by Danu Wijaya danuw | Oct 22, 2018 | Artikel, Dakwah
Shalat wajib sebaiknya diiringi oleh shalat sunnah. Kenapa?
Ini karena kita tak pernah tahu apakah shalat wajib yang kita laksanakan itu diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ataukah tidak.
Oleh sebab itu, lengkapilah shalat wajib dengan melaksanakan shalah sunnah. Ada berbagai macam shalat sunnah yang bisa kerjakan. Salah satunya shalat sunnah qabliyah shubuh. Kapankah itu?
Shalat sunnah qabliyah shubuh dilaksanakan sebelum melaksanakan shalat shubuh. Ya, sebelum shalat shubuh, kita laksanakan shalat dua rakaat terlebih dahulu.
Tata cara pelaksanannya sama saja seperti shalat biasa. Hanya saja, niatnya yang berbeda.
Dalam melaksanakannya pun, ada dua surat khusus yang dibaca oleh Rasulullah saw. Apa sajakah itu?
Riwayat pertama
Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu,
“Bahwasanya Rasulullah pada shalat sunnah sebelum shubuh membaca surat Al-Kaafirun dan surat Al-Ikhlas,” (HR. Muslim no. 726).
Riwayat kedua
Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasanya Ibnu Abbas mengabarkan kepadanya,
“Sesungguhnya Rasulullah pada shalat sunnah sebelum shubuh di rakaat pertamanya membaca (QS. Al-Baqarah: 136) , قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا
Dan di rakaat keduanya membaca (QS. Ali Imron: 52), آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون” HR. Muslim no. 727.
Semoga kita dapat mencoba meniru bacaan shalat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.
by Danu Wijaya danuw | Aug 12, 2018 | Artikel, Dakwah
Jakarta – Gempa 7 skala Richter (SR) mengguncang Pulau Seribu Masjid, Lombok. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan penjelasan perihal tindakan yang harus diambil orang yang sedang shalat saat masjid atau tempatnya bernaung diguncang gempa.
Sejumlah masjid ikut terguncang dan mengalami kerusakan akibat gempa pada Minggu (5/8) malam kemarin. Masjid Al-Ihsan di Desa Meninting, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, adalah salah satu masjid yang mengalami kerusakan akibat gempa. Menara masjid ini roboh.
Ada pula masjid di Desa Lading Lading, Tanjung, Lombok Utara, yang roboh. Sekitar dua hingga tiga shaf jemaah dikabarkan menjadi korban saat mereka sedang menunaikan shalat isya.
Ada pula video viral dari Pulau Bali, pulau sebelah barat Lombok, yang menunjukkan seorang imam tetap khusyuk saat gempa mengguncang Musala As-Syuhada, Denpasar.
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi menjelaskan, ketika seorang muslim telah memulai shalat dengan takbiratul ihram, dia tidak boleh atau haram hukumnya membatalkan salat, kecuali karena ada halangan yang membolehkannya membatalkan salat.
Bagaimana bila seseorang sedang shalat kemudian gempa mengguncang? Haruskah dia membatalkan salatnya dan pergi menyelamatkan diri? Atau haruskah dia tetap teguh bertahan meski membahayakan diri sendiri?
Jawabannya, orang itu wajib membatalkan salatnya supaya selamat dari bahaya.
“Sebagian besar ulama memfatwakan wajib membatalkan shalat pada sebagian keadaan, seperti saat menolong yang sedang kena musibah, menyelamatkan yang tenggelam, gempa, memadamkan api, atau membatalkan shalat karena untuk menyelamatkan anak kecil atau orang buta yang akan tercebur sumur atau kobaran api,” kata Zainut, Senin (6/8/2018).
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi mengungkapkan berdasarkan pendapat sebagian besar ulama yang didasari sunah Nabi Muhammad SAW, lantas menjelaskan 3 hal yang membolehkan seseorang membatalkan salatnya. Disimpulkan 3 hal kekhawatiran orang boleh membatalkan shalatnya adalah:
- Kekhawatiran terhadap keselamatan diri sendiri, misalnya karena ada serangan manusia atau binatang atau karena gempa, atau bencana lainnya.
