by Danu Wijaya danuw | Jul 7, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Ankara – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengawali rangkaian kunjungan kenegaraan di Turki dengan berkunjung ke Museum Anitkabir, Ankara. Yang disitu terdapat makam Kemal Attartuk.
Museum itu berisi tentang sejarah berdirinya Turki sejak masa pemerintahan presiden pertamanya, Kemal Ataturk.
Pasukan Turki berjaga di setiap sudut Anitkabir. Bendera Turki dikibarkan tinggi di tengah kompleks museum itu.
Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Widodo tiba di Anitkabir atau juga disebut Museum Ataturk sekitar pukul 09.00 waktu setempat (-4 WIB), Kamis (6/7/2017).
Jokowi dan rombongan diiringi pasukan Turki yang membawa karangan bunga merah dan putih berbentuk lingkaran.
Jokowi dan rombongan diiringi hingga memasuki makam Presiden Turki pertama Kemal Ataturk. Dia merupakan tokoh yang disegani sekuler Turki. Namun pesona Attaturk sudah pudar ketika kebangkitan Islam di Turki.

Jokowi mengisi buku tamu di Museum Attartuk
Setelah meletakkan karangan bunga, Jokowi dan rombongan mengheningkan cipta. Pasukan Turki pun bersikap mengheningkan cipta menggunakan pedang.
Kemudian, Jokowi mengisi buku tamu di ruang museum. Iriana kemudian mendampingi Jokowi berfoto di ruang buku tamu
Turut mendampingi Jokowi adalah Menlu Retno Marsudi, Menkopolhukam Wiranto, Seskab Pramono Anung, Kepala BIN Budi Gunawan, dan Stafsus Presiden Ari Dwipayana. Acara berlangsung khidmat.
Mengenal Kemal Attaturk, Peletak Sekuler di Turki

Kemal Attartuk yang tak disukai para ulama
Siapa Kemal Attaturk? Dia adalah dalang yang mengakhiri Khilafah Islam yang dibubarkan pada 3 Maret 1924. Dia disebut pengkhianat kaum Muslim.
Walaupun dikenal sebagai Bapak Turki karena menjadi presiden Turki pertama, Kemal Attaturk malah menghabisi peradaban Islam di negara Turki dan mengubah negara Islam Turki menjadi sekuler.
Tahun 1925, masjid-masjid ditutup dan pemerintah memberangus semua gerakan keagamaan dengan segala kebengisannya.
Seluruh suku Kurdistan yang melawan Attartuk di Turki, dibinasakan dengan bengis. Desa dibakar, ternak dan hasil panen dihancurkan, perempuan dan anak-anak diperkosa dan dibantai. 46 kepala suku Kurdi digantung di depan umum. Dan terakhir, mengeksekusi Syekh Said, pemimpin suku Kurdi.
Tahun 1926, Syariah Islam diganti dengan hukum sipil yang diadopsi dari hukum Swiss.
Tahun itu juga Penanggalan Hijriyah diganti dengan penanggalan masehi sehingga angka tahun 1345 H dihapus di seluruh Turki dan diganti dengan 1926 M.
Tahun 1929, Pemerintah mulai menghapuskan bahasa Arab. Dan mewajibkan secara paksa untuk menggunakan huruf-huruf latin.
Pemerintah Turki memutus hubungan dengan kaum muslimin, di seluruh negeri Arab dan negeri Islam lainnya.
Tahun 1931-1932, pemerintah membatasi jumlah masjid. Mustafa Kemal terus mencerca masjid-masjid. Dia menutup masjid utama di Istambul dan mengubah Masjid Aya Shofia menjadi museum, sedang Masjid al-Fatih dijadikan gudang!
Tahun 1933, Fakultas Syariah di Universitas Istambul ditutup. Pemerintah juga menghapus pendidikan agama di sekolah-sekolah khusus.
Mustafa Kemal meniupkan ruh nasionalisme ke tengah-tengah bangsa Turki dengan selalu mendengung-dengungkan. ”Sesungguhnya Turki adalah pemilik peradaban yang paling tua di dunia. Sudah tiba saatnya kini untuk diambil kembali dan menggantikan peradaban Islam.”
