ra.
Rasulullah saw begitu senang dan hangat menyambutnya. Lalu Ummu Kultsum ra. mengatakan, “Sesungguhnya aku telah melarikan diri dari Quraisy untuk menyelamatkan agamaku, maka pertahankanlah aku dan jangan engkau kembalikan kepada mereka, karena mereka selalu menyiksaku dan menghalangi keagamaanku. Aku tidak tahan lagi terhadap penyiksaan mereka. Aku hanyalah seorang wanita dan engkau mengetahui kelemahan wanita untuk membela dirinya”.
Pernikahan yang Penuh Berkah
Setelah hijrah yang penuh berkah dan penuh pengorbanan karena harus meninggalkan keluarga dan tempat kelahirannya demi meraih ridha Allah SWT, Ummu Kultsum ra. pun bahagia tinggal di Madinah.
Selama tinggal di Makkah, Ummu Kultsum belum menikah, hingga setibanya di Madinah ia dinikahi oleh Zaid bin Haritsah ra, tetapi kemudian ia menceraikannya.
Setelah itu, Abdurrahman bin’Auf ra. melamar dan menikahinya. Pasangan ini dikaruniai dua orang putera, yakni Ibrahim dan Humaid. Setelah Abdurrahman bin ‘Auf meninggal, ‘Amr bin Al-‘Ash ra. melamar dan menikahinya, namun tidak lama kemudian Ummu Kultsum ra. meninggal dunia.
Itulah gambaran tentang kehidupan rumah tangga Ummu Kultsum ra. Ia pindah dari satu lingkungan yang penuh dengan nuansa imani menuju lingkungan imani yang lainnya hingga tiba masa yang dikehendaki Allah sebagai batas ajalnya. Hingga ia meninggalkan hirup pikuk dunia ini.
Selama perjalanan hidupnya ia tak lepas dari bimbingan Al-Quran dan Sunnah hingga masa kepergiannya dari dunia ini. Meskipun jasadnya tak lagi ada, namun riwayat hidupnya masih terasa segar dan tetap akan diriwayatkan dari generasi ke generasi sebagai cahaya yang menerangi perjalanan hidup mereka.
Semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat persinggahan terakhir baginya.
Semoga banyak hikmah terbaik yang bisa kita petik.
Aamiin Allahuma Aamiin..
Referensi:
35 Sirah Shahabiyah jilid2, Mahmud Al Mishri
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | Apr 16, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).
Keridhaan Allah dan Rasul-Nya, adalah keutamaan bagi seorang mukmin dari segalanya melebihi kecintaan terhadap anak, orang tua, dan seluruh manusia.
Inilah yang ditunjukkan oleh seorang sahabat wanita agung yang merasakan besarnya nikmat Islam dan menyadari keberadaan dirinya dibawah naungan agama yang mulia ini.
Ummu Kultsum binti ‘Uqbah adalah nama sahabat wanita yang agung ini. Ia mencari cahaya yang dapat menuntunnya pada ketenangan dan kebahagiaan. Lalu Allah memberikan cahaya Islam padanya. Ia memeluk Islam dan berbaiat, namun dia tidak bisa hijrah hingga tahun 7 hijriyah, karena selama masa itu ia masih berada dibawah pengawasan kedua orang tuanya yang kafir sehingga ia baru bisa meninggalkan Makkah setelah perjanjian Hudaibiyah.
Sebesar apa peran kedua orang tuanya yang kafir sehingga membuat wanita yang agung ini terhambat untuk berhijrah?
Ayahnya adalah seorang kafir Quraisy yang bernama ‘Uqbah bin Abu Mu’aith. Ia tewas pada saat Perang Badar. Ia adalah orang yang sangat membenci Allah SWT dan Rasulullah saw. Bahkan pernah suatu hari ketika Rasul sedang bersujud, Uqbah menginjakkan kakinya ke leher Rasulullah saw. Pernah juga ia membawakan plasenta domba dan menaruhnya diatas kepala Rasulullah ketika ia sedang dalam keadaan sujud. Sampai akhirnya Fatimah datang untuk membersihkannya dari kepala Rasulullah saw.
