by admin | Jun 10, 2017 | Muslimah
Untukmu, ya Untukmu….
Secuek apapun seorang lelaki dalam benak dan hatinya tersimpan gundah yang mampu menggetarkan Bumi.
Gelisahnya tak selalu terdengar desah rana.
Kemampuan dan kekuatan selalu dicoba untuk mendekatkan pada harapan.
Sehingga mampu untuk memberikan ketenangan.
Untukmu, ya Untukmu,
Terima Kasih telah mau berjuang dan bersabar.
Sekalipun air mata harus jatuh dan dibayar mahal dengan rasa yang belum tentu dapat dirasa olehku.
Hal ini kau lakukan demi cita bersama, yaitu melahirkan dan membangun bata-bata peradaban yang akan gemilang diakhir zaman.
Sekalipun ragamu dan ragaku lenyap dari peredaran….
Untukmu, ya Untukmu,
Terima kasih telah mau berpeluh dan bersusah payah.
Sekalipun ada semilir angin yang hampir membuatmu goyah, menggenggam erat tanganku agar kau tetap kuat.
Dan mendapatkan kekuatan untuk tetap melangkah, mengambil bagian dari estafet risalah nubuwah…
Untukmu, ya Untukmu,
Syukurku tidaklah sebanding dengan syukurmu.
Usahaku tidaklah sebanding denganmu tapi bukan perihal comparatif.
Tujuan kita hidup satu atap, berlayar dan nantinya berlabuh pada dermaga cita dan cinta.
Namun adanya nota kesepahaman yang tak tertulis
Terpatri dalam hati, bahwa Robbul Izzati adalah titik akhir dan tujuan kita untuk kembali.
Untukmu, ya Untukmu,
Segala kecemasanmu atas hari ini maupun esok seringkali tak mampu kutangkap.
Namun dari detik aku memetik, dari menit kudapat secelumit, dari jam beberapa asa kugenggam.
Dari hari ku pasrahkan setiap ikhtiar yang sudah kujalani dan terlewati, hanya mampu berdo’a.
Dan mendo’akan yang terbaik untukmu, untukku, untuknya (anak-anak kita) dan untuk mereka (orang tua, saudara, dan sahabat seperjuangan)
Untukmu, ya Untukmu
Aku hadir sebagai pendampingmu.
Dan Kau Hadir sebagai sayap kehidupan yang melengkapi hingga menjadi sepasang sayap untuk meraih mimpi dan harapan bersama.
Terima Kasih, Semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita dengan kebaikan dan keistiqomahan dalam berbuat baik….
Uhibbuki Fillahi Yaa Zaujati
أحبُّك فِ اللّه يازوجتي
by Danu Wijaya danuw | Feb 4, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : KH Rahmat Abdullah
Yang dimaksud ats tsiqah disini adalah
Kepercayaan dan ketenangan (kemantapan hati) seorang jundi kepada pimpinannya dalam hal kemampuan dan keikhlasannya, sebab kepercayaan yang dalam ini akan menciptakan rasa cinta, hormat dan taat. Allah berfirman : “Maka yang lebih baik dan utama bagi mereka adalah tanda ketaatan dan ucapan yang baik.” (Q.S. Muhammad : 21)
Pimpinan adalah bagian dari dakwah, tak ada dakwah bila tanpa kepemimpinan. Dari rasa saling percaya antara pemimpin dengan para jundinya inilah kemudian lahir kekuatan struktur dakwah, pengaturan strateginya dan keberhasilannya dalam mencapai tujuan serta kemampuannya menanggulangi segala rintangan dan kesulitan yang menghadang dakwah.
(Hasan al Banna)
Hal yang paling sulit dalam hubungan antara jundi (prajurit) dan qiyadah (komandan) ialah ketentraman hati terhadap kafaah (keahlian), keikhlasan dan ketaatan antar mereka. Dari tsiqah terhadap kemampuan dan keikhlasan qiyadah lahirlah kecintaan, penghargaan, penghormatan dan ketaatan jundi.
Qiyadah dengan syarat-syarat yang memadai dan peduli syuro, menduduki posisi bapak dalam ikatan hati, posisi guru dalam suplai ilmu, syaikh dalam pembinaan ruhiyah dan panglima dalam kebijakan umum dakwah. Dan dakwah mestilah menghimpun semua pengertian ini.
“Ketentraman hati seorang jundi kepada qa’id atas kemampuan dan keikhlasannya dalam kadar ketentraman yang mendalam melahirkan kecintaan, penghargaan, penghormatan dan ketaatan. Qa’id adalah bagian dari dakwah dan tak ada dakwah tanpa qiyadah. Berbasiskan tsiqah antara qiyadah dan junud, tercipta kekuatan sistem jamaah, kekuatan strateginya dan keberhasilannya mencapai tujuannya serta kemampuannya menaklukkan hambatan dan kesulitan yang dihadapinya“ (Hasan al Bana)
Kekuatan Tsiqah
Apa yang membuat Umar begitu percaya kepada Abu Bakar, padahal ia mendapatkan pengakuan Rasulullah SAW : “Allah meletakkan kebenaran di lidah dan hati Umar?” Jawabnya : Tsiqah. Ketika pandangan mayoritas sahabat berpihak kepada Umar untuk tidak memerangi orang yang menolak membayar zakat atas kebijakan Abu Bakar, justru Umar memujinya dengan mengatakan Allah melapangkan hati Abu Bakar untuk berperang dan akupun tahu bahwa itu kebenaran.
Suatu hari seseorang bertanya kepada Imam Hasan al Bana. “Bila keadaan memisahkan hubungan kita, siapa yang Anda rekomendasikan untuk kami angkat jadi pemimpin?” Jawabnya tegas: “Wahai ikhwan, silahkan angkat orang yang paling lemah kemudian dengar dan taatilah dia, niscaya ia akan menjadi orang paling kuat diantara kalian.”
Jadi tsiqah adalah sikap manusia normal yang menyadari keterbatasan masing-masing lalu saling menyetor saham kepercayaan sebagai modal bersama untuk kemudian menikmati kemenangan bersama.
Tak ada bentuk tsiqah yang lebih spektakuler dari tsiqah Islam membangun peradaban manusia. Peradaban selalu menang dengan tsiqah dan kemunduran bermula dari keraguan dan analogi menipu. Karenanya iblis menolak sujud, karena pertimbangan material semata-mata. Termasuk bani Israil yang spontan menolak Thalut, karena ia bukan orang kaya dan bapaknya hanya seorang penyamak kulit.
Pengguncang Tsiqah
Gangguan terbesar tsiqah ialah kondisi yang meragukan. Secara internal dapat berbentuk kemalasan, yaitu kemalasan dalam menggali ilmu, berkonsultasi, meningkatkan kualitas ruhiyah dan fikriyah. Dan secara eksternal yaitu interfensi jorok media masa yang selalu mencitrakan, namun pada saatnya memfitnah dan berbuat curang terhadap dakwah.
Seharusnya kita tak mengandalkan belas kasihan pihak media luar, melainkan dengan pasti dalam hal lisan dan kata yang berbincang tangkas menangkal semua fitnah, provokasi dan pencitraan buruk. Terkadang jamaah atau konstituen menarik dukungannya kepada qiyadah bukan karena tidak tsiqah, melainkan karena cenderung hedonis dan materialistik terlanjur memanjakan mereka.
Tsiqah telah mendorong Abu Bakar mengandalkan Khalid ra, padahal ia menyimpan sekian banyak catatan dengannya dan tak kurang memarahinya atas beberapa hal. Ia tsiqah kepada seseorang bagi kepentingan rakyat banyak daripada kesalihan dirinya, padahal kepadanya tergantung kepentingan rakyat banyak.
Pusta Pengendali Tsiqah
Tak ada kekuatan pengendali tsiqah selain kepada Allah. Bila mereka menyerahkan amal sepenuhnya kepada Allah maka tak ada sedikitpun keraguan tersisa untuk bekerja dengan sesama da’i. Jadi kekuatan iman kepada Allah, kejujuran, amanah, cinta kasih, kehangatan ukhuwah adalah hal-hal yang menyuburkan akar tsiqah. Itu semua menjadikan kerja seberat apapun, resiko perjuangan sepedih apapun dan pengorbanan apapun tak ada artinya. Tak ada gerutuan kepada pemimpin atau bawahan. Yang ada syukur, sabar, dan sepenanggungan.
Alangkah rindunya dakwah hari ini kepada kondisi ideal yang bukan mustahil, walaupun sukar dipahami kecuali oleh mereka yang telah mengalami dan menikmatinya. Tak ada lagi bagi upaya lobbi, sugesti dan mobilisasi yang hanya mengandalkan kekuatan kerongkongan semata-mata. Karena dakwah yang suci ini adalah dakwah ruhiyah dan bukan dakwah jasadiyah semata. Ia merangkum akal dan hati. Lebih dulu dari merangkum gerak dan jasad. Ia punya pusat pengendali yang merukunkan seluruh elemen saat harta kekayaan dunia sebesar apapun tak mampu merukunkan antar hati mereka.
Firman Allah : “Ia merukunkan antar hati mereka, yang seandainya engkau belanjakan seluruh kekayaan bumi seluruhnya, niscaya engkau takkan mampu merukunkan antar hati mereka, tetapi Allah merukunkan antar mereka.” (Q.S. Al Anfal : 63).
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah
by Danu Wijaya danuw | Jan 30, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh: KH. Rahmat Abdullah
Arti al ukhuwah yang dimaksud disini adalah
Agar seorang aktifis dakwah menggabungkan antara hati dan ruh dengan tali aqidah, sementara aqidah itu sendiri merupakan tali yang paling kuat dan paling mahal. Ukhuwah (persaudaraan) adalah saudara (teman) seiman, sementara perpecahan itu saudara kekafiran. Kekuatan yang pertama adalah kuatnya persatuan dan kesatuan.
Tak ada persatuan bila tak ada cinta kasih. Sedangkan derajat cinta yang paling rendah adalah hati yang selamat dari buruk sangka kepada muslim lainnya, dan paling tinggi adalah itsar, yaitu mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan pribadi.
(Hasan al Banna)
Suara merdu persaudaraan sepatutnya didominasi oleh nuansa bening. Serendah-rendahnya bermuatan kelapangan hati dan setinggi-tingginya itsar; memprioritaskan saudara melebihi diri sendiri. Ada hamba Allah bukan nabi bukan syuhada, namun menjadikan iri para nabi dan syuhada.
“Mereka orang-orang yang saling mencintai dengan Ruh Allah, bukan karena hubungan sedarah atau kepentingan memperoleh kekayaan. Demi Allah, wajah-wajah mereka cahaya. Mereka takkan merasakan ketakutan ketika banyak orang ketakutan dan tdak akan bersedih bila umat bersedih”. (H.R. Ahmad)
Bersaudara dalam Senang dan Susah
Belakangan, sosok jamaah dengan sejumlah prestasi gemilang justru menjadi pengunjung tetap penjara (zuwwarus sijn). Mereka telah menata siapa yang lebih banyak hafalan Al Qur’an, kuliah penjara atau program lainnya, tambahan bahasa asing. Sehingga mereka keluar penjara dengan hafalan Al Qur’an dan selesai dengan berbagai strata mata kuliah. Kamar sesak tak jadi soal. Yang tidur belakangan merelakan pangkuan menjadi bantal bagi saudaranya.
Banyak orang mengira mampu menghancurkan mereka dengan cara melontarkan fitnah kedalam shaf. Serangan fisik dan penghancuran sebagai sarana. Mungkin kepala dapat terpisah dari jasad namun, ukhuwah tetap kokoh dan abadi, tak terkeruhkan oleh keterbatasan sifat-sifat kemanusiaan.
Ukhuwah yang Jujur dan Benar
Banyak orang bersaudara karena kesatuan suku, usaha, partai, ormas dan jamaah. Tidak sepatutnya ukhuwah Islamiyah dibatasi oleh tembok-tembok rapuh. Karenanya membicarakan keburukan orang lain (ghibah), membawa berita permusuhan (namimah), serta memata-matai orang (tajassus) tidak serta merta menjadi halal, hanya karena mereka bukan saudara seorganisasi. Siapapun mereka dalam ikatan iman telah memiliki kesakralan ukhuwah yang pantang dinodai.
Abdullah bin Amr kecewa karena pengintaiannya beberapa malam dirumah seorang calon penghuni surga gagal total. Karena ia tak menemukan ibadah-ibadah unggulan pada saudaranya tersebut. Namun ia sangat terhibur ketika lelaki sederhana itu mengatakan “Yang selalu kujaga ialah tak pernah menutup mata untuk tidur sebelum melepaskan perasaan tak baik terhadap sesama muslim”.
Dalam kekalahan perang unta melawan Ali bin Abi Thalib ra, seseorang mencerca Aisyah ra. Namun Ammar bin Yasir ra sebagai panglima Ali, membela Aisyah. “Diam kau wahai si buruk laku. Akankah kau sakiti kecintaan Rasulullah SAW. Aku bersaksi bahwa ia adalah istri Rasulullah di surga. Ibunda Aisyah telah memilih jalannya dan kita tahu ia adalah istri Rasulullah SAW. Akan tetapi Allah telah menguji kita dengannya agar ia tahu apakan kepada-Nya kita taat atau kepadanya.”
Ketika Imam Ali bin Abi Thalib ditanya apakah lawan-lawan politiknya itu musyrik? Jawabnya: “Justru dari kemusyrikan mereka berlari.” Tanya lagi: “Jadi siapa mereka itu?” Jawabnya: “Mereka ikhwan (saudara) kita walau berontak kepada kita”
Zaid bin Tsabit pernah berbeda pendapat yang tajam dalam suatu masalah. Namun mereka akur. Ibnu Abbas ra menuntun kendaraan Zaid bin Tsabit. “Tidak usahlah wahai paman Rasulullah” pinta Zaid. “Demikianlah kami diperintahkan menghormati ulama dan pembesar kami”, jawab Ibnu Abbas. Kemudian Zaid mencium tangannya. “Begitulah kami diperintahkan terhadap Ahli bait Rasulullah” ujar Zaid.
Saudara dan Persaudaraan
Arrabi’ Al Aslami dari generasi gemilang sahabat Rasul dipersilahkan mengajukan permintaan. Apa jawab Arrabi? “Kuminta agar dapat tetap menemanimu di surga” sahutnya.
Hasan al Bashri dengan kesederhanaan hidup dan ketajaman pandangannya berujar: “Tak ada yang tersisa dari kehidupan kecuali tiga:
Pertama, saudara (akh)-mu yang dapat kau peroleh kebaikan dari bergaul dengannya. Bila engkau tersesat dari jalan lurus ia akan meluruskanmu.
Kedua, shalat dalam keterpaduan, engkau terlindung dari melupakannya dan meliput ganjarannya
Ketiga, cukuplah kebahagiaan hidup bila engkau tak punya beban tuntutan seseorang yang harus kau tanggung di hari kiamat”.
Syair dari Imam Syafii ra :
Sahabat yang tak berguna saat datangnya derita
Nyarislah seperti seteru lainnya
………………..
Selamat tinggal dunia
Bila tak ada lagi teman sejati
Yang jujur, tepat janji dan saling mengerti
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Dakwatuna, KH Rahmat Abdullah
by Danu Wijaya danuw | Jan 23, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : KH Rahmat Abdullah
Makna at tajarrud bagi kami adalah
Agar anda membersihkan fikrah anda dari segala pengaruh dasar-dasar hidup dan sosok pribadi orang-orang selain fikrahmu, sebab ia paling tinggi dan paling komplit dari yang lainnya.
Firman Allah :
“Celupan Allah dan siapakah yang paling baik celupannya dari Allah?” (Q.S. Al Baqarah : 138)
(Hasan al Bana)
Siapapun yang telah berazam menjadikan jihad dan dakwah sebagai jalan hidupnya lalu berfikir dapat keluar dari kesibukannya untuk sejenak mengambil nafas, maka itu adalah benih penyesalan. Sikap menghindar dari pengorbanan terkadang mengalahkan totalitas (tajarrud) sebagai kemutlakan sikap dakwahnya. Kelezatan berkurban yang seharusnya jadi impian setiap dai seyogyanya dapat diraih langsung dari mujahadah (usaha keras), qanaah (rasa penerimaan) dan ridha menghadapi segala cobaan dijalan dakwah.
Kalau ada sesuatu yang sangat menyita perhatian dan menuntut pengorbanan, itulah cinta. Tak ada bukit yang cukup tinggi, tak ada lautan yang cukup dalam, tak ada luka yang cukup pedih bila cinta kekasih telah memenuhi seluruh relung hati.
Medan Dakwah yang Keras
Dakwah telah dikenal bertabiat “thuulu’t thariq, katsratu’aqabat, wa qillatur rijal” (jalanannya panjang, hambatannya banyak dan tokoh pendukungnya sedikit). Bila da’inya bermental ayam negeri yang tak tahan angin, maka kiamat dakwah sudah terdengar serunainya.
Sedikit diantara mereka yang berjalan di atas permadani, makan dari roti lembut dan tidur nyenyak diatas sutera, namun mampu mengubah dunia dengan perjuangan yang keras dan sungguh-sungguh. Pilihan hanya satu yaitu tauhid atau syirik maupun taat atau maksiat.