Tahun itu juga Mustafa Kemal melalui Majelis Nasional (National Assembly) kemudian menyandangkan gelar Ataturk pada dirinya, yang berarti Bapak orang-orang Turki.
Mustafa Kemal Ataturk memerintahkan penerjemahan al-Qur`an ke dalam bahasa Turki, sehingga kehilangan makna-maknanya dan cita rasa bahasanya.
Puncaknya, dia memerintahkan agar adzan dilakukan dengan menggunakan bahasa Turki!
Tanggal 3 Desember 1934 dibuat UU tentang larangan memakai busana tradisional yang Islami.
Pemerintah memerintahkan kaum wanita untuk menanggalkan jilbab dan membiarkan mereka berkeliaran dimana-mana tanpa mengenakan jilbab.
Pemerintah mendorong diselenggarakannya pesta-pesta tari dan drama-drama yang menggabungkan lelaki dan perempuan.
Tahun 1935, Pemerintah Turki mengubah hari libur resmi Jumat menjadi hari Minggu yang dimulai Sabtu Zhuhur hingga Senin pagi
Kematian Pedih Kemal Attaturk
Pada 9 November 1938, Attaturk pingsan sekali lagi selama 36 jam dan akhirnya meninggal dunia.

Attartuk juga mengalami penyakit Gatal, sakit jantung, darah tinggi, dan merasa panas sepanjang massa, sehingga rumahnya disiram air 24 jam
Sewaktu Attaturk meninggal, tidak seorang pun yang memandi, mengkafan dan menyembahyangkan mayatnya.
Mayatnya diawetkan selama 9 hari 9 malam, sehingga adik perempuannya datang meminta ulama-ulama Turki memandikan, mengkafankan dan menyembahyangkannya.
Tidak cukup dari itu, Allah tunjukkan lagi balasan azab ketika mayatnya di bawa ke tanah perkuburan. Ketika mayatnya ingin dikubur, tanah tidak menerimanya. Berkali-kali dicoba sama saja.
Disebabkan putus asa, mayatnya diawetkan sekali lagi dan dimasukkan ke dalam museum yang diberi nama EtnaGrafi selama 15 tahun hingga tahun 1953.
Setelah 15 tahun mayatnya ingin dikubur kembali, tapi Allah Maha Agung, bumi sekali lagi tak menerimanya. Habis mencoba berbagai cara akhirnya mayatnya dibawa ke satu bukit untuk dikubur dalam satu bongkahan marmar yang beratnya 44 ton.

Mayat Attartuk masih diatas tanah dan diletakkan di Batu Marmar
Mayatnya ditanam di celah-celah batu marmar persegi. Apa yang menyedihkan, ulama-ulama sezaman dengan Kamal Atatürk telah mengatakan, “bahwa jangan kata bumi Turki, seluruh bumi Allah ini tidak menerima Kamal Atatürk”.
by Danu Wijaya danuw | Mar 27, 2017 | Artikel, Dakwah
Sudah sejak lama upaya memisahkan Islam dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Berbagai argumentasi disampaikan. “Agama itu suci, sementara politik itu kotor. Kalau politik dikaitkan dengan agama, itu akan mengotori agama”. Demikian kata mereka, entah itu mereka penguasa atau pejabat yang tidak mengerti.
Dalam Islam, justru politik itu penting dan mulia sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan. Alasannya: Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan.
Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual saja. Namun Syariah Islam juga mengatur mu’amalah seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Islam pun mengatur masalah ‘uqubah (sanksi hukum) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam. Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama terkemuka yang membahas perbagai persoalan mulai dari thaharah (bersuci) hingga Imamah/Khilafah (kepemimpinan politik Islam).
Rasulullah saw saat menjadi kepala Negara Islam di Madinah menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan.
Tampak jelas peran Rasulullah saw sebagai kepala negara, sebagai qadhi (hakim) dan panglima perang. Rasul saw. pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah.
Menurut Kamus Al Muhith, politik (siyasah) adalah isim masdar dari kata ‘sasa-yasusu’, yang berarti ri’ayatan (pengurusan). Dalam Lisanul Arab, Ibnu Manzur menyebutkan, “As-siyasah bermakna al-qiyamu ‘ala syai’in bima yashluhuhu”, artinya politik adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya.