Akibat dari perbuatannya itu, Rasulullah saw menyuruh untuk memancung ‘Uqbah, ‘Uqbah berkata “Wahai Muhammad, apakah engkau hanya membunuhku dari sekian banyak orang Quraisy yang ditawan?” Rasulullah saw menjawab,”Ya, karena perbuatan yang telah kamu lakukan terhadapku.”
Ibnu Hisyam menyatakan, “Orang yang memancung Uqbah adalah Ali bin Abu Thalib. Keterangan ini disampaikan oleh Az-Zuhri dan ulama- ulama lainnya. (Al-Bidaayah wan Nihaayah, vol.3 hlm.6).
Kini Uqbah telah terhempas ke dalam onggokan sampah sejarah. Hina diatas kekafiran dan kesombongannya serta kedengkiannya terhadap Islam dan Rasulullah saw.
Itu sekelumit tentang ayah dari seorang shahabiyah yg mulia, Ummu Kultsum binti Uqbah.
Hijrah yang Penuh Berkah
Tak gentar hatinya mendekat dengan Islam sekalipun ayahnya telah mati dalam kekafiran.
Pada saat Perjanjian Hudaibiyah terjadi, salah satu klausul yang diajukan oleh Suhail bin Amr yang menjadi syarat perjanjian dengan Nabi saw adalah “Jika ada seorang dari golongan kami (Quraisy) datang kepadamu, meskipun dia telah memeluk agamamu, maka engkau harus mengembalikannya kepada kami. Dan engkau tidak boleh ikut campur dengan segala tindakan yang kami lakukan kepadanya.”
Sebenarnya kaum muslim tidak setuju dengan klausul tersebut. Namun, Suhail bersih keras akan klausul yang ia ajukan tersebut, hingga akhirnya Rasulullah saw bersedia menerimanya.
Akibatnya, pada hari itu Nabi saw harus memulangkan Abu Jandal kepada ayahnya, Suhail bin Amr. Begitupula semua laki-laki yang datang dan ingin bergabung bersama Rasulullah saw. Mereka semua ditolak dan dikembalikan lagi kepada kaum Quraisy, meskipun telah masuk Islam. *bersambung
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | Jan 7, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh : Lia Nurbaiti
Manusia yang hidup tanpa iman ibarat bulu yang melayang oleh hembusan angin. Ia tidak pernah tetap dan tenang, melainkan membawanya. Orang yang hidup tanpa iman tidak akan memiliki arti ataupun akar yang mengokohkannya. Hidupnya selalu dipenuhi rasa gelisah, gundah, bingung dan tidak memiliki tujuan hidup dan tidak pula mengerti untuk apa ia hidup.
Kehilangan iman seperti manusia yang hidup namun sesungguhnya ia sudah mati.
Bukankah sesungguhnya iman itu adalah cahaya, iman itu adalah penolong, iman itu adalah sesuatu yang merubah kehidupan dan hati seseorang menjadi mulia.
Seorang Wanita Penyair Terbesar
Pada zaman Rasulullah SAW ada seorang sahabat wanita agung yang ditempa dengan berbagai macam ujian dalam hidupnya. Sehingga ia mampu menjadi sahabat wanita yang tangguh dan penuh hikmah. Ia adalah Al-Khansa. Wanita yg memiliki nama asli Tumadhar binti A’mr bin Syuraid bin Ushayyah As-Sulamiyah. Ia sangat terkenal sebagai wanita mulia lagi pandai sebagai penyair.