Ketika pembebasan terjadi, seorang aktifis dakwah hanya punya satu pilihan yaitu dakwah atau tidak sama sekali. Ketinggian adab mereka kepada Allah sampai membuat mereka merasakan malu kepada-Nya untuk berfikir, bertindak atau berkhayal di luar syariah. Mereka orang dengan langkah berderap di bumi sedang jiwa mereka melayang di langit.
Tajarrud dan Fanatisme Buta
Tak ada manfaat keyakinan dakwah yang penganutnya ragu-ragu memasyarakatkan dan membelanya. Kadang seorang kader menjadi gamang diserang tuduhan fanatik, sekretarian atau fundamentalis. Padahal penuduh itu sendiri tak mengerti ucapan yang mereka bunyikan. Dengan kejernihan mata hati (bashirah), ketajaman argumentasi dan pertanda-pertanda yang tak dapat diragukan seharunya mereka maju karena para pembela kebatilan membelanya dengan yakin, bangga dan penuh percaya diri.
Tajarrud dalam istilah dakwah adalah totalitas memberi ruang seluas-luasnya bagi para da’i untuk berkiprah. Ia harus menjadi orbit dan kutub memimpin lingkungan dalam gerak keabadian ibadah. Inilah yang dilakukan Khalifah pertama Abu Bakar Shiddiq ra. Dalam surat Ali Imran ayat 44 yang dibacakannya merupakan sesuatu untuk mengingatkan hakikat kehidupan. Betapa Muhammad SAW itu tetaplah seorang manusia yang ada batas hidupnya. Namun lebih dari itu, ayat tersebut bermakna risalah tak boleh berhenti. Aspek pemerintahan, peradilan, dan berbagai tugas yang diperankan Rasulullah SAW tetap harus jalan.
Sang Desertir
Ketika seorang santri, kyai atau da’i mulai menjalani dakwahnya dengan perasaan jenuh, syetan mulai menyusupkan lupa akan tabiat dakwahnya. Selanjutnya akan kehilangan rasa santun, kasih sayang, baik sangka dan empati. Lihatlah kisah Bal’am (dalam Q.S. Al Araf: 175-176) yang kisahnya ia tak beroleh manfaat apapun dari ilmunya yang banyak.
Maka mulialah ahli Madinah, dimana kaum anshar mencintai saudara mereka sendiri kaum Muhajirin sebagai bukti dakwah yang hakiki. Belum lagi sang Rasul berhijrah ke negeri mereka, setiap rumah Madinah sudah rata memiliki banyak penghuni muslim. “Fi kulli duri’i anshar khair” setiap rumah Anshar selalu ada kebajikan, demikian pesan Rasul.
Salman al Farisi tak kehilangan tajarrudnya dengan mengusulkan taktik pertahanan Khandaq. Benteng galian yang biasa dibuat bangsanya di tanah Persia.
Ummu Salamah juga tetap dalam keutuhan tajarrud-nya, ketika menceritakan patung-patung yang dilihatnya di negeri Habasyah dengan cita rasa seninya yang tinggi. Begitupun Rasulullah SAW tak meragukan keimanan Umar bin Khattab yang membawa selembar Taurat dari teman yahudinya.
Sehingga pendidikan tajarrud yang kita dapatkan dari berbagai peristiwa sejarah telah mengantarkan kita betapa aspek ini tak dapat disikapi ringan apalagi main-main.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah
by Danu Wijaya danuw | Jan 16, 2016 | Artikel
Oleh: KH. Rahmat Abdullah
Yang dimaksud ats tsabat disini adalah
Tetaplah anda sebagai aktifis dakwah yang selalu aktif berjuang pada jalan yang ditujunya walaupun masanya panjang bahkan sampai bertahun-tahun, sampai nanti bertemu Allah Rabbul ‘Alamin dalam kondisi seperti itu, dengan meraih salah satu dari dua kebaikan berhasil mencapai tujuan atau meraih syahadah pada akhirnya. Firman Allah SWT :
“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka adapula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tak mengubah janjinya.” (Q.S. Al Ahzab: 23)
Waktu bagi kami merupakan bagian dari solusi, sebab jalan dakwah itu panjang dan jauh jangkauannya serta banyak rintangannya. Tapi semua itu adalah cara untuk mencapai tujuan dan ada nilai tambah berupa pahala dan balasan yang besar serta menarik.