Dengan demikian politik Islam berarti pengurusan rakyat dengan aturan Islam. Pengurusan itu pada mulanya adalah tugas para Nabi dan Rasul. Kemudian dilanjutkan menjadi tugas para khalifah, pejabat dan pemimpin masyarakat pasca Nabi.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, menyatakan, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi, niscaya akan roboh. Dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga, niscaya akan musnah.”
Islam menggariskan bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi kepentingan rakyat sebagaimana sabda Nabi SAW, “Pemimpin yang menangani urusan masyarakat adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (Muttafaq ‘Alaih)
Sekarang ini politik dalam bentuk politik Islam di Indonesia bermanfaat dalam menciptakan mashlahat umat Islam, diantaranya lahir undang-undang perbankan syariah, asuransi syariah, wakaf, haji, dan hukum Islam yang adil. Demokrasi dan politik hanyalah sebagai alat untuk menegakkan dan membela ajaran Islam. Oleh karenanya Islam tidak bisa dilepaskan dari politik untuk kebaikan masyarakat.
Sebaliknya, politik sekuler berarti pengurusan urusan rakyat dengan hukum-hukum sekuler lepas dari hukum agama termasuk hukum Islam.
Hukum sekuler ini tidak mengindahkan halal dan haram yang ditetapkan syariah. Akibatnya hawa nafsu dan berbagai kepentingan manusialah yang mengatur rakyat.
Apabila politik sekuler diterapkan maka akan menjadi kendaraan untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi, harta yang lebih banyak, atau akses bisnis yang lebih luas. Tidak peduli jika rakyat harus ditindas.
Hal itulah yang membuat pintu kezhaliman penguasa terhadap rakyatnya terbuka lebar. Misal semua pajak dinaikkan seenaknya, dan akan berakibat pada semakin mahalnya kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu penguasa dengan mudahnya ‘menjual’ BUMN dan menyerahkan SDA negeri ini kepada asing. Inilah sebagian kerusakan yang ditimbulkan akibat ditinggalkannya politik Islam dan diterapkannya politik sekuler.
Allah SWT memberitahu kepada manusia, khususnya yang telah beriman untuk mengambil Islam secara menyeluruh. Firman Allah SWT, dalam Q.S. Al Baqoroh: 208
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Ibnu Taimiyah juga menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/394).
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Apr 8, 2016 | Artikel
Oleh: DR. Yusuf Al-Qardhawi
Tema utama yang sering dihembuskan oleh kaum sekuler adalah bahwa jika politik dikaitkan dengan agama, maka politik tersebut akan terkekang olehnya. Agama akan membatasi ruang geraknya, terlebih lagi jika agama dimaknai sebagai sebuah bentuk komitmen secara menyeluruh terhadap dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pasalnya, politik membutuhkan ruang gerak yang luas dengan segala pertimbangan maslahat dan mudharat.
Selain itu, politik sangat membutuhkan strategi dan tipu daya melawan musuh, sedangkan agama seringkali menutup celah ini. Akibatnya, para musuh agamalah yang mendapatkan kemenangan, sebab mereka terbebas dari segala bentuk ikatan dan aturan agama. Adapun umat Islam terus tertawan dalam aturan-aturan perintah dan larangan.
Oleh sebab itulah, kaum sekuler berpendapat mengambil jalan lain dalam memaknai agama, yaitu dengan cara melihat pada maqashid (tujuan-tujuan) umum dari agama, bukan dengan melihat pada dalil-dalil saja. Mereka menganggap, ini adalah metode yang juga dipakai oleh Umar bin Khattab, dimana ia telah membatalkan beberapa dalil demi terciptanya kemaslahatan bagi kaum muslimin. Jika tidak demikian, maka agama akan menjadi penghalang dan batu sandungan dalam berpolitik, terutama dalam sistem politik modern.
Tentu ucapan itu penuh dengan kerancuan dan kesesatan. Inilah anggapan yang diyakini oleh mereka kaum sekuler. Jika kita benar-benar memahami syari’at Islam, maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa ia bukanlah sebuah penghalang, akan tetapi ia adalah pelita.
