by Sugeng Aminudin S.Sos.I. M.PI. sugengaminudin | Mar 3, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh: Sugeng Aminudin M.P.I
Salah satu sebab perkembangan ushul fiqih terkesan mandeg adalah bahwa wilayah disiplin ilmu ini seakan terbatas pada wilayah hukum saja. Padahal wilayahnya sangat luas dan mencakup semua aspek kehidupan. Jika kita kembalikan makna fiqih secara bahasa yang berarti paham [1] maka seharusnya ushul fiqih bermakna ilmu yang membahas methode, dasar-dasar pendekatan untuk memahami segala sesuatu.
Selaras dengan semangat Syeikh Al-Qardhawi dalam merekonstruksi makna fiqih. Menurut beliau bahwa fiqih adalah sebuah pemahaman yang komprehensif dan utuh terhadap Islam [2]. Anggapan bahwa wilayah cakupan ushul fiqih terbatas pada wilayah hukum saja, dan seolah-olah disiplin ilmu lain tidak butuh ushul fiqih.
Menurut Minhaji [3], hal ini terjadi karena beberapa hal; pertama, karena Imam Syafi’i sebagai pendiri ilmu ini dikenal sebagai ahli hukum. Kedua, hukum Islam dipandang sebagai salah satu ajaran pokok dalam Islam. Ketiga, pada masa pra modern, hukum Islam terutama terkait permasalahan madzahib ditengarai sebagai penyebab kemunduran umat Islam, karena itu para pengkaji Islam merasa apriori dan memandang sebelah mata bahkan phobi pada semua hal terkait dengan hukum Islam, terutama ushul fiqih.
Dengan demikian secara otomatis metode dan pendekatan dalam wilayah kajian ushul fiqih harus diperluas. Hal ini merupakan tantangan para ahli dan akademisi untuk membuat semacam metode komsprehensif, utuh, holistik dan kemudian dari metode ini melahirkan kurikulum yang aplikatif, dinamis, komprehensif, utuh/kulli dan fungsional.
Urgensi Standarisasi Kurikulum Ushul Fiqih dalam Menjaga Aqidah dan Pemikiran
Pada tataran teoritis dan konseptual, kita dapatkan sangat sedikitnya seorang akademisi yang secara serius mendalami ilmu ushul fiqih sebagai basic landasan berpikir bagi disiplin cabang ilmu yang dia tekuni. Kebanyakan adalah para pakar pendidikan, pakar ekonomi, pakar hadist dan lain-lain yang fasih berbicara tentang ilmu yang dia tekuni tetapi awam dalam ushul fiqih. Sebaliknya juga banyak pakar yang mahir ushul fiqih tetapi tidak paham tentang cara penerapan ilmu ushul fiqih dalam masalah kontemporer.
Sebagai contoh kasus adalah terkait konsep qath’i dan zhanni. Qath’i dan zhanni adalah pembahasan ushul fiqih menyangkut persoalan al-tsubut (ketetapan) atau al-wurud (datangnya sumber), dan al-dalalah (penunjukan kandungan makna). Maka jika di katakan sebuah nash qath’iyatu al-tsubut artinya bahwa nash tersebut qath’i (pasti) datangnya dari sumber yang sama sekali tidak diragukan, karena pasti kebenarannya. Jika dikatakan sebuah nash qath’iyatu al-dalalah maka teksnya menunjukkan pada makna tertentu yang dapat dipahami darinya, tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan, dan tidak ada peluang untuk memahami makna selain dari makna tekstualnya.
Banyak para akademisi kita yang notabene sudah bergelar guru besar sekalipun belum mapan dalam memahami konsep qath’i dan zhanni. Mereka merasa bingung atau bahkan imma’ah (membeo) dengan pendapat para oreantalis, yang kita semua tahu bahwa para oreantalis mempelajari Islam bukan untuk khidmah terhadap Islam akan tetapi untuk menghancurkan Islam dari pondasinya. Dan hasilnya mereka, para mahasiswa dan akademisi kita menggugat nash-nash Al Qur’an yang qath’iyatu al-dalalah, yang maknanya sudah jelas dan pasti tidak mengandung makna lain selainnya. Mereka menggugat ayat-ayat waris, jilbab, poligami, gender, zakat, kepemimpinan dan ayat-ayat lain. Mereka beralasan demi keadilan, kemashlahatan maka ayat-ayat tersebut harus ditafsir ulang versi mereka.
Persoalan ini memang bukan hanya persoalan akademik yang solusinya harus melibatkan perubahan dalam pengembangan kurikulum dan silabus pengajaran usul fiqih, akan tetapi juga persoalan-persoalan birokrasi dan political will, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang ada.
Ketika menjadi persoalan akademik, maka peran perguruan tinggi menjadi sangat penting dalam pemecahannya. Untuk menjaga aqidah dan pemikiran mahasiswa dan akademisi kita, perguruan tinggi dituntut menyiapkan pengembangan kurikulum dan perumusan silabus yang standar, tepat dan memadai, sehingga mampu menjamin output lulusannya memiliki basis/pondasi aqidah dan pemikiran yang benar.
Dengan dibukanya berbagi program studi keislaman di perguruan tinggi, maka ushul fiqih harusnya menjadi bagian integral dari sistem pengajaran fakultas dan jurusan itu. Dan sudah menjadi keharusan bagi institusi perguruan tinggi untuk mempersiapkan output lulusannya. Lulusan perguruan tinggi Islam harus memiliki kualitas yang memenuhi kualifikasi yang standar pada ilmu ushul fiqih dan aplikasinya khususnya pada kompetensi bidang ilmu yang dia tekuni.
Untuk menjawab tantangan tersebut pemerintah harus berupaya secara sistematis, baik Diknas maupun Depag khususnya yang menangani pendidikan tinggi Islam dengan menyediakan kurikulum ushul fiqih untuk level program studi sarjana S-1, S-2 dan S3. Upaya perubahan dalam pengembangan kurikulum dan silabus dalam sistem pendidikan ushul fiqih harus melibatkan semua elemen institusi pendidikan pada perguruan tinggi Islam termasuklan birokrasi dan political will. Karena jika hal ini di lakukan secara terpisah (masing-masing) oleh seluruh Perguruan Tinggi hal tersebut menimbulkan perbedaan kurikulum yang diajarkan, padahal standar yang ingin dicapai sama, yaitu kurikulum standar yang menjadi acuan bersama.
Saat ini penyusunan kurikulum ushul fiqih oleh masing-masing perguruan tinggi Islam secara sendiri-sendiri dilakukan berdasarkan latar belakang akademik para pengajarnya semata. Bahkan, kurikulum tersebut kadang disusun oleh yang bukan ahlinya. Misalnya disusun oleh ahli pendidikan atau ahli ilmu sosial atau pemikiran Islam. Mereka sama sekali tidak mendalami apalagi memahami ushul fiqih. Hasilnya kurikulum ushul fiqih kurang diimbangi dengan penelitian, analisis dan aplikasi terhadap perkembangan masalah-masalah kontemporer dan kebutuhan kompetensi dari intsitusi-instusi terhadap lulusan perguruan tinggi.
Untuk merumuskan kurikulum nasional ushul fiqih yang standar yang bisa menjadi acuan perguruan tinggi tersebut, para pakar baik dari kalangan akademisi maupun praktisi dari kalangan ulama harus terlibat aktif melakukan analisa komprehensif terhadap kurikulum ushul fiqih melalui studi data primer dan studi data sekunder. Dan melakukan kajian, komparasi dan analisis terhadap kurikulum beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia dan luar negeri. Dari upaya ini akan lahir sebuah kurikulum nasional ushul fiqih yang dapat menjadi acuan (standar) yang mampu menjawab tantangan dan kemajuan zaman khususnya isu-isu pemikiran kontemporer.
Referensi :
[1] Fiqih scara bahasa berarti paham, lihat Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih, hal 23, sedangkan fiqih secara istilah berarti suatu disiplin ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang berupa amal perbuatan disertai dengan dalil-dalil yang terperinci. Lihat : Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 25
[2] Yusuf Qardhawi. Aulawiyat al-ahkam fi al-marhalah al-Qadimah. Muasasah Risalah:Beirut 1997, hal.26
[3] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih, hal.23
by Sugeng Aminudin S.Sos.I. M.PI. sugengaminudin | Feb 22, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh: Sugeng Aminudin M.P.I
Saat ini, kurikulum ushul fiqih yang dikembangkan di perguruan tinggi Islam masih berkutat dengan isu-isu pemikiran beberapa abad silam, sangat sedikit berbicara tentang isu-isu kontemporer. Literatur ushul fiqih kita lebih didominasi contoh kasus-kasus ibadah, jinayah, munakahat. Akibatnya, mata kuliah ushul fiqh yang diajarkan tidak bisa menjawab dan merespon isu-isu pemikiran dan problem serta sejumlah kasus-kasus kontemporer yang terus bermunculan.
Kesenjangan ini pada gilirannya tidak mampu mengantar seorang akademisi kepada pemahaman metodologi istinbath yang benar terhadap problem kontemporer khususnya isu-isu pemikiran yang terus berkembang dan semakin kompleks. Akibatnya banyaknya kita temui produk produk pemikiran para akademisi kita yang aneh, asing dan jauh dari kaidah-kaidah istinbath (penggalian) hukum yang benar.
Kesenjangan antara materi ushul fiqih yang diajarkan dengan isu-isu pemikiran kontemporer tidak boleh dibiarkan berlangsung. Kemandulan pada ushul fiqh dalam merespon isu pemikiran kontemporer akan membuka peluang pemikiran bahwa ushul fiqh tidak fungsional, tidak aplikatif dan tidak mampu berbicara pada kasus kasus tersebut, dan lebih jauh lagi muncul anggapan bahwa ushul fiqh hanya fasih berbicara masalah ritual peribadahan saja tetapi mandul ketika harus merespon isu-isu pemikiran kontemporer.
Urgensi dan Kedudukan Ilmu Ushul Fiqih
Neraca untuk menilai sesuatu itu urgen atau tidak adalah dengan melihat sisi manfaatnya, semakin besar manfaatnya maka sesuatu itu akan semakin penting dan begitu juga sebaliknya. Ushul fiqih menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalil yang rinci, peran neraca ini adalah untuk mendapatkan keadilan sekaligus alat untuk mengetahui seseuatu itu adil atau tidak[1].
Inilah kemudian mengapa semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang sangat penting kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah. Menurut Al-Alamah ibnu Khaldun dalam muqadimahnya mengatakan bahwa, ilmu ushul fiqih merupakan ilmu syariah yang paling agung dan paling banyak faidahnya[2].
Ushul fiqih memuat prinsip-prinsip metodologi ilmu Islam, bisa diibaratkan ushul fiqih adalah sebuah mesin produksi dan produknya adalah fiqih. Maka jika pemikiran dalam fiqih tidak berkembang, bahkan cacat, ini di akibatkan kurangnya penguasaan kita terhadap alat produksi tersebut, sehingga kita kesulitan dan bahkan gagal untuk membuat produk fiqih yang benar. Atau sebaliknya keterbatasan pengetahuan kita terhadap tuntutan inovasi produk, sehingga ushul fiqih menjadi mandul dan tidak up to date, fungsional dan sekaligus aplikatif.
Ushul fiqih sebagai alat istinthoqunnash (alat untuk membuat nash-nash berbicara terhadap setiap permasalahan) seharusnya fungsional, mampu berbicara dan menjawab setiap isu-isu pemikiran kontemporer bukan terbatas pada masalah hukum saja tapi pada semua kompetensi, disiplin ilmu dan semua aspek kehidupan manusia.
Referensi:
[1] I’lam muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul hadits
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.: Dar al-Bayan, t.th.), h. 452
by Sugeng Aminudin S.Sos.I. M.PI. sugengaminudin | Dec 24, 2015 | Artikel
Masalah yang sangat mendasar yang dihadapi umat islam adalah masalah pemikiran. Dimana pemikiran adalah sumber aqidah, keyakinan dan idiologi yang kemudian melandasi semua tindakan.
Lantas muncul pertanyaan yang sangat mendasar, barometer apa yang di gunakan untuk menghukumi bahwa sebuah pemikiran sesuai dan selaras dengan islam. Atau dengan kata lain apakah pemikiran tersebut merupakan khidmah dan solusi untuk umat dan dalam rangka menegakkan kemuliaan islam, atau malah sebaliknya, menghancurkan, menodai dan melecehkan islam? Timbangan apa yang digunakan untuk menghukumi bahwa sebuah pemikiran itu benar atau salah, islami atau tidak?
Karena begitu banyak aliran pemikiran dan keyakinan terus berkembang dari zaman kezaman yang mengatasnamakan islam, dari liberalisme, sekulerisme, islam progressif, islam nusantara dll. Bukankah semua isme dan aliran ini harus di uji kebenarannya supaya bukan hanya slogan dan klaim semata.
Umat islam tidak punya problem sama sekali dengan sumber agamanya, karena sumber agama islam (Alqur’an dan hadist ) telah sempurna dan terjaga kemurniannya sampai hari kiamat. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana memahami tafsir dari kedua sumber tersebut, bagaimana metodologi membuat sumber tersebut berbicara, menjawab dan kemudian memberikan solusi pada problematika dalam semua sisi kehidupan. Bagaimana metodologi yang benar dalam menafsirkan sumber-sumber tersebut, sehingga terjamin dari kesalahan istinbath dan tafsir yang akan membahayakan umat islam dan juga akan menampilkan wajah islam yang bukan sebenarnya.
Awal Kelahiran Ushul Fiqih
Diawal kelahirannya, ushul fiqh, yang kemudian ditulis pertama kali oleh imam Syafi’I adalah sebagai jawaban dari permasalahan manhaj atau metodologi, tuntutan atas metodologi ilmiah yang dihadapi umat islam. Baik permasalahan itu terkait dengan sumber hukum atau kaitannya dengan metodologi tafsir terhadap sumber tersebut. Menurut beliau pengertian Ushul fiqh adalah pengetahuan terhadap dali-dalil fiqh secara umum, bagaimana metodologi isthinbath hukum dengannya dan juga terkait tentang orang-orang yang berusaha dalam isthinbath tersebut (apakah mujtahid atau muqallid)
Ushul fiqh menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal (metodologi berpikir) manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalilnya yang rinci, peran neraca ini adalah untuk mendapatkan keadilan, sekaligus alat untuk mengetahui sesuatu itu adil atau tidak, benar atau salah .
Salah satu sisi yang juga tak kalah pentingnya mengapa ilmu ini begitu urgen adalah bahwa ilmu ini memuat metodologi penggabungan beberapa ilmu secara komprehensif di dalamnya: Ilmu Al-Lughah dan turunannya, Ilmu al-Mantiq, Ilmu al-Falsafah, Ilmu al-Kalam, Ulum al-Quran, Ulum al-Hadith, Ilmu al-Fiqh, Ilmu al-Jidal, Ulum al-Insan dan sebagainya.
Dasar dari metodologi penggabungan ini ialah untuk pencapaian produk hukum yang tepat dan benar, holistik (kulli) dan tidak parsial (juz’i). Maka tepat jika dikatakan bahwa ilmu ini adalah induk dari semua ilmu syariah.
Iniilah kemudian mengapa Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqh menduduki posisi yang sangat penting kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah.
Ilmu Ushul Fiqih menurut Ulama
Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Siapa yang tidak menguasai ilmu ushul fiqh, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.”
Imam Asy-Syatibi (w.790 H), dalam Al-Muwafaqat mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya.
Ilmu Ushul fiqh menurut jumhur Ulama adalah ilmu hukum Islam yang sering disebut sebagai The Principles of Islamic Jurisprudence. Artinya ushul fiqh bermuatan prinsip-prinsip metodologi dan kaidah yurisprudensi Islam (ilmu hukum Islam), bahkan ushul fiqh itu sebenarnya adalah metodologi yurisprudensi Islam yang bukan saja berupa prinsip-prinsip ilmu hukum Islam.
Ushul fiqh berisi teori-teori hukum Islam, kaidah-kaidah perumusan dan penetapan hukum atau dictum Islam. Ushul fiqh adalah disiplin ilmu syariah yang memberikan landasan dan kerangka epistemologi semua cabang ilmu -ilmu keislaman, sehingga, kajian epistemologi cabang ilmu -ilmu keislaman tidak mungkin bisa melepaskan diri dari disiplin ilmu ushul fiqh.
Dengan perkataan lain ushul fiqh adalah disiplin ilmu yang paling penting sebagai perangkat metodologis yang paling berkompeten guna menyusun, membentuk dan memberi corak bukan saja pada produk fiqh akan tetapi semua cabang ilmu-ilmu keislaman, seperti ilmu dakwah, tarbiyah, aqidah dan lain-lain.
Anggapan bahwa wilayah cakupan ilmu ini terbatas pada wilayah hukum saja, dan seolah-olah disiplin ilmu lain tidak butuh ushul fiqh.
Menurut Minhaji, hal ini terjadi karena beberapa hal; pertama, karena Imam Syafi’I sebagai pendiri ilmu ini di kenal sebagai ahli hukum. Kedua, hukum islam dipandang sebagai salah satu ajaran pokok dalam islam. Ketiga, pada masa pra-modern, hukum islam, terutama terkait permasalahan madzahib di tengarai sebagai penyebab kemunduran umat islam, karena itu para pengkaji islam merasa apriori dan memandang sebelah mata bahkan phobi pada semua hal terkait dengan hukum islam, terutama ushul fiqh.
Wilayah kajian ushul fiqh sangat luas dan mencakup semua aspek kehidupan. Jika kita kembalikan makna fikih secara bahasa yang berarti paham. Maka seharusnya ushul fiqh bermakna ilmu yang membahas metode, dasar-dasar pendekatan untuk memahami segala sesuatu. Selaras dengan semangat syeikh Al-Qardhowi dalam merekonstruksi makna fiqh. Menurut beliau bahwa fiqh adalah sebuah pemahaman yang konprehensip dan utuh terhadap islam.
Saat ini jika kita perhatikan produk pemikiran para akademisi kita dari semua disiplin ilmu, mereka belum menghadirkan ushul fiqh didalamnya. Bahkan kebanyakan masih menganggap bahwa disiplin ilmu mereka tidak ada kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan ushul fiqh. Hilangnya ushul fiqh dari disiplin ilmu –ilmu ini pada akhirnya akan menghasilkan karya ilmiyah yang cacat dan jauh dari sempurna.
Dengan demikian hadirnya ushul fiqh pada semua disiplin ilmu adalah sebagai sesuatu yang sangat penting dan mendesak yang seharusnya diaplikasikan pada fiqh dakwah, siyasah, ijtihad, fatwa, dan seterusnya. Dimana semua disiplin ilmu-ilmu keislaman ini manhaj dan metodologinya terbentuk serta terukur kadar benar dan salahnya oleh ushul fiqh.
Perangkat Penting Ushul Fiqih
Ada beberapa yang menyebabkan mengapa ushul fiqh sebagai perangkat yang paling esensial dalam dalam mencegah distorsi pemikiran dan sebagai perangkat untuk membentuk sebuah pemikiran yang islami:
- Sebagai benteng pelindung terhadap syariat islam, karena ushul fiqh menjaga dalil-dalil syariat dari penyimpangan dan kesalahan dalam mengambil kesimpulan hukum (isthinbath).
- Metode yang memudahkan dalam istinbath pada masalah-masalah cabang (fiqh) darir sumbernya.
- Menghindarkan seseorang menetapkan hukum menurut hawa nafsunya, karena mengetahui metode dan kaidah isthinbath serta cara berijtihad yang benar. Hal ini karena bermunculan para mujtahid dengan metode ijtihad yang berbeda-beda
- Memberikan standar dan syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid, sehingga ijtihad hanya dilakukan oleh seseorang yang mampu dan tepat. Di samping itu, bagi masyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat memahami bagaimana para mujtahid menetapkan hukum baik yang disepakati atau yang diperselisihkan dan pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum-hukum tersebut.
- Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada nash-nya; dan belum ada ketetapan hukumnya di kalangan ulama terdahulu dapat ditentukan hukumnya.
- Memelihara syariat islam dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi. Melalui ushul fiqh di ketahui mana sumber hukum Islam yang asli yang harus dipedomani dan mana yang merupakan sumber hukum islam yang bersifat sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan syari’at sesuai dengan tempat dan zamannya.
- Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai persoalan sosial kontemporer yang terus berkembang.
- Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat pada dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan alasan.
- Benteng dari perpecahan dan perbedaan pendapat yang lahir dari pemahaman yang salah terhadap nash.
- Sebagai metodologi yang mengakomodir dan menggabungkan antara madrasah ahlil hadist serta atsar dan madrasah ahlurro’yi yang sebelumnya seakan saling bertentangan.
- Menjelaskan nash-nash yang secara dhahir bertentangan dan kemudian Bisa mentarjih dan mengambil kesimpulan hukum ketika terjadi kontradiksi diantara nash-nash tersebut dan membantah pendapat ekstrim dalam hal ini.
- Memelihara fiqh islam dari pendapat yang terlalu longgar dan pendapat yang terlalu kaku dan jumud
- Menyeru pada ittiba’ (mengikuti) dalil, meninggalkan ta’ashub madzhab dan taklid buta. Karena dengannya bisa di timbang dan di ukur sejauh mana sebuah pendapat bisa di terima dan di tolak, atau pendapat mana yang lebih tepat yang bersandar kepada dalil dan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh.
Maka tidak mengherankan jika kemudian para ulama kita menjadikan ilmu ini sebagai standarisasi dan sekaligus barometer untuk menilai benar dan salah sebuah kerangka dan metodologi sebuah pemikiran. Ilmu ini bukan saja memberi kemudahan jalan bagi para penuntut ilmu dan para pemikir islam dalam mengisthinbath hukum dan bermuamalah dengan dalil, tapi sekaligus mampu menimbang dan memberikan barometer serta jaminan mutu pada produk isthinbath dan pemikiran yang di hasilkan.
Peran Ulama dan kaum intelektual muslim sebagai pemelihara dan penjaga benteng pemikiran Islam berkewajiban memelihara kemurnian Islam dari berbagai bentuk penyimpangan dan penafsiran yang keliru. Jika tidak demikian, Islam akan berubah menjadi bahan permainan yang ditafsirkan sekehendak hawa nafsu dan syahwat intelektual. Sebagaimana halnya agama-agama samawi lain yang semula murni dan lurus, kemudian menjadi ajang permainan “intelektual” mengatasnamakan modernisasi, pembaruan, kebebasan berpikir, progresifitas dan lain-lain.
Daftar Pustaka
- Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958
- Al-Khudari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Baerut, 1981
- Khalaf, ‘Abdul al-Wahab, ilmu usul al-Fiqh wa tarikh al-Tasyri’ al-islami, ttp: tnp, 1376 H / 1956 M
- Syarifuddin, amir, ushul fiqh, jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999
- Syu’ban, Zakiyy al-Din, ushul al- Fiqh al- islami, kuwait, muasasah ‘Ali al-Sibah, 1998
- Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-islami, beirut:Dar al-Fikr,tt,
- Qardhawi, Yusuf, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi dhau’I nushush al-Syariah wa maqashidiha, Maktabah Wahbah, kairo. 1998
- Qardhawi, Yusuf, Aulawiyat al-ahkam fi al-marhalah al-Qodimah. Muasasah Risalah:Beirut 1997.
- Qardhawi, Yusuf, Al-Ijtihad fi al-Syariah al-Islamiyah Ma’a nadharat tahliliyah fi al-ijtihad al-muashir, kuwait, Dar al-qalam,tt
by Sugeng Aminudin S.Sos.I. M.PI. sugengaminudin | Jul 30, 2015 | Artikel
Hukum asal hutang piutang dalam Islam adalah mubah. Di diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki.
“Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda, “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”
(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-Musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)).
Nabi saw juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-Ghalil Fi Takhrij Ahadits Manar As-Sabil (no.1389)).
Meskipun berhutang adalah hal mubah dalam Islam, tetapi hal hendaknya dilakukan jika dalam keadaan darurat ekonomi saja. Dan hendaknya menghindari hutang sebisa mungkin jika mampu bermuamalah dengan tunai. Karena hutang, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat menyebabkan akhlak yang tidak terpuji, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Keburukan Jika Hutang Tidak Dilunasi
Jika seseorang orang meninggal sedangkan dia masih memiliki tanggungan hutang, maka dia akan mendapatkan banyak keburukan, diantaranya:
1. Tidak dishalati oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat
Bahwa Rasulullah saw pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. (HR. Bukhari no. 2289). Hal ini sebagai bentuk pengajaran beliau bahwa membiasakan diri untuk berhutang tanpa memiliki jaminan adalah sesuatu kebiasaan yang buruk. Oleh karena itu, tidaklah mengapa jika orang-orang terpandang, tokoh masyarakat dan agama melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah saw.
2. Dosa-dosanya tidak akan diampuni sampai di lunasi hutang-hutangnya
Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra dari Rasulullah saw bahwasanya seseorang bertanya kepada beliau: “Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni?”. Beliau pun menjawab: “Ya, dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya, maju berperang dan tidak melarikan diri, kecuali hutang. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam baru memberitahuku hal tersebut” (HR Muslim no. 4880/1885).
Hadits di atas menjelaskan bahwa ibadah apapun, bahkan yang paling afdhal sekalipun yang merupakan hak Allah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.
3. Ditahan untuk tidak masuk surga, meskipun dia memiliki banyak amalan
Diriwayatkan dari Tsauban, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mati sedangkan dia berlepas diri dari tiga hal, yaitu: kesombongan, ghuluul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagikan) dan hutang, maka dia akan masuk surga”. (HR At-Tirmidzi no. 1572, Ibnu Majah no. 2412 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Shahih” di Shahih Sunan Ibni Majah).
Beberapa Adab dan Nasihat Hutang Piutang
1. Jangan membiasakan diri untuk berhutang. Apalagi jika tidak memiliki jaminan.
2. Segera membayar hutang dan jangan menunda-nundanya.
3. Jika benar-benar tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, maka bersegeralah meminta maaf kepada orang yang menghutangi dan minta tenggang waktu untuk membayarnya.
4. Jangan pernah tidak mencatat hutang piutang. “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan hutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya..” (Q.S Al Baqarah 282).
5. Jangan pernah berniat tidak melunasi hutang. “Siapa saja yang berhutang, sedang ia berniat tidak melunasi hutangnya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri..” (HR Ibnu Majah).
6. Jangan pernah menunda-nunda membayar hutang.“Menunda-nunda (pembayaran hutang) bagi orang yang mampu adalah kedzaliman..” (HR Bukhari dan Muslim).
7. Jangan pernah menunggu ditagih dulu baru membayar hutang. “Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam pembayaran hutang..” (HR Bukhari dan Abu Daud).
8. Jangan pernah mempersulit dan banyak alasan dalam pembayaran hutang. “Allah ‘Azza wa jalla akan memasukkan ke dalam surga orang yang mudah ketika membeli, menjual, dan melunasi hutang..” (HR Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
9. Jangan pernah meremehkan hutang walaupun sedikit. “Ruh seorang mukmin itu tergantung kepada hutangnya hingga hutangnya dibayarkan..” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Darimi, dan Ibnu Majah).
10. Jangan pernah berbohong kepada pihak yang menghutangi. “Sesungguhnya, apabila seseorang berhutang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan ingkari..” (HR Bukhari dan Muslim).
11. Jangan pernah berjanji jika tidak mampu memenuhinya.“..Dan penuhilah janji karena janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban..” (Q.S Al Israa’ : 34).
12. Jangan pernah lupa doakan orang yang telah menghutangi. “Barangsiapa telah berbuat kebaikan kepadamu, balaslah kebaikannya itu. Jika engkau tidak mendapati apa yang dapat membalas kebaikannya itu, maka berdoalah untuknya hingga engkau menganggap bahwa engkau benar-benar telah membalas kebaikannya..” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
13. Jangan pernah sungkan untuk menagih hutang. Kalau kita sayang kepada orang yang berhutang maka hendaknya kita menagih hutang tersebut darinya. Karena kalau kita malu menagih hutang bisa menimbulkan kemudharatan bagi kita dan juga baginya, diantaranya : Kita jadi dongkol terus jika bertemu dengan dia, bahkan bisa jadi kita terus akan menggibahnya karena kedongkolan tersebut. Jika kita membiarkan dia berhutang hingga meninggal dunia maka ini tentu akan memberi kemudharatan kepadanya di akhirat kelak.
14. Jika hutang tidak dibayar di dunia maka akan dibayar di akhirat dengan pahala, padahal pada hari itu setiap kita sangat butuh dengan pahala untuk memperberat timbangan kebaikan kita.
15. Jangan pernah meremehkan hutang meskipun sedikit. Bisa jadi 50 ribu rupiah adalah jumlah yg sedikit bagi kita, akan tetapi di mata penghutang adalah besar dan dia tidak ridho kepada kita jika tidak dibayar, lantas dia akan menuntut di hari kiamat.
16. Jangan pernah berhusnudzon kepada penghutang. Jangan pernah berkata : “Saya tidak usah bayar hutang aja, dia tidak pernah menagih kok, mungkin dia sudah ikhlaskan hutangnya” hal ini adalah naif dan memalukan.