0878 8077 4762 [email protected]

Muslim Sejati

Seorang muslim dalam iman bersikap “adzillah” kepada sesama muslim dengan berbening sangka, berlembut hati, berlapang dada, dan bersopan dada.
Seorang muslim bersikap “a’izzah” dengan menunjukkan kemuliaan dan ketinggian pada yang kafir. Cara terbaiknya dengan akhlak mulia kepada yang kafir.
Imannya seorang muslim adalah membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan membuktikan dengan kerja anggota badan. Tetapi seringkali manusia dihati bersembunyi, lisan bisa berdusta, amal bisa dipura-pura.
Maka Rasul-Nya mengisyaratkan : ukuran iman bukan disitu. Iman si muslim banyak ditimbangkan pada kualitas hubungan yang dibangun dengan sesama.
Ingat Nabi Ibrahim ketika meminta mukjizat yang mati dihidupkan. Allah tuntun dia menuju ketenangan lewat usaha amalnya. Bukan secara tiba-tiba memunculkan tulang belulang dari tanah, bungkus daging, lalu bungkus kulit.
Tetapi Ibrahim as harus bersipayah tangkap burung, cincang dagingnya, lalu naik-turun gunung letakkan potongan, Ibrahim as kembali ke tempat semula, dan panggil agar burung itu datang.
Kisah Ibrahim itu menunjukkan amal menjemput keajaiban lebih kokoh dalam mengikat keimanan, dibandingkan keajaiban langsung membelakkan mata.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Akhfiya'ul Atqiya (Orang yang Bertaqwa Lagi Tersembunyi)

Akhfiya’ul Atqiya yakni mereka kekasih Allah yang bertaqwa dan mengerjakan ibadah secara sembunyi-sembunyi guna menjauhi riya dilihat manusia. Walau tak dikenal, doanya mengguncang Arsy, hajat umat atas mereka besar sekali.
Mu’adz bin Jabal menangis dihadapan Umar menjelang ajalnya. Sebab dia karena ilmu dan kedermawanannya tak terkecuali dari sifat Akhfiya‘.
Suatu ketika Hasan Al Bana di temani sahabatnya Umar Tilmitsani beristirahat ditengah malam seusai menempuh perjalanan jauh dan melelahkan. “Umar sudah tidurkah engkau?” tanya Hasan. “Belum wahai saudaraku.” Sejam kemudian ditanya kembali,  “Umar sudah tidurkah engkau?”. Sahabatnya hanya diam walau sejatinya belum tidur. Kemudian Hasan Al Bana bangkit dan mengerjakan qiyamul lail sepanjang malam hingga fajar menjelang.
Begitupula dengan kisah Al Mawardi. Saat menjelang ajal, buku-buku karyanya baru diberi tahu kepada seorang murid kepercayaannya untuk disebarkan kepada umat. Niat ikhlasnya dan tidak mencari popularitas dalam menerbitkan karya yang berjilid-jilid itu masih dirasakan manfaatnya.
Mereka inilah akhfiya. Orang-orang misterius, yang menyembunyikan amalnya, dan berusaha menjaga keikhlasan pada setiap amal-amalnya. Takut ibadahnya ditolak karena virus riya (ingin diperhatikan) dan sum’ah (ingin dibicarakan).

Menyeimbangkan Usaha dan Tawakkal

Orang yang sukses ialah mereka yang mampu menyeimbangkan antara usaha dan tawakkal.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Barangsiapa yang mengira bahwa dengan usahanya, dia bisa sampai pada apa yang diinginkan, maka ia telah berpaling dari Allah.
Dan barangsiapa yang mengira bahwa tanpa usaha, dia bisa merealisasikan harapannya, maka ia telah berangan-angan saja.”
Beramallah, bekerjalah, dan berjuanglah. Namun jangan sampai hal itu membuatmu lupa akan kekuasaan Allah, sehingga engkau lalai bertawakkal kepada-Nya.
Sandarkanlah segala urusan dan perjuanganmu pada-Nya, tapi sertakanlah dengan kesungguhan dan keseriusan dalam beramal.

Ketika Salaf Dahulu Melakukan Demo Melawan Kemungkaran

Berikut ini adalah beberapa contoh sikap yang ditunjukkan oleh para salaf ketika mereka melihat kemungkaran :

  1. Pada bulan Jumadil Akhir, para ulama dari kalangan Hanabilah dan juga Abu Ishaq As-Syairazi bersama dengan para sahabatnya berkumpul didepan istana khalifah menuntut ditutupnya tempat minum-minuman keras semacam bar atau diskotik kala itu, dan menuntut menghukum para penjual minuman keras. Akhirnya khalifahpun menerima tuntutan mereka. (al-Muntadzim, Ibnul Jauziyah, 8/272)
  2. Pernah terjadi di wilayah al-Karkh (Irak) ada sekelompok orang dari penduduk Karkh yang mencela para sahabat Nabi pada hari Asyuro. Maka berkumpulah para ulama, ahli qira’at dan kaum muslimin yang melakukan demonstrasi didepan istana khalifah. Dan khalifah keluar dan berkata, “Kami pemerintah juga mengingkari perbuatan mereka”. (al-Muntadzi, 8/240)
  3. Pada tahun 231 H, khalifah Al Watsiq membunuh seorang ulama yang bernama Ahmad bin Nashr al Khuza’i yang merupakan murid dari Imam Malik, Sufyan bin Uyainah, Hammad bin Zaid. Diantara murid-muridnya ialah Yahya bin Ma’in. Beliau menolak pemahaman menyimpang bahwa Al Qur’an itu makhluk. Ia diketahui bersama kaum muslimin berencana melakukan demo protes menentang khalifah. (Al Bidayah wa an Nihayah, 10/334)
  4. Ibnu Taimiyah pun juga menunjukkan hal yang sama dengan cara melakukan demo protes, hingga akhirnya kemungkaran berhasil dirubah.

Masih banyak contoh-contoh lainnya yang menjelaskan sikap para salaf tatkala melihat kemungkaran. Jika memang tak bisa ikut serta bersama kaum muslimin, doakan saudaramu yang menentang kemungkaran tersebut.

Mereka Bersahabat

Tentang pengambilan tanah Fadak itu benar. Abu Bakr mengalih-milikkan tanah itu kepada negara. Tetapi itu bukanlah tanah Fatimah. Itu adalah bagian milik Rasulullah saw. Saat beliau wafat, Fatimah menuntutnya sebagai hak waris, tapi Abu Bakr menolaknya.
Alasannya tanah itu bagian Nabi saw sebagai ‘Rasul’ sebagaimana ditetapkan Al Qur’an, bukan bagian beliau sebagai pribadi. Maka hak tanah tersebut melekat pada fungsi kepemimpinannya, yakni negara.
Apalagi ada hadis yang dipersaksikan para sahabat. “Kami para Nabi, tidaklah mewariskan (harta),” yang menguatkan keputusan Abu Bakr itu. Fatimah memang agak marah atas keputusan ini.
Ali ra demi menjaga perasaan Fatimah, menahan diri dari membaiat Khalifah Abu Bakr sampai Fatimah meninggal 5 bulan kemudian. Riwayat tentang ‘kemarahan Fatimah’ ini kata Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, terasa aneh. Tetapi jika demikian adanya lanjut beliau, kita terima sebagai sisi manusiawi yang semua insan harus dimengerti keadaannya.
Catatan lain, pendapat bahwa Ali tak membaiat Abu Bakr karena tak mengakui keutamaan Ash Shiddiq terbantah dengan riwayat hasutan Abu Suyfan ke beliau karamallahu wajhah.
Suatu hari, Abu Sufyan bin Harb mendatangi Ali dan berkata, “Mengapa urusan ummat ini diserahkan pada lelaku dari kabilah terlemah (sebab Abu Bakr dari Bani Taim). Wahai Ali, sesungguhnya kami Bani Ummayah dibelakang kalian (Bani Hasyim). Perintahkanlah!”
Ali tersenyum dan menjawab, “Hai Abu Sufyan, apakah kau masih ingin menjadi musuh Islam setelah menjadi muslim? Sesungguhnya kaum muslimin telah sepakat untuk memilih sahabat Rasulullah yang paling dekat, satu diantara dua yang berada dalam gua, yang begitu berkah jiwa dan hartanya bagi Islam. Kami ridha padanya walau dalam ikatan keluarga, kami lebih dekat dengan Rasulullah.”
Betapa dekatnya Abu Bakr dan Ali terlihat ketika suatu hari dimasa khifalahnya, Abu Bakar menggendong Hasan dan Husain anak Ali bin Abi Thalib. Abu Bakr berkata, “Kalian betul-betul mirip sang Nabi. Dan sama sekali tidak mirip Ali!” Lalu beliau tertawa diiringi Ali yang juga tertawa terpingkal.
“Pernah terjadi,” ujar Ali, “Allah mencela seluruh penduduk bumi kecuali Abu Bakr Ash Shiddiq, dalam firman-Nya di Surah At Taubah ayat 40.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Memuliakan Ibu

Berkata Nabi Isa as, “Dia perintahkan aku bershalat dan zakat semasih hidupku, dan berbakti kepada ibuku …” (Q.S. Maryam : 31-32)
Ada pemuda yang berbakti pada ibu dimasa Umar ra. Dia menyuapi ibunya, mengipasinya, mengelap peluh, memandikan dan urus segala hajatnya. Pemuda itu gendong ibunya sepanjang jalan. Tiap henti, dia merangkak lengkukan badan. Lindungi ibunya dari mentari dan terpaaan hujan.
Rahim adalah nama Allah, disandang nama itu dalam tubuh ibu. Seperti Imam Syafi’i dimana cinta ibunya menumbuhkannya jadi alim ulama mahsyur. Sebagai balas fikihnya Imam Syafi’i dinamakan Al Umm (Sang Ibunda).
Umar ra pernah berkata, “Cukupkah ini untuk membalas kebaikan ibu diwaktu kecil?” tanyanya. “Tidak, sama sekali tidak!” jawab Umar berkaca-kaca.
“Sebab ibumu dulu lakukan semua itu sambil mendoa bagi kehidupanmu. Sementara engkau kini melakukannya sembari menanti kematiannya.” terangnya.
Sebagaimana Aisyah. Dia ummul mukminin, ibu dari semua orang beriman. Tersebab apakah ia mengandung, melahirkan, menyusui? Tidak. Aisyah tak diberi Allah luap rasa hakikat ibu itu. Tetapi wawasan dan bimbingannya kepada sahabat lain menjadikannya ibunda muslimin kala itu.
Allah menjawab doa hamba-Nya disaat panggilan ibu itu tak segera hadir. Istri Ibrahim dipenantian panjang usia udzur dengan melahirkan si shalih Ishaq as, istri Imran dengan si suci Maryam, istri Zakariya as dengan si alim Yahya as. Mereka rayakan syukur karunia setelah menunggu lama, tubuh senja, uban memutih, doa mengiba, dan rasa yang tersembilu.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media