by Sharia Consulting Center scc | Jun 14, 2016 | Artikel, Ramadhan
Jumlah Rakaat Tarawih
Dalam riwayat Bukhari tidak menyebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan tarawih.
Demikian juga riwayat ‘Aisyah -yang menjelaskan tentang tiga malam Nabi Saw mendirikan tarawih bersama para sahabat- tidak menyebutkan jumlah rakaatnya, sekalipun dalam riwayat ‘Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya pembedaan oleh Nabi Saw tentang jumlah rakaat shalat malam, baik di dalam maupun di luar Ramadhan.
Namun riwayat ini tampak pada konteks yang lebih umum yaitu shalat malam. Hal itu terlihat pada kecenderungan para ulama yang meletakkan riwayat ini pada bab shalat malam secara umum.
Misalnya Imam Bukhari meletakkannya pada bab shalat tahajud, Imam Malik dalam Muwatha’ pada bab shalat witir Nabi Saw (lihat Fathul Bari 4/250; Muwatha’ dalam Tanwir Hawalaik: 141).
Hal tersebut memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39 rakaat.
Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat berikut:
a. Hadits Aisyah:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
Artinya: “Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan” (lihat al-Fath : ibid).
b. Imam Malik dalam Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang.
Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman dinyatakan bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat (lihat al-Muwatha’ dalam Tanwirul Hawalaik: 138).
c. Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir).
Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan asy-Syafi’i (lihat Fiqhu Sunnah: 1/195).
d. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya (al-Fath: ibid ).
e. Imam asy-Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat. Sedangkan di Makkah 33 rakaat. Dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran (al-Fath : ibid).
Dari riwayat diatas jelas bahwa akar persoalan dalam jumlah rakaat tarawih bukanlah persoalan jumlah melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan.
Ibnu Hajar berpendapat: “Bahwa perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Asy-Syafi’i: “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Jika shalatnya pendek dan jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama”.
Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa :
- Orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Saw.
- Dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar Ra
- Sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh Salafus shalih dari generasi sahabat dan tabi’in.
Bahkan menurut Imam Malik ra hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad ra bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250 dan seterusnya).
Imam az-Zarqani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang.
Namun menjadi bergeser pada 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan dalam mendirikannya oleh umat Islam.
Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama (Lihat hasyiah Fiqhu Sunnah : 1/195).
Dengan demikian tidak ada alasan yang mendasar untuk saling memperdebatkan satu dengan yang lain dalam jumlah shalat tarawih, apalagi menjadi sebab perpecahan umat. Padahal persatuan umat adalah sesuatu yang wajib.
Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi perhatian dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media yang komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin, sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersama-Nya di manapun berada.
*bersambung
Sumber :
Buku Panduan Lengkap Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center
by Sharia Consulting Center scc | Jun 10, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: Sharia Consulting Center
Qiyam (Shalat Malam) Ramadhan berupa shalat tarawih adalah salah satu rangkaian ibadah pada bulan Ramadhan. Hukumnya sangat dianjurkan oleh Rasulullah (sunnah), bahkan beliau tidak pernah meninggalkannya.
Namun dalam pelaksanaannya, seringkali terdapat gangguan dalam ukhuwwah Islamiyyah (persatuan Islam) yang hukumnya lebih wajib.
Hal itu disebabkan oleh beberapa perbedaan yang terkait dengan pelaksanaannya. Karena itu kami membuat panduan ini, agar umat Islam dapat memahami berbagai aspek dan alasan perbedaannya.
Harapan kami setelah mengetahui seluk beluk perbedaan tersebut, dapat melahirkan sikap saling memahami dan menghormati dalam melaksanakan qiyam Ramadhan dengan tetap menjaga rasa ukhuwah Islamiyyah.
Anjuran Melaksanakan Qiyam dan Tarawih di Bulan Ramadhan
Merupakan anjuran Nabi Saw untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan memperbanyak shalat. Sebagaimana hal itu juga dapat terpenuhi dengan mendirikan tarawih di sepanjang malamnya.
Fakta adanya pemberlakuan shalat tarawih secara turun temurun sejak Nabi Saw hingga sekarang merupakan dalil yang tidak dapat dibantah akan masyru’iyahnya (disyariatkan untuk dikerjakan). Oleh karenanya para ulama menyatakan konsensus dalam hal tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ بِعَزِيمَةٍ وَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Dari Abu Hurairah menceritakan, bahwa Nabi Saw sangat menganjurkan qiyam Ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi Saw bersabda: ”Barangsiapa yang mendirikan shalat di malam Ramadhan penuh dengan keimanan dan harapan maka ia diampuni dosa-dosa yang telah lampau “ (Muttafaq ‘alaihi, lafazh Imam Muslim dalam shahihnya: 6/40)
Pemberlakuan Jamaah Shalat Tarawih
Pada awalnya shalat tarawih dilaksanakan Nabi Saw dengan sebagian sahabat secara berjamaah di masjidnya, namun setelah berjalan tiga malam, Nabi Saw membiarkan para sahabat melakukan tarawih secara sendiri-sendiri.
Hingga suatu saat kemudian, ketika Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabi Saw, terbesit dalam pikiran Umar untuk menyatukannya. Sehingga terselenggaralah shalat tarawih berjamaah yang dipimpin Ubay bin Kaab.
(Baca juga: Perkara yang Membatalkan Puasa)
Hal itu sebagaimana terekam dalam hadits muttafaq alaihi riwayat ‘Aisyah (al-Lu’lu’ wal Marjan: 436).
Dari sini mayoritas ulama menetapkan sunnahnya pemberlakuan shalat tarawih secara berjamaah (lihat Syarh Muslim oleh Nawawi : 6/39).
Wanita Melaksanakan Tarawih
Pada dasarnya keutamaan wanita dalam menjalankan shalat, termasuk shalat tarawih lebih baik dalam rumahnya.
Namun jika tidak ke masjid, dia tidak berkesempatan melaksanakannya. Maka kepergiannya ke masjid untuk hal tersebut akan memperoleh kebaikan yang sangat banyak. Pelaksanaannya tetap memperhatikan etika wanita ketika berada di luar rumah. *bersambung
Sumber :
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Sharia Consulting Center scc | Jun 8, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: Sharia Consulting Center
Perkara yang membatalkan puasa dan mengharuskan untuk qadha (diganti dihari lain),
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Jika makan dan minum itu dilakukan tidak dengan sengaja, seperti lupa maka tidak membatalkan puasa, dan tidak mengharuskan untuk diqadha. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:
” من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله وسقاه ” رواه الجماعة
“Barangsiapa yang lupa sedangkan ia sedang berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka teruskan puasanya, karena ia telah diberi makanan dan minuman oleh Allah Swt.”
Hal yang sama juga, minuman atau obat-obatan yang bisa berfungsi seperti makanan, seperti infus, vitamin, dan lainnya.
2. Muntah dengan sengaja.
Jika muntah tanpa sengaja, maka puasanya tidak batal, dan tidak wajib diqadha. Seperti yang disabdakan oleh Nabi Saw:
” من ذرعه القيء فليس عليه قضاء ، ومن استقاه عمدا فليقض ” رواه أحمد وأبو داود وابن ماجة والحاكم وصححه
“Barangsiapa yang muntah dengan tidak sengaja, maka tidak diwajibkan baginya qadha, dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengqadha”.
(Baca juga: Beberapa Hal Makruh dalam Puasa)
3. Haidh dan nifas
Walaupun sedikit dan terjadi sesaat menjelang terbenamnya matahari.
4. Istimna’
Yaitu mengeluarkan air mani dengan sengaja, baik dengan onani, mengkhayal, atau mencium isterinya.
5. Memasukkan sesuatu yang bukan makanan pokok melalui lubang yang bisa sampai ke perut besar, seperti gula, garam, mentega, dan lain lain.
6. Makan, minum dan bersetubuh dengan meyakini bahwa matahari sudah terbenam atau fajar belum terbit, ternyata sebaliknya, matahari belum terbenam atau fajar sudah terbit.
Dalam keadaan seperti ini batallah puasa dan baginya wajib mengqadhanya di kemudian hari.
Sumber :
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Sharia Consulting Center scc | Jun 7, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: Sharia Consulting Center
Hal hal yang dimakruhkan ketika berpuasa adalah
1. Puasa wishal (puasa dua hari bersambung tanpa makan -berbuka/sahur).
Hal ini makruh menurut mayoritas ulama, dan haram menurut madzhab Syafi’i. Dikecualikan bagi diri Nabi Muhammad Saw yang hukumnya boleh, sebagaimana yang termuat dalam haditsnya Ibnu Umar:
” واصل رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان، فواصل الناس، فنهى رسول الله عن الوصال ، فقالوا : إنك تواصل ؟ قال : إني لست كأحدكم ، إني أظل يطعمني ربي ويسقيني ” متفق عليه
“Rasulullah Saw melakukan puasa wishal pada bulan Ramadhan, maka orang-orang pun ikut melakukan wishal, kemudian Nabi melarang mereka agar tidak melakukan wishal. Mereka berkata: “Tapi, engkau melakukan wishal?”. Beliau bersabda: “Aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum oleh Allah“. (Muttafaqun alaih).
2. Melakukan hubungan mesra
Yakni dengan suami/isteri tanpa bersetubuh seperti mencium, meraba, dan lain lain. Karena dikhawatirkan bisa mengeluarkan air mani yang bisa membatalkan puasa. Dan dikhawatirkan jatuh dalam persetubuhan yang haram untuk dilakukan saat puasa, yang bisa memberatkan dalam hukuman batalnya puasa.
3. Berlebih-lebihan dalam melakukan hal yang mubah, seperti mencium wangi-wangian di siang hari bulan Ramadhan.
(Baca juga: Hal-hal yang Disunnahkan dalam Puasa)
4. Mencicipi makanan
Karena dikhawatirkan bisa tertelan dan bisa tercampur ludah yang kemudian tertelan.
5. Berkumur dan istinsyaq (menghirup air dengan hidung) secara berlebihan
Karena dikhawatirkan bisa tertelan yang mengakibatkan puasanya menjadi batal.
Sumber :
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Sharia Consulting Center scc | Jun 6, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: Sharia Consulting Center
1. Sahur
Walaupun dengan seteguk air, karena bisa menguatkan fisik seseorang untuk berpuasa di siang harinya, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw bersabda :
” تسحروا فإن السحور بركة ” رواه البخاري ومسلم
“Makan sahurlah kalian, karena sahur itu berkah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sunnahnya lagi, sahur itu dilakukan diakhir malam menjelang fajar, agar pengaruh sahur untuk kekuatan fisik di siang hari itu masih terasa.
2. Menyegerakan berbuka.
Ketika sudah adanya keyakinan bahwa matahari sudah terbenam, dan sebelum dilakukannya shalat Maghrib. Rasulullah Saw bersabda :
” لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر ” متفق عليه
“Manusia masih dalam kebaikan selagi ia masih mau menyegerakan berbuka puasa” (Muttafaqun alaih).
Makanan berbuka yang digunakan untuk berbuka pertama kali, sunnahnya adalah korma, atau manis manisan, atau air.
3. Berdo’a ketika akan berbuka
Dengan do’a yang ma’tsur dari Rasulullah Saw:
” اللهم لك صمت ، وعلى رزقك أفطرت ، وعليك توكلت ، وبك آمنت ، ذهب الظمأ ، وابتلت العروق ، وثبت الأجر إن شاء الله تعالى ، يا واسع الفضل اغفرلي ، الحمد لله الذي أعانني فصمت ، ورزقني فأفطرت ”
“Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, kepada-Mu aku berserah diri, dan kepada-Mu aku beriman, hilanglah rasa haus, tenggorokan menjadi basah. Semoga pahala dilimpahkan, insya Allah, wahai Dzat yang Maha luas anugerahnya ampunilah aku, segala puji bagi Dzat yang telah memberikan pertolongan kepadaku hingga aku bisa berpuasa, dan memberikan rezeki kepadaku hingga aku bisa berbuka”
4. Menahan anggota tubuh.
Untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa mengurangi pahala puasa, seperti perkataan atau perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Rasulullah Saw:
” من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan atau perbuatan kotor, maka Allah tidak merasa butuh baginya yang telah meninggalkan makanan dan minumannya” (HR Bukhari).
(Baca juga: Penentuan Awal Ramadhan dalam Perspektif Sunnah)
5. Berusaha untuk mandi janabah
Yaitu mandi setelah haidh atau nifas sebelum fajar, agar puasanya sejak pagi sudah dalam keadaan suci, walaupun jika mandinya dilakukan setelah fajar tetap puasanya dianggap sah.
6. Memberi makan buka puasa
Memberi pada orang lain untuk berbuka puasa baik makanan ringan, minuman atau lainnya, walaupun yang lebih utama adalah yang mengenyangkan. Rasulullah Saw bersabda:
” من فطر صائما كان له مثل أجره غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيء ” رواه الترمذي وصححه
“Barangsiapa yang memberi makan pada orang yang berpuasa, maka baginya pahala puasa, tanpa harus mengurangi pahalanya orang yang puasa itu.” (HR. Turmudzi)
7. Berbuat baik pada sanak saudara dan kerabat, serta memperbanyak shadaqah kepada faqir miskin
Agar mereka bisa menjalankan puasa dengan tenang tanpa harus memikirkan kebutuhan makan dan minum pada hari itu. Sebagaimana yang tersurat dalam satu riwayat:
” كان صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير ، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل ”
“Rasulullah Saw adalah orang yang paling dermawan dalam berbagai macam kebaikan, dan paling banyak kedermawanan beliau dilakukan pada bulan Ramadhan saat Jibril menemuinya.”
8. Menyibukkan diri dengan dzikir, tilawah al Qur’an dan menghadiri kajian-kajian Islam
Karena kebaikan yang dilakukan di bulan Ramadhan, pahalanya akan dilipatgandakan, dan karena Jibril selalu datang menemui Nabi setiap bulan Ramadhan untuk saling membaca dan memperdengarkan Al Qur’an.
(Baca juga: Bagaimana Melatih Anak Berpuasa)
9. I’tikaf
Terutama pada sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan, sebagai sarana yang paling ampuh untuk menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan berbagai larangan larangannya. Disamping sebagai upaya untuk dapat menggapai malam Lailatul Qadar. Hal-hal yang berkaitan dengan i’tikaf akan dibahas dalam bab tersendiri insya Allah.
Sumber:
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center