by Danu Wijaya danuw | Jan 5, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Kasus penistaan terhadap Alquran belakangan ini menjadi isu yang ramai dibicarakan oleh banyak pihak. Bukan hanya oleh umat Islam di Indonesia, tetapi juga mendapat perhatian masyarakat internasional. Terbukti untuk aksi 4 november yang lalu terdapat sejumlah wartawan internasional yang datang meliput.
Tentu peristiwa ini memberikan banyak hikmah. Salah satu hikmah yang terpenting adalah ini menjadi cara Allah agar umat kembali memberikan perhatian kepada Alquran; sebagai kitab suci dan mulia yang Allah turunkan kepada seluruh manusia.
Dengan demikian pada saat yang sama semoga hal tersebut menjadi tanda kebangkitan Islam di Indonesia. Pasalnya, kemuliaan, kebangkitan, dan kejayaan Islam selalu dimulai dengan kesadaran untuk kembali kepada Alquran. Nabi saw bersabda,
“Dengan kitab suci Alquran Allah muliakan sejumlah kaum dan dengan kitab suci Alquran pula Allah hinakan mereka.” (HR Muslim, Ahmad, Ibn Majah, ad-Darimi).
Artinya selama mereka berpegang dan kembali pada Alquran, Allah akan muliakan. Namun sebaliknya, kejatuhan dan kehinaan umat adalah ketika mereka berpaling dari kitab suci-Nya.
Dalam sejarah, masyarakat Arab, sebelum tersentuh dengan Alquran, mereka merupakan komunitas jahiliyah yang jauh tertinggal, buta huruf,, dan terbelakang. Namun berkat Alquran yang terus ditanamkan dan diajarkan oleh Rasul saw sejak awal kenabian,, dalam waktu singkat, mereka berubah menjadi umat terbaik.
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia: menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS Ali-Imran (3) ayat: 110)
Tentu saja sikap kembali kepada Alquran tidak berhenti pada sekedar melakukan demo dan unjuk rasa membela Alquran. Namun kembali kepada Alquran harus terwujud dalam sejumlah amaliyah yang komprehensif seperti yang pernah diajarkan oleh Nabi saw.
Yaitu pertama dengan membacanya. Inilah interaksi pertama yang seharusnya ditunjukkan umat Islam terhadap Alquran. Pada masa sekarang ini posisi Alquran kerapkali tergantikan oleh buku, koran, majalah, televisi, dan terutama media sosial. Akhirnya tidak ada waktu untuk membuka dan membaca Alquran meski hanya beberapa menit dari dua puluh empat jam sehari.
Maka, saatnya kita harus menyadari bahwa Alquranlah yang harus menjadi bacaan pertama dan utama kita sebelum yang lain.
Sesibuk apapun sahabat, Rasul saw mendorong mereka untuk membaca Alquran. Sehingga tiada hari tanpa bersamanya. Entah di waktu pagi, siang maupun petang.
Membaca Alquran mendatangkan banyak kebaikan. Ia mendatangkan pahala, mendatangkan ketenangan, kelapangan, dan keberkahan, serta keselamatan dunia dan akhirat. Rasul saw bersabda:
“Bacalah Al Qur’an! Sebab Alquran akan datang pada hari kiamat dengan memberikan syafaat kepada pembacanya.”
Kedua adalah memahaminya. Alquran adalah kitab petunjuk (lihat di antaranya QS al-Baqarah:2).Karena itu sebagai petunjuk ia tidak hanya cukup dibaca, tapi juga harus harus ditelaah dan dipelajari secara benar agar tidak salah dan tidak tersesat.
Hanya saja bagaimana caranya agar kita bisa memahami Alquran secara benar sepeninggal Nabi saw? Caranya adalah dengan merujuk kepada pelanjut dan pewaris Nabi saw. Yaitu para ulama (ahli tafsir) yang memiliki integritas keilmuan dan moral; yang ilmu mereka mengantarkan pada rasa takut kepada Allah.
“Yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Fatir (35) ayat: 28)
Bila tidak merujuk kepada ulama semacam itu, umat akan disesatkan oleh para ulama su yang menafsirkan Alquran sesuai akal, nafsu, dan kepentingan. Apalagi di zaman sekarang. Misalnya saat menafsirkan surat al-Maidah 51 yang sedang ramai diperbincangkan.
Para ahli tafsir dan fukaha sepakat bahwa ayat tersebut berisi larangan memberikan loyalitas kepada non-muslim, mulai dari menjadikannya sebagai sahabat setia, orang kepercayaan, dan puncaknya sebagai pemimpin.
Namun belakangan muncul ulama “nyeleneh” yang menafsirkan sesuai kepentingan. Ayat 51 dari surat al-Maidah itu diartikan dengan arti yang keluar dari mainstream para mufassir. Tidak aneh, karena sebelumnya mereka juga pernah mengatakan jilbab tidak wajib, pernikahan sejenis boleh, khamar tidak haram selama tidak memabukkan, dan riba dibolehkan selama tidak berlipat ganda.
Tentu ulama yang semacam ini tidak bisa menjadi rujukan dalam memahami Alquran.
Ketiga, mengamalkan Alquran dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak hanya dalam berpolitik, tapi juga dalam berbisnis, dalam bermuamalah, dalam berkeluarga, dalam berbicara, dalam melakukan antivitas apa saja, hendaknya dihiasi dengan nilai-nilai Alquran.
Itulah yg membuat muslim tampil sebagai sosok yang indah, yang menjadi rahmat bagi semua alam. Karena dalam Alquran, setiap muslim dituntut untuk taat dan menunjukkan akhlak. Sehingga meski tidak boleh mengangkat pemimpin non-muslim misalnya, kita tetap diperintah untuk berbuat baik dan menunjukkan akhlak kepada mereka selama mereka tidak memerangi dan berbuat aniaya.
Keempat: mendakwahkan dan mengajarkan Alquran. Ini menjadi tugas setiap muslim, khusunya para dai dan ulama agar umat tidak “gagap” dan tidak tersesatkan oleh pihak-pihak yang mempunya kepentingan dunia. Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.”
Wallahu a’lam
by Danu Wijaya danuw | Jan 4, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Al Fakri pernah menceritakan; suatu ketika datang kiriman kepada Khalifah Umar bin Khattab beberapa helai pakaian khas Yaman (burd). Lalu, Umar membagikannya kepada kaum muslimin setiap orang satu helai kain. Umarpun mendapat jatah yang sama yaitu satu helai.
Ketika naik keatas mimbar dan hendak menyerukan untuk berjihad. Umar memakai pakaian itu setelah dipotong dan dijahit menjadi kemeja. Tiba-tiba ada orang yang menyela seruannya seraya berkata, “Saya tidak perlu menaati seruan Anda!” Umar tersentak kaget dan bertanya, “Mengapa demikian?”
Orang itu menjawab, “Karena anda lebih mementingkan diri Anda daripada kami. Anda seharusnya mendapat jatah sehelai kain burd dan untuk ukuran tubuh Anda satu potong kain itu tidak cukup karena Anda berperawakan tinggi. Namun mengapa sekarang Anda justru memotongnya menjadi kemeja. Sementara untuk membuat kemeja butuh dua helai kain burd?”
Umar menoleh kearah anaknya yang bernama Abdullah bin Umar seraya berkata, “Abdullah jawablah!” Abdullah bin Umar pun angkat bicara. “Kain burd jatah saya yang saya berikan kepadanya agar cukup untuk kemejanya.”
Orang yang sempat mencurigai Umar itu berkata, “Kalau begitu sekarang saya patuh pada seruan Anda.” Orang itu pun kembali duduk dan mendengarkan seruan jihad yang diperintahkan Umar.
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran bagi kita bagaimana semestinya interaksi antara pemimpin dengan rakyatnya agar tercipta negara yang makmur, pemimpin yang adil, dan rakyat yang sentosa.
Pertama, sebagai rakyat harus berani menyuarakan kebenaran dan mengkritik apa yang dianggap salah. Rakyat yang baik bukan rakyat yang membiarkan pemimpinnya melakukan apa saja sesuai kehendaknya, melainkan rakyat yang berani melakukan koreksi terhadap tindak tanduk pemimpinnya.
Sebab ketidakpedulian rakyat terhadap perilaku pemimpinnya hanya akan melahirkan tirani yang tak tahan kritik. Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang jahat.” (H.R. Abu Dawud)
Kedua, sebagai pemimpin harus siap menerima masukan dari rakyat dan semua bawahannya karena pemimpin yang hebat bukan pemimpin yang tak pernah salah. Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang selalu berhati-hati agar tidak salah. Jikapun tetap terjerumus dalam kesalahan, ia mau menerima koreksi dan berani memperbaikinya. Bukan malah membungkam orang yang mengkritiknya.
Abu Sa’id meriwayatkan, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah dihari kiamat dan tempat duduknya paling dekat dengan-Nya adalah pemimpin yang adil.” (H.R. At Tirmidzi)
Ketiga, setelah keputusan sang pemimpin dikoreksi, kemudian ternyata ia berada dalam kebenaran, maka rakyat harus mematuhi perintahnya. Tidak boleh meragukannya, apalagi sampai menentangnya. Sebab, kepatuhan kepada pemimpin yang baik merupakan kewajiban bagi seluruh rakyat (Q.S. An Nisa ayat 59)
Oleh Abdul Syukur – Republika
by Danu Wijaya danuw | Jan 3, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Di dalam hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaknya dia mengucapkan Alhamdulillah, dan saudaranya atau temannya mengucapkan untuknya “Yarhamukallah “, dan apabila saudaranya mengucapkan yarhamukallah maka hendaknya dia mengucapkan “Yahdikumullah wa yushlihu balakum”. (HR. Malik no. 1800, pentahqiq Zaad Al-Ma’ad berkata : “sanadnya shahih”, 2/437)
Bersin merupakan proses pengeluaran racun dan bakteri berbahaya dari dalam tubuh sehingga bermanfaat untuk kesehatan.
Mengucapkan alhamdulillah setelah bersin merupakan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan mendatangkan pahala serta mendapatkan doa dari saudara-saudara muslim lain.
Wajib bagi orang yang mendengar ucapan Alhamdulillah dari orang bersin untuk mengucapkan doa padanya, bagi laki-laki : Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu) dan untuk perempuan : Yarhamukillah.
Bagi yang tidak mengucapkan Alhamdulillah ketika bersin
Adapun jika orang bersin tidak mengucapkan “Alhamdulillah” ketika bersin maka tidak perlu didoakan dengan didoakan yarhamukallah.
Sebab perintah mengucapkan doa yarhamukallaah hanyalah ditujukan bagi orang bersin yang memuji Allah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis diatas, juga hadis Anas dalam Shahih Bukhari (no. 6225 ) :
“Dua orang bersin dihadapan Nabi shallallahu’alaihi wasallam, beliau lalu mengucapkan doa ; yarhamukallah pada salah satunya, dan tidak mengucapkannya pada orang kedua.
Maka orang kedua ini berkata : “Si Fulan tadi bersin dan engkau mengucapkan padanya ; yarhamukallah, namun ketika saya bersin engkau tidak mengucapkannya padaku, maka Rasulullah bersabda : “Tadi orang ini memuji Allah (ketika bersin) dan engkau tidak memujinya”.
Bersin dalam Keadaan Shalat
Orang yang bersin dalam keadaan shalat baik sendiri atau berjamaah, tetap disunatkan mengucapkan Alhamdulillah.
Hadis riwayat Abu Daud (773) dan selainnya dari Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu’anhu ia berkata : “Saya shalat dibelakang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, lalu Rifa’ah (saya) bersin dan mengucapkan : “Alhamdulillah hamdan katsiran mubaarakan fiihi ,mubaarakan ‘alaihi kamaa yuhibbu rabbuna wa yardha”, Ketika beliau selesai shalat, beliau bersabda : “Siapa tadi yang berkata-kata (dengan hamdalah dalam shalat) ?” , iapun berkata : “saya, wahai Rasulullah”, maka beliau bersabda : “Saya tadi telah melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba untuk menulis pahala (ucapanmu)”.
Imam Bukhari juga telah meriwayatkan hadis ini dalam Shahihnya (799) dari jalur Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ ( 1/211) dengan isi redaksi berbeda.
Dilarang Jamaah Shalat Menjawab Doa Bersin
Namun tidak dibolehkan bagi jamaah shalat yang mendengarkan untuk mengucapkan “Yarhamukallah” karena bisa membatalkan shalatnya. karena ia telah mengucapkan kata-kata yang bukan bagian dari bacaan dzikir shalat. Sebagaimana hadist panjang riwayat Muslim (538) dari Muawiyah bin Al-Hakam radhiyallaahu’anhu,
“Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, tiba-tiba ada seseorang bersin (dan mengucapkan hamdalah), aku katakan, ‘Yarhamukallah.’ Tiba-tiba orang-orang memandangiku saya pun berkata, ‘Brengsek, mengapa kalian memandangiku seperti ini ?’ Tiba-tiba mereka semua menepuk paha mereka. Ketika saya tahu bahwa mereka mendiamkanku, saya pun diam. Setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam selesai shalat, Maka Demi Allah, sungguh ayah dan ibuku menjadi tebusan baginya, tidak pernah aku melihat seorang pendidik, sebelum dan sesudah ini, yang lebih baik dari beliau. Demi Allah, beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, dan tidak mencaciku. Beliau hanya berkata, ‘Shalat ini tidak boleh dicampur dengan ucapan manusia sedikit pun. Ia berisi tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.’ Atau seperti apa yang disabdakan Rasulullah.”
Kondisi lain yang dilarang
Jika bersinnya tepat ketika imam sedang khutbah jum’at. Orang yang bersin tetap mengucapkan Alhamdulillah –seperti ketika shalat-, adapun orang yang mendengarnya tidak perlu mengucapkan ; yarhamukallah karena diam dan tidak berbicara dengan orang lain ketika imam berkhutbah adalah wajib.
Ketika bersin di tempat buang air, maka tidak perlu mengucapkan : “Alhamdulillah” atau “yarhamukallah”, karena tidak disunatkan menyebut nama Allah atau berzikir didalam tempat buang air.
Jika Bersin Lebih dari 3 Kali
Jika bersinnya sudah lewat tiga kali maka tidak perlu diucapkan padanya “Yarhamukallah” karena orang itu kemungkinan besarnya sedang flu, sesuai hadis :
“Jika salah seorang diantara kamu bersin maka orang yang didekatnya hendaknya mengucapkan “Yarhamukallah”, jika bersinnya telah lewat dari tiga kali maka itu flu, dan tidak perlu mengucapkan : yarhamukallah, setelah ia tiga kali bersin”. (HR Abu Daud : 5035, shahih, lihat juga no.5034, 5036 dan 5037).
Jika yang Bersin Orang Kafir
Jika yang bersin adalah orang kafir lalu ia mengucapkan Alhamdulillah, maka sebagai seorang muslim kita jangan mengucapkan “yarhamukallaah” karena doa ini hanya ditujukan untuk seorang muslim. Tapi dengan mengucapkan doa agar ia mendapatkan hidayah, doanya adalah : “Yahdiikumullaah wayushlih baalakum”,
Ini sesuai dalam hadis Abu Musa : “Dahulu, orang-orang yahudi suka bersin dihadapan Rasulullah dengan harapan agar beliau mendoakan mereka dengan doa : yarhamukallah, namun Rasulullah hanya mengucapkan pada mereka doa : “”Yahdiikumullaah wayushlih baalakum”. (HR Ahmad : 19586, Abu Daud : 5038, dan Tirmidzi : 2937 , hadisnya Hasan Shahih).
Adab Ketika Bersin
1. Ketika bersin, tidak mengeraskan suara, namun harus menahan keluarnya suara sebisa mungkin. Ini sesuai sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
” Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika bersin beliau menutup mulutnya dengan tangannya, atau kain pakaiannya, dan menahan suaranya”. (HR Ahmad : 9662, Abu Daud : 5029, dan Tirmidzi : 2948, Hasan Shahih).
2.Menutup wajah dan mulut ketika bersin baik dengan tangan, kain, atau tisu agar tetesan air yang penuh bakteri tidak mengenai orang-orang atau benda yang ada disekitarnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya.
3. Hendaknya tidak memutar atau meggoyang kepala kekiri atau kekanan ketika bersin sebab sangat berbahaya bagi otot dan tulang leher. Sebagian orang melakukan ini sehingga lehernya menjadi cacat. Jika dihadapannya ada orang dan ia terpaksa harus bersin, maka sebaiknya menunduk atau memutar badan secara keseluruhan
Oleh : Ustadz Maulana La Eda (Mahasiswa Pascasarjana (s-2), Jurusan Ilmu Hadis Universitas Islam Madina), Wahdah.or.id
by Danu Wijaya danuw | Dec 29, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Islam sangat mengatur aspek kehidupan manusia, termasuk adab makan dan minum. Terkadang makan dan minum sambil berdiri menjadi kebiasaan, padahal itu tidak baik bagi kesehatan dan dilarang dalam Islam. Undangan pesta pun sering kali dilakukan tanpa tersedia tempat duduk.
Para ulama menegaskan bahwa minum sambil duduk lebih utama dari pada minum sambil berdiri. Ini berdasarkan hadits Nabi Saw, “Janganlah di antara kalian minum sambil berdiri, bila terjadi maka muntahkanlah airnya.” (HR. Muslim).
Dari Anas radhiyallahu anhu dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw melarang seseorang untuk minum berdiri.” Qatadah (seorang tabi’in) berkata, “Kami bertanya kepada Anas, ‘Bagaimana dengan makan sambil berdiri?’ Anas menjawab, ‘Yang demikian itu lebih jelek dan lebih buruk.’” (HR. Muslim).
Dari Abu Sa’id al-Khudriy, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri. (HR. Muslim no. 2025, dll)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135)
Sebenarnya masih banyak riwayat lainnya pada kitab hadis yang lain yang melarang minum sambil berdiri, tertuang dalam :
- Sunan Abu Daud ada 1 hadis
- Jami’/Sunan at-Tirmidzi ada 2 hadis
- Sunan ad-Darimiy ada 2 hadis
- Muwatha Malik ada 4 hadis
- Musnad Ahmad bin Hambal ada 14 hadis
- Sunan al-Kubro karya al-Baihaqi ada 5 hadis
- Musnad Abu Daud ath-Thoyalisi ada 2 hadis.
Namun dengan hanya mengutip hadis-hadis Muslim di atas, sudah cukup mewakili.
Demikian banyaknya hadis yang melarang minum sambil berdiri, namun di sisi lain banyak pula hadis yang membolehkan minum sambil berdiri.
Seperti hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)
Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam berdiri, itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk, seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, tapi bukan merupakan kebiasaan.
Menurut Pendapat Ulama
Syaikh bin Baz rahimahullah diajukan pertanyaan, “Sebagian hadits nabawiyah menjelaskan larangan makan dan minum sambil berdiri. Sebagian hadits lain memberikan keluasan untuk makan dan minum sambil berdiri. jika butuh, maka tidaklah masalah makan dan minum sambil berdiri. Namun jika dilakukan sambil duduk, itu yang lebih utama.
Imam Nawawi diamini oleh Syaikh Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin, beliau mengatakan, “Yang lebih utama saat makan dan minum adalah sambil duduk karena hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Cara mengompromikan hadits-hadits antara riwayat antara makan dan minum sambil berdiri adalah dengan memahami hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri apabila dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk minum sambil duduk.
Menurut Ibnul Qoyyim ada beberapa afat (akibat buruk) bila minum sambil berdiri. maka di samping tidak dapat memberikan kesegaran pada tubuh secara optimal juga air yang masuk kedalam tubuh akan cepat turun ke organ tubuh bagian bawah.
Fakta Ilmiah Kesehatan

Ilmu kedokteran modern mengungkapkan bahwa minum dalam keadaan berdiri menyebabkan air yang mengalir berjatuhan dengan keras pada dasar lambung dan menumbuknya, menjadikan lambung kendor dan menjadikan pencernaan sulit. Sebagaimana terus-menerus makan dan minum sambil berdiri dapat menimbulkan luka pada dinding lambung.
Menurut para dokter, luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa bebenturan dengan makanan atau minuman yang masuk. Sehingga makan dan minum sambil berdiri terus–menerus bisa membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung.
Air yang masuk saat kita duduk akan disaring oleh sfringer, suatu struktur berotot yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada pos-pos penyaringan yang berada di ginjal.
Namun, jika kita minum sambil berdiri, air yang kita minum tidak disaring lagi, tapi, langsung menuju kandung kemih. Hal ini bisa menimbulkan terjadinya pengendapan di saluran ureter akibat banyaknya limbah yang tersisa di ureter. Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal, salah satu penyakit ginjal berbahaya.
Karena itu, mulailah membiasakan diri untuk makan dan minum sambil duduk, demi kesehatan dan menjaga adab sopan santun yang Islami sebagai bagian dari dakwah kita dalam bentuk perilaku.
by Danu Wijaya danuw | Dec 27, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Ibnul Jauzy menasihatkan, “Duhai yang akan dituntut sebab amalnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya, yang tertulis lengkap segala ucapannya, yang akan diselidik segala keadaannya. Kelalaianmu atas hal ini sungguh menakjubkan.”
Dari Abu Barazah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Kedua kaki seorang hamba besok di hari kiamat tidak akan terpeleset sehingga dia ditanyai tentang empat hal :
- Tentang umur, untuk apa umur itu dihabiskan.
- Tentang ilmu, untuk apa ilmu itu difungsikan.
- Tentang harta benda, dari mana harta benda itu diperoleh.
- Tentang kondisi tubuh, untuk apa kenikmatan itu digunakan.” (HR Tirmidzi dan berkata: hadis tersebut Hasan-Sahih)
Pertama: Mengenai Umur
Allah SWT memberikan umur kepada manusia sesuai dengan kehendak-Nya, ada yang panjang, ada yang pendek, dan ada yang sedang-sedang saja. Yang jelas umur yang diberikan kepada manusia itu ada batasnya, dan pada waktunya, manusia akan diwafatkan oleh Allah SWT.
Allah berfirman dalam Alquran, ” Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Al-A’raaf: 34)
Dengan umur umat Islam yang pendek dihabiskan untuk apa? Realitas sosial menunjukkan bahwa kebanyakan manusia selalu menunda-nunda melakukan amal saleh padahal secara mendadak di wafatkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu kita harus beramal dan beribadah disetiap ada kesempatan.
Kedua: Mengenai Ilmu
Berbekal ilmulah manusia mencari kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan di akhirat. Semakin banyak ilmunya, semakin dekat pula dia kepada Sang Pencipta (apabila digunakan sebagaimana mestinya). Rasulullah saw telah bersabda, “Apabila datang kepadaku suatu hari, di mana pada hari itu aku tidak bisa menambah ilmu, maka tidak ada keberkahan bagiku pada hari itu.”
Dengan ilmu yang dimiliki, manusia diharapkan akan menjadi orang yang baik dalam semua lini kehidupannya, terutama ilmu agama. Namun, jika ada orang yang pengetahuan agamanya lebih dari cukup, lalu tindakan kesehariannya tidak sesuai dengan ilmunya, bahkan bertentangan maka akan celaka.
Ketiga: Mengenai Harta Benda
Dalam hal harta benda, ada dua pertanyaan yang akan ditanyakan Allah kepada kita. Pertama, dari mana harta itu dihasilkan? Kedua, untuk apa harta itu dibelanjakan?
Harta yang ada pada kita itu semata-mata titipan Allah SWT, karena itu kita harus pandai-pandai memperoleh dan membelanjakannya. Harta yang kita dapatkan harus melalui jalan dan cara yang halal. Apabila tidak seperti itu, maka pada hakikatnya hanya menyengsarakan kita. Rasul saw bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram, maka neraka lebih berhak untuk memakan (menyiksa) daging itu.”
Setelah harta tersebut kita peroleh dari jalan yang halal, maka kita pun wajib menzakati harta itu jika sudah mencapai satu nishab (batas ukuran). Alquran menjelaskannya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu mmembersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 103)
Keempat: Mengenai Kesehatan dan Kondisi Tubuh
Kebanyakan manusia ketika sehat dan bugar sering lupa akan kewajibannya kepada Allah swt dan selalu lupa untuk melakukan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Demikian pula ketika terbuka kesempatan yang luas dihadapannya karena kesibukannya.
Oleh karena itu, Rasul saw mengingatkan kepada kita dalam sabdanya, “Ada dua kenikmatan, kebanyakan manusia terlena dengan keduanya (sehingga mereka tidak diberkahi Allah), yaitu kesehatan dan kesempatan.” (HR Al-Bukhari).
Dalam riwayat yang lain Rasul saw pernah memberi nasihat kepada Ibnu Umar, “… dan (manfaatkanlah) kesehatanmu sebelum datang waktu sakitkanmu….”. Maka bijaksanalah dalam memanfaatkan 4 hal tersebut sebelum dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt di hari akhir.
Sumber : Sandiasa
by Danu Wijaya danuw | Dec 27, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Oleh : Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
Rasulullah saw bersabda, “Wahai kaum muda, barangsiapa diantara kalian punya kemampuan untuk menikah maka menikahlah. Karena hal itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan kalian. Sedangkan barangsiapa belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, dan puasa itu adalah perisai baginya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam biografi Umar bin Abdul Aziz yang ditulis Ibnu al Hakam dikisahkan, “Sang putra meminta agar ayahnya menikahkannya dan membayarkan mahar pernikahan dari baitul maal. Pada saat itu, putra beliau telah memilih seorang perempuan sebagai calonnya. Maka beliau marah dan segera menulis surat kepada sang putra, ‘Suratmu telah kuterima. Engkau memintaku mengambil harta dari Baitul Maal untuk memenuhi kebutuhan pernikahanmu, padahal putra-putra kaum Muhajirin juga banyak yang belum menikah.’
Mencari pasangan yang Shaleh dan Shalehah
Rasulullah saw bersabda, “Apabila seorang yang agama dan akhlaknya baik meminang kepadamu, hendaknya kaunikahkan ia dengan anakmu. Jika engkau tak melaksanakannya niscaya akan terjadi fitnah dan bencana yang meluas dimuka bumi.” (H.R. Tirmidzi dengan sanad shahih)
Tanpa adanya pernikahan, hati cenderung bergejolak. Padahal hati adalah modal untuk menuju jalan yang diridhai Allah. Agama sangat berharga dalam syariat Islam. Sebab istri atau suami yang baik agamanya bisa membantu menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak mereka.
Rasulullah saw bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, yaituyaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka nikahilah karena agamanya, (jika tidak) niscaya engkau sengsara.” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i)
Agama menjadi hal teramat penting dalam membina kehidupan rumah tangga. Suami yang taat pada perintah agama akan menjauhi larangan-Nya untuk menjadi suami yang baik bagi istri dan dapat dipercaya. Begitu juga istri shalehah, akan selalu menjaga kehormatannya dikala suami pergi, menjaga harta suami, penuh perhatian kepada rumah tangga, mendidik anak-anak, serta menjaga hak-hak suaminya.
Kecantikan bukannya tidak dibutuhkan, tetapi faktor ini bukan tujuan utama dalam mencari pasangan hidup. Telah diperintahkan oleh Nabi saw kepada para peminang, “Lihatlah dia, sebab itu bisa melanggengkan ikatan diantara kalian berdua.” Hadis ini merupakan penolakan terhadap perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah.
Maka berbahagialah istri yang beragama baik. Janganlah berfokus pada harta benda semata, niscaya Allah swt akan memberkahi dan memperbanyak harta Anda berdua.
Tidak Ada Cinta Seindah Dalam Pernikahan
Cinta biasanya digambarkan dari mimpi yang timbul dari imajinasi dan ilusi. Menyebabkan memandang orang yang dicintai sosok ideal yang tak mungkin diwujudkan dalam realitas.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan, “Seorang lelaki berkata kepada Rasulullah saw, ” Rasulullah, dirumahku ada perempuan yatim yang telah dipinang oleh seorang kaya dan seorang miskin. Kami menginginkan ia menikah dengan orang kaya, terapi ia sendiri menghendaki orang miskin.’ Maka beliau menjawab, “Tidak ditampakkan pada dua orang yang saling mencintai gambaran-gambaran dalam pernikahan.” (H.R Ibnu Majah, Hakim, Thabrani, Baihaqi dan lain-lain)
Pada hakikatnya cinta itu selalu menemui batu sandungan. Ketika seseorang berpikir tentang pernikahan, ia harus bisa memilah antara ilusi dan realitas soal cinta.
Cinta hakiki akan tumbuh diantara suami istri bersama berjalannya waktu, didukung oleh interaksi diantara keduanya. Cinta biasanya akan tumbuh pascapernikahan sebagai akibat saling mengasihi, saling memahami, interaksi yang baik, dan mengesampingkan kenikmatan-kenikmatan semu.
Kewajiban Meminta Restu Gadis Sebelum Menikahkannya
Diriwayatkan dari Khansa binti Khidzam bahwa ayahnya menikahkannya tanpa meminta izin dulu darinya. Sedangkan ia telah menjada. Ia membenci hal itu. Kemudian mendatangi Nabi saw dan beliau menolak pernikahan tersebut. (H.R. Jamaah kecuali Muslim)
Banyak kalangan orangtua (terutama ayah) yang melupakan perintah Nabi saw tersebut. Akibatnya hal tidak baik. Namun orangtua yang baik akan menawarkan anak gadisnya kepada lelaki saleh.
Larangan Memahalkan Mas Kawin
Rasulullah saw bersabda, “Sungguh penyebab keberkahan dari perempuan adalah mempermudah dalam meminang, dalam maharnya, dan saat menggaulinya.” (H.R. Ahmad dan Nasa’i dengan status hasan)
Diceritakan juga riwayat bahwa seorang perempuan mendatangi Nabi saw dan berkata, “Rasulullah, kuserahkan perkara diriku kepada Anda.” Beliau memandang dan mengamati perempuan itu dengan serius, kemudian menunduk. Perempuan itu berdiri cukup lama. Tiba-tiba seorang lelaki berdiri dan berkata, “Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya jika Anda tidak membutuhkannya.”
Maka beliau bertanya, “Apakah engkau punya sesuatu untuk diberikan kepadanya sebagai mahar?” Ia menjawab, “Aku tidak punya apa-apa selain kain sarungku ini.” Beliau berkata, “Carilah, sekalipun hanya sebentuk cincin dari besi.” Lelaki itupun mencari-cari dan tidak berhasil mendapatkan sesuatu.” Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau hafal sesuatu dari Al Qur’an?” Ia menjawab, “Ya surat ini dan ini.” Maka beliau berkata, “Kunikahkan engkau dengan mahar hafalan Al Qur’an yang ada padamu.” Dalam riwayat yang lain dinyatakan, bahwa beliau berkata, “Pergilah, karena telah kunikahkan engkau dengannya (dengan mahar tersebut) dan mengajarkan kepadanya (Al Qur’an) (H.R. Bukhari dan Muslim)
Wasiat Berharga Menjelang Akad Nikah
Wasiat dari khutbah sebelum akad nikah dianjurkan. Dimulai dengan memuji Allah swt dan menyampaikan shalawat atas diri Rasulullah saw.
Wasiat orangtua untuk putrinya yang menikah disunnahkan, untuk menasihatkan kebaikan kepada istri anak lelakinya. Anas bin Malik ra meriwayatkan, bahwa para sahabat Rasulullah saw jika mengantar anak perempuan kepada suaminya, mereka menyuruh untuk melayaninya dan menjaga hak-hak suaminya.
Abdullah ibn Jafar ibn Abi Thalib menasihati putrinya agar menjauhi rasa cemburu yang berlebihan, sebab bisa menjadi kunci menuju perceraian.
Wasiat Ummu Mu’ashirah, dia menasihati anak perempuannya sebagai berikut, ” Anakku engkau akan menghadapi kehidupan baru. Jadilah engkau istri yang baik bagi suamimu dan ibu bagi anak-anakmu. Bangunlah rumah tangga yang kau bina bersama suamimu.”
Sumber :
Buku Kado Pernikahan, Syaikh Mahmud Mahdi Al Istanbuli, Penerbit Qishti Press.