by Danu Wijaya danuw | Mar 20, 2017 | Artikel, Kisah Sahabat
Panah yang beracun adalah pandangan, jika kita tidak mampu mejaga pandangan maka kemaksiatan dan segala sesuatu yang haram didepan mata kita akan terlihat.
Dan kita gunakan kedua bola mata yang sudah Allah amanahkan ini untuk melihat yang haram. Memang tak semudah membalikan telapak tangan untuk menjaga pandangan.
Akan tetapi hamba yang patuh dan tunduk kepad Allah akan senantiasa berusah sekuat mungkin untuk menjaga pandanganya.
Seperti kisah seorang tabiin bernama Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah yang dikenal senantiasa menundukkan pandangannya.
Suatu hari ia melewati sekumpulan wanita. Ia tidak sanggup memandang wanita-wanita tersebut. Yang ia lakukan adalah menundukkan pandangannya dan memandang dadanya sendiri.
Sampai para wanita pun menyangka, jangan-jangan Rabi’ itu buta. Padahal Rabi’ bin Khutsaim hanya ingin menjaga pandangannya, ia tak ingin melihat suatu yang haram, yang jelas di benci oleh Allah.
Sedangkan kita? Semoga kita berusaha menjadi Rabi’ bin Khutsaim di zaman sekarang, yang ujian pandanganya lebih besar dari pada di zaman Rabi’ bin Khutsaim, semoga pahalanya pun semakin berlipat.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30-31)
Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai macam godaan yang merusak.
by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Mar 9, 2017 | Artikel, Kisah Sahabat
Thariq bin Ziyad, dikenal dalam sejarah Spanyol sebagai legenda dengan sebutan Taric el Tuerto, adalah seorang jendral dari dinasti Umayyah yang memimpin penaklukan muslim atas wilayah Al-Andalus pada tahun 711 M. Dikenang sebagai salah satu pahlawan besar Islam dalam sejarah Islam.
Setelah Musa bin Nushair membuka jalan pasukan Islam ke Eropa, Thariq bin Ziyad menyempurnakannya dengan menaklukkan Andalusia. Atas perintah Khalifah al-Walid bin Abdul Malik, Thariq membawa pasukan Islam menyeberangi selat Gibraltar menuju daratan Eropa dari sinilah sejarah bangsa Ifranji –sebutan untuk orang-orang Eropa- itu berubah.
Jihad di Afrika Utara

Posisi Kota Al-Hoceima yang penting dalam penaklukkan Maroko dan Selat Gibraltar (Selat Thariq) ketika menyebrang ke Spanyol
Salah satu daerah yang paling strategis di wilayah Afrika Utara adalah Maroko. Daerah ini telah mengenal Islam sebelum kedatangan Musa bin Nushair dan pasukannya –Thariq bin Ziyad termasuk pasukan Musa bin Nushair-. Namun penduduk di daerah ini belum menerima Islam secara utuh dan keimanan mereka belum kokoh, terbukti dengan seringnya masyarakat wilayah ini berganti agama dari Islam ke agama selainnya.
Di antara penyebab pergantian agama ini karena penaklukan Maroko di masa Uqbah bin Nafi’, kurang memperhatikan pendidikan keagamaan. Islam belum mapan di suatu daerah, Uqbah dan pasukannya sudah berangkat ke daerah lainnya. Selain itu keadaan bangsa Barbar di Afrika Utara yang memang mewaspadai pergerakan Uqbah bin Nafi’. Keadaan demikian menyebabkan masyarakat Maroko sering murtad setelah masuk ke dalam Islam (Qishshatu al-Andalus min al-Fathi ila as-Suquth, Hal. 30).
Dalam perjalanan menaklukkan Afrika Utara, Musa bin Nushair dibuat kagum dengan kesungguhan dan keberanian salah seorang pasukannya yang bernama Thariq bin Ziyad. Setelah menaklukkan beberapa wilayah, akhirnya pasukan ini berhasil menaklukkan Kota Al-Hoceima, salah satu kota penting di Maroko. Kota ini sebagai wilayah strategis yang mengantarkan pasukan Islam menguasai semua wilayah Maroko. Musa kembali ke Qairawan sedangkan Thariq menetap di sana dan memberi pengajaran keagamaan kepada masyarakat Barbar Maroko.
Menaklukkan Andalusia (Spanyol)
Salah satu rahasia mengapa agama Islam begitu diterima di wilayah-wilayah yang ditaklukkannya karena umat Islam tidak memperbudak dan bukan bertujuan mengusai, akan tetapi tujuannya adalah membebaskan wilayah tersebut dari kezaliman penguasanya dan hukum-hukum yang tidak adil. Oleh karena itu, kita jumpai wilayah-wilayah yang ditaklukkan umat Islam, penduduk pribuminya berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Sebelum umat Islam menguasai Andalus, daratan Siberia itu dikuasai oleh seorang raja zalim yang dibenci oleh rakyatnya, yaitu Raja Roderick. Di sisi lain, berita tentang keadilan umat Islam masyhur di masyarakat seberang Selat Gibraltar ini. Oleh karena itu, orang-orang Andalusia sengaja meminta tolong dan memberi jalan kepada umat Islam untuk menngulingkan Roderick dan membebaskan mereka dari kezalimannya.
Musa bin Nushair merasa perlu menguji Count (Pangeran) Julian dengan mengirim 500 tentara di bawah komando Tharif ke wilayah yang sampai kini dinamai Tarifa, di ujung paling selatan Spanyol. Orang Arab menamakannya Jazira Tharif (Terifa). Itu terjadi pada tahun 91 H. Tharif membawa misi utama pengintaian kekuatan Kerajaan Bangsa Visigoth, serta penjajakan bagi sebuah operasi militer besar.
Gubernur Musa semakin yakin akan kejujuran Pangeran Julian, setelah Pangeran Ceuta itu juga menyiapkan kapal-kapal yang akan digunakan untuk menyerang Spanyol. Dan setetlah mendapat izin dari Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik di Damaskus, Musa pun memutuskan menyerang Spanyol. Apalagi saat itu Raja Roderick di Toledo sedang menghadapi pemberontakan di bagian utara kerajaannya. Untuk melaksanakan misi besarkannya itu, Musa memilih seorang Berber, Thariq bin Ziyad, sebagai Komandan.
