0878 8077 4762 [email protected]

Kondisi Rumah Rasulullah Membuat Umar Menangis

Suatu hari, Umar bin Khattab berkunjung ke rumah Nabi. Nabi tinggal di sebuah ruangan kecil, bersebelahan dengan masjidnya.
Ruangan ini sekarang termasuk dalam bagian Masjid Nabi yang indah di Madinah. Tapi pada waktu itu, temboknya dibangun dari lumpur dan batu, atap pohon palem dan tangkai, dan lantainya adalah pasir. Pintu-pintunya langsung menjorok ke halaman dan tempat shalat.
Umar mengetuk dan meminta izin untuk masuk. “Bolehkah Umar bin Al-Khattab masuk, wahai Rasulullah?” kata Umar.
“Ya, masuklah, Umar,” jawab Nabi.
Umar memasuki ruangan dimana Nabi sedang beristirahat. Dia pertama kali menyapa Nabi, “Assalamualaikum…”
“Wa’alaikumsalam, keselamatan untukmu,” jawab Nabi.
Umar duduk di lantai dan mulai memperhatikan ruangan itu untuk pertama kalinya. Tidak ada tempat tidur di ruangan itu. Nabi waktu itu tengah terbaring di atas sebuah tikar. Sebagian tubuhnya ada di lantai dan sebagian di atas tikar.
Tikar itu kasar dan lantainya keras. Tanda dari tikar itu terlihat di tubuhnya. Nabi mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan yang kasar. Nabi punya bantal, tapi bantal itu terbuat dari daun berduri pohon palem.
Tidak ada yang lain di ruangan itu, tidak ada lemari pakaian, tidak ada makanan berlimpah untuk dimakan, tidak ada kasur yang nyaman.
Sebagai gantinya, di sudut ada beberapa daun berry, dan setumpuk kecil gandum, dan sepotong kulit yang belum diolah sedang digantung.
Air mata mulai mengalir di mata Umar. Ketika Nabi melihat Umar menangis, Nabi bertanya kepadanya, “Kenapa kau menangis, Umar?”
Umar menjawab dengan suara pahit, “Dan mengapa aku tidak menangis, wahai Nabi Allah? Aku melihat tempat tidur dan tanda dari tikar di punggungmu, aku melihat semua barang milikmu yang sederhana, dan namun engkau adalah Nabi Allah dan Rasul pilihan-Nya!
“Kaisar Byzantium dan Persia tinggal dalam kemewahan dan kenyamanan. Takhta mereka terbuat dari emas dan pakaian dan tempat tidurnya terbuat dari sutra terbaik,” Umar masih berkata.” Dan inilah yang engkau miliki. Inilah hartamu.”
Nabi tersenyum dan memandangi Umar dengan lembut. “Apakah engkau tidak bahagia, hai Umar bahwa kita akan menerima kekayaan dan harta kita dan kenyamanan dalam kehidupan yang kekal nanti?”
“Raja-raja dunia ini telah menerima bagian penuh mereka di sini, dan bahkan bagian ini tidak akan berguna bagi mereka segera setelah mereka berangkat dari dunia ini. Bagian kita akan datang nanti, tapi begitu kita menerimanya, maka akan tetap bersama kita selamanya.” lanjut sang Rasul menyemangati.
 
Sumber : Jalan Sirah
Keterangan gambar :

  • Kotak besar adalah Masjid Nabawi dulu
  • Kotak kecil adalah rumah Rasul
  • dan Gunung Uhud dibelakangnya.

Abdullah Bin Mubarak, Ulama Yang Berhaji Tanpa Ke Tanah Suci

 
Suatu ketika saat sampai di Kota Kufah, perjalanan haji Abdullah bin Mubarak ke Tanah Suci terhenti. Dia melihat seorang perempuan sedang mencabuti bulu itik dan Abdullah seperti tahu, itik itu adalah bangkai.
“Ini bangkai atau hasil sembelihan yang halal?” tanya Abdullah memastikan.
“Bangkai, dan aku akan memakannya bersama keluargaku.”
Ulama hadits yang zuhud ini heran, di negeri Kufah bangkai ternyata menjadi santapan keluarga. Ia pun mengingatkan perempuan tersebut bahwa tindakannya adalah haram. Si perempuan menjawab dengan pengusiran.
Abdullah pun pergi tapi selalu datang lagi dengan nasihat serupa. Berkali-kali. Hingga suatu hari perempuan itu menjelaskan perihal keadaannya.
“Aku memiliki beberapa anak. Selama tiga hari ini aku tak mendapatkan makanan untuk menghidupi mereka.”
Hati Abdullah bergetar. Segera ia pergi dan kembali lagi bersama keledainya dengan membawa makanan, pakaian, dan sejumlah bekal.
“Ambilah keledai ini berikut barang-barang bawaannya. Semua untukmu.”
Tak terasa, musim haji berlalu dan Abdullah bin Mubarak masih berada di Kufah. Artinya, ia gagal menunaikan ibadah haji tahun itu. Dia pun memutuskan bermukim sementara di sana sampai para jamaah haji pulang ke negeri asal dan ikut bersama rombongan.
Begitu tiba di kampung halaman, Abdullah disambut antusias masyarakat. Mereka beramai-ramai memberi ucapan selamat atas ibadah hajinya. Abdullah malu. Keadaan tak seperti yang disangkakan orang-orang. “Sungguh aku tidak menunaikan haji tahun ini,” katanya meyakinkan para penyambutnya.
Sementara itu, kawan-kawannya yang berhaji menyuguhkan cerita lain. “Subhanallah, bukankah kami menitipkan bekal kepadamu saat kami pergi, kemudian mengambilnya lagi saat kau di Arafah?”
Yang lain ikut menanggapi, “Bukankah kau yang memberi minum kami di suatu tempat sana?”
“Bukankah kau yang membelikan sejumlah barang untukku,” kata satunya lagi.
Abdullah bin Mubarak semakin bingung. “Aku tak paham dengan apa yang kalian katakan. Aku tak melaksanakan haji tahun ini.”
Hingga malam harinya, dalam mimpi Abdullah mendengar suara, “Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji.”
Demikian diceritakan kitab An-Nawâdir, karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qulyubi.

Teladan Imam Abu Hanifah Biar Tak Lupa Sama Warung Tetangga

 
MASYARAKAT modern saat ini lebih gemar berbelanja di minimarket milik segelintir pemodal besar, ketimbang warung tetangga. Padahal bisa jadi warungnya ini yang menjadi sumber nafkah bagi keluarga dan pendidikan anak-anaknya.
Contoh lain, beberapa orang bersikeras menawar harga sayuran di pedagang kecil yang harganya mungkin hanya ribuan perak. Padahal di kesempatan lain, ia bisa menghabiskan uang hingga ratusan ribu hanya untuk makan di restoran tanpa tawar-menawar atau merasa dirugikan.
Baiknya kita mencontoh perbuatan Imam Abu Hanifah yang berlaku ‘anti-mainstream’ (berbeda dari umumnya) kepada seorang penjual seperti dikisahkan dalam kitab Mausu’atul Akhlaq waz Zuhdi war Raqaiq karya Yasir ‘Abdur Rahman.
Pada suatu hari Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah didatangi seorang perempuan yang membawa pakaian sutra di tangannya.
Perempuan ini berniat menjual pakaian mewah tersebut kepada Abu Hanifah.
“Berapa harganya,” tanya Imam Abu Hanifah.
“Seratus dirham.”
“Tidak. Nilai barang ini lebih dari seratus dirham.”
Sontak pernyataan Abu Hanifah ini membuat si perempuan heran. Lazimnya pembeli selalu menawar barang dagangan dengan harga yang lebih murah, bukan ingin membeli dengan harga yang mahal.
Akhirnya perempuan itu pun melipatgandakan harga pakaian sutranya menjadi empat ratus dirham.
“Bagaimana jika barang itu lebih mahal lagi?” tantang Abu Hanifah.
“Anda bercanda?” Tanya perempuan tersebut tercengang.
“Jika Anda tidak percaya, silakan datangkanlah seseorang untuk menaksir harganya!”
Lalu Perempuan itu akhirnya menghadirkan seorang laki-laki untuk menaksir harga pakaian sutranya.
“Pakaian sutra ini seharga lima ratus dirham,” ungkap si laki-laki.
Imam Abu Hanifah lantas membayarnya kontan dengan harga lima ratus dirham. Abu Hanifah paham, perempuan tersebut menjual pakaian sutranya lantaran dalam kondisi sangat membutuhkan uang

Berlelah dalam Sedekah

Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
 
Dalam kitab Ad-Durr Al-Mantsur dijelaskan, suatu ketika, Rasulullah SAW mengabarkan penduduk Madinah bahwa Perang Tabuk berada diambang waktu.
Mendengar kabar itu seorang sahabat yang bernama Abu ‘Uqail begitu gelisah, ia gelisah bukan karena takut berperang. Tetapi ia gelisah karena tidak memiliki harta apapun yang bisa ia sedekahkan sebagai modal kaum muslimin dalam peperangan.
Maklum, Abu ‘Uqail adalah seorang sahabat yang tidak memiliki kecukupan harta, bahkan untuk kebutuhan makan saja ia harus berjuang dengan susah payah.
Namun, itulah kehebatan para sahabat, kekurangan harta tidak menghalangi mereka berpartisipasi dalam perjuangan.
Begitupun dengan Abu ‘Uqail, keadaannya tidak membuatnya menyerah, ia terus memikirkan bagaimana caranya agar bisa bersedekah.
Ia tidak ingin ketinggalan momentum emas peperangan Tabuk, hingga akhirnya Allah pun memberikan petunjuk dan ide hebat padanya.
Menawarkan jasa, itulah yang Abu ‘Uqail lakukan. Ia pergi menawarkan tenaganya pada seseorang dengan harapan menerima upah dari apa yang ia kerjakan, yang kemudian bisa ia sedekahkan dalam persiapan peperangan.
Abu ‘Uqail pun mendapatkan pekerjaan, yang ia lakukan adalah memikul tambang yang cukup berat, dan dari pekerjaannya inilah ia menerima upah dua sha’ (semisal dua karung) kurma.
Dari upah yang ia terima inilah kemudian Abu ‘Uqail bisa bersedekah. Satu sha’ ia berikan pada keluarganya dan satu sha’ lagi ia berikan pada Rasulullah SAW.

Siapa Gubernur Pertama Mekkah Dan Madinah?

Sejarah mencatat, sejumlah sahabat yang mendapat kepercayaan menjadi gubernur kota-kota penting dan strategis. Mereka juga sebagai gubernur pertama yang bertugas memimpin jalannya pemerintahan di wilayah tersebut.
Perihal gubernur pertama dalam sejarah Islam dengan menukilkan riwayat dari kitab al-Awa’il karya Abu Hilal al-‘Askary.
Terungkap bahwa sosok yang menjadi gubernur Makkah pertama adalah sahabat ‘Utab bin Asid yang ditunjuk Rasulullah SAW untuk mempimpin Makkah saat peristiwa Haji Wada’.
Kisah ‘Utab bin Asid
Ketika Rasul wafat, tak sedikit masyarakat Arab yang keluar Islam, ‘Utab mengambil inisiasi dengan berkhutbah di masjid.
Isi ceramahnya cukup populer di antara penggalannya berbunyi, “Kalaupun Muhammad SAW meninggal, maka sesungguhnya Allah SWT kekal.
Kalian tahu sebagian besar kalian adalah kafilah di darat dan pelayan di laut, tetaplah pada urusan kalian, tunaikan zakat, saya jaminan jika ini urusan ini tidak kelar, saya akan kembalikan ke kalian.”
Kisah tentang ceramah ‘Utab bin Asid tersebut sampai di telinga Abu Bakar RA dan mengapresiasinya.
Kisah Sahal bin Hanif
Selanjutnya, al-‘Askary mengemukakan sedangkan gubernur yang pertama memimpin Madinah adalah Sahal bin Hanif yang ditunjuk oleh Ali bin Abi Thalib saat menantu Rasulullah SAW tersebut pergi ke Bashrah dalam rangka Perang Jamal.
Ada cerita yang sangat ironis terkait perang saudara sesama akidah ini, saat Utsman bin Hanif, yang tak lain adalah saudara kandung Sahal tertangkap dan hendak dieksekusi, ia meminta pengampunan.
Kemudian Utsman berkata, “Saudaraku, Sahal, wakil Ali bin Thalib atas Madinah, jika kalian membunuhku maka ia tak akan melepaskan keturunan kalian.”
Akhirnya, tak selang berapa lama mereka membebaskan Utsman bin Hanif.
 
Disadur : Republika

Gema "Takbir" Terakhir Sang Muadzin Rasulullah

BILAL bin Rabbah adalah salah satu sosok Muslim yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dialah sosok muadzin pertama. Beliau telah lebih dahulu mendengar seruan Rasulullah SAW yang membawa agama Islam, yang menyeru untuk beribadah kepada Allah yang Esa. Meninggalkan berhala, menggalakkan persamaan antara sesama manusia, memerintahkan kepada akhlak yang mulia. Sebagaimana beliau juga selalu mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy seputar Nabi Muhammad SAW.
Setelah Nabi SAW dan kaum muslimin hijrah ke Madinah dan menetap disana, Rasulullah SAW memilih Bilal untuk menjadi muadzin pertama. Bilal tidak hanya ditugaskan pada seputar adzan saja, tapi juga selalu menyertai Rasulullah SAW dalam setiap peperangan.
Sejak Rasulullah wafat, Bilal meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak lagi melantukan Adzan di puncak Masjid Nabawi di Madinah. Bahkan permintaan Khalifah Abu Bakar, yang kembali memintanya untuk menjadi muadzin ia penuhi.
Dengan kesedihan yang mendalam Bilal berkata,
“Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”
Khalifah Abu Bakar pun bisa  memahami kesedihan Bilal dan tak lagi memintanya untuk kembali menjadi muadzin di Masjid Nabawi, melantunkan Adzan panggilan umat muslim untuk menunaikan shalat fardhu.
Kesedihan Bilal akibat wafatnya Rasulullah tidak bisa hilang dari dalam hatinya. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan Madinah, bergabung dengan pasukan Fath Islamy hijrah ke negeri Syam. Bilal kemudian tinggal di Kota Homs, Syria.
Sekian lamanya Bilal tak berkunjung ke Madinah, hingga pada suatu malam, Rasulullah Muhammad SAW hadir dalam mimpinya. Dengan suara lembutnya Rasulullah menegur Bilal,
“Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?“
Bilal pun segera terbangun dari tidurnya. Tanpa berpikir panjang, Ia mulai mempersiapkan perjalanan untuk kembali ke Madinah. Bilal berniat untuk ziarah ke makam Rasulullah setelah sekian tahun lamanya Ia meninggalkan Madinah.
Setibanya di Madinah, Bilal segera menuju makam Rasulullah. Tangis kerinduannya membuncah, cintanya kepada Rasulullah  begitu besar. Cinta yang tulus karena Allah kepada Baginda Nabi yang begitu dalam.
Pada saat yang bersamaan, tampak dua pemuda mendekati Bilal. Kedua pemuda tersebut adalah Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Masih dengan berurai air mata, Bilal tua memeluk kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut.
Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah, juga turut haru melihat pemandangan tersebut. Kemudian salah satu cucu Rasulullah itupun membuat sebuah permintaan kepada Bilal.
“Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami.”
Umar bin Khattab juga ikut memohon kepada Bilal untuk kembali mengumandangkan Adzan di Masjid Nabawi, walaupun hanya satu kali saja. Bilal akhirnya mengabulkan permintaan cucu Rasulullah dan Khalifah Umar Bin Khattab.
Saat tiba waktu shalat, Bilal naik ke puncak Masjid Nabawi, tempat Ia biasa kumandangkan Adzan seperti pada masa Rasulullah masih hidup. Bilal pun mulai mengumandangkan Adzan.
Saat lafadz “Allahu Akbar” Ia kumandangkan, seketika itu juga seluruh Madinah terasa senyap. Segala aktifitas dan perdagangan terhenti. Semua orang sontak terkejut, suara lantunan Adzan yang dirindukan bertahun-tahun tersebut kembali terdengar dengan merdunya.
Kemudian saat Bilal melafadzkan “Asyhadu an laa ilaha illallah“, penduduk Kota Madinah berhamburan dari tempat mereka tinggal, berlarian menuju Masjid Nabawi. Bahkan dikisahkan para gadis dalam pingitan pun ikut berlarian keluar rumah mendekati asal suara Adzan yang dirindukan tersebut.
Puncaknya saat Bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah“, seisi Kota Madinah pecah oleh tangis dan ratapan pilu, teringat kepada masa indah saat Rasulullah masih hidup dan menjadi imam shalat berjamaah.
Tangisan Khalifah Umar bin Khattab terdengar  paling keras. Bahkan Bilal yang mengumandangkan Adzan tersebut tersedu-sedu dalam tangis, lidahnya tercekat, air matanya tak henti-hentinya mengalir. Bilal pun tidak sanggup meneruskan Adzannya, Ia terus terisak tak mampu lagi berteriak melanjutkan panggilan mulia tersebut.
Hari itu Madinah mengenang kembali masa saat Rasulullah masih ada diantara mereka. Hari itu, Bilal melantukan adzan pertama dan terakhirnya semenjak kepergian Rasulullah. Adzan yang tak bisa dirampungkannya.
 
Sumber: 101 Kisah Teladan.