by Danu Wijaya danuw | Jul 17, 2017 | Artikel, Dakwah
MARI kita renungi sejenak surat at-Takaatsur yang di dalamnya Allah mengingatkan kita. Semoga dapat menjadi pengingat bagi kita.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (QS. At-Takaatsur 102: 1)
Bermegah-megahan. Ia bukan bermakna membangun rumah yang megah. Tapi ia terkait dengan mereka yang berbangga-bangga menumpuk harta.
Mereka bersibuk-sibuk dengan kendaraan yang mereka punya. Dan sesudahnya, kendaraan apa lagi. Sesudahnya, apalagi yang diatasnya.
Mereka menakar kemuliaan diri dan manusia lain dari seberapa banyak aset yang ia punya. Adakah itu kita?
Mereka menenggelamkan diri dari kesibukan yang melenakan dan mereka berbangga-bangga dengannya. Adakah itu kita?
Apa yang melenakan kita, lalu kita bermegah-megahan dengannya, bisa saja terkait hobi.
Oh ya, berapa banyak koleksi perkutut yang engkau punya?
Kita perlu berhati-hati, meski benda yang kita tumpuk-tumpuk adalah radio kuno. Sebab, kita dapat terkena ayat berikutnya.
“Sampai kamu zartum (berkunjung, masuk, datang) ke dalam kubur.” (QS. At-Takaatsur 102: 2)
Hobi yang kita tekuni dapat menjadikan kita lupa usia sehingga tak ada yang menghentikannya kecuali zartum ke kubur.
Allah Ta’ala memperingatkan, “Jangan begitu! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).” (QS. At-Takaatsur 102: 3)
Tidak cukupkah peringatan ini? Imam Hasan Al-Bashri mengingatkan, “Ini adalah ancaman setelah ancaman!” sebuah peringatan yang amat ditekankan. Inilah peringatan bagi orang-orang beriman agar tak menjadikan dunia sebagai hasrat terbesarnya sehingga menjadikannya lalai dari mengingat akhirat.
Referensi: Mencari Ketenangan di tengah Kesibukan/Karya: Mohammad Fauzil Adhim/Penerbit: Pro-U Media/Islampos
by Danu Wijaya danuw | Jul 15, 2017 | Artikel, Dakwah
“Barangsiapa yang bertakwa pada Allah, niscaya akan dijadikan baginya semua perkaranya menjadi mudah,” (QS. Ath-Thalaq ayat 4).
Saudaraku, engkau salah bila beranggapan bahwa di dunia ini kebutuhanmu bisa terpenuhi seratus persen. Hal itu tidak akan terjadi kecuali hanya di syurga. Adapun di dunia, segala sesuatu adalah semu.
Semua yang engkau inginkan tidak akan tercapai semuanya tetapi pasti akan datang kepadamu ujian, musibah, dan penyakit.
Maka jadilah hamba yang pandai bersyukur di saat mendapat kenikmatan dan bersabar disaat ditimpa kesengsaraan.
Jangan bermimpi kalau semua cita-citamu akan tercapai, akan selalu sehat, akan selalu kaya, dan akan selalu bahagia. Selalu ingin mendapatkan teman yang tanpa aib, atau mendapatkan suami/istri yang sempurna, semua itu adalah mustahil.
Saudaraku, anggaplah bahwa dirimu itu penuh dengan kekurangan dan membutuhkan koreksi orang lain.
Usahakan untuk selalu memandang sisi positif pada segala sesuatu yang tejadi pada dirimu.
Jangan berburuk sangka pada pencipta-Mu. Jangan jadikan manusia sebagai sandaran hidupmu. Manusia sangat tidak pantas untuk engkau jadikan sandaran dan tempat bergantung.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesunggunya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa,” (QS. Al-Jatsiyaah ayat 19).
Sumber: La Tahzan untuk Wanita/karya: Aish Abdullah Al Qarni/Penerbit: Jabal/Isl
by Danu Wijaya danuw | Jul 15, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
PALESTINA—Israel dilaporkan telah melarang shalat jumat di masjid Al-Aqsha pada Jumat (14/7/2017). Larangan ini datang setelah terjadi aksi heroik berani mati yang menewaskan dua serdadu Israel oleh 3 pemuda Palestina.