Panglima perang Thariq bin Ziyad bersama 7000 tentara, yang mayoritas berasal dari suku Berber, menyeberang ke Spanyol di tahun 711 M. ia mendarat dekat gunung batu besar yang kelak dinamai dengan namanya, Jabal (gunung) Thariq, Orang Eropa menyebutnya Gilbraltar.

Batu keras besar di Gibraltar tempat mendarat Thariq bin Ziyad pertama kali
Setelah berhasil menyeberang ke daratan Spanyol, tiba-tiba Thariq mengambil langkah yang hingga sampai kini membuat tercengang para ahli sejarah. Ia membakar perahu-perahu yang digunakan untuk mengangut pasukannya itu. Lalu ia berdiri di hadapan para tentaranya seraya berpidato dengan lantang berwibawa, dan tegas.
Dalam pidatonya yang penuh semangat, panglima Thariq berkata;
“Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian. Musuh di hadapan kalian. Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali sikap benar dan sabar. Musuh-musuh kalian sudah siaga di depan dengan persenjataan mereka. Kekuatan mereka besar sekali. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, dan tidak ada makanan bagi kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian. Sekiranya perang ini berkepanjangan, dan kalian tidak segera dapat mengatasinya, akan sirnalah kekuatan kalian. Akan lenyap rasa gentar mereka terhadap kalian. Oleh karena itu, singkirkanlah sifat hina dari diri kalian dengan sifat terhormat. Kalian harus rela mati. Sungguh saya peringatkan kalian akan situasi yang saya pun berusaha menanggulanginya. Ketahuilah, sekiranya kalian bersabar untuk sedikit menderita, niscaya kalian akan dapat bersenang-senang dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, janganlah kalian merasa kecewa terhadapku, sebab nasib kalian tidak lebih buruk daripada nasibku…”
Selanjutnya ia berteriak kencang: “Perang atau mati!” Pidato yang menggugah itu merasuk ke dalam sanubari seluruh anggota pasukannya.
Pasukan Thariq vs Pasukan Roderick

Pertarungan antara Thariq dan Roderick
Dan pada 19 Juli 711 M, pasukan Thariq yang saat itu berjumlah 12000 personil setelah ada tambahan pasukan dari Ifriqiya, berhadapan dengan Raja Roderick dan pasukannya di mulut sungai (Rio) Barbate. Peperangan di bulan Ramadhan itu berlangsung sengit selama delapan hari. Pasukan Roderick pada awalnya sempat unggul, namun kelemahan di sayap kiri dan kanan pasukan mereka berhasil dimanfaatkan oleh pasukan Islam. Dan pasukan Roderick pun terdesak, hingga akhirnya dipukul mundur.
Pasukan Islam berhasil meraih kemenangan gemilang. Roderick sendiri menghilang, dan di duga ia tenggelam di Sungai Barbate. Kuda dan sepatunya ditemukan di tepi sungai.
Gubernur Musa bin Nusair lalu mengirim surat kepada Khalifah Al-Walid, melukiskan jalannya peperangan Rio Barbate. “Penaklukan ini berbeda dari penaklukan-penaklukan lain. Peristiwa seperti kiamat,” tulisnya.
Penaklukan Daerah Lain : Sevilla, Ecija, Arkedonia, Elvira, Cordoba, Granada

Peta andalusia yang dikuasai Islam
Kemenangan telak dalam pertempuran di Sungai Barbate itu membentang jalan bagi masuknya Thariq bin Ziyad menuju kota Sevilla yang dijaga oleh benteng-benteng kuat. Tapi sebelum merebut Sevilla, Thariq lebih dulu menaklukkan daerah-daerah lain yang lebih lemah. Sebagian ditaklukkan dengan cara damai, tapi sebagian terpaksa dengan kekerasan karena warga setempat melawan. Mereka bersikap ramah terhadap penduduk yang tidak melawan.
Pasukan Thariq yang sudah lebih besar karena ada tambahan pasukan baru, kini mengarah ke Toledo, ibukota Visigoth (Gotik Barat). Di jalan ke Toledo itu mereka menyapu kota Ecija dimana sempat terjadi perdamaian dan menerima kekuasaan Muslim atas wilayah itu.
Dengan cepat Thariq berusaha menaklukkan sebagian besar tanah Spanyol, yang oleh orang Arab dinamakan Al-Andalus (Andalusia) itu. Ia lalu membagi-bagi pasukannya ke dalam beberapa kelompok. Satu pasukan berhasil merebut Arkidona tanpa perlawanan, dan pasukan lainnya juga dengan mudah merebut kota Elvira dekat Granada. Ia lalu menaklukkan Cordoba dan sebagian wilayah Malaga. Kemudian diteruskan dengan mengepung Granada yang berhasil ditaklukkan dengan jalan perang.
Menaklukan Ibukota Toledo
Thariq lalu menuju ibukota Toledo. Di dalam perjalanan dia menyerang kota Murcia dan menghancurkan kerajaannya sampai lumat. Ketika pasukan Islam di Toledo ternyata para pemimpin Gotik telah meninggalkan wilayah itu. Thariq memasukinya dengan mudah. Ketika itu pasukannya didukung pula oleh ksatria-ksatria Kristen lokal yang tak suka kekuasaan Bangsa Gotik Barat di negaranya.
Thariq terus mengejar para pejabat Gotik ke gunung, hingga mendapatkan harta rampasan yang sangat banyak. Harta dan para tawanan dibawa ke Toledo. Di sana para tawanan dipekerjakan untuk membangun kembali kota itu, antara lain dengan membangun 365 tiang terbuat dari batu Zabarjud.
Musa bin Nusair lalu mengirim surat kepada Thariq bin Ziyad, dan memerintahkannya untuk menghentikan gerakan, dan tetap berada di tempat surat itu tiba. Tapi, Thariq malah mengumpulkan para pejabatnya, merundingkan strategi perang. Semuanya berpendapat melaksanakan perintah Musa akan mempersulit strategi perang mereka. Sebab, sudah terbuka untuk merekrut pasukan asal Toledo dan meraih momentum untuk menyerang lawan yang belum menyadari situasi.
Karena itu Thariq melanjutkan penaklukan seraya merekrut milisi dari warga Toledo yang sudah kalah. Thariq mengabarkan keputusannya ini kepada Musa bin Nushair disertai alasan-lasannya.
Bantuan dari Musa bin Nushair
Ketika pesan Thariq sampai, Musa langsung berangkat ke Spanyol pada bulan Juni 712 M dengan membawa 18.000 tentara, kebanyakan orang Arab. Dan seperti yang pernah disepakati dengan Thariq, pasukan Musa bin Nushair segera menuju Sevilla, kota terkuat Spanyol saat itu. Sebelum ke Sevilla pasukan Musa menaklukkan Medina Sidon dan Carmona. Musa mengepung ketat kota Sevilla dan akhirnya berhasil menghancurkan kota pusat kebudayaan Spanyol itu. Namun kota itu ditinggalkan Musa dalam keadaan kobaran api dan ia melanjutkan perjalanan ke arah Toledo.
Warga Sevilla tetap tak rela terhadap pendudukan oleh pasukan Muslim di sana. Setelah panglima Musa bin Nushair meninggalkan kota itu, milisi Sevilla kembali beraksi mengobarkan pemberontakan. Mereka dapat membunuh tentara Muslim. Mendengar berita itu, Musa segera mengirim anaknya Abdul Aziz, untuk kembali ke Sevilla. Ia sendiri terus menuju Toledo.
Percecokan Musa dengan Thariq
Mendengar kabar akan datangnya panglima utamanya, Musa bin Nushair, Thariq segera keluar ke perbatasan Toledo untuk menyambut Musa.
Namun Musa sangat marah kepadanya. Thariq dianggap telah mengabaikan perintahnya untuk menghentikan sementara penaklukkan sampai ia datang ke Spanyol. Begitu marahnya Musa sampai ia memasukkan jendralnya itu ke dalam penjara layaknya seorang penjahat.
Di depan sidang dewan pertahanan, Musa menyatakan memecat Thariq bin Ziyad, dengan tujuan memperbaiki segala sesuatu yang telah dilakukan Thariq. Sekalipun Thariq berupaya menjelaskan bahwa keputusannya itu dilakukan demi kemaslahatan kaum Muslimin dan sudah dimusyawarahkan dengan para penasehat, Musa tetap teguh pada pendiriannya. Ia mengganti Thariq dengan Mughits bin Al-Harits, tapi Mughits menolaknya. Ia segan menjadi komandan di atas Thariq sang pemeberani.
Mughits bahkan bertekad membela Thariq bin Ziyad. Diam-diam dia mengirim kabar kepada Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik tentang situasi yang berkembang.
Pemulihan Thariq dan Kerjasama antara Thariq dan Musa bin Nushair
Khalifah Al-Walid sangat marah mendengarnya. Ia lalu menyurati Musa dan memerintahkan agar kedudukan Thariq dipulihkan sebagai komandan pasukan. Dan Musa menaati perintah pemimpinnya di Damaskus itu.
Kemudian kedua panglima itu bergerak terus ke utara, hingga berhasil menaklukkan Castilla, Aragon dan Catalonia (Barcelona). Keduanya bahkan sampai ke pegunungan Pyrennes yang menjadi batas antara Spanyon dan Perancis. Sekiranya tidak ada perintah dari Damaskus untuk menghentikan penaklukan, niscaya gerakan mereka berdua tak tertahankan untuk menguasai seluruh benua Eropa.
Penutup
Perjalanan hidup panglima Thariq bin Ziyad, sang penakluk Spanyol yang agung telah menjadi bagian dari sejarah patriotisme Islam melalui penaklukan Andalusia.
Jasa-jasa Thariq dan kepahlawanannya diabadikan dengan nama selat yang memisahkan Maroko dan Spanyol dengan nama Selat Gibraltar. Gibraltar adalah kata dalam bahasa Spanyol yang diartikan dalam bahasa Arab sebagai Jabal Thariq atau dalam bahasa Indonesia Bukit Thariq.
by Danu Wijaya danuw | Feb 1, 2017 | Artikel, Kisah Sahabat
Cuaca Madinah pagi itu begitu dingin. Sambil bersandar di sisi kiri mimbar, pandanganku tertuju ke arah makam Rasulullah.
Tiba-tiba imajinasiku memaksaku melompat jauh ke masa silam, tepatnya di tahun terakhir kenabian.
Tahun itu… Kabilah-kabilah arab berbondong-bondong menyatakan masuk islam. Itu artinya tugas kenabian sebentar lagi usai.
Menikmati masa-masa kemenangan adalah tabiat sebuah perjuangan. Tapi tidak bagi sosok yang mulia itu.
Karena misi perjuangannya bukan untuk meraup harta, bukan pula untuk mengejar jabatan.
Bila Allah ridho, kalimat-Nya ditinggikan, syariat-Nya ditegakkan, maka itulah puncak pencapaian tertinggi.
Raga suci itu letih, peluh di dahinya sesekali mengucur.
Di atas tikar kasar raga itu terkulai, berbulan-bulan tak ada api yang mengepul di rumahnya.
Kondisi itu tidak hanya terjadi sekali, bahkan berkali-kali semenjak beliau diutus menjadi Nabi.
Abu Hurairah menuturkan, “Adakalanya sampai berbulan-bulan berlalu, namun di rumah Rasulullah tidak ada satupun lampu yang menyala, dapurnya pun tidak mengepul. Jika ada minyak, maka dijadikannya sebagai makanan.
Sering beliau tidur malam sedang keluarganya bolik-balik di atas tempat pembaringan karena kelaparan, tidak ada makan malam. Makanan mereka biasanya hanya roti yang terbuat dari syair yang kasar.” (HR. Tarmidzi).
Sang istri Aisyah radhiallahu anha menuturkan, “Seringkali kami melewati masa hingga 40 hari, sedang di rumah kami tidak pernah ada lampu yang menyala dan dapur kami tidak mengepul. Maka orang yang mendengar bertanya, ‘Jadi apa yang kalian makan untuk bertahan hidup?’ Ummul Mukminin menjawab, “Kurma dan air saja, itu pun jika dapat.”(HR. Ahmad)

Dapur dan Bagian Dalam Rumah Rasulullah
Abu Hurairah berkata, “Aku pernah datang kepada Rasulullah ketika dia shalat sambil duduk, maka aku pun bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa aku melihatmu shalat sambil duduk, apakah engkau sakit?’ Jawab beliau, ‘Aku lapar, wahai Abu Hurairah.’
Mendengar jawaban beliau, aku terus menangis sedih melihat keadaan beliau. Beliau merasa kasihan melihatku menangis, lalu beliau berkata, ‘Wahai Abu Hurairah, jangan menangis, karena beratnya penghisaban di hari kiamat nanti tidak akan menimpa orang yang hidupnya lapar di dunia, jika dia menjaga dirinya di kehidupan dunia ini.” (HR. Muslim).
Ibnu Bujair berkata, “Pada suatu hari Rasulullah pernah merasa sangat lapar. Lalu beliau mengambil batu dan diikatkannya pada perutnya. Kemudian beliau bersabda, ‘Betapa banyak orang yang memilih makanan yang lembut di dunia ini kelak dia akan menjadi lapar dan telanjang pada hari kiamat!
Dan betapa banyak orang yang memuliakan dirinya di sini, kelak dia akan dihinakan di akhirat. Dan betapa banyak orang yang menghinakan dirinya di sini, kelak dia akan dimuliakan di akhirat’.”
Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Baihaqi, Ummul mukminin menuturkan, “Rasulullah tidak pernah kenyang tiga hari berturut-turut. Sebenarnya jika kita mau, kita bisa kenyang, akan tetapi beliau selalu mengutamakan orang lain yang lapar daripada dirinya sendiri.”
Dialog-dialog dalam kisah diatas seolah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tanpa terasa air mata ini mengalir.
Ya Allah….
Alangkah kufurnya diri ini terhadap nikmat-Mu.
Entah berapa kali diri ini merasakan kenyang, sementara syukur jarang terucap dan ibadah tak kunjung meningkat.
Aku teringat ucapan ummul mukminin Aisyah radhiallahu anha yang berbunyi, “Ujian yang pertama kali akan menimpa umat ini sesudah kepergian Rasulullah adalah kenyangnya perut!
Apabila perut suatu kaum kenyang, badannya gemuk, maka lemahlah hatinya dan syahwatnyapun merajalela!” (HR. Bukhari).
Wal iyaadzu billah..
Sahabat…
Sebelum mengeluhkan dapurmu yang kekurangan ini dan itu, maka ingatlah dapur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam…
Ingatlah Rasulullah yang tak pernah kenyang sejak diutus menjadi Nabi hingga wafatnya.
Sesekali bawalah imajinasimu mundur jauh ke masa-masa beliau hidup, lalu tanyakan pada dirimu, “Masihkah pantas engkau mengeluhkan kondisi dapurmu yang serba kekurangan..?”
Catatan:
Kesederhanaan Rasulullah adalah pilihan hidup, bukan keterpaksaan. Sebab bila beliau mau, maka gunung uhud akan dirubah menjadi emas untuknya, namun beliau menolak.
Beliau menganggap kehidupan akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia.
Riwayat-riwayat diatas tidak mengajarkan kepada kita untuk selalu lapar dan miskin. Namun mengajarkan kepada kita agar mempunyai pola hidup sederhana. Dimana kita tetap berusaha dan bekerja keras, namun tidak menggantungkan semuanya kepada dunia.
Prinsipnya, “Genggamlah dunia dengan tanganmu, jangan biarkan ia memasuki hatimu”
_____________
Madinah, Disisi Raudhoh As-Syarif
03 Rabi’ As-Tsany 1438 H
ACT El-Gharantaly
——————
WAG Sahabat Bilal bin Rabah (Akhwat)
WAG Sahabat Masjid at-Tauhid (Ikhwan)
Daftar : 0851 0172 2864
Join telegram channel @sahabatibnuzubair
http://www.attauhid.net
by Danu Wijaya danuw | Jan 28, 2017 | Artikel, Kisah Sahabat
Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Bahkan boleh jadi lebih jauh lagi dari 500 tahun yang lalu.
Di beberapa tempat di Jakarta seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jatinegara, Karet, Kebayoran, Kebon Sirih, Kebon Nanas, Cawang, Kebon Pala, Rawa Belong, Rawa Lefe, Rawa Bangke, ditemukan benda-benda pra sejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu. Alat-alat tersebut berasal dari zaman batu atau zaman neolitikum antara tahun 1000 SM. Jadi, pada masa itu sudah ada kehidupan manusia di Jakarta.
Di Jakarta juga ditemukan Prasasti Tugu ditemukan di Cilincing, Jakarta Utara Prasasti itu sarat informasi tentang Kerajaan Tarumanegara dengan Raja Purnawarman. Menurut prasasti itu, Jakarta merupakan wilayah Kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di Pulau Jawa, di samping Bogor, Banten, Bekasi sampai Citarum di sebelah timur dan Ciaruten.
Setelah Tarumanegara hancur oleh Sriwijaya, menurut sejarah, pada abad ke 14, Jakarta menjadi bagian dari kerajaan Pajajaran. Sebuah kerajaan Hindu yang pusatnya terletak di Bogor.
Sunda Kelapa dipimpin oleh Sanghyang Surawisesa yang setahun sebelumnya pernah diutus oleh ayahandanya, Sri Baduga (Ratu Jayadewata) Raja Pakuan Pajajaran, untuk pergi ke Malaka meminta bantuan Portugis, Alfonso d Albuquerque menghadapi pengaruh kerajaan Islam Demak dan Cirebon.
Menurut Pires, saat itu hanya sedikit pedagang Muslim yang diperbolehkan masuk ke Sunda Kelapa. Ekspedisi Portugis kedua pada 1522 dipimpin oleh Enrique Leme yang menjalin perjanjian persahabatan dan monopoli perdagangan lada dengan Surawisesa pemimpin Sunda Kelapa.
Koalisi Sunda-Portugis ini ditandai dengan prasasti batu Padrao tertanggal 21 Agustus 1522 yang ditanam di tepi pantai. Batu Padrao ditemukan di Jalan Cengkeh persis di samping rel kereta api pada 1918, dan kini disimpan di Museum Nasional. Isi perjanjian Padrao berupa persahabatan militer dan ekonomi antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran.
Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang memiliki nilai strategis secara ekonomi dan politik dari Kerajaan Hindu Pajajaran. Bandar ini menjadi pelabuhan perantara paling ramai dikunjungi para pedagang Arab, India, Cina, dan para pedagang Nusantara setelah Malaka.
Ekspansi Islam Kerajaan Demak

Kawasan Jawa Barat sampai tahun 1526 yang dikuasai Pajajaran menjadi fokus politik ekspansi Kerajaan Demak dengan tujuan melakukan islamisasi di wilayah itu. Menancapkan pengaruh secara politis dan mengontrol kegiatan perdagangan di pantai Utara Jawa bagian Barat dan Selat Sunda merupakan tujuan utamanya.
Politik ekspansi ini berarti berhadapan dengan Kerajaan Pajajaran yang sejak tahun 1522 telah menjalin persekutuan dengan Portugis, yang merupakan musuh besar Demak.
Disamping itu, Portugis dan Demak berpacu dengan waktu untuk segera menduduki Sunda Kelapa. Pada tahun 1526, Alfonso d’Albuquerque mengirim enam kapal perang dibawah pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa. Kapal yang dikirim adalah jenis galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada itu diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang.
Pada tahun yang sama, Sultan Trenggono dari kerajaan Islam Demak mengirimkan 20 kapal perang bersama 1.500 prajurit dibawah pimpinan Fatahillah menuju Sunda Kelapa.
Fatahillah sendiri memiliki nama kebesaran. Portugis menyebut nama Fatahillah dengan “Falatehan”. Sultan Demak menggelarnya “Orang agung dari Pase”. Dalam versi yang lain orang Portugis memanggilnya Fatahillah Khan. Masyarakat jawa yang hidup semasanya memanggilnya “Ki Fatahillah”, yang berarti orang terhormat karena kealiman dan ketokohan dalam masyarakat Jawa. Dalam versi lain Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Jati yang dikawinkan oleh Sultan Demak.
Ekspansi armada perang Kerajaan Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis.
Berbeda dengan pasukan yang pernah dikirim ke Malaka, prajurit Demak kali ini dipimpin oleh Fatahillah yang merupakan prajurit yang terlatih. Sejumlah perwiranya merupakan veteran pasukan Pati Unus yang terkenal memiliki pengalaman perang laut untuk bagaimana menghadapi kapal-kapal Portugis.
Setelah Cirebon menggabungkan diri dengan Demak, maka Fatahillah tidak langsung menggempur Sunda Kelapa, melainkan mengarahkan armadanya ke Banten yang tidak dipertahankan secara kuat oleh tentara prajurit Kerajaan Pajajaran.
Sehingga, Banten dapat diduduki oleh gabungan pasukan Kerajaan Islam Demak dan Cirebon pada akhir tahun 1526. Penguasa Banten kemudian dipegang oleh Maulana Hasanudin, tokoh penyebar Islam dari Cirebon.
Pada awal januari tahun 1527, Fatahillah menggerakkan armadanya ke Sunda Kelapa, sementara pasukan Banten pimpinan Maulana Hasanudin secara bertahap menduduki wilayah demi wilayah Pajajaran dari arah Barat. Sedangkan pasukan Cirebon bergerak menguasai wilayah Pajajaran bagian Timur Jawa Barat.
Dalam kondisi itu, Sunda Kelapa masih dipertahankan oleh Kerajaan Pajajaran secara kuat, baik di darat maupun laut. Pada akhir bulan Februari 1527, armada Fatahillah memasuki perairan Sunda Kelapa dan dihadang oleh kapal-kapal Pajajaran yang dari segi teknologi persenjataan dan pengalaman masih dibawah armada Demak. Kapal-kapal Demak melakukan taktik bombardemen jarak jauh dengan meriam, kemudian diikuti lontaran bola api dan anak panah ke arah kapal-kapal Kerajaan Pajajaran.
Kemudian dituntaskan oleh penguasaan prajurit yang berayun dari kapal sendiri ke kapal musuh. Armada Demak dengan mudah melumpukan armada kapal perang Kerajaan Pajajaran, yang kemudian segera merapat ke pelabuhan dibawah hujan peluru meriam dari pantai yang selalu meleset karena kurangnya keterampilan prajurit pengawaknya.
Seluruh pasukan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Adipati Keling dan Adipati Cangkuang dari Cirebon berhasil didaratkan dan langsung berhadapan dengan pasukan darat Kerajaan Pajajaran yang dipimpin Sri Baduga Maharaja.
Dalam waktu sehari Sunda Kelapa dapat dikuasai oleh pasukan Fatahillah. Oleh karena itu, Sultan Trenggono mempercayakan Fatahillah sebagai penguasa Sunda Kelapa yang baru.
Kapal-kapal dan prajurit Kerajaan Demak yang disertakan dalam ekspedisi itu tetap dipertahankan di Sunda Kelapa untuk mendukung gerakan pasukan Islam yang sedang bergerak ke kawasan Pakuan (daerah Bogor) yang menjadi ibu kota Pajajaran. Selain itu, disiapkan untuk menghadapi kedatangan armada Portugis yang diketahui sedang bergerak ke arah Jawa bagian barat.
Kemenangan Maritim Fatahillah, Munculnya Nama Jayakarta
Perkembangan politik di Sunda Kelapa ternyata tidak diketahui oleh armada Portugis. Pada bulan Juni 1527 kapal-kapal Portugis sudah terlanjur berada di Teluk Sunda Kelapa.
Dimana sebuah kapal Portugis sedang ditugaskan merapat di pelabuhan dan menurunkan pasukan bersenjata lengkap untuk merealisasikan perjanjian membangun loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng pertahanan) antara Portugis dengan Kerajaan Pajajaran pada tahun 21 Agustus 1522.
Dalam perjanjian itu, Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Pajajaran akan memberikan Portugis seribu keranjang lada sebagai tanda persahabatan.
Fatahillah sebagai penguasa baru Sunda Kelapa tentu saja menolak maksud Portugis itu yang berakhir dengan pertempuran di Kota Sunda Kelapa. Kekuatan yang tidak seimbang membuat pasukan Portugis mundur kembali ke kapalnya.
Kapal Portugis yang naas itu gagal meninggalkan perairan Sunda Kelapa dan tenggelam karena dihujani tembakan meriam dari pantai dan dikepung kapal-kapal armada Kerajaan Demak yang ternyata lebih lincah untuk pertempuran pantai.
Kapal-kapal Portugis lainnya membentuk formasi di perairan terbuka untuk menghadang kedatangan armada Kerajaan Demak yang diperkirakan akan muncul dari Teluk Sunda Kelapa. Fatahillah sengaja menahan armadanya untuk tetap bertahan di teluk lantaran mempertahankan Sunda Kelapa menjadi tujuan utamanya.
Hal ini didasarkan pada dua perkiraan, yaitu Pertama kapal-kapal Kerajaan Demak akan sulit menghadapi armada Portugis di laut terbuka karena ketertinggalan teknologi senjata dalam hal jangkauan meriam dan menggiring Portugis untuk memaksakan pertempuran pantai yang memang menjadi spesialisasi kapal dan prajurit Demak.
Kedua, pada saat itu sedang terjadi badai di perairan terbuka yang membahayakan pelayaran kapal-kapal Demak karena tonase dan ukurannya relatif kecil. Namun juga akan menjadi kerugian pasukan Portugis.
Dalam suasana yang serba mencekam dan tidak pasti itu, sebuah kapal perang Portugis mencoba memasuki teluk untuk menghindari badai. Namun, kehadiran kapal itu segera dikepung dan ditenggelamkan oleh kapal-kapal Kerajaan Demak yang mampu mengarahkan meriam dan bola api tepat di lambung dan geladak kapal yang naas itu.

Empat kapal Portugis lainnya tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih menghadapi badai. Tenggelamnya dua kapal ini membuat Fransisco de Sa memerintahkan armadanya kembali ke Malaka.
Kemenangan pertempuran ini menunjukkan kehebatan pasukan kerajaan Demak yang dipimpin oleh Fatahillah. Atas kemenangan ini, kemudian Fatahillah diangkat sebagai Gubernur di Sunda Kelapa.
Untuk memperingati kemenangan armada Kerajaan Demak dalam merebut Sunda Kelapa dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, dan mempertahankannya dari Portugis.
Maka pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah mengubah nama pelabuhan ini menjadi Jayakarta yang berarti Kota Kemenangan. Sehingga, setiap tanggal 22 juni diperingati sebagai ulang tahun kota Jakarta, yang sekarang menjadi ibu kota Republik Indonesia.
Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa dengan nama yang diambil dari Al-Qur’an, yaitu Fatham Mubina yang artinya Jayakarta. Kemudian disingkat menjadi Jakarta. Walau sempat diubah Belanda menjadi nama Batavia, yang berasal dari wilayah nenek moyang Belanda. Jepang yang membenci nama Eropa, juga andil mengubah nama Batavia menjadi nama Jakarta kembali. Saat itu dinamakan “Jakarta Tokubetshu Shi”, yang artinya Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
*Yang perlu dicatat :
Kemenangan Fatahillah itu karena pandai memainkan strategi maritim dalam menguasai kondisi dan geografis Sunda Kelapa. Meskipun peralatannya terbatas tetapi semangat pasukan Demak yang dijiwai dengan semangat jihad fi sabililliah, mampu mengalahkan kekuatan Portugis yang juga menggunakan strategi maritim.
Selain itu tidak dipungkiri kemenangan itu juga ditopang oleh keberpihakan alam, di mana saat itu Teluk Sunda Kelapa sedang dirundung badai sehingga banyak kapal Portugis yang hancur akibat badai itu.
Tentu semua karena izin Allah Swt, Tuhan Semesta Alam yang memberikan setiap kemenangan bagi umatnya yang berperang di atas jalan-Nya. Dengan kemenangan itu, maka Jayakarta menjadi pusat penyebaran Islam untuk daerah Jawa Barat dan Sumatera bagian selatan.
Sumber : Jurnal Maritim, Sunda Andy, Babat Caruban Cirebon (1720 M), Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam Indonesia (1980), H.M. Zainuddin dalam Tariekh Aceh dan Nusantara, Strategi Maritim dalam Perang Laut Nusantara oleh Laksada Hery Setianegara terbitan Pusjarah TNI.
by Danu Wijaya danuw | Jan 23, 2017 | Artikel, Kisah Sahabat
Apakah anda adalah orang yang lebih senang bangun malam untuk melaksanakan qiyamul lail, namun berat untuk keluar rumah guna melaksanakan shalat fardhu shubuh di masjid secara berjamaah?
Atau pernahkah anda bangun tengah malam lalu melaksanakan shalat sunat tahajud semalam suntuk hingga menjelang shubuh? Namun saat tiba waktu shalat shubuh anda justru ketiduran hingga tidak ke masjid?
Manakah yang lebih utama untuk dikejar? Shalat sunat malam sampai beberapa rakaat atau shalat subuh dua rakaat di masjid?
Mari kita simak kisah antara sahabat Umar Bin Khaththab radhiyallahu anhu dengan seseorang yang tidak ke masjid karena terlalu banyak tahajud.
Kisah ini dituliskan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa’ sebagai berikut:
عن ابن شهاب عن أبي بكر بن سليمان بن أبي حثمة :أن عمر بن الخطاب فقد سليمان بن أبي حثمة في صلاة الصبح وأن عمر بن الخطاب غدا إلى السوق ومسكن سليمان بين السوق والمسجد النبوي فمر على الشفاء أم سليمان فقال لها لم أر سليمان في الصبح فقالت إنه بات يصلي فغلبته عيناه فقال عمر لأن أشهد صلاة الصبح في الجماعة أحب إلى من أن أقوم ليلة
Dari Ibnu Syhihan, dari Abu Bakar bin Sulaiman bin Abi Hatsmah.
Suatu ketika Umar bin Khaththab tidak melihat sahabat Sulaiman bin Abi Hatsmah pada saat shalat shubuh. Sebab ia rajin shalat subuh berjamaah.
Dan keesokan harinya Umar bin Khaththab pergi berangkat ke pasar dan setelahnya kerumah Sulaiman bin Abi Hatsmah yang berada di antara pasar dan masjid Nabawi.
Maka Umar pun bertemu dengan Asy-Syifa, ibu Sulaiman. Maka Umar berkata padanya, “Aku tidak melihat Sulaiman saat shalat shubuh tadi”.
Maka ibunya berkata, “sesungguhnya dia (Sulaiman) shalat malam sehingga tertidur saat shubuh”.
Maka berkata Umar, “sungguh aku bersaksi shalat shubuh berjamaah di masjid lebih aku cintai dari pada shalat sepanjang malam”.
Dari kisah di atas kita bisa menyimak bahwa Umar bin Khaththab lebih menyarankan sahabatnya Sulaiman untuk mengutamakan shalat shubuh ke masjid dari pada harus ketiduran karena tahajud.
Shalat tahajud adalah amalan sunat sementara shalat shubuh adalah fardhu atau kewajiban. Sudah semestinya kita berusaha melaksanakan shalat fardhu sebaik mungkin baru mengerjakan yang sunat.
Rasulullah SAW dalam hidupnya tidak pernah meninggalkan shalat fardhu secara berjamaah termasuk shubuh. Bahkan dalam keadaan perang sekalipun shalat tetap dilakukan secara berjamaah.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)
Hadist nabi saw tersebut menjelaskan bahwa hingga ingin merangkak untuk meraih pahala shalat subuh berjamaah
Memang urusan ibadah tentu bukanlah hal yang harus dipilih-pilih dan dibanding-bandingkan. Apalagi memilih antara qiyamul lail dan shalat fardhu.
Seyogyanya kita berusaha sekuat tenaga agar bisa bangun malam dan shalat tahajud, namun tetap berangkat ke masjid saat adzan shubuh berkumandang.
Apalagi bagi orang-orang sholeh, shalat malam adalah nafilah atau amalan tambahan yang senantiasa dirutinkan. Bagi mereka bangun tengah malam lalu disambung ke masjid telah menjadi Lifestyle.
Oleh karena itu, hendaknya kita pandai mengatur waktu istirahat dan bekerja. Kapan kita harus bekerja dan kapan harus menghentikannya. Lalu beristirahat agar tengah malam bisa bangun, dengan tetap mempertimbangkan kebugaran esok hari untuk melanjutkan aktivitas.
Wallahu a’lam bishshawab
by Danu Wijaya danuw | Jan 23, 2017 | Artikel, Kisah Sahabat
Abdurrahman Azzam Pasya masih duduk terpekur di hadapan meja kerjanya. Raut muka Sekjen Liga Arab itu nampak serius. Di atas pelataran mejanya, berserakan dokumen-dokumen penting. Ada satu benda yang menarik perhatiannya, secarik kertas tergulung rapi: peta dunia.
Orang nomor satu di perhimpunan negara-negara Arab ini membuka gulungan peta itu. Ditatapnya lamat-lamat, matanya beredar ke sana kemari. Sambil menghela nafas, ia tak menemukan nama tempat yang dia cari: INDONESIA.
Indonesia? Di manakah negeri itu berada? Sambil menerawang peta, Azzam lagi-lagi menggelengkan kepalanya yang berbalut peci tarbus. Ia menyerah, bersandar di punggung kursinya. Di manakah negeri yang kabarnya baru merdeka?
Mengapa tak ada Indonesia dalam peta? Padahal beberapa masih ingat dalam benaknya, beberapa harian terkemuka di Mesir memuat tentang kemerdekaan Indonesia.
Belum lagi, Mufti Palestina Syaikh Amin Al Husaini mengucapkan selamat kepada negeri nun di Timur sana. Masih ingat pula dalam benaknya, pengusaha kesohor Palestina M Ali Tahir menegaskan kepada para mahasiswa,” Saya serahkan seluruh harta saya untuk kemerdekaan Indonesia.”
Sejak saat itu, Azzam serius meminta laporan-laporan perkembangan Indonesia kepada para mahasiswa dan juga warga Arab yang simpati pada perjuangan Indonesia.
“Saya kumpulkan semua laporan yang masuk ke meja saya soal perang perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang sekarang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta melawan Belanda. Saat itu jumlah penduduk Indonesia sekitar 70 juta jiwa,” kenang Azzam dalam Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia-Mesir.
Indonesia, yang saat itu masih berjuang dalam sunyi masih belum dikenal di kancah global terus menyuarakan suara minor di tengah dunia internasional. Saat dunia membisu menatap penjajahan di Indonesia, Azzam Pasya justru semakin mendekat ke negeri yang terpisah ribuan kilometer.

“Saya akui bahwa ketika ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab pada 1945, saya tidak tahu banyak tentang Indonesia. Pengetahuan saya mengenai Indonesia sangat terbatas. Tidak lebih dari yang saya baca dari buku-buku atau koran-koran internasional,”Azzam mengenang saat itu.
Setelah membaca semua laporan yang masuk ke meja kerjanya mengenai perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, Azzam mulai memahami persoalan Indonesia dengan baik.
Hasil dari pengetahuannya mengenai Indonesia membuat Azzam terketuk hatinya untuk membantu perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.
Kini, Azzam mendekat ke peta, ia melihat negeri dengan beragam pulau, tapi tak ada nama Indonesia di sana. Juzur al Hindi al Hulandiyyah as Syarqiyyah tertera di sana: Kepulauan Hindia Belanda Timur. Sambil tersenyum simpul, ia bersumpah akan membantu saudaranya di seberang lautan sana.
Azzam pun bersua dengan para pejabat tinggi Mesir. Secara khusus, Azzam bertemu dengan Perdana Menteri Mesir yang juga Menteri Luar Negeri Mesir, Mahmud Fahmi Nokrasyi.
”Bagaimana pendapat Yang Mulia seandainya kita memberi dukungan atas perjuangan bangsa Indonesia?”kata Azzam.
“Yang Mulia, bangsa Indonesia adalah bangsa muslim yang sedang berjuang untuk merebut kemerdekaannya kembali dari tangan penjajah Belanda. Menurut pendapat saya, kalau bangsa ini memperoleh dukungan dan bantuan sepenuhnya dari bangsa negeri-negeri Arab dan Islam, pasti sesudah merdeka mereka akan mempunyai pengaruh dan peranan dalam perimbangan kekuatan di dunia, menggantikan Jepang yang sudah menyerah kalah,” kata Azzam.
Tatapan matanya semakin mantap. Memang hanya impian, negeri itu kelak akan memiliki peranan penting. Harapan yang seolah tak masuk akal. Bagaimana mungkin, negeri yang tak diakui di mana pun kelak akan menjadi negeri yang berperan besar, khususnya untuk Islam dan kaum muslimin?
