0878 8077 4762 [email protected]

Tidaklah Semua Hal yang Baru Termasuk dalam Bid’ah (bagian 2)

Oleh: Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthy rahimahullah
 
Kita tidak akan membahas dan menganalisa dua definisi diatas. Yang menjadi fokus kita ialah kalimat, “Cara dalam beragama yang dibuat-buat…” Dengan demikian, sebuah perbuatan termasuk dalam perbuatan bid’ah manakala orang yang melakukannya menganggap bahwa perbuatan tersebut adalah bagian dari ibadah (agama) yang tak terpisahkan, walaupun sebenarnya ia bukanlah bagian darinya. Inilah inti dari bid’ah dan titik utama dilaranganya perbuatan bid’ah. Adapun dalil yang memperkuat penjelasan diatas ialah sabda Rasulullah saw “Barang siapa yang membuat-buat hal yang baru dalam urusan kami, maka ia akan tertolak.”
Yang dimaksud dengan “urusan kami” ialah dalam perkara agama. Begitu pula sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam at-Thahawi, “Ada enam hal, jika aku laknat mereka maka Allah juga akan melaknat mereka, dan semua para Nabi akan diterima permintaannya; Orang yang menambahkan perkara agama, orang yang mendustakan takdir Allah, orang yang congkak dan diktator yang menghina orang yang Allah muliakan dan membela orang yang dihinakan oleh-Nya, orang yang meninggalkan sunnahku, orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh-Nya.”
Dari hadits diatas, sudah jelas bahwa sebab tertolaknya perbuatan bid’ah ialah bahwa seorang mubtadi’ (orang yang melakukan bid’ah), memasukkan sebuah amal yang diluar bagian dari agama menjadi salah satu bagian darinya. Semua bentuk penambahan dan perubahan dalam syari’ah adalah perbuatan yang dilarang, karena satu-satunya pemilik aturan hanyalah Allah SWT. Contohnya sangat banyak, diantaranya ialah penambahan shalat yang diluar dari ketentuan syariat, baik itu shalat wajib ataupun shalat sunnah, berpuasa pada hari tertentu karena ada keutamaan pada hari itu padahal tidak ada keterangannya dalam Al-Qur`an atau Sunnah, mengkhususkan satu makanan saja untuk dikonsumsi sebagai bentuk sikap zuhud, dll.
Adapun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ada anggapan bahwa hal itu adalah bagian dari agama atau ibadah, dan ia tujukan untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan, baik duniawi atau pun ukhrawi, maka ia bukanlah perbuatan bid’ah walaupun ia adalah hal yang baru. Ia bisa masuk dalam kategori sunnah hasanah atau sunnah sayyi`ah sebagaimana yang tertera dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Barang siapa yang memberikan contoh yang baik dalam agama Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa yang memberi contoh perbuatan buruk, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka.”
Amalan yang termasuk dalam sunnah hasanah sangatlah banyak, diantaranya ialah perayaan maulid Nabi dan momen keislaman lainnya yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin. Tentu saja perayaan tersebut harus bersih dan jauh dari hal-hal yang dapat menyebabkan kemudharatan dan menghalangi terwujudnya kemaslahatan. Perayaan-perayaan tersebut bukanlah bagian dari bid’ah, sebab orang yang mengamalkannya tidak menganggap bahwa perayaan tersebut bagian dari prinsip agama, sehingga kalaupun tidak dirayakan ia tidak akan mendapatkan dosa karenanya.
