by Danu Wijaya danuw | Mar 18, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Ibadah
Assalamualaikum wr.wb. Mau tanya ustadz/ustadzah. Dalam sholat berjamaah pada imam yang sudah selesai sholat, sementara ada sebagian makmum yang belum selesai. Dapatkah makmum yang lain mundur selangkah untuk mengambil imam berikutnya agar sholat berjamaah tetap terjaga?
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Terkait dengan pertanyaan bermakmum kepada sesama masbuq (terlambat), dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Sebagian besar ulama tidak membenarkan, namun sebagian lagi membolehkan.
Dalam hal ini pendapat yang tidak membolehkan lebih utama, sebab tidak ada dalil atau riwayat baik dari Nabi saw maupun sahabat yang pernah melakukan hal tersebut.
Selain itu, para masbuq insya Allah sudah mendapatkan pahala shalat berjamaah. Karena itu tidak perlu lagi mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai imam. Apalagi bila rakaatnya berbeda.
Dengan demikian cukuplah bagi masbuq untuk menyempurnakan shalat masing-masing.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 17, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Keluarga
Assalamualaikum. Ustad. Saya sudah menikah. Tetapi saya melakukan kesalahan yang membuat suami saya marah. “besok saya ceraikan kamu!” katanya. Saya mencoba berbicara dengannya tapi selama beberapa hari hanya itu yg diucapkan. Kemudian dia berubah fikiran. Dia memulangkan saya ke rumah orang tua saya dalam batas waktu yg belum ditentukan dengan tujuan agar saya instropeksi diri dan orang tua ikut menasehati. Saya mau bertanya, apa sebenarnya secara agama saya sudah bercerai dengan suami saya? Kalau suami saya menjemput saya dalam waktu lebih dari 3 bulan, masih sahkah pernikahan kami? Mohon dijawab, terima kasih banyak.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pertama, bahwa janji untuk menceraikan atau mentalak di masa yang akan datang, tidak membuat jatuh talak. Talak baru jatuh kalau diucapkan dan diniatkan pada saat itu juga. Sehingga ucapan, “Saya akan ceraikan kamu besok” hanya terhitung sebagai janji bukan sebagai talak itu sendiri. Dalam hal ini sangat dianjurkan keesokan harinya ia tidak mewujudkan janjinya itu.
Kedua, memulangkan isteri ke rumah orang tua juga tidak termasuk talak selama tidak disertai dengan niat untuk talak. Apalagi jika jelas seperti yang Anda katakan bahwa maksud suami memulangkan Anda adalah agar Anda melakukan introspeksi dan agar orang tua Anda menasihati.
Karena itu, selama tidak ada ucapan cerai baik shorih maupun kinayah (kiasan) dari suami, maka talak tidak jatuh. Dan kapanpun suami menjemput Anda, hal itu adalah haknya karena Anda merupakan isterinya.
Namun kami sarankan hendaknya suami tidak meninggalkan isteri dalam waktu yang lama selama tidak ada kepentingan mendesak karena ia wajib memberikan nafkah lahir dan batin padanya sebagaimana isteri juga berkewajiban berkhidmah pada suami.
Ketiga, hendaknya Anda berdua berusaha untuk berkomunikasi dengan cara yang baik dan memecahkan persoalan keluarga dengan tenang. Tidak semua masalah berujung pada cerai atau yang mengarah kepadanya.
Cobalah untuk terus bersabar, memahami karakter pasangan, saling mengingatkan, serta saling berdoa agar Allah menumbuhkan keharmonisan dan kebahagiaan dalam keluarga.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 16, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Assalamu’alaikum. Saya memiliki cerita dari seorang sahabat saya. Dia bercerita bahwa saat ini dia sedang melakukan proses ta’aruf dengan seorang laki-laki yang bisa di katakan sholeh, berpendidikan, baik, dan sangat ia inginkan untuk menjadi suaminya. Tapi dia bingung saat bercerita kepada saya, karena dulu dia pernah berzina. Setelah kejadian itu dia sudah benar-benar bertaubat dan tidak mengulangi lagi. Yang dia bingungkan saat ini apakah dia harus menceritakan keadaannya ini yang sudah tidak gadis lagi karena pernah berzina atau tetap merahasiakan masa lalunya tersebut? Dia takut jika setelah menceritakan masa lalunya tersebut laki-laki yang sedang berta’aruf dengan dia akan meninggalkannya. Mohon bantuan jawabanya ustad, Terimakasih Wassalammualaikum.
Jawaban
Assalamu’alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pertama, kami ucapkan selamat atas proses ta’aruf yang saat ini sedang ia jalani. Semoga Allah memberikan kepadanya pasangan yang saleh dan bertakwa yang bisa mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedua, semoga Allah menerima tobat yang telah ia lakukan. Selama ia menyesali dosa yang dulu pernah dilakukan, tidak mendekatinya kembali, serta bertekad untuk tidak mengulangi, besar harapan tobatnya diterima oleh Allah (lihat QS az-Zumar: 53).
Yang penting sekarang adalah memperbanyak amal saleh dan ketaatan agar Dia ridha.
Ketiga, tidak ada keharusan baginya untuk menceritakan masa lalu yang gelap kepada calon suami. Termasuk perihal kegadisannya yang hilang selama si calon suami tidak menanyakan hal tersebut dan tidak menjadikannya sebagai syarat. Tidaklah layak membuka dan mengungkap aib yang sudah Allah tutup dengan tabir rahmat-Nya.
Namun jika sang suami menanyakan dan menjadikannya sebagai syarat, maka ia harus menceritakan apa adanya dan tidak boleh menutupi.
Apapun hasil dari kejujurannya merupakan resiko dari apa yang telah diperbuat dan insya Allah menjadi kebaikan di masa mendatang. Hendaknya ia yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan ketakwaan, amal saleh, dan kejujurannya tersebut.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 16, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Assalamu alaikum wr.wb. Saya mau bertanya: Apa hukumnya berhutang bank untuk biaya pernikahan? Karena saya dan pasangan saya ingin menyegerakan pernikahan, untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan. Mohon pencerahanya! Terima kasih. Wassallam.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Pada dasarnya nikah adalah bagian dari ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Pasalnya, ia adalah sarana yang suci untuk menjaga kehormatan, memiliki keturunan, dan membentuk bagian terkecil dari sebuah komunitas islam.
Karena itu, segala sesuatu yang dikorbankan untuk mengantar kepada pernikahan akan mendapatkan balasan yang besar dari Allah Swt. Termasuk nafkah yang dikeluarkan untuk pernikahan tersebut.
Rasul saw bersabda, “Ada dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu. Yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim)
Lalu bagaimana kalau nafkah dan biaya pernikahan tersebut didapat dari hasil meminjam?
Meminjam dalam rangka untuk menikah dengan prediksi dan kondisi bahwa insya Allah ia mampu mengembalikannya, hal itu tidaklah dilarang. Bahkan ia termasuk yang layak mendapat bantuan Allah Swt.
Rasul saw bersabda, “Ada tiga orang yang berhak Allah tolong: (1) orang yang berjuang di jalan Allah; (2) budak yang ingin menebus dirinya agar merdeka; (3) orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan.” (HR at-Tirmidzi)
Hanya saja pinjaman tersebut tidak boleh berupa pinjaman yang bersifat ribawi. Jika ia mengandung riba entah dari bank atau perorangan, jelas dilarang. Sebab, Allah telah mengharamkan riba (Di antaranya lihat QS al-Baqarah: 275).
Transaksi ribawi selain mendatangkan dosa juga akan mencabut keberkahan. Karena itu, jangan sampai pernikahan yang suci dirusak oleh sesuatu yang mengandung dosa dan melenyapkan keberkahan. Karena itu, hendaknya Anda mencari jalan keluar yang baik, halal, dan diberkahi oleh Allah Swt. Entah dengan meminta bantuan dari para dermawan atau dengan pinjaman tanpa bunga (riba).
Jika tidak ada, hendaknya bersabar dengan terus berusaha dan menjaga ketakwaan kepada Allah Swt. Sebab Allah befirman, “Siapa yang bertakwa kepada Allah, pasti Allah berikan jalan keluar dan Allah beri rizki dari arah yang tak ia sangka...”(QS ath-Thaha: 2-3).
Selanjutnya sertai semua itu dengan berpuasa. Nabi saw bersabda, “Wahai para pemuda, siapa yang mampu menikah di antara kalian, hendaknya ia menikah. Sebab, pernikahan lebih bisa membuat penglihatan terjaga, dan kehormatan terpelihara. Jika tidak mampu menikah, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa merupakan tameng.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 16, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Keluarga
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bismillah.
Saya mohon bantuan. Saya ada masalah dalam keluarga kecil saya. Suami saya sangat tidak suka dengan bibi saya, pernah suatu ketika saya mengantar ibu ke rumah bibi saya dan dia sangat marah hingga berucap akan mencerai saya dan saya diusir dari rumh. Kebencian itu berawal ketika acara lamaran dulu bibi saya sempat mengatakan kata-kata yang tidak berkenan di hati suami dan keluarganya.
Saya dan ibu saya atas nama bibi sudah pernah mminta maaf. Dan sikap bibi saya pun baik dan tidak ada kebencian terhadap suami saya sekarang.
Tidak ada yg tahu masalah ini. Ketika diusir saya tidak pergi karena saya tidak ingin keluarga hancur hanya dengan masalah ini. Apakah saya harus mengikuti suami walaupun itu jelas-jelas salah. Yaitu membenci dan menarik diri, memutus silaturahmi dengan bibi? Sedang bibi saya termasuk orang yang banyak membantu saya.
Terima kasih.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du:
Ciri dari isteri yang salihah adalah taat dan patuh kepada suami, di samping taat kepada Allah Swt (lihat an-Nisa: 34). Namun ketaatan kepada suami tidak bersifat mutlak. Ia terbatas pada perintah yang baik; yang tidak mengandung maksiat kepada Allah Swt. Nabi saw bersabda, “Tidak boleh taat dalam maksiat kepada Allah Swt. Taat hanya dalam hal yang ma’ruf (baik).” (HR Muslim).
Sementara memutus silaturahim adalah salah satu bentuk perbuatan maksiat dan dosa. Bahkan memutuskan silaturahim termasuk dosa besar. Karena itu, tidak boleh seorang isteri menaati suaminya ketika disuruh untuk memutuskan silaturahim.
Hanya saja, hendaknya isteri menyambung silaturahim tidak dengan cara yang demonstratif; tapi dengan cara yang membuat suami tidak tersinggung. misalnya dengan sms, telepon, atau cara lain yang tak diketahui oleh suami.
Di sisi lain hendaknya ia berdoa dan menasihati suami baik secara langsung maupun tidak langsung agar suami tidak melakukan pemutusan silaturahim. Apalagi jika bibi Anda yang ia benci karena pernah menyakiti telah meminta maaf dan banyak berbuat baik.
Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua agar bisa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini