by Danu Wijaya danuw | Jul 6, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Apalah Lebaran tanpa ibu? Pengalaman tiga bocah ini melintasi 500 kilometer perjalanan dengan bersepeda, tunjukkan betapa ibu adalah tempat untuk kembali. Sebagian besar informasi dikutip dari laporan jawapos.com.
Dini hari jelang Ramadan. Kakak-beradik Muhammad Okta Firmansyah (15) dan Muhammad Afrizal (13) tiba di rumah kakek – neneknya di Bukit Kecil, Kota Palembang, Sumatra Selatan. Mereka tiba setelah menumpang truk dari Ciledug, Kota Tangerang, Banten. Bersama keduanya ikut pula Aslam Alamsyah (10), anak tetangga yang merupakan teman bermain mereka di Ciledug.
Ayah dan ibu yang sering bertengkar, menjadi alasan mereka untuk tak betah di rumah. Mereka pun beberapa kali nekat menumpang truk arah Sumatra, untuk sementara tinggalkan rumah. Biasanya mereka kunjungi kerabat yang ada di Jambi dan Padang, selain rumah kakek dan nenek di Palembang.
Menumpang truk bukan hal baru bagi mereka, terutama Okta yang kerap mengikuti ayahnya yang berprofesi sebagai sopir dan kernet bus lintas Sumatra. Ini pula yang membuatnya tahu alamat tempat tinggal neneknya.
Awalnya mereka sampaikan ingin berlebaran di Palembang, bersama sang nenek. Namun sepekan sebelum Lebaran, adik mereka di Ciledug mengabarkan bahwa kedua orangtuanya bertengkar hebat. Okta sang kakak diminta pulang untuk menjaga keempat adiknya. Selain Okta dan Rizal, ada empat saudara sekandung lain. Paling kecil berusia 1,5 tahun, dimana keenamnya adalah laki-laki.
Telepon itu membuat keduanya ingin kembali ke Ciledug. Apalagi sebulan sudah mereka tak bersua dengan sang ibu. Mereka pun pamit pada sang nenek, untuk lakukan perjalanan pulang dengan bus. Nenek yang sedang tak sehat, tak mengantar mereka pulang. Ia hanya membekali sejumlah uang.
Itu malam takbiran. Tanpa pamit, mereka pinjam dua sepeda milik sepupunya. Secara bergantian, kaka-beradik ini membonceng Aslam yang berdiri di pijakan belakang sepeda. Sejumlah kantong kresek tergantung di stang sepeda, berisi pakaian ganti seadanya.
Dari hasil menjual tas kresek di pasar selama tinggal di Palembang, mereka mmapu kumpulkan uang. Malam itu sebanyak Rp 150 ribu mereka kantongi. Sayangnya jumlah ini tak cukup untuk membawa mereka ke Pelabuhan Bakauheni, lokasi penyeberangan untuk ke Pulau Jawa.
Uang tersebut habis untuk membayar ongkos bus dan makan di jalan. Bus yang mereka tumpangi, sekaligus membawa sepeda mereka itu, berhenti di Terminal Rajabasa Lampung. Terminal ini berjarak 60 kilometer dari pelabuhan penyeberangan. Untuk itu mereka harus kembali mengayuh sepeda, beristirahat tiap gelap tiba.
Minggu (25/06) itu adalah hari pertama Idul Fitri. Ketiga bocah ini tiba di Terminal Indralaya, Ogan Ilir, Sumsel. Mereka beristirahat setelah kelelahan mengayuh sepeda.
Usai kehabisan uang, mereka mengubah rencana dengan menumpang truk sebagaimana yang mereka gunakan untuk tiba di Palembang. Sayangnya hari itu tak satu truk pun lewat. Mereka terpaksa menempuh perjalanan selanjutnya dengan bersepeda.
Penampilan lusuh dengan kondisi perjalanan yang dianggap tak lazim, membuat ketiganya dikirim ke Panti Sosial Darmapala yang terletak tak jauh dari Terminal Indralaya.

Sempat berfoto dengan petugas ASDP sebelum mereka kabur
Petugas terminal yang mengantar mereka ke Panti Sosial, meminta mereka mandi dan makan. Sebab kondisi ketiganya tampak lusuh dan lelah.
Petugas bermaksud menitipkan ketiganya kepada sopir bus jurusan Tangerang, keesokan harinya. Namun mereka kabur, terus mengayuh untuk mencapai Pelabuhan Bakauheni.
Dalam perjalanan, ketiganya harus menahan lapar. Uang sebanyak Rp 10 ribu yang tersisa harus mereka simpan untuk membeli tiket kapal. Mereka sempat pula menerima pemberian uang dan makanan dari seorang ibu. Meski demikian, mereka tak mau mengemis. Rizal mencoba peruntungan dengan mengamen untuk mendapat uang.
Saat lewati hutan, mereka dikejar anjing yang membuat mereka harus mengayuh lebih kencang lagi. Okta pun sempat terjatuh, sehingga Rizal dan Aslam tiba lebih dahulu di pelabuhan. Ketika menanti Okta, keduanya beristirahat di pos PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) . Saat itulah mereka bertemu Vice President Services and Assurance PT ASDP Rizki Dwiana.
Rizal yang duduk hadapi kipas angin untuk hilangkan penat, bertanya pada Rizki.
“Pak saya tidak punya hape, kalau beli tiket di sini bisa?”
Aslam tunjukkan uang Rp 20 ribu yang mereka miliki. Rizki tak percaya omongan mereka, lalu menginterogasi kedua anak ini. Setelah Okta datang, Rizki pun percaya bahwa ketiganya kehabisan uang. Ia pun mengajak mereka makan, lalu menyeberangkan ketiganya dengan mobil ASDP yang kemudian mengantar ke pangkuan orangtua masing-masing.
Sulastri dan Muhammad Nasir, orangtua Okta dan Rizal, tak mengetahui perihal kepulangan anak mereka. Hingga pukul 01.00 dini hari tersebut, ada rombongan datangi rumah mereka. Rombongan ini membawa anaknya serta wartawan. Ia awalnya takut kedua anaknya berbuat onar.
Menurut Sulastri, ia tak akan izinkan jika tahu ketiganya pulang dengan bersepeda. Meski demikian, ia mengaku tak miliki cukup uang untuk menjemput mereka ke Palembang.
Kisah ketiganya diunggah ASDP 191 ke akun Instagram pada Sabtu (1/07) yang menuai banyak komentar.

Akun instagram ASDP yang mengabarkan kabar mereka
Banyak pembaca terharu akan kisah menyentuh Okta, Rizal dan Aslam, yang berbekal rindu mengayuh 500 kilometer agar dapat berlebaran dengan sang ibu.
Sumber : Jawapos
by Danu Wijaya danuw | Jul 6, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
SALAH pemahaman tentang Islam nampaknya berakibat terhadap berbagai macam persepsi pula terhadap Islam. Hal tersebut banyak ditunjukkan oleh beberapa negara yang ingin melarang umat muslim untuk melakukan kegiatannya di negaranya.
Namun tidak untuk Bulgaria, negara yang termasuk 16 negara terbesar di Eropa ini memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan agama Islam. Bulgaria bersatu pada abad ke-7 Masehi. Semua entitas politik Bulgaria yang silih berganti tetap memelihara tradisi yang berwujud etnisitas, bahasa, dan huruf dari kekaisaran Bulgaria pertama 681–1018.
Pada Abad Pertengahan, seiring dengan kemunduran kekaisaran Bulgaria kedua (1185–1396/1422). Wilayah Bulgaria di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah selama lima abad. Pada saat itulah Islam mulai dikenal di negara tersebut.
Perjalanan Islam di Bulgaria tidak berjalan mulus. Pada saat pemerintahan rezim Todor Zhivkov penduduk beragama Islam mengalami penindasan selama bertahun-tahun. Hal tersebut dikarenakan tradisi ortodoks yang menganggap penduduk Islam Bulgaria sebagai orang asing walaupun, sebenarnya masyarakat tersebut adalah penduduk asli Bulgaria.
Akan tetapi, hal tersebut sudah tidak terjadi ketika rezim Zhivkov pada tahun 1989 bekuasa. Di rezim tersebut banyak pembinaan terhadap mesjid – mesjid di berbagai daerah di Bulgaria. Oleh karena itu sampai saat ini masih banyak terdapat masjid di berbagai kota di Bulgaria.
Bulgaria adalah satu-satunya anggota Uni Eropa di mana umat Islama berbaur dan tinggal berabad-abad dengan masyarakat Bulgaria lainnya. Mayoritas penduduk tersebut merupakan etnis keturunan Turki Usmani yang menjangkau ke Negara Eropa, mereka tinggal bersama penduduk Kristen dalam budaya yang dikenal sebagai Komshuluk atau hubungan baik hati.
Keadaan tersebut juga didukung oleh penduduk Islam yang ada di Bulgaria dengan selalu menjaga hubungan baik dan rukun. Hal tersebut juga di lakukan oleh masyarakat muslim Indonesia yang ada di bulgaria dengan sangat rukun berbaur dalam hubungan baik dengan masyarakat setempat.
Hal itulah yang menyebabkan masyarakat Bulgaria tidak lagi menganggap bahwa penduduk Islam akan menjadi ancaman di negara tersebut. Oleh karena itu, segala bentuk rencana ataupun keputusan yang akan mengkerdilkan penduduk muslim di Bulgaria selalu berahir dengan penolakan.
Wanita muslim di Bulgaria selalu mengenakan hijab ketika ketempat umum. Walaupun demikian tetap mendapatkan perlakuan yang wajar oleh penduduk setempat. Setiap hari masyarakat muslim di Sofia Bulgaria juga tetap mengumandangkan adzan dengan pengeras suara.
Hal itu membuktikan bahwa kerukunan masyarakat muslim dan nonmuslim di daerah tersebut berjalan dengan baik. Contohnya masjid Banya Bashi masjid tertua yang berdiri sejak tahun 1566 dan digunakan umat muslim Bulgaria sampai saat ini.

Masjid Banya Bashi Bulgaria saat Kekuasaan kesultanan Ottoman
Di masjid tersebut selalu ramai oleh umat muslim yang akan menunaikan ibadah dan terletak di pusat ibu kota Bulgaria. Di masjid terbut pula selalu ramai dengan suara adzan dengan pengeras suara ketika masuk waktu sholat. Hal tersebut jelas merupakan simbol bagaimana kerukunan masyarakat muslim Bulgaria dengan penduduk sekitar berjalan dengan baik.
Setiap hari masjid tersebut selalu ramai oleh penduduk muslim yang ingin sholat berjamaah. Hal tersebut yang seharusnya kita lakukan sebagai umat muslim untuk menyadarkan bahwa Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Sehingga paradigma dan persepsi negatif terhadap masyarakat muslim di dunia akan berubah. Seiring berjalannya waktu pandangan penduduk dunia terhadap Islam akan sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya
by Danu Wijaya danuw | Jul 5, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
Bashar al-Assad muncul di mata uang yang diterbitkan rezim Suriah untuk pertama kalinya, potretnya dicetak pada uang kertas baru senilai 2.000 pound yang beredar pada hari Ahad.
Gubernur bank sentral rezim Suriah, Duraid Durgham mengatakan bahwa mata uang 2.000 pound tersebut adalah salah satu dari beberapa uang kertas baru yang dicetak tahun lalu namun keputusan untuk menyebarkannya tertunda “karena keadaan fluktuasi perang dan nilai tukar”.
Uang kertas baru sama dengan sekitar $ 4 dengan kurs saat ini.
Mata uang Suriah telah jatuh nilainya sejak konflik dimulai pada 2011, dari 47 pound per 1 dolar pada 2010 menjadi sekitar 500 pound per 1 dolar saat ini.
Mengutip keausan uang yang ada, Durgham mengatakan waktunya tepat untuk mengeluarkan uang kertas baru tersebut, kantor berita rezim Suriah – SANA melaporkan.
Sebelumnya, denominasi tertinggi uang kertas Suriah adalah 1.000 pound. Ayah Assad, Hafez al-Assad yang mati pada tahun 2000, muncul pada uang koin dan uang kertas 1.000 pound lama, yang masih beredar.
Durgham mengatakan bahwa uang kertas baru itu beredar “di Damaskus dan sejumlah provinsi”, yang berada di bawah kendali rezim Assad.
Hafez Al-Assad lahir pada 6 Oktober 1930 dan meninggal 10 Juni 2000 pada umur 69 tahun. Dia adalah presiden Suriah untuk tiga kali masa jabatan berturut-turut, dan kemudian digantikan anaknya, Bashar Al-Assad yang menjabat sejak tahun 2000 hingga saat ini.
Al-Assad berasal dari keluarga Alawite yang merupakan cabang Islam Syiah. Ayah Bashar Assad, Hafez Assad merupakan pelaku kudeta di Suriah tahun 1966.
Hafez Al-Assad menjadi Presiden pada Februari 1971, dan dia berkuasa sampai tahun Juni 2000. Kekuasaannya yang diktator lebih dari 30 tahun menjadikan dia tokoh kejam yang pernah membantai rakyatnya sendiri yang bersebrangan dengan paham syiah Alawite.
Sumber : Al Arabiya
by Danu Wijaya danuw | Jul 4, 2017 | Berita, Internasional
Riyadh – Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz (81) memerintahkan seorang kolumnis di surat kabar al-Jazirah untuk diberhentikan dari pekerjaannya. Pasalnya, kolumnis yang bernama Ramadan al-Anzi dinilai terlalu berlebihan memuji sang raja hingga menyamakannya dengan Tuhan.
Sebagai pemimpin, Raja Salman kerap dipuji oleh para kolumnis di media lokal sejak ia naik takhta pada 2015. Namun pujian yang dilontarkan Ramadan dinilai “terlalu jauh”.
Surat kabar al-Jazirah telah menerbitkan permintaan maafnya pada Sabtu (1/07/2017) waktu setempat.
Disampaikan permohonan maaf al-Jazirah, “Ungkapan dan penghormatan yang diberikan penulis atas kepribadian Penjaga Dua Kota Suci, tidak dapat diterima, terlepas dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya, semoga Allah melindunginya, atas kehormatan untuk melayani dua masjid suci, Islam, tanah air, dan rakyat.”
Media Saudi melaporkan bahwa raja telah memerintahkan agar diambil tindakan terhadap surat kabar tersebut. Namun, tidak ada hal spesifik yang disebutkan.
Dalam sebuah pesan kepada Menteri Informasi Saudi, Awwad bin Saleh Alawwad, raja menuliskan dia tercengang dengan beberapa ungkapan yang digunakan oleh sang kolumnis. Demikian menurut surat kabar Okaz.
“Ini adalah sebuah persoalan yang menekan kami tidak dapat menerimanya dan tidak menyetujuinya.” ungkap media online sabq mengutip pernyataan Raja Salman.
Raja Salman tidak suka karena kolumnis itu terlalu ekstrem memuji-muji dirinya. Sebab, lanjut orang nomor satu di Arab Saudi itu, kolumnis bernama Ramadan al-Anzi itu cenderung menyamakan dirinya dengan Tuhan.
Dalam artikelnya untuk koran lokal al-Jazirah, al-Anzi mendeskripsikan Raja Salman sebagai “al-Halim” (Maha Penyantun) atau “Syadid al-‘Iqab” (Maha Pedih Siksanya). Kedua istilah itu sejatinya berkenaan dengan sifat-sifat atau nama-nama Tuhan (Asma al-husna), sehingga Raja Salman menilai al-Anzi sudah keterlaluan.
Sumber : The Independent/Sabq
by Danu Wijaya danuw | Jul 4, 2017 | Artikel, Kisah Sahabat
Sejarah mencatat, sejumlah sahabat yang mendapat kepercayaan menjadi gubernur kota-kota penting dan strategis. Mereka juga sebagai gubernur pertama yang bertugas memimpin jalannya pemerintahan di wilayah tersebut.
Perihal gubernur pertama dalam sejarah Islam dengan menukilkan riwayat dari kitab al-Awa’il karya Abu Hilal al-‘Askary.
Terungkap bahwa sosok yang menjadi gubernur Makkah pertama adalah sahabat ‘Utab bin Asid yang ditunjuk Rasulullah SAW untuk mempimpin Makkah saat peristiwa Haji Wada’.
Kisah ‘Utab bin Asid
Ketika Rasul wafat, tak sedikit masyarakat Arab yang keluar Islam, ‘Utab mengambil inisiasi dengan berkhutbah di masjid.
Isi ceramahnya cukup populer di antara penggalannya berbunyi, “Kalaupun Muhammad SAW meninggal, maka sesungguhnya Allah SWT kekal.
Kalian tahu sebagian besar kalian adalah kafilah di darat dan pelayan di laut, tetaplah pada urusan kalian, tunaikan zakat, saya jaminan jika ini urusan ini tidak kelar, saya akan kembalikan ke kalian.”
Kisah tentang ceramah ‘Utab bin Asid tersebut sampai di telinga Abu Bakar RA dan mengapresiasinya.
Kisah Sahal bin Hanif
Selanjutnya, al-‘Askary mengemukakan sedangkan gubernur yang pertama memimpin Madinah adalah Sahal bin Hanif yang ditunjuk oleh Ali bin Abi Thalib saat menantu Rasulullah SAW tersebut pergi ke Bashrah dalam rangka Perang Jamal.
Ada cerita yang sangat ironis terkait perang saudara sesama akidah ini, saat Utsman bin Hanif, yang tak lain adalah saudara kandung Sahal tertangkap dan hendak dieksekusi, ia meminta pengampunan.
Kemudian Utsman berkata, “Saudaraku, Sahal, wakil Ali bin Thalib atas Madinah, jika kalian membunuhku maka ia tak akan melepaskan keturunan kalian.”
Akhirnya, tak selang berapa lama mereka membebaskan Utsman bin Hanif.
Disadur : Republika