0878 8077 4762 [email protected]

Belajar dari Andalusia (bagian 1)

Oleh: Syaikh Ali Muhammad Ash Shalabi
 
Andalusia adalah salah satu wilayah di negara Eropa yang sekarang lebih dikenal dengan Spanyol. Kaum muslimin pernah mengalami kejayaan dan kegemilangan di negara tersebut. Akan tetapi, ia tidak berlangsung lama, karena setelah itu kaum Nasrani berhasil mengalahkan dan meruntuhkan kekuatan Islam disana.
Tentu ini dalah sebuah peristiwa yang sangat memilukan bagi kaum muslimin, dimana Andalusia yang tadinya berada di bawah kekuasaan Islam, setelah itu ia berpindah tangan kepada kaum Nasrani.
Kita tidak ingin hal ini kembali terlulang, sehingga kita harus mempelajari apa saja yang membuat Islam di Andalusia berhasil dikalahkan oleh Nasrani. Ada beberapa hal yang menyebabkan kekuatan Islam disana menjadi lemah, diantaranya:
Pertama, lemahnya kekuatan aqidah dan sikap mereka yang menyimpang dari aturan Allah. Ini adalah penyebab utama dari kekalahan yang mereka alami.
Kedua, loyalitas dan kepercayaan yang diberikan kepada kaum Nasrani serta bersekutu dengan mereka. Hal itu dapat kita lihat bahwa sejarah Andalusia seringkali diwarnai dengan kerja sama antara kelompok Islam dengan Nasrani yang mana hal ini merusak makna al-wala’ wal bara’ dan menciderai hakikat cinta dan benci karena Allah. Manakala ada sebuah umat yang melanggar perintah Tuhannya dan menyimpang dari perintah-Nya, maka mereka pasti akan mendapatkan murka dan siksa dari-Nya. Allah SWT berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.” (QS. al-Ma`idah: 57).
Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 28).
Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya.” (QS. al-Mujaadilah: 22)
Rasulullah SAW telah menerangkan cara ber-wala’ dan bara’ dalam sebuah sabdanya, “Ikatan iman yang paling kuat ialah sikap loyalitas di jalan Allah, memusuhi sesuatu karena Allah, mencintai dan membenci karena Allah.”
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Barang siapa yang menyakiti wali-Ku, maka ia telah mengikrarkan perang terhadap-Ku.”
Jika ini hal ini sudah tercatat di dalam Al-Qur`an dan Sunnah lalu mereka masih menyelisihinya, maka Allah pasti akan menurunkan azab bagi mereka yang tidak bisa dihalangi dan dicegah oleh siapapun.
Kita perhatikan dalam sejarah bahwa al-Mu’tamid bin Ibad pergi menuju Raja Castilla (wilayah Nasrani) untuk mengajukan perdamaian dengan menyerahkan sejumlah uang padanya. Hal ini ia lakukan untuk memerangi dan menghancurkan kelompok-kelompok Islam yang lain.
Bukankah lebih baik ia bersatu dengan saudara-saudaranya seiman dari kelompok-kelompok Islam tersebut? Bukankah hal itu akan membawa kemaslahatan baginya, bagi Andalusia secara umum, bagi Islam dan kaum muslimin?
Akan tetapi, mereka tidak memahami hakikat wala’ dan bara’, bahkan ada diantara pemimpin kaum muslimin yang meminta bantuan kepada Nasrani dan Yahudi dalam mengelola negara Islam. Akankah dengan cara seperti ini ia akan mendapatkan kemenangan? *bersambung
Diterjemahkan oleh: Ustadz Fahmi Bahreisy, Lc, dari http://iumsonline.org
 
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 326 – 13 Maret 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
 
 

Marahnya Rasul SAW

Oleh : Dr. Aidh Al-Qarni
 
Dalam banyak hadits Rasulullah SAW menegaskan sisi kemanusiaan beliau dan bahwa beliau sama seperti manusia lainnya. Beliau bisa marah seperti yang lain. Beliau juga ridha sebagaimana halnya mereka.
Abu Hurairah ra meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Ya Allah, Muhammad adalah manusia biasa. Ia bisa marah seperti yang lainnya marah.  Aku sudah membuat janji pada-Mu yang tidak akan kuingkari. Siapa saja mukmin yang kusakiti, kucela, atau kucambuk, jadikanlah hal itu sebagai penebus dosa baginya dan sebagai bentuk taqarrub yang mendekatkannya kepada-Mu di hari kiamat.’”
Kehidupan Rasul SAW tidaklah selalu lapang dan dihiasi dengan mawar. Terdapat berbagai kondisi yang di dalamnya beliau marah seperti manusia pada umumnya. Hanya saja, marah beliau tetap di jalan Allah dan karena membela agama-Nya.
Beliau marah demi agama dan demi kebenaran. Beliau marah sebagai bentuk rahmat bagi semesta alam. Beliau marah ketika ada larangan yang dilanggar, dan seterusnya. Yang membedakan dengan yang lain, marah Rasul SAW tidak membuat beliau keluar dari kebenaran. Marah beliau tetap disertai sikap sabar, santun, dan tabah.
Di antara contoh marah beliau yang sebenarnya mencerminkan kasih sayang beliau kepada umat adalah saat mendengar keberadaan imam yang memanjangkan shalat, tidak seperti tuntunan beliau.
Ibn Mas’ud ra berkata, “Seseorang bercerita, ‘Ya Rasulullah saya mundur dari shalat subuh berjamaah lantaran Fulan yang menjadi imam memanjangkan shalatnya.’
Mendengar hal itu Rasul SAW marah. Aku tidak pernah melihat  beliau semarah itu pada saat tersebut. Kemudian beliau berkata, ‘Wahai manusia, di antara kalian ada yang membuat orang lari. Siapa yang menjadi imam hendaknya meringankan. Sebab, di belakangnya terdapat orang yang papa, tua, dan memiliki hajat.’”
Beliau juga marah demi agama. Hal itu seperti yang diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdillah bahwa Umar ibn al-Khattab mendatangi Nabi SAW dengan membawa sebuah buku yang ia dapat dari Ahlul Kitab. Umar membacakannya di hadapan Nabi SAW.
Seketika beliau marah seraya berkata, “Apakah engkau masih bimbang wahai Ibnul Khattab?! Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya. Aku telah datang kepada kalian dengan membawa syariat yang putih dan bersih. Jangan sampai kalian tanyakan sesuatu kepada mereka dimana ketika mereka mengabarkan yang benar, kalian dustakan atau yang batil tapi justru kalian benarkan. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Musa hidup, pasti ia akan mengikutiku.”
Kondisi lain yang menjelaskan marah Rasul SAW adalah ketika ada sahabat yang memberikan pembelaan agar hukum Allah tidak ditegakkan. Hal ini diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa kabilah Quraisy sangat risau dengan posisi wanita mereka yang mencuri di masa Nabi SAW, tepatnya di perang al-Fatah.
Mereka bertanya, “Adakah orang yang bisa berbicara dengan Nabi SAW?” Menurut mereka yang berani untuk membicarakan hal itu kepada Rasul SAW, hanya Usamah ibn Zaid, orang yang sangat dicintai beliau. Maka, Usamah membawa wanita yang dimaksud kepada Rasulullah SAW. Usamah berbicara tentangnya.
Seketika wajah Rasulullah SAW berubah. Beliau bersabda, “Apakah engkau akan memberikan pembelaan terkait dengan salah satu hukum hudud yang telah Allah tetapkan?
Mintakan ampunan untukku wahai Rasulullah!” ujar Usamah.
Selanjutnya Rasulullah SAW bangkit berdiri. Beliau berkhutbah diawali dengan pujian untuk Allah yang memang layak untuk Dia sandang.
Kemudian beliau bersabda, “Amma ba’du, yang membuat binasa orang-orang sebelum kalian adalah bahwa ketika yang mencuri di antara mereka berasal dari keluarga mulia (ningrat), mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri dari kalangan lemah, mereka memberikan hukuman kepadanya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, tentu telah kupotong tangannya.” Kemudian beliau menyuruh untuk memotong tangan wanita tersebut.
Dari sini tampak dengan jelas apa yang dikatakan oleh Anas ra, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah memberikan hukuman untuk kepentingan dirinya. Beliau hanya memberikan hukuman saat ada larangan Allah yang dilanggar.
Apabila larangan atau kehormatan Allah dilanggar, beliau akan sangat marah. Kalau dua urusan diperlihatkan kepada beliau, tentu beliau akan memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak mengandung murka Allah. Namun jika di dalamnya terdapat murka Allah, beliau orang yang paling jauh darinya.
Itulah tiga kondisi yang ada. Masih banyak lagi kondisi lain yang menerangkan bahwa Rasul SAW tidak marah untuk dirinya. Namun beliau marah untuk Allah, untuk kebenaran, dan untuk agama, dan karena cinta beliau kepada umat. Inilah yang dijelaskan oleh Ali ibn Abi Thalib.
Ia berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah marah karena dunia. Apabila beliau marah karena sebuah kebenaran, tidak ada yang tahu. Ketika marah itu datang beliau dapat menguasainya. Akhlak tersebut (Engkau berada di atas akhlak yang agung, QS al-Qalam: 4) beliau miliki karena beliau paham.
Beliau bersabda, “Tidak ada tegukan yang pahalanya di sisi Allah lebih besar daripada tegukan amarah yang ditahan oleh seseorang karena mencari ridha Allah.”
Diterjemahkan oleh: Ustadz Fauzi Bahreisy
Sumber : Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 325 – 6 Maret 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
 

Menjadi Muslim Hakiki

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Kalau kita membaca Al Qur’an ada satu fakta dan kenyataan yang Allah tegaskan yaitu, bahwa umat ini, umat Islam, telah ditempatkan pada kedudukan yang mulia oleh Allah Swt. Allah befirman:
“…Kalian adalah umat terbaik...” (QS. Ali Imran : 110)
“…Kalian adalah umat pertengahan…” (QS. Al Baqarah : 143)
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa umat Islam adalah soko guru bagi seluruh alam. Posisi ini bukan pilihan manusia. Akan tetapi, ia adalah pilihan Allah. Allah yang memilih umat ini menjadi umat yang mulia dan istimewa.
Karena itu kemuliaan dan keistimewaan tersebut harus terwujud dan terlihat pada identitasnya yakni, pada akidah, ibadah, akhlak, dan tampilan mereka. Allah tidak ingin umat ini menjadi pengekor. Allah befirman, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian seperti orang-orang kafir….” (QS. Ali Imran : 156).
Misalnya dalam masalah kiblat. Tadinya shalat menghadap Masjidil Aqsha. Namun kemudian, Allah kabulkan keinginan Nabi saw dengan merubah kiblat umat Islam sehingga mereka menghadap ke Ka’bah Baitullah.
Contoh lain dalam masalah penanda masuknya waktu shalat. Ada sahabat yang mengusulkan penggunaan terompet. Ada yang mengusulkan penggunaan api. Ada pula yang mengusulkan penggunaan lonceng. Tapi semua itu ditolak oleh Rasul saw lantaran identik dengan umat lain. Lalu beliau mengajari Bilal lafal azan yang kita kenal sampai sekarang.
Demikian pula dalam urusan hari raya, puasa, dan banyak urusan lainnya. Nabi saw mengajari umat ini untuk tampil beda dan istimewa sesuai dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka.
Namun, perjalanan waktu membalikkan kondisi yang ada. Umat ini mulai meninggalkan ajarannya. Mulai meninggalkan identitas mereka.  Ini persis seperti peringatan Nabi saw:
Dari Abu Sa’id (al-Khudry) bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara-cara) orang-orang sebelum kalian, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga andaikan mereka masuk ke lubang masuk ‘dlobb’ (binatang khusus padang sahara, sejenis biawak-red), niscaya kalian akan memasukinya pula”. Kami (para shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! (mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?”. Beliau bersabda: “Siapa lagi (kalau bukan mereka-red)” (HR. Bukhari).
Bayangkan beliau menggambarkan umat yg demikian jatuh dan merosot sehingga mengikuti sesuatu yang tidak rasional dan tidak masuk akal. Umat ini mencontoh dan mengikuti  kenistaan yang mereka lakukan.
Hal ini bisa dilihat dari agamanya, budayanya, pakaiannya, aktvitasnya, pergaulan bebasnya, hura-huranya, pestanya, hiburannya, dan seterusnya. Padahal Nabi bersabda, “Siapa yang menyerupai satu kaum, ia termasuk dari kaum tersebut.”
Lalu mana umat terbaik yang dibanggakan itu? Di mana umat pilihan itu berada? Mana ciri dari umat Muhammad saw tersebut? Mana ajaran beliau dalam kehidupan?
Apakah beliau ridho dengan kondisi ini? Apakah tidak malu menisbatkan diri pada beliau sementara tingkah laku kita berlawanan?
Alih-alih mengajari malah kita yang diajari. Alih-alih menjadi contoh malah kita yang mencontoh. Semoga Allah mengembalikan  kita, umat Islam, pada kemulian dengan kembali menegakkan ajaran Allah dan sunnah Nabi saw. Mari kita tunjukkan bahwa kita adalah muslim hakiki. Isyhaduu bianna muslimun….
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 324 – 27 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Menata Cinta

Oleh : Fauzi Bahreisy
 
Hanya satu kata. Namun, ia memliki dampak dan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan. Siapa yang bisa menatanya dengan baik ia akan selamat dan bahagia. Namun, siapa yang tidak mampu menata dengan baik, ia akan celaka dan menderita. Satu kata tersebut adalah cinta. Cinta memang bisa menjadi jalan ke surga. Akan tetapi, juga bisa menjadi jalan menuju neraka, naudzubillah.
Cinta ada dua. Cinta yang halal dan cinta yang haram, cinta yang suci dan cinta yang terpolusi, cinta yang diridhai oleh-Nya dan cinta yang dibenci, cinta yang mendatangkan bahagia dan cinta yang mendatangkan petaka. Hal itu tergantung pada bagaimana kita menatanya.
Cinta yang halal dan diridhai adalah cinta seorang mukmin sejati. Pasalnya, ia menata cintanya sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan Sunnah. Ia meletakkan cintanya yang paling besar kepada Allah Swt. Demikian bunyi firman Allah yang tidak pernah keliru dan salah, “Orang-orang mukmin sangat besar cinta mereka kepada Allah Swt.” (QS. Al Baqarah : 165).
Jadi, cinta terbesar seorang mukmin adalah kepada Allah Swt. Mengapa? Manusia mencintai sesuatu karena tiga hal. Bentuknya yang indah, sikapnya yang indah, dan anugerahnya yang indah. Allah memiliki semuanya.
(1) Allah Maha Indah senang kepada yang indah (Allah jamil yuhibbul jamal). Seluruh keindahan yang terdapat di dunia bersumber dari keindahan-Nya. Dialah sumber keindahan. Karena itu nanti di hari akhir ketika manusia ahli surga melihat wajah-Nya, mereka terkesima, takjub.
(2) Allah Maha Baik dan Maha Penyayang. Dia mencipta dengan rahmat, memberi dengan rahmat, memelihara dengan rahmat,  mengampuni dan memaafkan kesalahan hamba, yang menutupi kesalahan hamba, serta Dia pula yang mau mendengar keluh kesah hamba.
(3) Allah Maha Memberi Karunia. Dia yang memberi semua kebutuhan kita. Dia yang menanamkan perasaan cinta. Dia pula yang menghadirkan orang-orang yang kita cinta.
Bayangkan hidup tanpa cinta dan kasih sayang. Hidup ini terasa hambar. Bahkan niscaya tidak akan ada kehidupan. Namun mengapa kita sibuk mencinta tapi tidak pernah berterima kasih, bersyukur, dan mencinta Zat yang telah menganugerahkannya?!
Setelah Allah, seorang mukmin mencintai Rasul-Nya. Hal ini karena beliau hadir dan mempersembahkan hidupnya untuk kebahagiaan kita. Beliau sangat sayang, perhatian, dan memikirkan umatnya. Beliau rela berkorban, tersiksa, dan menderita demi untuk menyampaikan petunjuk yang bisa menyelamatkan kita. Laqad ja’akum rasulum min anfusikum
Beliau yang selalu bermunajat ummati…ummati…beliau pula yang akan memintakan syafaat untuk kita di akhirat.
Lalu seorang mukmin juga mencintai orang tuanya, ayah ibunya. Karena cinta dan ridha orang tua menjadi jalan bahagia. Orang mukmin juga cinta kepada isteri dan anaknya, kepada karib kerabatnya, kepada sesama mukmin dan juga seluruh manusia.
Lihat bagaimana Rasul saw menunjukkan cinta kepada Khadijah ra isterinya. Bahkan setelah Khadijah  wafat beliau tetap mengingat dan mengenangnya. Beliau memintakan ampunan untuknya, memujinya, kadang beliau menyembelih kambing dan memberikan dagingnya kepada teman-teman Khadijah ra.
Beliau juga mencintai Aisyah ra sepeninggal Khadijah. Beliau bercumbu, bersenda gurau, dan memberikan sentuhan kasih sayang kepadanya. Sampai kemudian beliau meninggal di pangkuannya.
Beliau juga mencintai anaknya. Ketika anaknya meninggal beliau tak kuasa menahan tangis sebagai bentuk kasih sayang kepadanya. Kepada Fatimah ra beliau menunjukkan cinta yang sangat besar.
Beliau juga mencintai cucunya. Hasan dan Husein sering beliau gendong dan beliau cium.
Beliau juga cinta kepada para sahabat dan seluruh kaum mukmin, bahkan seluruh makhluknya. Karena beliau memang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam. Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin.
Begitulah cinta seorang mukmin. Cinta yang tulus dan bersih. Cinta yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian. Cinta yang sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Cinta tersebut disalurkan sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Swt. Sehingga akan mendatangkan ganjaran di surga-Nya.
Namun sebaliknya cinta yang haram adalah cinta yang dibungkus oleh nafsu. Selalu mengajak kepada keburukan dan kepada yang haram. Ia membabi buta dan cenderung seperti binatang. Cinta yang semacam ini dikendalikan oleh setan. Atas nama cinta tidak ada rasa malu. Atas nama cinta kehormatan diabaikan. Atas nama cinta berbagai perbuatan nista dilakukan. Akhirnya alih-alih mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, ia justru mendapatkan petaka dan kemalangan. Tidak ada kepuasaan. Yang ada hanya kegalauan, kegundahan, kegelisahan, dan penderitaan.
Karena itu, sudah selayaknya kita menata cinta dengan benar sesuai tuntunan Allah agar bahagia untuk selamanya. Di dunia dan di akhirat. Amin.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 323 – 13 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Adab Bergurau dalam Islam

Oleh: Farid Nu’man Hasan
 
Berikut ini adalah adab-adab dalam bergurau yang mesti diperhatikan:
Pertama, hindari berbohong. Tidak sedikit manusia berbohong hanya untuk mencari perhatian dan tawa manusia. Kadang mereka mencampurkan antara yang fakta dan kebohongan atau ada yang bohong sama sekali. Islam mengajar umatnya untuk jujur baik dalam serius maupun candanya.
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang hamba tidak dikatakan beriman dengan sepenuhnya  kecuali jika dia meninggalkan berbohong ketika   bergurau, dan meninggalkan berdebat meski ia benar.” (HR. Ahmad).
Dr. Muhammad Rabi’ Muhammad Jauhari mengatakan: “Beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) memberikan arahan kepada para sahabatnya agar memiliki komitmen yang kuat untuk jujur dalam bergurau dan memperingatkan dari dusta saat bergurau.
Dari Bahz bin Hakim, katanya: berkata ayahku, dari ayahnya, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Celakalah bagi yang bicara lalu dia berdusta hanya untuk membuat orang tertawa, celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi). (Akhlaquna, Hal. 179. Cet. 4, 1999M/1420H. Maktabah Darul Fakhr Al Islamiyah).
Kedua, hindari kata-kata kotor, kasar, dan keji. Kadang ada orang yang bergurau dengan menggunakan kata-kata kotor dan tidak pantas, baik mengandung porno, mengejek secara kasar, bisa jadi semua  berawal dari sindiran kecil, dan semisalnya. Boleh jadi itu mengundang tawa. Tapi itu adalah gurauan berkualitas rendah yang tidak pantas dilakukan seorang muslim.
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lainnya ..” (QS. Al Hujurat: 11)
Dari Alqamah bin Abdillah, dia berkata: Bersabda Rasulullah:
Bukan orang beriman yang suka menyerang, melaknat, berkata keji, dan kotor. (HR. At Tirmidzi No. 1977, katanya: hasan gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Ketiga, hindari berlebihan. Aktifitas apa pun jika berlebihan tidak akan baik. Jika hal-hal yang pasti sunahnya saja mesti menghindari sikap berlebihan karena khawatir dianggap wajib, apalagi aktifitas yang boleh-boleh saja seperti  bergurau yang berpotensi melalaikan hati manusia.
Allah berfirman: “Dan janganlah kalian melampaui batas sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al An’am: 141)
Nabi bersabda: “Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.” (HR.  Ibnu Majah no. 3400).
Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah berkata: “Jangan banyak tertawa, sebab hati yang selalu berkomunikasi dengan Allah (berdzikir) adalah tenang dan tenteram. Jangan suka bergurau, karena umat yang berjihad tidak berbuat kecuali dengan bersungguh- sungguh terus menerus.” (Washaya Al ‘Asyr Lil Imam Hasan Al Banna)
Keempat, hindari main fisik. Main fisik di sini maksudnya adalah mengejek kondisi fisik seseorang (kurus, gemuk, hitam, pendek, pincang, pesek, dan lainnya) untuk mengundang tawa, atau memang menyakiti fisiknya dengan tangan kita. Ini terlarang dalam agama.
Rasulullah bersabda:
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama?” Beliau bersabda: “Yaitu orang yang muslim lainnya aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari No. 11, Muslim No. 42, dari Abu Musa Al Asy’ari).
Kelima, hindari bergurau dengan ayat-ayat Allah. Ini termasuk memperolok-olok agama yang sangat diharamkan dalam Islam. Menjadikan ayat-ayat atau sunah Nabi sebagai bahan ejekan adalah tindakan yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (QS. At Taubah : 65-66). *akhir
Wallahu A’lam
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 362 – 26 Februari 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Cinta Sejati

Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
 
Rasa cinta merupakan fitrah yang telah Allah tanamkan dalam diri manusia bahkan dalam setiap makhluk hidup. Ia adalah salah satu bagian dari nikmat dan karunia Allah kepada manusia. Tanpa ada rasa cinta, tidak akan terjalin hubungan yang harmonis diantara sesama manusia.
Tanpa ada rasa cinta, manusia akan hidup dalam nuansa yang diliputi dengan kebencian dan permusuhan. Seorang ibu memberikan kasih sayangnya kepada anaknya didasarkan pada rasa cinta. Seorang guru dengan kesabarannya mendidik murid-muridnya juga didasari karena rasa cinta. Namun, cinta yang seperti apa yang dapat mewujudkan kehidupan yang harmonis?
Islam yang merupakan agama rahmatan lil ‘alamin menganjurkan kepada ummatnya untuk hidup saling mencintai dan mencela kaum yang saling bermusuhan dan saling membenci. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a, Rasulullah SAW bersabda, “Jangan kalian saling membenci, dan jangan saling mendengki, jangan saling bermusuhan, dan jangan memutus hubungan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Muttafaq ‘Alaih).
Dari sini kita dapat memahami bahwa ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia. Dan tidak ada satupun aturan yang telah ditetapkan oleh, kecuali ia ditujukan demi kemaslahatan manusia. Begitu juga dengan rasa cinta yang ada di dalam diri manusia, Islam telah mengatur cinta yang seperti apakah yang dapat mewujudkan kerukunan dan keharmonisan bagi kehidupan manusia.
Islam mengakui rasa cinta, bahkan berdasarkan hadits diatas Islam mendorong untuk hidup dengan sesama manusia dan makhluk hidup dengan penuh rasa cinta.  Akan tetapi, Islam juga mengatur dan menjelaskan bagaimana caranya agar rasa cinta ini menjadi sebuah kekuatan yang memberikan rasa nyaman dalam kehidupan manusia.
Dan apa yang kita lihat di zaman sekarang ini menjadi bukti nyata dari penjelasan diatas. Hubungan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram sudah menjadi sebuah budaya yang bisa kita saksikan sehari-hari. Dengan mengatasnamakan cinta, mereka bebas melakukan hubungan terlarang hingga pada akhirnya muncullah perzinahan dan mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Padahal Allah dengan tegas berfirman di dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Israa’ : 32)
Bahkan dalam era modern, dimunculkanlah hari raya Valentine sebagai hari cinta dan kasih sayang. Padahal ia merupakan hari “perzinahan dunia,” sebab saat itulah laki-laki dan wanita mengungkapkan rasa cintanya kepada pasangannya tanpa ada batasan dan aturan.
Terlebih lagi, pada saat ini muncul hubungan sesama jenis, lagi-lagi dengan mengatasnamakan cinta dan rasa saling suka. Sungguh, ini adalah cinta yang palsu dan tidak sejalan dengan fitrah dan akal manusia. Binatang saja tidak yang melakukan hubungan sesama jenis, lantas mengapa manusia yang dibekali akal untuk berpikir melakukan hal yang sangat tercela dan dimurkai ini? Tidakkah mereka ingat hukuman apa yang telah Allah berikan kepada kaumnya Nabi Luth disaat mereka melakukan hubungan sejenis?
Allah SWT berfirman “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.” Dan jawaban kaumnya tidak lain hanya berkata, “Usirlah mereka (Lut dan pengikutnya) dari negerimu ini, mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikutnya, kecuali istrinya. Dia (istrinya) termasuk orang-orang yang tertinggal. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu). Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang berbuat dosa itu.” (QS. al-A’raaf: 80-81).
Manakala sebuah cinta tidak berlandaskan pada cinta karena Allah, ia akan berubah dari cinta yang indah menjadi cinta yang membinasakan. Cinta yang sejati yang dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup ialah cinta karena Allah. Ia juga menjadi bukti kuatnya iman seorang muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Tali iman yang paling kuat ialah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (H.R. Ahmad).
Wallahu a’lam
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 361 – 19 Februari 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!