0878 8077 4762 [email protected]

Tangisan Sahabat Al Qur'an (bagian 1)

Menangis merupakan karunia dari Allah SWT, ia menjadi indikator hati yang sehat dan jernih. Ibnu Abbas berkata saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua mata yang tidak disentuh api neraka yaitu, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang semalaman berjaga di jalan Allah“ (HR. Tirmidzi).
Bahkan kita harus menghawatirkan diri kita yang tidak mampu menangis terlebih karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari Allah SWT. Hal ini menunjukkan kerasnya hati. “Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.” (QS. Az Zumar : 22).
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
Beriman, menangis menjadi kebiasaan, sebagai pengaruh dari penghambaan yang tinggi kepada Rabbul ‘Izzati yang memiliki keagungan tiada batasnya. Sensitivitas hatinya sangat tajam. Ia mudah tersentuh manakala diingatkan dengan akhirat. Terlebih bagi para sahabat Al-Qur’an yang mendapatkan sentuhan langsung dari Allah SWT melalui kalam-kalam-Nya yang suci nan agung.
Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58).
Al-Qur’an adalah kitab yang dahsyat yang mampu menggetarkan hati orang yang membaca atau mendengarkan ayat-ayatnya. Pemuka-pemuka kaum Quraisy pernah meminta para jamah haji yang datang ke Makkah agar menutup kupingnya dengan kapas, karena khawatir akan terpengaruh oleh bacaan Al Qur’an yang dibaca oleh pengikut Nabi Muhammad saw.
Bacaan Al-Qur’an sangat berbekas di dalam hati orang yang beriman. Ketika membaca atau mendengarkan Al-Qur’an diantara mereka ada yang menangis dan menyungkur sujud dengan dahinya sebagaimana disebutkan dalam surat Maryam ayat 58 diatas.
Mari kita bercermin pada para pendahulu kita. Bagaimana tetesan air suci yang keluar dari kedua mata para sahabat Al-Qur’an disebabkan kecintaan mereka pada kalamullah (ayat-ayat Al-Qur’an) yang mereka baca dan mendengarnya.
Abdullah bin Mas’ud mengisahkan Rasulullah saw berkata kepadaku “Bacalah Al-Qur’an dihadapanku”. Aku berkata, “Aku membaca atasmu? Dan atasmulah Al-Qur’an itu turun”. Rasulullah berkata “Sesungguhnya aku lebih suka mendengarkannya daripada selainku”. Kemudian aku membaca surat An Nisa hingga sampai ayat 41
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)” (QS. An Nisa : 41).
Kemudian beliau berkata “Tahan bacaanmu”. Tiba-tiba kedua mata beliau meneteskan air mata. Beliau mengulangi perkataannya: ”Tahan bacaanmu”. Kemudian aku angkat kepalaku, dan aku lihat air mata Rasulullah mengalir. *bersambung

Sudahkah Kita Bersyukur?

Oleh: Ahmad Sodikun, S.Pd.I., M.Pd.I
 
Syaikh Nashr bin Muhammad As-Samarqandi dalam Syathrun Mintanbiihil Ghafilin menyebutkan, “Sebagian para tabi’in berkata “Barang siapa mendapat berbagai nikmat hendaknya mengucapkan Alhamdulillah. Barang siapa sering merasa sedih dan gelisah hendaknya mengucapkan istighfar (astaghfirullah). Barang siapa ditimpa kemiskinan hendaknya mengucapkan laa haulaa walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adziim.”
Membaca tahmid (Alhamdulillah) ketika mendapatkan nikmat merupakan salah satu indikator orang yang bersyukur. Pertanyaannya “Apakah bersyukur cukup hanya dengan mengucapkan hamdalah (Alhamdulillah)?
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan (Minhajul-Qasidin hal.103).
Adapun tugasnya hati dalam bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah :
1. Mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah Ta’ala dan bukan dari selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)….” (QS. An-Nahl : 53).
Meskipun secara zahir kita mendapatkan nikmat itu melalui banyak wasilah misalkan dari teman kita, aktivitas jual beli, bekerja atau yang lainnya, semuanya itu adalah hanyalah perantara yang Allah Ta’ala gunakan untuk memberikan nikmat-Nya.
2. Mencintai Allah Ta’ala sang pemberi nikmat.
3. Meniatkan untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai.
Adapun tugasnya lisan adalah memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut pada kita. Hamba yang bersyukur kepada Allah Ta’ala ialah hamba yang bersyukur dengan lisannya. Allah sangat senang apabila dipuji oleh hamba-Nya. Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa memuji Allah Ta’ala.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”. (QS. Adh Dhuha: 11)
Seorang hamba yang setelah makan mengucapkan rasa syukurnya dengan berdoa, maka ia telah bersyukur. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ . غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi no. 3458. Tirmidzi berkata, hadits ini adalah hadits hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum” (HR. Muslim no. 2734).
Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat tersebut untuk melakukan amal sholeh dan menahan diri agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya. Dan semua yang kita lakukan akan ditanya dan dimintai pertanggungjawabannya.
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Kemudian engkau pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang telah engkau terima di dunia)“. (QS. At-Takatsur : 8)
Saudaraku mari kita jadikan syukur mendarah daging dengan tubuh, kemudian menjadi nafas kehidupan serta menjadi tingkah laku dan perbuatan kita. Dengan demikian sebenarnya kita telah mendapatkan kenikmatan yang jauh lebih besar daripada nikmat yang telah kita terima. Al-Hasan meriwayatkan :
Apabila Allah memberi seorang hamba nikmat, besar maupun kecil, lalu ia bersyukur kepada Allah, maka ia telah diberi nikmat yang lebih besar dari yang ia terima.” (H.R. Hakim)
Wallahu a’lam

Ringkasan Taklim: Manajemen Waktu Ala Rasulullah

Kajian Kontemporer Majelis Taklim Al Iman
Bersama:
KH. DR. Ali Akhmadi, MA, Al-Hafizh.
Ahad, 3 Januari 2016
Pkl. 18.00-19.30
Di Pusat Dakwah Yayasan Telaga Insan Beriman
Jl. H. Mursid No.99B, Kebagusan, Jakarta Selatan.
Mencermati kehidupan manusia paling mulia Rasulullah SAW:

  1. Mendapatkan wahyu mulai umur 40 tahun
  2. Singkatnya waktu dalam melaksanakan tugas dakwah, hanya 23 tahun

Keberkahan umur yang Allah berikan sehingga dalam waktu yang relatif lebih singkat dapat melaksanakan berbagai tugas yang banyak dan berat dibanding nabi-nabi pendahulunya
Kewajiban kepada umat Muhammad SAW relatif lebih sedikit dibanding umat terdahulu, namun kualitasnya menyamai umat terdahulu
Kewajiban shalat 5 waktu ditambah shalat sunah yang mengiringinya hampir sama jumlahnya bahkan lebih dari kewajiban 50 waktu umat terdahulu
Berbicara waktu adalah berbicara tentang:
Al Waktu Huwal Hayah (Waktu adalah Kehidupan)
Kehidupan adalah lembaran (al-waktu shafahatun), seperti halnya buku, kita tuliskan didalamnya cerita tentang kehidupan. Dan kelak buku itu akan dibacakan kembali.
Semua hal yang kita lakukan baik amal sholeh maupun amal buruk akan ditulis. “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir” (QS. Qoff: 16-18)
Anggota badan akan menjadi saksi atas perbuatan yang dilakukan semasa hidup. “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Yasin:65).
Perbuatan yang dahulu dilakukan ketika didunia akan ditunjukkan bekas-bekasnya. “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12).
Yang selalu berbuat baik akan dihisab dengan mudah serta merasa senang dan puas dengan buku catatannya. (QS. Al Insyiqaq: 7)
Sebaliknya yang selalu berbuat jahat dan dzalim terhadap dirinya akan dimasukkan kedalam neraka dan menyesal sesal-sesalnya. (QS. Al Insyiqaq: 9-11)
Al Waktu Huwas Saif (Waktu Adalah Pedang)
Pedang yang tidak digunakan akan tumpul dan berkarat. Begitu juga dengan waktu yang kita miliki jika tidak digunakan untuk kebaikan ia akan menjadi sulit untuk merangkum berbagai kebaikan.
Sahabat Ali ra berkata: alwaktu kassaif fa in lam taqtaha’u qatha’aka [waktu seperti pedang jika kamu tidak menggunakannya untuk memotong (berbuat kebaikan) maka waktu akan memotongmu (menjadi penyesalan)]
Kelak amal-amal baik akan menjadi teman yang setia hingga menghadap Rabbnya.
Amal buruk akan menjadi beban dan penyebab siksa neraka
Al Waktu Huwal Fulus (Waktu adalah Uang)
Orang barat menganggap “time is money” maksudnya waktu adalah penghasilan
Waktu yang sudah kita lewati menghasilkan apa?
Yang menguntungkan? Atau merugi?
Sahabat pernah bertanya “mata sa’ah” (kapan hari kiamat) Rasulullah menjawab “madza a’dadta lahaa” (apa yang telah kamu persiapkan untuknya?).
Orang yang pandai adalah yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk kehidupan setelah mati
Bagi orang beriman tentulah memahami pentingnya waktu, setiap detiknya harus menghasilkan. Dua rakaat sebelum shubuh misalnya keutamaannya menyamai kebaikan sebesar dunia dan seisinya. Belum lagi fadhilah dari dzikir, sadaqah dan lain sebagainya yang masih bisa digandakan sesuai kehendak Allah SWT.
Waktu adalah modal yang paling utama dalam kehidupan ini. Modal yang Allah berikan sama dengan
 
1 hari = 24 jam
1 pekan = 168 jam
1 bulan = 720 jam
1 tahun = 8640 jam
Begitu juga yang diberikan kepada Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Yang membedakan adalah keberkahan dari waktu tersebut.
***
Majelis Taklim Al Iman
Tiap Ahad. Pkl. 18.00-19.30
Kebagusan, Jakarta Selatan.
Jadwal Pengajian:
● Tadabbur Al Qur’an tiap pekan 2 dan 4 bersama Ust. Fauzi Bahreisy
● Kitab Riyadhus Shalihin tiap pekan 3 bersama Ust. Rasyid Bakhabzy, Lc
● Kontemporer tiap pekan 1 bersama ustadz dengan berbagai disiplin keilmuwan.
•••
Salurkan donasi terbaik Anda untuk mendukung program dakwah Majelis Ta’lim Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya
 

Kasih Sayang Allah

Oleh: Ahmad Sodikun, S.Pd.I, M.Pd.I
 
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Seorang lelaki yang sedang melakukan perjalanan merasa sangat haus. Ia menemukan sumur, lalu turun dan minum. Ketika keluar dari sumur, ia melihat seekor anjing terengah-engah, menjilat-jilat tanah kehausan. Lelaki itu berkata, anjing ini sangat haus sebagaimana yang kurasakan. Ia lalu turun ke sumur, memenuhi sepatunya dengan air. Digigitnya sepatu itu lalu ia naik ke atas. Air itu lalu diminumkan pada anjing yang sedang kehausan itu. Allah ta’ala memujinya dan mengampuni dosanya. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita mendapat pahala jika berbuat baik pada hewan?” Beliau menjawab, “Setiap perbuatan baik pada yang bernyawa ada pahalanya”.
Al-Hasan meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersifat kasih. Para sahabat berkata, kita semua pengasih. Beliau berkata, Bukan kasih sayang kalian pada diri kalian sendiri, tetapi kasih sayang kalian terhadap umat manusia secara umum. Tidak dapat menyayangi mereka semua kecuali Allah.
Abu Ubaidillah berkata, “Jika kalian melihat saudara kalian terkena hukuman Allah, jangan kalian mengutuknya, jangan kalian membantu syetan (dengan kutukan itu), tetapi katakanlah
اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ
“Ya Allah kasihanillah dia, Ya Allah ampunilah dia”
Asy-Sya’bi berkata, bahwa Nu’man bin Basyir naik mimbar, memuji Allah lalu berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Seharusnya kaum muslimin itu saling menasihati dan saling menyayangi. Mereka ibarat satu tubuh yang bila sakit salah satu bagiannya, maka tubuh itu tidak akan dapat tidur sampai rasa sakit itu hilang.”
Anas bin Malik bercerita, “Ketika Umar berkeliling untuk jaga malam, ia melewati rombongan yang baru datang, Ia mendatangi Abdurrahman bin ‘Auf. Apa maksud kedatanganmu malam-malam begini ya Amirul Mu’minin? Tanya Abdurrahman bin ‘Auf. Aku baru saja melewati rombongan yang baru saja datang, aku khawatir jika mereka tidur nanti datang pencuri. Ikutlah bersamaku untuk menjaga mereka, kata Umar. Mereka berdua lalu mendatangi rombongan itu dan berjaga sepanjang malam. Setelah masuk shubuh, Umar berseru berulang kali, ‘Hai anggota rombongan, shalat..shalatlah!’. Umar dan Abdurrahman bin ‘Auf baru pulang setelah para anggota rombongan terbangun dari tidur mereka.”
Seharusnya kita meneladani generasi terdahulu. Allah memuji para sahabat Nabi SAW karena kasih sayang yang terjalin di antara mereka:
رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡۖ  الفتح:29
Bersifat kasih sayang di antara mereka
Mereka dahulu sangat kasih kepada kaum muslimin dan kepada semua makhluk, bahkan mereka juga menyayangi orang-orang kafir dzimmi. Kisah mengharukan yang diriwayatkan dari Umar ra bahwa ia melihat seorang tua miskin dari kaum kafir dzimmi meminta-minta di pintu rumah orang. Umar berkata, “Kami tidak berlaku adil terhadapmu. Kami mengambil jizyah sewaktu kau masih muda, sekarang kami menyia-nyiakanmu.” Lalu ia memerintahkan orang agar orang tua miskin itu diberi bantuan dari baitul mal untuk kebutuhan hidupnya.
Saudaraku, sungguh indah kehidupan yang dipenuhi dengan kasih sayang, kedamaian terasa disetiap penjuru kehidupan. Tidak ada yang dirugikan apalagi terdzalimi.
Tapi, hari ini kasih sayang terasa langka, tidak ada kedamaian, perang menjadi sebuah kebiasaan, pembunuhan terhadap sesama seolah hal yang biasa-biasa saja. Bagaimana Allah akan menurunkan kasih sayang-Nya, sedang manusia tidak menyayangi sesamanya.
Sebagian sahabat meriwayatkan:
اَلرَّاحِمُيَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمْ مَنْ فِى اْلأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Tuhan Ar-Rahman. Sayangilah yang di bumi niscaya yang dilangit akan menyayangi kalian” (kalimat ini juga merupakan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Wallahua’lam.
(disarikan dari kitab Syathrun min Tanbihil Ghafiiliin bab Ar-Rahmah Wasy-syafaqah karya Syeikh Nashr bin Muhammad As-Samarqandi dengan sedikit gubahan)
ed : danw