Syari’at Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim adalah aturan yang adil dan bijak serta mengandung kemaslahatan yang luas. Maka, setiap aturan yang menjauhkan manusia dari rasa keadilan menuju kezaliman, dari kemaslahatan menuju kerusakan, dan dari manfaat menuju kesia-siaan, maka itu semua bukanlah bagian dari syariat, meskipun ada yang memaksakannya masuk menjadi bagian dari syariat dengan cara ditakwil [1].
Oleh sebab itu, mengajak manusia untuk memahami Islam dan syariatnya secara benar merupakan bagian dari dakwah, bukan dengan menjauhkan mereka dari syariat agar menjadi bebas merdeka. Sebagian manusia ada yang berpandangan bahwa Islam adalah sebuah teori yang bersifat idealis namun tak bisa direalisasikan dalam kehidupan yang nyata. Ini adalah cara pandang yang keliru, sebab Islam dengan teorinya yang bersifat idealis, ia juga dapat menjadi solusi dalam kehidupan yang nyata.
Islam juga membolehkan umatnya untuk mempergunakan siasat dan tipuan disaat berhadapan dengan kelompok yang juga melakukan makar dan tipuan. Sebagaimana dalam sebuah hadits Bukhari, “Perang adalah sebuah tipuan.”
Islam juga menerapkan kaidah bahwa “Kondisi darurat memperbolehkan umatnya untuk melakukan hal-hal yang terlarang.”
Begitu juga dengan kaidah, “Memilih salah satu diantara dua hal yang lebih ringan mudharatnya dan lebih kecil keburukannya. Diperbolehkan menanggung mudharat yang bersifat khusus untuk menghindar dari mudharat yang bersifat umum. Dan diperbolehkan juga untuk mengambil mudharat yang lebih kecil untuk menjauh dari mudharat yang lebih besar, sebagaimana diperbolehkan juga untuk membuang kemashlahatan yang lebih kecil demi terwujudnya kemashlahatan yang lebih besar.”
Semua teori tersebut merupakan teori terapan yang menjadi salah satu karakteristik dari syari’at Islam. Selain itu, syariat Islam berada juga mengusung teori orientatif, bahkan ia berada di garis terdepan diantara aturan lainnya.
Akan tetapi, kita selalu memperingatkan jangan sampai orientasi dan kemashlahatan menjadi alat untuk menggugurkan nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah, terutama jika nash-nash tersebut bersifat muhkamah dan pasti. “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. (QS. al-Ahzab : 36).
Kita selalu mengajak agar bisa menempatkan antara tujuan-tujuan dari syariat dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah secara seimbang. Kita tidak boleh membenturkan antara yang satu dengan yang lainnya, sebab mereka saling melengkapi bukan saling bertentangan. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ijma’ ulama, bahwa kemaslahatan yang hakiki tidak akan pernah bertentangan dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah.
Apabila ada anggapan bahwa keduanya ada pertentangan, maka ada dua kemungkinan.
Pertama, boleh jadi kemaslahatan tersebut hanya bersifat dugaan saja dan belum pasti. Contohnya adalah kemaslahatan dalam riba agar menarik investor atau kemaslahatan khamr untuk menarik para turis, atau yang lainnya yang mana semua itu hanyalah dugaan-dugaan saja.
Kedua, atau bisa juga nash tersebut tidak bersifat qath’i (pasti). Hal ini biasanya terjadi manakala nash-nash tersebut dikaji dan dianalisa oleh kalangan orang-orang yang tidak memahami syariat Islam, semisal pakar ekonomi, politisi, dan lainnya yang mana mereka mengira bahwa nash tersebut bersifat qath’i padahal tidaklah demikian.
Dengan demikian, politik Islam bersifat luwes karena ia selalu memandang kemaslahatan yang akan diwujudkan dalam setiap sikap berpolitik, dengan tetap memegang teguh nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah sebagai pijakan dan landasan utamanya. Maka dari itu, tidak ada benturan antara syari’at Islam dengan politik, karena keduanya akan membawa kemaslahatan yang hakiki terhadap kehidupan manusia secara utuh.
Referensi :
[1] I’lam Al-Muwaqqi’in (3/3)
*Penerjemah: Fahmi Bahreisy, Lc
**Sumber: http://iumsonline.org