- Kekhawatiran terhadap keselamatan harta, misalnya ada orang yang mengambil barang kita.
- Menyelamatkan orang lain yang butuh pertolongan segera. Misalnya, seorang dokter diminta melakukan tindakan darurat terhadap pasien.
Ada pula kondisi yang dianjurkan bagi umat Islam untuk membatalkan shalatnya, yakni saat ada keinginan buang angin.
Bila sudah buang angin, tentu saja shalatnya sudah batal. Bila ada hal yang mengganggu kekhusyukan seperti itu, shalat dianjurkan untuk dibatalkan.
“Jadi pada prinsipnya orang tidak boleh membatalkan shalat, kecuali karena ada uzur syari, yaitu berkaitan dengan keselamatan diri sendiri, harta, atau orang lain, dan terkait kekhusyukan salat, seperti membatalkan shalat karena keinginan untuk buang hajat atau berhadas,” tutur Zainut.
by Danu Wijaya danuw | Jul 18, 2018 | Artikel, Berita, Nasional
Jakarta – Jenazah Haerudin, petugas pemadam kebakaran yang gugur dalam tugas dishalatkan di Masjid Darul Mafiroh di Cilincing, Jakarta Utara. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi imam shalat jenazah.
Jenazah dibawa ke Masjid Darul Mafiroh sekitar pukul 11.00 WIB. Masjid tersebut lokasinya tak jauh dari rumah duka di Asrama Pemadam Kebakaran RT 04/17, Semper Barat, Cilincing, Jakut.
Anies memimpin shalat jenazah berjamaah. Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno yang ikut melayat bersama Anies, shalat di shaf paling depan.
Shalat jenazah tampak diikuti sejumlah rekan kerja Haerudin dan para pelayat lain. Shalat jenazah berjalan singkat dan dilanjutkan dengan doa bersama.
Kasudin Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (PKP) Jakut, Satriadi Gunawan, mengatakan rencananya jenazah Haerudin dimakamkan di Jonggol, Bogor. Jenazah almarhum akan diantar sebelum zuhur ini.
Haerudin tewas saat tengah bertugas memadamkan kebakaran di gudang material di Sunter Agung, Tanjung Priok pada pukul 04.20 WIB pagi tadi. Haerudin meninggal saat perjalanan ke rumah sakit.
Sumber : Detik
by Danu Wijaya danuw | Apr 7, 2018 | Artikel, Dakwah
Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra berkata: ada tiga tingkatan kualitas Ibadah seseorang,
1. Ibadah at-Tujjar : Orang yang beribadah kepada Allah karena ingin sesuatu, itu adalah cara ibadahnya pedagang.
Jika kita berpikir akan dapat pahala apa atau dapat untung berapa ketika hendak bersedekah, itu artinya kita beribadah dengan cara pedagang.
2. Ibadah al-‘Abid : Orang yang beribadah kepada Allah karena takut, itu cara ibadahnya budak atau hamba sahaya.
Jika kita baru terpanggil untuk beribadah karena takut masuk neraka, itu berarti kita termasuk kelompok kedua, beribadah cara budak.
3. Ibadah al-Arifin : Orang yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur, itulah cara ibadahnya orang-orang yang merdeka.
Yang ketiga ini, adalah cara beribadahnya orang-orang yang berjiwa merdeka, tulus karena Allah. Orang seperti ini melaksanakan shalat bukan lantaran takut neraka, tetapi semata-mata karena sadar Allah satu-satunya yang patut disembah.
Ibaratnya, ada atau tidak ada polisi, orang seperti ini akan tetap menggunakan helm demi menghindari bahaya.
Orang-orang seperti ini akan lebih konsisten dalam beribadah karena merasa sudah teramat banyak nikmat Allah yang mereka terima dan patut mereka syukuri.