Ia hanyalah sebuah kegiatan kemasyarakatan dengan harapan dapat mewujudkan sebuah kebaikan bagi agama. Selain itu, perayaan tersebut juga bukan bagian dari sunnah sayyi`ah, dengan catatan perayaan tersebut tidak bercampur kemaksiatan atau perbuatan yang bertentangan dengan syari’ah. Apabila dalam perayaan tersebut terdapat kemaksiatan, maka jangan menilai bahwa perayaannya yang haram, akan tetapi kemaksiatan itulah yang haram. Betapa banyak dzikir yang diamalkan oleh seseorang yang disertai dengan pelanggaran. Lantas apakah kita akan mengatakan bahwa dzikir itulah yang tidak syar’i dan haram?
Memang betul, bahwa perayaan maulid yang dilakukan oleh masyarakat dimana di dalamnya ada pembacaan sirah kehidupan Nabi Muhammad saw adalah sebuah perkara yang baru muncul setelah masa kenabian. Bahkan, ia baru muncul pada permulaan abad ke-6 Hijriyah. Akan tetapi, apakah dengan sebatas itu ia dinamakan sebagai perbuatan bid’ah dan termasuk dalam hadits, “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan kami, maka ia akan tertolak? Kalau memang seperti itu, maka buanglah jauh-jauh semua perkara baru setelah era Rasulullah saw sebab itu semua adalah bid’ah. Yang lebih aneh lagi adalah banyak diantara kita yang melakukan muktamar, seminar, forum pertemuan keislaman, dll tanpa ada anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah. Tidak ada perbedaan antara muktamar dengan perayaan momen keislaman.
Oleh sebab itu, kita tidak boleh mengingkari perkara yang baru seperti disebut diatas. Perkara tersebut bisa diterima dan bisa ditolak dilihat dari tujuan dan cara yang dilakukannya. Ia bagaikan air yang mana warnanya dapat berubah-ubah sesuai dengan warna dari wadah yang ia tempati.
Dan pada akhirnya, saya ingin katakan seandainya kita salah dalam memahami makna bid’ah, dan makna yang benar dari bid’ah ialah semua perkara yang baru walaupun ia bukan bagian dari prinsip agama, sebagaimana yang difahami oleh saudara kita yang lain, maka permasalahan ini adalah bagian dari ijtihad. Diantara adab dalam melakukan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, bahwa yang wajib untuk diingkari adalah sebuah kemungkaran yang telah disepakati secara bersama-sama, bukan pada sebuah kemungkaran yang masih diperselisihkan dan termasuk dalam masalah ijtihadiyah.
Sebab hal itu hanya akan menimbulkan perpecahan dan permusuhan diantara kaum muslimin dan akan meruntuhkan persatuan umat Islam. Di sekeliling kita masih banyak kemungkaran yang nyata yang harus kita bersihkan. Tidak sepantasnya kita berpaling darinya dan memerangi permasalahan yang diperselisishkan. Dan diantara kemungkaran yang nyata yang harus kita lawan adalah kemungkaran yang ada dalam diri kaum muslimin berupa permusuhan dan rasa benci diantara mereka. Ini adalah sebuah bencana dan musibah yang besar yang harus kita perangi agar kita bisa bangkit dari keterpurukan.
Barang siapa yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mulailah dari dalam diri kita sendiri agar kita memiliki benteng yang kokoh untuk menghadapi musuh kita bersama. Benteng yang kokoh itu dibangun atas landasan keikhlasan kepada Allah SWT semata. Ikhlas adalah kunci utama yang dapat menghilangkan segala bentuk perasaan egois dan fanatisme kelompok. Jika kita menang terhadap diri kita, maka kita akan bisa memenangkan agama ini hanya untuk Allah semata. *akhir
SumberKitab Al Islaam Malaadz kulli Mujtama’ al Insaniyyah.
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc

Tidaklah Semua Hal yang Baru Termasuk dalam Bid’ah (1)

Oleh: Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthy rahimahullah
 
Dari segi istilah bid’ah adalah sebuah perbuatan sesat yang wajib untuk dijauhi dan dihindari. Tidak ada perbedaan dan keraguan menganai hal itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan kami (agama), maka ia akan tertolak.” Begitu juga hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Qur`an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah sesuatu yang dibuat-buat, dan setiap perbuatan bid’ah adalah sesat.”
Akan tetapi, apa maksud dari bid’ah? Apakah maksud dari kata bid’ah dilihat dari segi bahasa yang dikenal oleh masyarakat umum, sehingga semua hal-hal yang baru yang muncul dalam kehidupan manusia dan belum pernah dilakukan dan belum dikenal oleh Rasulullah saw dan para sahabat disebut dengan bid’ah? Jika demikian, maka seluruh kaum muslimin dari bagian barat dunia hingga ke ujung timur berada dalam kesesatan yang tak bisa mereka hindari. Sebab, mereka tenggelam dalam lautan perbuata bid’ah dalam setiap perbuatan dan tindakan yang mereka lakukan. Bangunan rumah mereka termasuk bid’ah, perlengkapan rumah mereka bid’ah, makanan mereka juga bid’ah, busana mereka juga bid’ah, dan semua kegiatan dan acara yang mereka lakukan adalah bagian dari pebuatan bid’ah yang sesat!
Jika demikian, tidak hanya kaum muslimin di masa sekarang ini yang jatuh ke dalam kesesatan tersebut, akan tetapi ia juga menimpa pada generasi para sahabat hingga datangnya hari kiamat. Pasalnya, kehidupan setelah masa Rasulullah saw akan terus mengalami perubahan dan pembaharuan yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Mereka tidak dapat mengendalikan arus perubahan kehidupan dan mempertahankannya hanya dalam satu bentuk dan satu metode saja. Bahkan, kehidupan singkat yang dialami oleh Rasulullah saw bersama dengan para sahabat telah mereka lalui dengan berbagai macam hal-hal yang baru. Hanya saja para sahabat mendapat karunia yang besar dimana mereka hidup bersama Rasulullah saw.
Beliau menerima realita baru dalam kehidupan ini tanpa ada perasaan risih dan tidak nyaman dengan hal itu. Betapa banyak ‘urf (kebiasaan) baru yang beliau temukan namun tetap ia terima. Betapa banyak metode dan cara yang baru yang muncul dalam kehidupan para sahabat, namun tetap ia akui bahkan didukung olehnya. Tentunya, setelah beliau melihat bahwa hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan hukum Islam. Terlebih lagi jika hal itu dapat mempermudah jalan dalam rangka tegaknya agama Islam. Bahkan dari sini para ulama menetapkan sebuah kaidah, “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah.” Para ulama dari kalangan Hanafiyah dan lainnya juga menetapkan bahwa al-‘urf –dengan syarat-syarat tertentu- adalah salah satu sumber penetapan hukum syari’ah yang tidak boleh disepelekan.
Dengan demikian, maksud dari bid’ah tidak ditinjau dari segi bahasa. Saya juga belum pernah mendapatkan salah seorang ulama dan fuqaha yang memaknai bid’ah secara bahasa. Maka itu, makna bid’ah yang benar ialah dilihat dari istilah syar’i. Lantas apa makna bid’ah secara istilah syar’i?
Ada banyak definisi terkait dengan makna bid’ah. Semuanya memiliki makna yang sama walaupun redaksi dan kalimat yang dipergunakan berbeda-beda. Namun, saya akan memilih dua definisi yang ditegaskan oleh Imam as-Syathibi di dalam kitab al-I’tisham. Hal ini dikarenakan dua faktor; yang pertama karena Imam Syathibi dianggap ulama yang berada di garis terdepan yang membahas mengenai masalah ini dengan analisa dan penjelasan yang rinci. Dan yang kedua, karena ia adalah salah satu ulama yang paling memusuhi perkara bid’ah dan sangat berhati-hati akan hal itu.
Definisi yang pertama dari bid’ah ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah dengan maksud berlebih-berlebihan dalam beribadah kepada Allah azza wa jalla.”
Definisi kedua ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah, yang mana hal itu ia lakukan dengan tujuan yang sama dengan tujuan dari pelaksanaan syari’ah.”
Imam Syathibi memaknai bid’ah dengan dua definisi diatas dengan alasan bahwa ada sebagian ulama yang hanya membatasi makna bid’ah pada ibadah saja. Sebagian ulama yang lain memaknai secara umum mencakup semua jenis amal dan dan perbuatan tidak hanya ibadah, walaupun pada akhirnya beliau lebih cenderung memaknai bid’ah terbatas pada ibadah saja, baik itu terkait dengan ibadah hati  yaitu akidah atau ibadah berupa amal yang terlihat yang mencakup ibadah-ibadah lainnya. *bersambung
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc