0878 8077 4762 [email protected]

Fatwa MUI : Shalat Jum'at, Dzikir, dan Kegiatan Keagamaan di Tempat Selain Masjid

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 53 Tahun 2016
Tentang :
PELAKSANAAN SHALAT JUM`AT, DZIKIR, DAN KEGIATAN KEAGAMAAN DI TEMPAT SELAIN MASJID
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG               :
a. bahwa di tengah masyarakat ada rencana kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilaksanakan dan dirangkai dengan kegiatan keagamaan yang mengambil tempat di jalan dan fasilitas umum, salah satunya adalah kegiatan unjuk rasa untuk menuntut keadilan;
b. bahwa penyelenggara unjuk rasa merencanakan kegiatan dzikir dan doa serta Shalat Jum’at secara berjamaah di fasilitas umum, yang salah satu sebabnya adalah jumlah jamaah yang sangat banyak sehingga tidak tertampung jika dilaksanakan di masjid, kemudian memilih melaksanakannya di fasilitas umum yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. bahwa terhadap masalah tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia mengajukan permohonan pandangan dan penjelasan terkait dengan pelaksanaan Sholat Jum’at dan Dzikir di jalan raya;
d.  bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang pelaksanaan Shalat Jum’at dan dzikir di tempat selain masjid guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT                :  
1.  Al-Quran :
a. Firman Allah SWT yang menegaskan perintah untuk melaksanakan Shalat Jum’at, antara lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ( QS Al-Jumu`ah : 9)
b. Firman Allah SWT yang menegaskan tanggung jawab orang beriman untuk memakmurkan masjid, antara lain:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللهَ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Hanyalah yang memakmurkan mesjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ  ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Oleh karena itu, janganlah kamu menyembah seorang pun (di dalamnya) di samping juga (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin: 18)
2.  Hadis Rasulullah SAW, antara lain:

جعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً فحيثما أدركتك الصلاة فصل

“Dijadikan untukku bumi ini sebagai masjid dan suci. Maka dimanapun kamu menemui waktu shalat, maka shalatlah. “(H.R. Muttafaq Alaih)

لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ

“Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Shalat Jum’at atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim)
مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ
“Orang yang meninggalkan 3 kali Shalat Jum’at karena lalai, Allah akan menutup hatinya.” (HR. Abu Daud)

عن أبي هريرة أنهم كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا حيث كنتم

“Dari Abu Hurairah ra bahwasannya para sahabat menulis surat kepada ‘Umar (bin Al-Khathab) bertanya kepadanya tentang shalat Jum’at. Lalu ‘Umar menulis balasan : “Shalat Jum’atlah dimana saja kalian berada” (HR Ibnu Abi Syaibah).
3. Ijma’ Ulama mengenai kewajiban Shalat Jum’at bagi setiap muslim yang memenuhi syarat dan kebolehan untuk tidak melaksanakan Shalat Jum’at bagi yang memperoleh dispensasi
4.  Qaidah fiqhiyyah :
الحاجة تقدر بقدرها
“Hajat itu ditentukan (kebolehannya) sesuai dengan kadarnya”
الضرر يدفع بقدر الإمكان
“Madarat itu dicegah semaksimal mungkin”
يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام
“Kemudaratan yang khusus  ditanggung untuk mencegah kemudaratan yang umum”
لِلْوَسَائِلَ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“ Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju “
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“ Tindakan pemimpin (pemegang otoritas) terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan “
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab” juz 5 halaman 648, sebagai berikut:

قال أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة معدودة من خطتها”

“Sahabat-sahabat kami (Ulama al-Syafi’iyyah) berkata: pelaksanaan (shalat jum’at) tidak disyaratkan harus di masjid, akan tetapi boleh dilaksanakan di area terbuka, dengan syarat masih di tengah-tengah permukiman atau suatu wilayah tertentu ”
2. Pendapat Imam al-Khatib as-Syarbini dalam kitab “Mughni al-Muhtaj, juz I halaman 543 sebagai berikut:

(الثاني من الشروط (أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين بتشديد الميم: أي المصلين الجمعة، وإن لم تكن في مسجد لأنها لم تقم في عصر النبي – صلى الله عليه وسلم – والخلفاء الراشدين إلا في مواضع الإقامة كما هو معلوم”

Syarat kedua dari syarat sahnya sholat jum’at adalah dilaksanakan di lokasi permukiman yang dihuni oleh orang-orang yang wajib sholat jum’at, sekalipun sholat jum’atnya bukan di masjid. Hal ini karena di zaman Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin tidak dilaksanakan Shalat Jum’at kecuali di tempat-tempat permukiman sebagaimana telah diketahui.”
3.  Pendapat al-Imam al-Ramli dalam kitab “Nihayah al-Muhtaj”  juz 2 halaman 63, sebagai berikut:

…. و في (الطريق) والبنيان وقت مرور الناس به كالمطاف؛ لأنه يشغله بخلاف الصحراء الخالي عن الناس كما صححه في التحقيق”

… Dan (makruh hukumnya) shalat di jalan dan di bangunan saat orang-orang sedang lewat seperti di tempat tawaf, karena akan dapat mengganggu kekhusyukannya, berbeda dengan di tanah lapang yang sepi dari lalu lalang manusia (maka tidak makruh) sebagaimana pendapat yang dishahihkan oleh Imam al-Nawawi dalam al-Tahqiq.”
4.  Pendapat al-Imam al-Mardawi dalam kitab “al-Inshaf” juz 2 halaman 378 sebagai berikut:

قوله: ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة , إذا شملها اسم واحد ، وفيما قارب البنيان من الصحراء وهو المذهب مطلقا . وعليه أكثر الأصحاب . وقطع به كثير منهم .”

“Shalat Jum’at boleh dilaksanakan di beberapa bangunan yang terpisah sepanjang masih meliputi satu tempat, boleh juga dilaksanakan di tanah lapang dekat bangunan permukiman. Inilah pendapat madzhab Hanbali secara mutlak, dan mayoritas ulama Hanabilah berpendapat seperti ini, dan inilah pendapat yang dipilih mayoritas ulama Hanabilah.”
5.  Pendapat al-Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitab “al-Mughni”, Juz 2, halaman 171, sebagai berikut :

ولا يشترط لصحة الجمعة إقامتها في البنيان، و يجوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء، و بهذا قال أبو حنيفة”

“Tidak termasuk syarat sah pelaksanaan shalat Jum’at harus dilakukan di dalam bangunan. Pelaksanaan Shalat Jum’at boleh dilakukan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah”.
6. Pendapat al-Imam Abu Husain Yahya bin Abu al-Khair Salim al-‘Imrani al-Yamani  dalam kitab “al-Bayan fi Madzhabi al-Imam al-Syafi’i” juz 2 halaman 113 :

وتكره الصلَاة في قارعة الطريق؛ لحديث عمر – رَضِيَ اللهُّ عَنْه، ولانه لا يتمكن من الخشوع في الصلَاة؛ لممر الناس فيها، ولانها تداس بالنجاسات. فإن صلى في موضع منها، فإن تحقق طهارته، صحت صلاته، وإن تحقق نجاسته، لم تصح صلاته، وإن شك فيها، ففيه وجهان مضى ذكرهما في المياه.

Dimakruhkan shalat di jalanan karena hadis riwayat Umar ra, juga karena tidak memungkinkannya khusyu’ dalam shalat akibat adanya lalu lalang orang lewat, serta bisa terkena najis. Apabila shalat di gang jalanan dan nampak jelas akan kesuciannya maka sah shalatnya. Sebaliknya, jika nampak jelas kenajisannya maka tidak sah shalatnya. Apabila ragu, maka ada dua pendapat, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab miyah.
7. Pendapat Imam Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab “al-Fiqh ala madzahib al-arba’ah” juz 1 halaman 351:

هل تصح صلاة الجمعة في الفضاء؟ اتفق ثلاثة من الائمة على جواز صحة الجمعة في الفضاء، وقال المالكية: لا تصح  إلا في المسجد وقد ذكرنا بيان المذاهب تحت الخط المالكية قالوا: لا تصح الجمعة في البيوت ولا في الفضاء، بل لا بد أن تؤدي في الجامع. الحنابلة قالوا: تصح الجمعة   في الفضاء إذا كان قريبا من البناء، ويعتبر القرب بحسب العرف فإن لم يكن قريبا فلا تصح الصلاة، وإذا صلى الامام في الصحراء استخلف من يصلي بالضعاف. الشافعية قالوا: تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريبا من البناء، وحد القرب عندهم المكان

Apakah sah shalat Jum’at di tanah lapang?
Imam tiga mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafii, dan Imam Ahmad) sepakat tentang kebolehan pelaksanaan Shalat Jum’at di tanah lapang.
Ulama Malikiyah menyatakan tidak sah Shalat Jum’at kecuali di masjid. Dan telah kami jelaskan penjelasan mazhab di bawah garis. Ulama Malikiyah berkata: Shalat Jum’at tidak sah di rumah-rumah, juga  di tanah lapang. Shalat Jum’at harus dilaksanakan di  masjid Jami’. Hanabilah berpendapat sah Shalat Jum’at yang dilaksanakan di tanah lapang apabila dekat dengan permukiman. Kedekatan ini berdasarkan kebiasaan. Jika tidak dekat, maka Shalat Jum’at tidak sah. Apabila Imam shalat di padang sahara maka hendaknya ia menunjuk pengganti untuk menjadi imam bagi makmum yang lemah.
Ulama Syafi’iyyah berpendapat sahnya Shalat Jum’at di tanah lapang apabila dekat dengan bangunan. Patokan kedekatan di sini adalah soal tempat.
7. Pendapat Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab “Nihayat al-Zein” halaman 158 sebagai berikut:

فلا جمعة على رقيق ولا أنثى ولا مسافر ولا معذور بمجوّز لترك الجماعة، ومنه الإشتغال بتجهيز الميت والإسهال الذي لا يضبط نفسه معه ويخشى منه تلويث المسجد والحبس عنه إذا لم يكن مقصرا فيه، فإذا رأى القاضي المصلحة في منعه منعه، وإلا أطلقه لفعل الجمعة.

“Tidak wajib shalat jumat bagi hamba sahaya, wanita, musafir, dan orang yang memiliki udzur yang memperbolehkan meninggalkan jama’ah jumat. Termasuk orang yang udzur adalah orang yang sibuk mengurus mayyit, orang yang mengalami diare yang tidak bisa menahan dan takut mengotori masjid. Apabila Qadhi memandang adanya kemaslahatan untuk melarangnya melaksanakan shalat Jum’at, maka  ia boleh melarang. Dan jika tidak ada kekhawatiran, maka Qadhi membiarkannya melaksanakan shalat Jum’at”.
8. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa MUI pada tanggal 28 November 2016.
 
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN           :    FATWA TENTANG PELAKSANAAN SHALAT JUM`AT, DZIKIR, DAN KEGIATAN KEAGAMAAN DI TEMPAT SELAIN MASJID
Pertama : Ketentuan Hukum
1.  Shalat Jum’at merupakan kewajiban setiap muslim yang baligh, laki-laki, mukim, dan tidak ada ‘udzur syar’i.
2. Udzur syar’i yang menggugurkan kewajiban Shalat Jum’at antara lain : safar, sakit, hujan, bencana dan tugas yang tidak bisa ditinggalkan.
3. Unjuk rasa untuk kegiatan amar makruf nahi munkar, termasuk tuntutan untuk penegakan hukum dan keadilan tidak menggugurkan kewajiban Shalat Jum’at.
4. Shalat Jum’at dalam kondisi normal (halat al-ikhtiyar) dilaksanakan di dalam bangunan, khususnya masjid. Namun, dalam kondisi tertentu, Shalat Jum’at sah dilaksanakan di luar masjid selama berada di area permukiman.
5. Apabila Shalat Jum’at dilaksanakan di luar masjid, maka harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. terjaminnya kekhusyukan rangkaian pelaksanaan Shalat Jum’at
b. terjamin kesucian tempat dari najis
c. tidak menggangu kemaslahatan umum
d. menginformasikan kepada aparat untuk dilakukan pengamanan dan rekayasa lalu lintas.
e. mematuhi aturan hukum yang berlaku
6. Setiap orang yang tidak terkena kewajiban Shalat Jum’at, jika melaksanakan Shalat Jum’at hukumnya sah sepanjang syarat dan rukunnya terpenuhi.
7. Setiap orang muslim yang bertugas mengamankan unjuk rasa yang tidak memungkinkan meninggalkan tugas saat Shalat Jum’at tiba, maka tidak wajib Shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
8. Kegiatan keagamaan sedapat mungkin tidak mengganggu kemaslahatan umum. Dalam hal kegiatan keagamaan harus memanfaatkan fasilitas umum, maka dibolehkan dengan ketentuan :
a. penyelenggara perlu berkoordinasi dengan aparat,
b. dilakukan sesuai dengan kebutuhan
c. aparat wajib membantu proses pelaksanaannya agar tertib
9. Kegiatan keagamaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam angka 8 hukumnya haram.
Kedua:    Rekomendasi
1. Pemerintah perlu menjamin kebebasan beribadah warga negara dan memfasilitasi pelaksanaannya agar aman, nyaman, khusyuk, dan terlindungi.
2. Umat Islam perlu menjaga ketertiban dalam pelaksanaan ibadah dan syi’ar keagamaan.
3. Aparat keamanan harus menjamin keamanan dan kenyamanan pelaksanaan ibadah dan syi’ar keagamaan umat Islam.
Ketiga :  Penutup
1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
 
Ditetapkan di    :  Jakarta
Pada tanggal     :  28 Shafar    1438 H/28 November 2016 M
 
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA
Sekretaris
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA
 
Sumber :
http://mui.or.id/index.php/2016/11/29/fatwa-mui-perihal-shalat-jumat-di-tempat-selain-masjid/

Sebaik Lelaki

Rasulullah bersabda, “Sebaik lelaki adalah yang paling baik perilakunya pada istri. Akulah yang terbaik pekerti pada istriku.” Dalam riwayat Tirmidzi yang lain lagi, “Tidaklah memuliakan wanita, kecuali lelaki mulia. Dan yang menghinakan wanita, pasti lelaki hina.”
Lelaki tercinta bagi wanita, yang kemarahannya tak mengunci pintu maaf. Lelaki tershalihan bagi wanita, bukan yang sekedar banyak ilmu agama dan rajin ibadahnya, tapi juga yang paling mulia akhlaknya dan kedua hal itu teterjemah dalam kepribadiannya.
Lelaki hebat berjuang melampaui wataknya. Seperti Abu Bakar yang bersifat lembut, tetapi teguh dan tegas. Seperti Umar bin Khattab yang bersifat keras, tetwpi paling penyayang pada umat yang dipimpinnya.
Lelaki mengagumkan itu sempurnakan karakternya. Seperti Ustman bin Affan yang sangat pemalu, tetapi egonya diruntuhkan sikap kedermawanannya. Seperti Ali bin Abi Thalib yang periang dan cerdas, dia singa saat perang tetapi rahib di gelap malam.
Lelaki bahagia adalah Salman, cinta tak bersambut bukan kepedihan. Dia dukung Abu Darda’ sahabatnya, menikahi gadis yang dicintainya. Bukan memusuhinya.
Lelaki Adil itu Abu Ubaidah, musuh yang ditaklukannya pun berkata “Kami lebih suka kalian kalahkan daripada menang bersama Byzantium.”
Lelaki teliti itu Khalid bin Walid, “Tak kulewati lembah, bukit, sungai, dan apapun tempat, melainkan kupikir strategi yang kupakai disana!”
Lelaki jujur itu Mubarak, tiga bulan menjaga kebun anggur tak tahu beda matang, busuk dan ranum sebab tak sekalipun dia mencicipi. Mubarak lelaki lugu itu diambil menantu oleh tuannya, sebab kebaikan agama. Lalu lahirlah putranya sang alim zahid mujahid, Abdullah.
Lelaki hati-hati itu Idris, ayah Imam Syafi’i yang tak sengaja makan delima terhanyut. Lalu rela menikahi gadis buta tuli bisu pemiliknya demi halalnya.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Saling Mendoa

Tawasul (meminta doa) kepada orang shalih termasuk yang dibolehkan. Kita tak pernah tahu siapa yang lebih mustajab doanya.
Banyak sekali contoh dalam sunnah antara lain ketika musim paceklik di zaman Umar. Saat itu banyak kaum muslimin meminta doa Abbas, sebagaimana dulu mereka meminta doa kepada Rasulullah saw.
Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami bertawassul dengan Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bedoa kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (HR. Bukhari)
Bahkan Rasulullah saw pernah meminta doa kepada Umar bin Khattab saat berangkat Umrah. “La tansanaa fii du’aaika ya ukhayya (Jangan lupakan kami dalam doamu wahai saudaraku tercinta).” Maka umar berbahagia mendengar pesan Rasul tersebut.
Jika Nabi yang lebih shalih daripada Umar pun minta didoakan olehnya, bagaimana dengan kita. Jadi sungguh indah saling meminta didoakan. Dan lebih indah lagi saling mendoakan dalam ketidak salingtahuan hingga diijabah.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Ayat Seribu Dinar, Kesyirikan Pesugihan Agar Cepat Kaya?

Ayat 1000 dinar yang dimaksudkan adalah QS. Ath-Thalaq: 2-3
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Apa keistimewaan ayat tersebut?
Sebenarnya dalam ayat tersebut tidak disebutkan bahwa siapa yang membacanya 1.000 kali, maka akan mendapatkan pesugihan, cepat kaya atau mendapatkan kelapangan rezeki. Apalagi tidak tersurat akan mendapatkan 1000 dinar.
Namun ada yang mengamalkan ayat tersebut seperti ini:

  1. Bacalah surat Al-Fatihah pada malam pertama dari tiap-tiap bulan kalender Hijriyah (bukan bulan kalender Masehi) sebanyak 1000 kali dan membaca surat Al Maidah ayat 114. Lalu baca ayat 1000 dinar yang disebut di atas sebanyak 21 kali. Kemudian dilanjutkan dengan membaca asma Allah.
  2. Lalu setiap harinya dilanjutkan dengan membaca ayat 1000 dinar yaitu surat Ath Thalaq ayat 2-3 sebanyak 1000 kali dalam sehari. Seperti diwasiatkan untuk dibaca rutin

Setelah pembacaan tadi, diperintahkan membaca doa sesuai dengan hajat yang diminta.
Beberapa Kekeliruan dari Pengamalan Ayat 1000 Dinar
1. Menetapkan waktu pembacaan yang tidak berdalil
Penetapan waktu pembacaan ayat 1000 dinar yang dibaca setiap malam ataukah dibaca pada malam pertama setiap awal bulan Hijriyah tidak berdalil.
Yang ada dalil dalam Islam, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan membaca surat Al Kahfi setiap malam Jumat atau hari Jumat. Sedangkan ayat 1.000 dinar, adakah dalil atau petunjuk Rasul saw yang menyebutkan waktu pembacaannya seperti yang disebutkan?
Imam Ahmad dan para fuqaha ahli hadits, termasuk Imam Syafi’i termasuk di dalamnya berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
“Hukum asal ibadah adalah tauqif (menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17)
2. Menentukan jumlah bilangan yang melelahkan
Jujur saja, kita jarang melihat atau bahkan melihat dzikir-dzikir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pembacaan 1.000 kali dalam sehari seperti pada pengalaman ayat 1000 dinar. Yang ada, dzikir paling banyak hitungannya adalah 100 kali. Contoh misalnya bacaan dzikir,
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ
Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.
Dzikir di atas dibaca dalam sehari 100 kali. Keutamaanya, “Barangsiapa yang mengucapkan dzikir tersebut dalam sehari sebanyak 100 x, maka itu seperti membebaskan 10 orang budak, dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus baginya 100 kesalahan, dirinya akan terjaga dari gangguan setan dari pagi hingga petang hari, dan tidak ada seorang pun yang lebih baik dari yang ia lakukan kecuali oleh orang yang mengamalkan lebih dari itu. (HR. Bukhari no. 3293 dan Muslim no. 2691)
Al Qur’an pun diturunkan bukan membuat susah. Allah Ta’ala berfirman,
طه (1) مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لِتَشْقَى (2) إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى (3) تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلَا
Thaha. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.” (QS. Thoha: 1-4).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
Sesungguhnya agama Islam itu mudah.” (HR. Bukhari no. 39).
Coba ambil pelajaran dari hadits berikut bahwa menyusahkan diri dalam ibadah itu tercela.
3  Menjadikan ayat 1000 dinar sebagai jimat yang dipajang
Ada juga yang punya keyakinan menjadikan ayat 1.000 dinar sebagai jimat yang dipajang di warung, toko atau rumah biar rezeki lancar dan cepat sugih (kaya).
Hal di atas tidak lepas dari menjadikan ayat Al Quran sebagai jimat. Alasan tidak boleh menjadikan ayat Al Quran sebagai jimat yang dipajang adalah sebagai berikut :

  • Untuk menutup jalan agar tidak terjerumus dalam kesyirikan yang lebih parah. Begitu banyak dalil-dalil yang melarang jimat.
  • Jimat dari Al Qur’an bisa membuat Al Qur’an itu dilecehkan, bisa jadi pula dibawa masuk ke kamar mandi, atau terkena kotoran (najis). Agar tidak membuat sebagian dukun yang sengaja menuliskan ayat-ayat Al Qur’an lantas menaruh di bawahnya mantera-mantera syirik.
  • Seseorang akan tidak perhatian lagi pada Al Qur’an dan do’a, karena hanya bergantung pada ayat Al Qur’an yang dipajang atau dikenakan. (Lihat Rasail fil ‘Aqidah, hal. 441 dan Syarh Kitab Tauhid, hal. 61).

Dalil yang mengharamkan jimat atau azimat :
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).
Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shohihah no. 492).
Seorang ulama besar dari tabi’in yang meningggal dunia tahun 96 H dalam usia 50-an tahun, yaitu Ibrahim An Nakha’i berkata,
كَانُوْا يَكْرَهُوْنَ التَّمَائِمَ كُلَّهَا مِنَ القُرْآنِ وَغَيْرِ القُرْآنِ
“Para murid Ibnu Mas’ud, mereka membenci jimat seluruhnya termasuk dari Al Qur’an dan selain Al Qur’an.” (Fathul Majid, hal. 142, terbitan Darul Ifta’).
Murid-murid terkenal Ibnu Mas’ud di sini seperti ‘Alqomah, Al Aswad, Abu Wail, Al Harits bin Suwaid, ‘Abidah As Salmani, Masruq, Ar Rabi’ bin Khutsaim, dan Suwaid bin Ghuflah.
Jadi hati-hatilah menjadikan ayat Al Qur’an atau diyakini ayat 1000 dinar sebagai jimat.
Solusi Mudah Kehidupan: Takwa dan Tawakkal
Dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 569) disebutkan mengenai maksud surat Ath Thalaq ayat 2 dan 3 bahwa siapa yang bertakwa pada Allah, maka Allah akan angkat kesulitan dalam urusan dunia dan akhiratnya, juga akan diberi rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Lalu siapa yang bertawakkal pada Allah dalam setiap urusannya, maka Alalh akan memberikan kecukupan padanya. Allah yang akan memudahkan urusan tersebut. Karena di tangan Allah-lah suatu urusan menjadi gampang ataukah sulit.
Dari ‘Umar bin Khattab, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Seandainya kalian benar-benar bertawakkal pada Allah, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Hadits di atas sekaligus menunjukkan bahwa yang disebut tawakkal berarti melakukan usaha, bukan hanya sekedar menyandarkan hati pada Allah.
Karena burung saja pergi di pagi hari untuk mengais rezeki. Maka manusia yang berakal tentu melakukan usaha, bukan hanya bertopang dagu menunggu rezeki turun dari langit.
Yang disebut ayat 1000 dinar yang dituntut bukanlah dijadikan ritual dzikir. Yang terpenting adalah mengamalkan isinya, yaitu bertakwa dan bertawakkal. Itulah yang menjadi solusi hidup dan mudah dilapangkan rezeki, yaitu dengan bertakwa dan bertawakkallah.
Al Quran Semestinya Ditadabburi
Ayat Al Qur’an semestinya ditadabburi, direnungkan dan dipahami maknanya. Allah Ta’ala berfirman,
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shod: 29)
Namanya tadabbur Al Qur’an itu sebagaimana disebutkan oleh Al Hasan Al Bashri rahimahullah -seorang tabi’in-,
وَاللهِ مَا تَدَبُّره بِحِفْظِ حُرُوْفِهِ وَإِضَاعَةِ حُدُوْدِهِ، حَتَّى إِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَقُوْل: قَرَأْتُ القُرْآنَ كُلَّهُ مَا يَرَى لَهُ القُرْآنُ فِي خُلُقٍ وَلاَ عَمَلٍ
“Demi Allah, Al Qur’an bukanlah ditadabburi dengan sekedar menghafal huruf-hurufnya, namun lalai dari memperhatikan hukum-hukumnya (maksudnya: mentadabburinya). Hingga nanti ada yang mengatakan, “Aku sudah membaca Al Qur’an seluruhnya.” Namun sayangnya Al Qur’an tidak nampak pada akhlak dan amalannya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 419).
Jika demikian, marilah kita jadikan Al Qur’an untuk ditadabburi dan diamalkan. Jangan jadikan untuk tujuan yang keliru yaitu sebagai jimat atau ritual yang tidak ada tuntunan.
Masih mengamalkan ayat 1000 dinar untuk kepraktisan cepat kaya?
Ataukah justru yang terpenting mewujudkan takwa dan tawakkal dalam ibadah dan usaha kita?
Hanya Allah yang memberi petunjuk pada jalan yang lurus dan tidak berkelok akibat kesyirikan.
 
Oleh : Ust Muhammad Abduh Tuasikal, Rumasyho, Darusholihin

Saling Menolong

Imam Syafi’i menasihatkan, “Selama manusia masih hidup diantara sesamanya. Maka kebahagiaan terkadang pergi dan ada kalanya tiba.
Orang terbaik lebih suka bersembunyi dibalik tabirnya. Tetapi dia tak pernah alpa memerhatikan kebutuhan manusia.
Jangkauan tangannya melampaui siap yang dikenalnya. Disyukurinya segala hal, maka Allah buka pintu bakti untuknya.
Begitulah manusia, sebagian telah mati. Tetapi kebaikannya tak terhenti. Sebagiannya masih sentosa, tapi hadirnya tak terasa.”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media