Sebesar apa pun derita yang dialami, mereka lebih memandang kenikmatan yang ada di balik itu. Sesuatu yang patut mereka syukuri sehingga terdorong untuk terus beribadah.
Orang yang beribadah dengan cara pedagang dan budak, biasanya bersikap itung-itungan. Dia cenderung hanya mengerjakan ibadah wajib. Sudah merasa cukup kalau sudah melaksanakan shalat lima waktu. Sudah merasa cukup kalau sudah puasa Ramadhan.
Tetapi, orang yang beribadah dengan jiwa bebas akan selalu terdorong untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Sebab, orang seperti ini yakin sekali, nikmat Allah yang harus disyukuri pun begitu amat banyak, bahkan tak terhitung.
Dari sinilah kita bisa memahami, mengapa Rasulullah selalu bangun malam, shalat tahajud, dan witir sampai kaki beliau bengkak.
Ketika ditanya Aisyah mengapa masih saja berpayah-payah bangun malam, padahal Allah SWT sudah mengampuni dosanya,
Beliau saw menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”
Rasa ingin bersyukur itulah yang mendorong beliau melakukan banyak sekali ibadah. Dengan kata lain, ibadah yang beliau lakukan itu merupakan wujud dari kesyukuran kepada Allah atas berbagai karunia-Nya.
Dari sini pula kita bisa memahami ungkapan Sayyidina Ali yang lain ketika beliau bermunajat kepada Allah. “Ya Allah! Aku menyembah-Mu bukan karena takut siksa-Mu, juga bukan karena aku ingin pahala-Mu, tetapi aku menyembah-Mu semata-mata karena Engkau memang layak dan patut untuk disembah.”
Beribadah karena mengharap balasan (at-Tujjar) dan karena takut siksa (al Abid) tidaklah dilarang, hanya kualitasnya yang perlu di tingkatkan sehingga sampai pada tingkatan al-Arifin.
by Danu Wijaya danuw | Mar 19, 2018 | Artikel, Dakwah
Adakalanya di dalam shalat, seorang muslim lupa jumlah rakaat yang sudah dikerjakannya. Nah, bagaimana jika begitu?
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah menceritakan, suatu ketika Rasulullah SAW lupa jumlah rakaat ketika shalat. Seusai shalat, beliau ditanya para sahabat, apakah ada perubahan jumlah rakaat shalat?
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saya hanyalah manusia biasa. Saya bisa lupa sebagaimana kalian lupa. Jika saya lupa, ingatkanlah saya. Jika kalian ragu tentang jumlah rakaat shalat kalian, pilih yang paling meyakinkan, dan selesaikan shalatnya. Kemudian lakukan sujud sahwi.” (HR. Bukhari & Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa ragu-ragu dalam meninggalkan rukun, seperti ragu-ragu dalam meninggalkan jumlah raka’at. Maka hendaknya dia memilih apa yang diyakininya, yaitu; yang lebih sedikit jika salah satunya tidak ada yang lebih dominan, kemudian melaksanakan sujud sahwi sebelum salam.
Imam Al Mawardi –rahimahullah- berkata: ‘Pendapat yang menyatakan: ‘Barang siapa yang ragu-ragu dalam melaksanakan rukun sama dengan meninggalkannya’, mayoritas dari teman-teman kami menyatakan pendapat seperti ini dan meyakininya. Dikatakan bahwa hal itu sama halnya dengan meninggalkan raka’at secara analogi, maka hendaknya dia berjaga-jaga dan mengamalkan keragu-raguan yang lebih dia yakini’,” (Al Inshaaf: 2/150).
Rasulullah ketika lupa jumlah rakaat dalam shalat. Rasul memerintahkan untuk melakukan sujud sahwi.
Apa itu sujud sahwi?
Kata sahwi artinya lupa. Disebut sujud sahwi karena sujud ini dilakukan ketika lupa rakaat dalam shalat. Sujud sahwi disyariatkan dalam rangka menutup kekurangan ketika shalat disebabkan lupa.