Kesedihan Al-Khansa atas Kematian Saudaranya
Al-Khansa begitu sedih ketika saudara kandungnya yakni, Muawiyah bin Amr meninggal. Tapi kesedihannya tidak lebih sedih dari saudara kandung dari ayahnya yang bernama Shakhr. Shakhr terluka tertusuk pada saat berperang melawan Bani Asad, hingga ia terluka sampai pada akhirnya Shakhr meninggal. Dan inilah yg menjadi titik awal Al Khansa menuliskan dan membuat syair -syair dan puisi yang menggambarkan kesedihan yang teramat mendalam atas kepergian saudara-saudaranya.
Sinar Islam Menembus Hatinya
Takdir Allah SWT menghendaki awan iman bergerak di atas Al-Khansa lalu menumpahkan air hujan keimanan ke dalam dadanya, hingga iman menyentuh lubuk hatinya yang terdalam. Al-Khansa menepis debu-debu jahiliyah dan mengusung panji tauhid untuk memberi pelajaran kepada seluruh jagat raya yang tidak akan dilupakan dalam catatan sejarah sepanjang masa.
Al-Khansa ikut dalam rombongan kabilahnya yaitu Bani Sulaiman untuk menemui Nabi SAW dan menyatakan keislamannya. Penyesalan sangat meliputi hati Al-Khansa mengingat masa jahiliyahnya dahulu. Namun, kini Islam telah mengubah dan menempa dirinya menjadi seorang wanita yang berkepribadian kuat yang ia tuangkan juga dalam tulisan-tulisannya.
Sabar dan Tabah dalam Peristiwa Perang Qadisiyyah
Allah menunjukkan rasa sayang-Nya melalui ujian dimana keempat anak Al-Khansa radhiyallahu ‘anha mati syahid dalam perang Qadisiyyah. Tapi inilah wanita mulia, kesedihan yang terjadi atas syahidnya keempat puteranya dalam perang Qadisiyyah telah membuatnya kokoh atas rasa sabar yang diiringi dengan iman dan ketakwaan yang menghujam hatinya.
Al-Khansa hanya berkata, “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah memberiku kemuliaan dengan kematian mereka. Aku berharap, Allah akan mengumpulkanku dengan mereka di tempat limpahan kasih sayangNya.”
Ada sebuah pesan yang ia sampaikan kepada keempat puteranya sehari sebelum mereka mati syahid dalam perang Qadisiyyah. Antara lain sebagai berikut , “Hai putera-puteraku, kalian semua memeluk Islam dengan suka rela dan berhijrah dengan senang hati. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah keturunan dari satu ayah dan satu ibu. Aku tidak pernah merendahkan kehormatan dan mengubah garis keturunan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia yang fana”.
“Putera-puteraku, sabarlah, tabahlah, bertahanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Semoga kalian menjadi orang-orang yang beruntung. Jika kalian melihat genderang perang telah ditabuh dan apinya telah berkobar, maka terjunlah ke medan laga dan serbulah pusat kekuatan musuh, pasti kalian akan meraih kemenangan dan kemuliaan di dalam kehidupan abadi dan kekal selama-lamanya.”
Sungguh perkataan wanita mulia untuk keempat puteranya yang kokoh hati dan imannya dalam memperjuangkan agama Allah.
Saatnya Berpisah
Segala sesuatu yang memiliki titik permulaan akan berakhir. Namun, sungguh indah ketika kehidupan seseorang berakhir pada satu titik yakni keimanan yang manis dan ketakwaan yang kokoh.
Itulah yang dialami oleh Al-Khansa. Ia terbaring di atas kasur kematian setelah merelakan keempat puteranya untuk meraih ridha Allah. Tulus, ketabahan dan kesabaranlah menjadi pengorbanan terbesarnya. Demi menjadi penghuni surga seperti sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang merelakan tiga orang putera kandungnya (meninggal dunia), maka dia akan masuk surga”. Seorang wanita bertanya “Bagaimana jika hanya dua putera?” Rasulullah SAW menjawab, “Begitu juga dua putra.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban dari Anas ra. Al-Albani menyatakan hadist ini shahih dalam kitab Shahiihul Jaami’, no.5969).
Al-Khansa radhiyallahu ‘anha yang telah ditempa luar biasa oleh Islam dan menjadi teladan bagi setiap ibu yang sabar, gigih dalam berjuang dan tegar itu telah meninggalkan kita selama-lamanya.
Semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha, serta menjadikan surga firdaus sebagai tempat persinggahan terakhirnya.
Referensi :
35 Sirah Shahabiyah Jilid 2, Penerbit Al I’tishom, Mahmud Al-Mishri
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | Dec 6, 2015 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Sumayyah binti Khabath adalah seorang hamba Abu Hudzaifah bin Mughirah, seorang tokoh terkemuka di Makkah. Abu Hudzaifah menikahkan Sumayyah dengan Yasir, seorang perantau Yaman yang tinggal di Makkah. Saat Allah mengkaruniakan mereka seorang anak yang diberi nama Ammar bin Yasir, kebahagiaan mereka semakin sempurna ketika Abu Hudzaifah membebaskan Sumayyah dan keluarganya dari statusnya sebagai budak. Namun,tidak lama setelah itu Abu Hudzaifah meninggal dunia. Tidak lama berselang dari itu, mereka bertiga Sumayyah, Yasir dan Ammar bin Yasir menjadi keluarga yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Rasulullah adalah utusan Allah.
Keislaman keluarga Sumayyah terdengar sampai kepada para pembesar Makkah. Saat kaum Quraisy mengetahui Sumayyah sudah memeluk Islam, mereka menyerbu rumahnya. Mereka sekeluarga ditangkap dan dibawa ke depan khalayak untuk disiksa. Sumayyah tidak gentar dengan perlakuan kaum musyrikin Quraisy yang menyiksa dan membunuh siapapun yang diketahui telah memeluk Islam.
“Mereka sudah menyambut ajaran Muhammad walaupun mereka berada ditengah perlindungan pihak Quraisy. Kamu akan menerima balasan karena ingkar terhadap kami,” kata Abu Jahal kepada pengikutnya sambil menarik keluarga Yasir yang terikat ke kawasan padang pasir di luar kota Mekah.
“Kali ini saya tidak akan bebaskan mereka bertiga sehingga mereka mengaku berhala-berhala kita sebagai Tuhan mereka,” tegas Abu Jahal yang mengarahkan tombaknya ke arah keluarga Yasir yang diseret secara kasar oleh pengikutnya.
Mereka berhenti di kawasan yang dipenuhi bongkah batu besar. Yasir, Amar dan Sumayyah ditanggalkan pakaian mereka lalu diikat pada bongkah batu yang panas yang terpapar matahari padang pasir. Kaki dan tangan mereka diikat sangat ketat sehingga tidak dapat bergerak. Abu Jahal, si pembesar Quraisy dan pengikut setianya tertawa melihat penderitaan keluarga itu.
Disana kondisinya sangat terik bahkan mereka dipakaikan pakaian besi sehingga panasnya matahari semakin membuat keluarga Yasir tersiksa. Kaum Quraisy benar-benar kejam memperlakukan keluarga Yasir yang tetap teguh pada keimanannya kepada Allah SWT. Sekalipun mereka telah kepayahan menahan sakit dan panasnya matahari serta menahan rasa haus yang teramat sangat, karena mereka sama sekali tidak diberikan minum.
Sumayyah, Yasir dan Ammar hanya bisa bersabar dan menyerahkan segalanya kepada Allah SWT. Pada suatu hari, Rasullullah saw lewat dan melihat penyiksaan yang dialami Sumayyah, Yasir dan Ammar. Lalu beliau bersabda “Berbahagialah wahai keluarga Ammar karena sesungguhnya kalian telah dijanjikan masuk surga.”(diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam kitab Ath-Thabaqaat, vol.3 hlm.188.)
Siksaan demi siksaan terus dilakukan oleh kaum Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahal.
“Kamu akan disiksa dengan lebih buruk seandainya kamu tidak mau meninggalkan agama yang dibawa oleh Muhammad. Kamu akan dibebaskan jika kamu mengakui berhala-berhala ini sebagai Tuhan dan mereka lebih baik dari Tuhan yang dibawa Muhammad,” kata Abu Jahal sembari mengambil cambuk untuk menakut-nakuti Yasir, Sumayyah dan Ammar.
“Kami tidak akan mengakui berhala-berhala itu sebagai Tuhan kami. Hanya Allah Tuhan kami,” balas Yasir dengan tenang.
“Saya beriman dengan Allah saja,” tambah Sumayyah pula.
“Ini balasan kepada kamu karena enggan menerima berhala-berhala ini sebagai Tuhan kamu,” Abu Jahal dan pengikutnya mulai menyambuk tubuh Yasir, Sumayyah dan Ammar dengan kejam. Hingga darah mengalir dari tubuh mereka yang terikat pada bongkah batu yang panas.
“Kita lihat berapa lama kamu mampu menahan siksa di tengah-tengah panas matahari ini,” sindir Abu Jahal sambil memandang wajah Yasir dan Sumayyah dengan bengis.
“Tiada tuhan melainkan Allah,” kata Yasir, Sumayyah dan Ammar merintih dalam kesakitan.
“Letakkan batu besar keatas badan Yasir,” ujar Abu Jahal lagi karena geram mendengar kata-kata Yasir sekeluarga.
Siksaan demi siksaan atas Yasir menyebabkan fisiknya menjadi lemah karena usianya yang sudah lanjut. Akhirnya, Yasir menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan menyebut nama Allah tanpa menerima agama berhala Abu Jahal.
Walaupun hati Sumayyah hancur melihat suaminya mati akibat siksaan Abu Jahal yang kejam, dia gembira karena suaminya mati dalam menegakkan agama Allah.
“Apakah kamu mau mati seperti suamimu? Lebih baik kamu terima tawaran ini sebelum ajal kamu tiba!”
Lalu Sumayyah menjawab, “Jangan kamu berharap saya akan menurut kata-kata kamu itu. Tiada Tuhan melainkan Allah”. Hati Sumayyah keras seperti batu teguh pada keimanannya pada Allah Ta’ala.
“Kamu sudah semakin bodoh dan melawan saya!”kata Abu Jahal seraya mengambil tombak dari tangan budaknya lalu dihujamkan kebagian bawah tubuh Sumayyah (kemaluannya).
“Allahu Akbar”. Begitulah kata terakhir Sumayyah sebelum menghembuskan nafasnya akibat tikaman tombak Abu Jahal yang tembus kebagian atas tubuhnya.
Peristiwa pembunuhan itu terjadi pada tahun 7 Hijriah. Ia telah syahid dengan mulia demi mempertahankan keimanannya terhadap Allah SWT, syahidah pertama yang teguh dan sabar dalam menjalani ujian keimanan dan ketaqwaannya terhadap Allah SWT ialah Ummu Ammar, Sumayyah.
Sesungguhnya Allah berfirman dalam (Surat Al – Anfalayat : 46 ) yaitu :
“…Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.”
Allah juga menjanjikan balasan yang terbaik bagi orang – orang yang besabar. Allah mengatakan dalam al-Qur’an (QS: Ar-Ra’d ayat 23 – 24)
“(yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri- isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun `alaikum bimashabartum” (keselamatan bagi kalian, atas kesabaran yang kalian lakukan). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. “
Semoga Allah meridhai Sumayyah ra. dan menjadikannya ridha, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat persinggahan terakhirnya.
Sumber : 35 Shirah Shahabiyah, Mahmud Al Mishri
ed : danw