(Hasan al Banna)
Teguh adalah nafas rijalul haq sepanjang zaman bagi para pejuang kebenaran. Ia adalah nafas al khalil Ibrahim as yang selalu segar dan berenergi bahkan pun ketika sedang terpelanting. Baik Al Hajjaj, Jenderal Graziani, Van Mook, Magellan dan para pengecut sejenis mereka telah menderita kekalahan berabad-abad dibanding kehadiran Sa’id bin Jubair, Umar al Mukhtar, Diponegoro, Muhammad Toha, dan para teguh lainnya yang memandang dunia dengan ringan saat pedang algojo, tali gantungan, sel penjara, pengasingan, dan lautan api menanti mereka.
Ibnu Taimiyah berkata, “Bila mereka penjarakan aku, maka mereka beri aku cuti. Bila mereka buang aku, maka mereka beri aku rekreasi. Dan bila mereka bunuh aku, maka mereka istirahatkan aku.”
Abadi, yang Teguh Karena Dia yang Abadi
Selalu saja ada kalimat tak tertulis yang meneguhkan hati pejuang. Imam Ahmad bin Hambal berfikir tentang seorang rekan sepenjaranya yang tentulah datang dengan sebab berbeda. “Kalaulah dia datang-pergi ke penjara dengan cambukan sejumlah puluhan ribu kali karena sebab kriminalitas. Mengapa aku harus takut berteguh di dalam dakwah, padahal ia terus berbuat amalan ahli neraka dan aku beramal amalan ahli surga?”
“Wahai Imam, anda punya keluarga. Cukup bagimu untuk mengiyakan kepada penguasa bahwa Al Qur’an ini memang makhluk” saran beberapa murid Imam Ahmad
“Tolong lihat, apa yang ada diluar penjara ini. Mereka adalah rakyat Baghdad dengan pena dan kertas di tangan yang menunggu setiap kalimatmu. Nah, apakah pantas aku selamat sendirian, dan mereka semua jadi sesat” Jawab Imam Ahmad dengan teguh
Sikap taqwa dan teguh tak hanya berdampak baik bagi pelakunya, tetapi juga bagi rakyat. Saat sang Imam Ahmad lewat dalam tangan terbelenggu, ditanya seorang perempuan, “Apakah halal menggunakan cahaya obor tentara untuk menjahit pakaian kami?” Sang Imam terharu dan mengetahui perempuan itu adalah saudari Bisyr al Hafi, seorang yang sangat zuhud.
Seorang yang teguh tidak hanya yakin kerjanya benar, seperti yakinnya Ummi Musa yang mantap melarung bayinya (Nabi Musa as) karena taat dan yakin kepada perintah dan janji Allah.
Langkah – Langkah Peneguhan
Keteguhan itu didapat dengan muayasyah (berinteraksi) dan terjun langsung di dunia nyata, dunia para Rasul dan pewaris para Rasul. “Dan masing-masing kami kisahkan kepadamu dari berita besar para Rasul, hal yang dengan itu Kami teguhkan hatimu …” (Q.S. Al Hud: 120)
Pada akhirnya terkait dengan keteguhan seorang da’i apakah ia tetap berada pada gelombang Rasul atau menerima tekanan gelombang lain yang mengalahkannya. Gelombang yang berubah itu menjelaskan tidak ada tsabat dan keteguhan walau berapa ratus jilid kitab Tarikh dibaca dan dihafal.
Perlu kesetaraan sifat dan sikap untuk dapat memahami prinsip kaum teguh dalam tsabat (tegar) dan sabar mereka. Perlu keteguhan untuk sampai pada saatnya masyarakat memahami kiprah da’i yang sesungguhnya, jauh dari prasangka mereka yang selama in terbangun oleh kerusakan perilaku dakwah sebagian kalangan.
Nabi Sulaiman mengoreksi faham yang salah dari Ratu Bilqis, bahwa selalulah orang lain merusak dina negeri orang kecuali para raja. Atau Dzulqarnain yang menolak anggapan bahwa penguasa harus dilayani dan dibayar. Kaum teguh harus bersabar atas anggapan bahwa perjuangan mereka dibayar, cita-cita mereka di setir dan tujuan mereka dunia yang karenanya tak ada yang tabu. Sogok, suap, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, fitnah, pemutar balikan fakta mereka halalkan, tak peduli bendera apa yang mereka kibarkan: demokrasi, ke-kiyai-an, ataupun HAM.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah