by Danu Wijaya danuw | Aug 1, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Pemuda asal Pekalongan Mochammad Khamim Setiawan (28) yang ingin menunaikan ibadah haji ditempuh dengan berjalan kaki dari Pekalongan ke Tanah Suci tidak sia-sia.
Khamim pemuda Sarjana Ekonomi dari Universitas Negeri Semarang itu menunaikan Ibadah Haji ditempuh dengan jalan kaki berangkat dari kampung halamannya di Wonopringgo, Kabupaten Pekalongan pada 28 Agustus 2016 lalu. Tentu saja ia melewati beberapa negara dengan terus berjalan kaki, tak peduli panas maupun hujan.
Kadang ia harus istirahat di masjid, menumpang di rumah orang yang ditemui, atau bahkan bermalam di hutan di berbagai negara.
Pada 19 Mei 2017, ia telah tiba di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dengan niat Bismillah dia memulai perjalanan itu untuk menempuh jarak kira-kira 9.000 kilometer. Sesuai dalam kalender Indonesia, Hari Raya Idul Adha bertepatan tanggal 1 September 2017.
Khamim menargetkan akan tiba di Kota Mekah tanggal 30 Agustus 2017 atau sebelum Wukuf. Yang berarti Khamim jalan kaki selama 1 tahun untuk naik haji menempuh perjalanan 9 ribu kilometer dan melintasi banyak negara.
Ternyata kenyataannya, dia lebih cepat sampai di Kota Mekkah dari yang diperhitungkan.
Dalam postingan di facebook, Kamis 27 Juli 2017 dia berfoto dengan background Kakbah di Masjidil Haram. Dia mengenakan pakain ihram.
Tertulis begini : Muhammad Khamim (28), pemuda asal Wonopringgo, Kab.Pekalongan yang berjalan kaki dari Pekalongan menuju Mekkah selama berbulan-bulan ini, alhamdulillah dia sudah sampai di Mekkah untuk menjalankan ibadah haji.
Syaufani Solichin (73), ayah Khamim saat ditemui tribunjateng.com beberapa waktu lalu mengatakan, selama perjalanan, Khamim sering puasa Dawud yaitu sehari puasa sehari tidak puasa.
Saat awal berangkat Khamim ditemani dua orang rekannya. Namun sesampai di Kabupaten Tegal, kedua temannya menyerah dan tidak melanjutkan perjalanan. Hanya tinggal Khamim yang kemudian benar-benar bisa sampai di Mekkah, sebagaimana niat awalnya.
Kondisinya yang berpuasa, membuatnya hanya berjalan di malam hari. Dalam kondisi fisik yang baik, ia dapat menempuh perjalanan sepanjang 50 kilometer, dan hanya sekitar 15 kilometer jika kakinya merasa capek.
Selama perjalanan dari Pekalongan Jateng ke Tanah Suci mengalami sakit sebanyak dua kali. Yaitu ketika di Malaysia dan India.
Ia tidak meminum suplemen khusus, melainkan campuran air dan madu untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya dari perubahan cuaca di negara-negara yang dilalui.
Perbekalan yang Khamim bawa yaitu kaos dan celana, dua pasang sepatu, kaus kaki, pakaian dalam, kantung tidur dan tenda, lampu, telepon pintar dan GPS
Seluruh perlengkapan dimasukkan dalam sebuah tas punggung yang di luarnya terpasang sebuah bendera mini Indonesia, Merah Putih.
“I’m on my way to Mecca by foot” tulisan itu ada di kausnya.
Maksud Khamim untuk memberi pesan kepada orang-orang yang ditemui di perjalanan tentang misinya menuju Mekah di Arab Saudi.
Mochammad Khamim Setiawan meski masih pemuda, dia bukan orang miskin. Dia punya usaha kontraktor yang lagi berkembang. Semua itu dia tinggalkan demi menjalankan misi ini. Dia bawa sejumlah uang secukupnya selama di perjalanan.
“Saya tak pernah meminta-minta. Namun saya selalu bertemu orang yang memberi makanan dan bekal lain,” kata Mochammad Khamim Setiawan dikutip Khaleej Times sebuah media besar di Uni Emirat Arab.
Khamim pun sering bermalam di rumah ibadah agama lain. Itu tak jadi masalah. Dan dia akui mendapat sambutan yang baik serta toleransi yang sangat bagus.
Bupati Pekalongan, Asip Kholbihi merasa bangga atas semangat dan kesungguhan Mochammad Khamim yang berjalan kaki dari Pekalonan ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
Menurut Bupati, perjalanan haji Khamim adalah resmi atau legal. Karena semua perizinan dia tunaikan dan lengkapi dengan baik. Paspor dan visa semua lengkap.
Sumber: tribunnews.com
by Farid Numan Hasan faridnuman | Aug 1, 2017 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Ust Farid Nu’man Hasan
Sesungguhnya tiap amal shalih memiliki dua rukun. Allah Ta’ala tidak menerima amal kecuali dengan dua syarat. Pertama, ikhlas dan meluruskan niat. Kedua, bersesuaian dengan sunnah dan syara’.
Syarat pertama merupakan tanda benarnya batin, syarat kedua merupakan tanda benarnya zhahir (praktiknya-pen). Tentang syarat pertama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung niat.”(HR. Muttafaq ‘alaih, dari Umar). Ini adalah timbangan bagi batin.
Tentang syarat kedua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa beramal dengan amal yang kami tidak pernah perintah, maka amal itu tertolak” (HR. Muslim dari ‘Aisyah). Ini adalah timbangan zhahir.
Allah Ta’ala telah menggabungkan dua syarat tersebut dalam banyak ayat al Qur’an. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan semua urusan.” (QS. Luqman: 22).
Makna ‘menyerahkan diri kepada Allah’ yaitu memurnikan tujuan dan amal hanya untuk-Nya. Makna ‘berbuat kebaikan’ adalah memurnikannya dengan itqan (profesional) dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berkata Fudhail bin ’Iyadh tentang ayat, ‘Untuk menguji di antara kalian siapa yang paling baik amalnya (ahsanu amala).’ Ahsanul amal artinya paling ikhlas dan paling benar.
Ia ditanya: “Wahai Abu Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling benar?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya amal, jika ikhlas tetapi tidak benar, tidak akan diterima. Jika benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal hanya untuk Allah. Benar adalah beramal di atas sunnah.”
Kemudian Fudhail bin ‘Iyadh membaca ayat: “Maka barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal dengan amal shalih, dan jangan menyekutukan Tuhannya dengan apapun dalam beribadah.” (QS. Al Kahfi: 110).
Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa niat yang ikhlas belumlah cukup untuk diterimanya amal, selama tidak sesuai dengan syariat dan tidak dibenarkan sunnah. Sebagaimana amal yang sesuai dengan syariat tidaklah sampai derajat diterima, selama di dalamnya belum ada ikhlas dan pemurnian niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Ada dua contoh dalam masalah ini. Pertama, membangun masjid dengan tujuan merusak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berssabda: “Barangsiapa membangun masjid dalam rangka mencari wajah Allah (ridha-Nya), Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin ‘Affan).
Namun hadits mulia ini, memperingatkan kita bahwa ganjaran hanya diperuntukkan bagi mereka yang menginginkan wajah Allah (sebagian orang menerjemahkan wajah Allah dengan ridha Allah-pen), bukan untuk setiap yang membangun masjid.
Jika membangun masjid dengan tujuan rusak dan maksud yang jelek, maka hal itu akan menjadi bencana bagi yang membangunnya. Sesungguhnya niat yang buruk akan memusnahkan dan menyimpangkan amal yang baik, dan merubah kebaikan menjadi keburukan.
Kedua, berjihad untuk selain Allah Ta’ala. Jihad fi sabilillah adalah tathawwu’ (anjuran) paling utama. Seorang muslim, dengan jihad bisa ber-taqarrub kepada TuhanNya.
Namun demikian, Allah Ta’ala tidak akan menerima amal jihad sampai ia bersih dari kepentingan duniawi. Misal untuk dilihat manusia, melagakan keberanian, membela suku dan tanahnya, dan lainnya.
Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan dari Abu Musa al Asy’ary Radhiallahu ‘anhu, bahwa datanglah seorang Arab Badui kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam, ia bertanya: “Ya Rasulullah, orang yang berperang demi rampasan perang, supaya namanya disebut-sebut orang, dan supaya kedudukannya dilihat, maka siapa yang fi sabilillah?”
Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin Affan).
Imam an Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid (bagus), dari Abu Umamah Radhiallahu ‘anhu, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ‘Alaihi shalatu wa salam, lalu berkata, “Apa pendapat engkau tentang orang yang berperang untuk mendapatkan upah dan disebut-sebut namanya, apa yang ia dapatkan?”
Rasulullah menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Diulangi sampai tiga kali. Kemudian ia bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali bagi yang ikhlas dan mengharapkan wajah-Nya”.
Wallahu A’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 356 – 15 Januari 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Aug 1, 2017 | Artikel, Dakwah
Oleh: Ustad Fauzi Bahreisy
Rasulullah saw bersabda:
Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).
Artinya iman bukan hanya sebatas keyakinan dan ibadah.
Tapi ia meliputi seluruh kehidupan kita: akidah, ibadah, akhlak, muamalah, sikap, tampilan, diam, dan gerak kita.
Iman berarti hidup untuk Allah, sesuai dengan rambu Allah, dan mau diatur oleh Allah.
Iman adalah memberikan loyalitas kepada Rasul saw dan orang-orang beriman yang dicintai oleh Allah (QS al-Maidah:55)
Iman adalah memutus dan memilih seperti yang dipilihkan oleh Allah (QS an-Nisa: 65)
Iman bukan memilih yang sesuai dengan selera dan membuang yang sebaliknya. Tapi iman adalah tunduk sepenuhnya kepada Allah Swt.
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?! Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al-Baqarah (2) | Ayat: 85]
Wallahu a’lam.