Larangan untuk menggelar shalat jumat di Al-Aqsha adalah baru yang pertama kalinya diberlakukan Israel sejak tahun 1969, PIC (Palestine Information Center) melaporkan.
Dalam konteks yang sama, PM Israel Benyamin Netanyahu juga merilis keputusan untuk melarang penyelenggaraan shalat Jum’at di Masjid Al-Aqsha dan menutupnya secara total. Keputusan diambil setelah Netanyahu melakukan pembahasan dengan sejumlah pejabat keamanan Israel.
Larangan shalat jumat di masjid Al-Aqsha ini terjadi untuk pertama kalinya sejak masjid ini dibakar Yahudi pada 1969. Kala itu Israel menutup gerbang-gerbang Al-Aqsha dan melarang shalat jumat di sana dan saat itu pula pertama kali terjadi sejak Israel menjajah Palestina.
Pelarangan kali ini terjadi setelah meletus bentrokan di halaman Al-Aqsha pada Jumat (14/7/2017), PIC melaporkan.
Selain itu, pasukan Israel menangkap satpam masjid Al-Aqsha dan menganiaya mereka dengan pukulan keras serta diseret ke halaman Al-Baraq.
Kantor berita resmi Palestina Wafa menegaskan, pasukan Israel melarang sejumlah tokoh Islam di antaranya Mufti besar Al-Quds dan wilayah Palestina Syeikh Muhammad Husain dan Ketua Dewan Wakaf Islam untuk masjid Al-Aqsha.
Mufti besar Palestina menyerukan agar warga tetap berdatangan ke Al-Aqsha dan berada di perlintasan-perlintasan dan halaman Al-Aqsha untuk menunaikan shalat Jumat.
“Tidak ada kekuatan di atas muka bumi yang melarang warga Palestina menunju Al-Aqsha dan menunaikan shalat jumat di sana,” ungkap Syeikh Muhammad Husein.
Sebelumnya, organisasi dan partai-partai Yahudi mulai melakukan kampanye provokasi untuk menggerebek Al-Aqsha.
TV7 Israel mengutip pernyataan anggota Knesset dari partai Jewish Home Mote Yogav yang menyerukan agar menutup masjid Al-Aqsha bagi umat Islam selamanya.
Sementara Organisasi Bukit Kuil Yahudi menyatakan, respon atas aksi berani mati di Al-Quds adalah dengan menambah bangunan permukiman Yahudi dan jam penggerebekan ke Al-Aqsha.
Sumber : Daily Sabah
by Danu Wijaya danuw | Jul 15, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
SENEGAL– Menurut laporan lembaga Human Rights Watch (HRW), banyak pesantren di Senegal justru memaksa sekitar puluhan ribu santri mereka supaya mengemis. Jika menolak, maka mereka bakal disiksa atau dilecehkan secara seksual.
Para santri mengaku sengaja datang jauh-jauh dari kampung mereka di pelosok buat masuk pesantren di Ibu Kota Dakar. Sayang, setelah tiba di sana mereka harus menghadapi kenyataan diperlakukan dengan sangat buruk.Dilansir dari laman The Guardian, Rabu (12/7),
Dari penuturan sejumlah santri, mereka dipaksa meminta-minta. Jika pulang dengan tangan hampa, maka sudah pasti bakal dihukum.
Menurut HRW, 7 tahun lalu mereka pernah menggelar penelitian tentang para santri yang dipaksa mengemis. Hasilnya, mereka menemukan ada kurang lebih 50 ribu santri mengemis. Bahkan tiga tahun lalu, menurut survei dari pemerintah Senegal, kemungkinan jumlah itu lebih besar.
Dari sejumlah bocah diwawancara, terkuak kekejaman di balik tembok pesantren di Senegal. Mereka mengaku dipukuli jika ketahuan tidak belajar, atau ketika hasil mengemisnya meleset dari target. Contohnya pada Maret lalu, seorang santri di Diourbel meregang nyawa setelah digebuki di dalam pesantren entah karena menolak mengemis atau hasilnya meleset.

Seorang anak diminta mengerjakan sebuah tugas di Medina Gounas Senegal. Sebagian besar marbout atau guru ngaji mereka akan menghukum, jika kuota mengemis harian tak tercapai.
Bahkan, ada juga santri yang dihukum pasung dengan dirantai. Malah pada Desember tahun lalu, seorang santri tewas terpanggang dalam kebakaran pesantren, lantaran dia diikat dan dirantai
Bagi para santri, masalah itu bak lingkaran setan. Pesantren di Senegal justru menjadi tempat tidak aman, meski negara itu sudah didesak supaya mencari jalan keluarnya. Para santri dianiaya, dilecehkan secara lisan dan seksual, serta ditelantarkan.
“Bagian menyedihkannya adalah anak-anak itu berada dalam situasi sangat rawan. Mereka dipukuli, dilecehkan secara seksual, atau dirantai di dalam pesantren karena tidak membawa uang atau makanan dari mengemis,” kata peneliti HRW wilayah Afrika Barat, Jim Wormington.
Juni tahun lalu, Presiden Senegal, Macky Sall, meluncurkan program buat mengakhiri masalah pengemis anak-anak. Polisi dan pekerja sosial merazia para santri dan membawa mereka ke rumah singgah dan diurus secara layak, kemudian dipertemukan dengan orang tua masing-masing.
Sejak saat itu hingga Maret 2017, sekitar 1.547 bocah pengemis berhasil diselamatkan, di mana sekitar 1.089 di antaranya adalah santri. Sayangnya, karena keterbatasan tempat dan tenaga, para santri justru dikembalikan ke pesantren. Tak lama kemudian, mereka kembali lagi ke jalanan buat mengemis.
“Masalah ini sudah ada dalam masyarakat Senegal bertahun-tahun. Seharusnya yang menjadi fokus pemerintah adalah mengusut para ustaz di pesantren yang menyebabkan hal itu terus terjadi,” pungkasnya.
Sumber : Merdeka
by Danu Wijaya danuw | Jul 15, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
GEREJA berbentuk masjid dengan kubah dan menara berasitektur Turki itu terletak tak jauh dari Austria Trend, hotel bintang lima tempat kami menginap di Kota Budapest, ibu kota Hongaria.
Setiap interval waktu satu jam lonceng yang berada di menara gereja itu selalu berbunyi. Seakan-akan lonceng gereja yang terus-menerus berbunyi itu merupakan penegasan eksistensi dan otoritas tunggal rumah ibadah beraliran kependetaan di negeri yang di era perang dingin pernah bergabung dalam Blok Timur itu.
Gereja berbentuk masjid di Kota Budapest itu dan banyak tempat lainnya di berbagai pelosok negeri Hongaria bukanlah sebuah kebetulan. Bukan sekadar kesamaan arsitektur saja. Karena awalnya bangunan rumah ibadah itu memang mesjid tempat umat Islam bersembah sujud kepada Tuhannya dan kemudian seiring dengan perubahan waktu dan dominasi kekuasaan di Hongaria masjid-masjid yang ada di sini diubah menjadi gereja.
Sejarahnya panjang. Pada tahun 1526 Masehi, Kekhalifahan Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Yang Agung atas permintaan sebagian besar rakyat Hongaria yang terancam oleh Kerajaan Austria menyerang dan menganeksasi Hongaria. Kerajaan Hongaria berhasil ditaklukkan. Sejak saat itu, banyak penduduk Hongaria memeluk Islam dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan sedikit pun.
Mereka memilih Islam karena logika-logika keimanan Islam yang disaampaikan para dai ketika itu lebih logis dari dialektika keimanan yang secara turun-temurun mereka yakini.
Bersamaan dengan pertumbuhan pesat jumlah umat Islam di Hongaria saat itu, di samping memberikan kebebasan beragama kepada penganut kepercayaan lainnya, Kekhalifahan Turki Usmani juga mendirikan banyak masjid untuk keperluan tempat ibadah umat Islam.
Masjid-masjid yang dibangun Kekhalifahan Turki Usmani di Hongaria, sejauh yang saya saksikan, arsitektur bangunannya persis dan mirip benar dengan arsitektur dan konstruksi mesjid yang ada di Turki, terutama di Kota Istanbul. Ini, antara lain, dikarenakan insinyur dan tukang yang terlibat dalam pembangunan mayoritas dari Turki.
Di Hongaria tidak hanya masjid yang dibangun orang Turki, tapi banyak juga bangunan lainnya yang sampai hari ini masih bisa kita saksikan. Misalnya, Turkish Bath (pemandian air panas Turki) di beberapa tempat. Selain Turkish Bath dengan air panas alam, di pasar tradisional Budapest juga masih banyak makanan yang dijual dengan bumbu khas Turki. Jejak Turki dengan Islamnya masih sangat tersa di negeri ini.
Setelah Kekhalifahan Turki Usmani tumbang pada tahun 1922 M, Hungaria dengan ibu kotanya Budapest berkembang jadi kerajaan yang sangat disegani di Eropa Tengah bersama Austria, Swiss, dan Ceko.
Bersamaan dengan berkurang dan menipis hingga hilangnya pengaruh Turki Usmani di Hongaria, eksistensi Islam dan umatnya pun semakin terancam. Dalam catatan sejarah banyak umat Islam dipaksa masuk Kristen dan banyak pula yang dibunuh karena menolak pindah agama. Sesuatu yang kontras dengan era Turki Usmani yang justru memberi kebebasan dan perlindungan kepada penganut agama lainnya.

Masjid-masjid yang dulu dibangun umat Islam satu persatu direbut dan dikuasai kaum Kristen Ortodok di negeri itu dan diubah fungsinya menjadi gereja. Karena itu, wajar saja bila banyak wisatawan muslim yang berkunjung ke Hongaraia, utamanya ke Budapest, bertanya-tanya, “Kok, banyak gereja di sini mirip sekali dengan masjid?”
Sebagai seorang muslim, saat hari pertama menginjakkan kaki di Kota Budapest dan melihat di sejumlah menara “masjid” terpasang salip, sungguh hati saya terasa galau. Ini tentu sebuah kegalauan yang alamiah terkait dengan nestapa jejak peradaban Islam di sebuah tempat.
Rasa “emosional” tersebut juga terpicu oleh aktivitas saya selama ini yang relatif intens membaca dan mempelajari sejumlah referensi terkait sejarah dinamika Khalifah Turki Usmani termasuk ekspansi dan jasa besar imperium ini memperkenalkan Islam ke dataran Eropa. Termasuk ke Hongaria.
Makanya, ketika tiba di Budapest saya melihat sejumlah masjid yang di puncak menaranya tak lagi bertengger bulan sabit, saya merasa bagaikan terjerembab dalam romantisme psikologis.
Andai gereja-gereja di sini masih berfungsi sebagai masjid seperti sebelumnya, maka selama dua malam saya menginap di Kota Budapest pasti lima kali sehari semalam saya akan mendengarkan lantunan azan yang syahdu dengan logat Eropa dari menara-menara indah gereja itu.

Namun apalah daya, selama di Kota Budapest yang saya dengar justru bunyi lonceng gereja yang bertalu-talu setiap satu jam sekali. Dan yang sangat “mengganggu serta menyiksa” nurani saya adalah ketika lonceng gereja itu berdering di kala alam sunyi sepi saat seharusnya lantunan azan subuh bergema.
Seperti halnya di tanah air, saat menjelang subuh bersama istri saya sudah terbangun. Pada subuh pertama kami di Budapest, di kamar hotel istri saya berkata, “Ayah, kok nggak ada suara azan di sini ya?”
Saya termenung, kemudian saya ajak istri shalat Subuh berjamaah di kamar hotel. Saya pun berbisik, “Sungguh, ayah pun merindukan bunyi azan dari langit Budapest ini!”
Sumber : Usamahelmadny.com