Tapi disitulah Azzam berharap. Negeri yang kini sendirian kelak tak lagi sendiri. Akan ada banyak saudara seperjuangan yang siap membantunya.
Perdana Menteri Nokrasyi tersenyum simpul.
“Tapi, Indonesia itu jauh letaknya. Indonesia berada di Timur Jauh dekat dengan Australia bukan?”
Dengan sorot mata yang tak berubah, Azzam meyakinkan.
“Yang Mulia, jarak antara kita dengan Indonesia bukan masalah. Menurut saya, Negara-negara Arab bisa menjalin hubungan yang erat dengan bangsa Indoensia yang mayoritas beragama Islam,” tegasnya.
“Jika kita memberikan bantuan kepada bangsa Indonesia dalam peperangan melawan Belanda, saya yakin mereka tidak akan lupa saat mereka merdeka nanti. Pastilah mereka akan mengingat kebaikan kita ini dan akan membantu perjuangan kita menghadapi tentara Inggris dan perjuangan membebaskan tanah Arab yang masih dalam pendudukan bangsa lain,” tegasnya.
Kedua orang itu saling menatap. Nokrasyi tak berkata apapun. Suasana mendadak hening. Sorot mata Abdurrahman mengatakan semuanya. Kelak, semoga Indonesia menjadi negeri yang tak melupakan sejarah, berjuang membebaskan bangsa lain yang masih terjajah.
“Saya yakin mereka tidak akan lupa saat mereka merdeka nanti. Pastilah mereka akan mengingat kebaikan kita ini membebaskan tanah Arab yang masih dalam pendudukan bangsa lain,”
Nokrasyi hanya berpesan agar diberikan data-data tentang Indonesia. Ia belum bisa menjanjikan apapun. Azzam pun tak berdiam diri, ia terus mendatangi pejabat-pejabat negara Arab. Secara khusus, Azzam pun mendatangi lingkungan Raja Mesir saat itu, Raja Faruq.

“Yang penting bagi saya, Raja setuju bahwa Mesir memberikan bantuan yang diperlukan oleh Indonesia. Setelah itu, saya akan menghubungi negara-negara Arab lainnya untuk memperoleh dukungan atas apa yang saya lakukan,” tegas Azzam.
Bak gayung bersambut, telepon tua di kantor Azzam pun berdering. Suara parau di balik sana sudah sangat dikenal Azzam. Ia terkaget-kaget rupanya Raja Mesir yang langsung menelepon dirinya.
“Apa yang paling diperlukan Indonesia?,” tanya Raja Faruq tanpa tedeng aling.
Selain pengakuan kedaulatan, jawab Azzam, yang paling dibutuhkan adalah senjata. Namun, jika ditambah dengan pengiriman sukarelawan dari negara-negara Arab, maka itu lebih baik.
Raja Faruk pun memberikan persetujuan.
“Seluruh senjata biar dikirim dari Mesir. Adapun sukarelawan, dikirim dari negara-negara Arab,”tegas.
Tetiba saja mata Azzam berkaca-kaca. Ia tak tahu mengapa ia menangis. Padahal, Indonesia saja baru-baru ini dia dengar. Melihatnya saja belum pernah. Menggenggam tanahnya apa lagi. Tapi entah mengapa, ada harapan yang terbesit begitu saja.
“Seluruh senjata biar dikirim dari Mesir. Ada pun sukarelawan (berperang), dikirim dari negara-negara Arab,”
Rasa yang sulit diungkapkan. Seakan saudara yang sudah lama tak bersua. Seakan begitu dekat, dekat sekali, bahwa Arab dan Indonesia saling bertaut. Aneh memang, bahkan para pemimpinnya pun tak pernah saling bertatap, tapi mengapa seakan terasa sangat dekat. Dekat sekali.
Keseriusan Azzam berlanjut pada Sidang Liga Arab pertama, sepenggal Rabu dipenghujung 1945. Untuk pertama kali dalam sejarah, sepucuk surat dari panitia Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dibacakan di hadapan para pemimpin Arab.
Istana Qasr Za’faran menjadi saksi bahwa para negara Arab bertekad untuk membantu secara konkret kemerdekaan Indonesia. Pemimpin sidang yang saat itu Mahmud Fahmy Nokrasyi membacakan surat dari Indonesia pertama kali di hadapan para pemimpin Arab.
“Situasi di Indonesia semakin gawat. Sehubungan dengan digelarnya Sidang Liga Arab, kami menantikan dukungan konkret dari negara-negara Arab dan pengakuan terhadap Republik Indonesia yang merdeka. Kami juga mengharap Inggris tidak membantu Belanda dan tidak ikut campur urusan Indonesia.”
Tertanda
Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia”
Ruangan terhentak sejenak. Isu kemerdekaan Indonesia sekejap menjadi Headline Negeri-negeri Arab. Abdurrahman Azzam tak perlu menunggu waktu lama. Segera ia menghubungi Pemerintah Inggris melalui kedutaannya di Kairo.
Ia meminta Inggris tidak membantu Belanda sehingga Inggris tidak dituduh oleh bangsa Islam dan Arab bersikap ta’ashshub (fanatik) dalam menentang kaum Muslim.
Azzam mengatakan kepada salah seorang diplomat Inggris di Kairo bahwa ia tidak akan ragu-ragu meminta negara-negara Arab untuk mengirim sukarelawan guna berjuang bersama para pejuang Indonesia.
Azzam pun segera mengumumkan jihad fisabilillah melawan Belanda dan siapa saja yang membantu Belanda. Setelah itu, Azzam menemui Raja Arab Saudi Abdul Aziz al-Saud ketika Raja itu berkunjung ke Mesir pada 16 Januari 1946.
“Yaa Thawiil al-‘Umri (Yang Mulia), di Timur Jauh ada bangsa muslim yang jumlahnya mencapai 70 juta jiwa. Mereka mengumumkan jihad melawan penjajah Belanda untuk meminta hak-haknya dan meminta hak-haknya dan meraih kemerdekaannya.” kata Azzam kepada pendiri Kerajaan Saudi ini.

Raja Saudi pertama ini meminta keterangan tambahan Azzam tentang perang kemerdekaan itu, lalu mengatakan:
“Ketahuilah, Ya Abdurrahman, bahwa saya dan negeri saya siap membantu bangsa Muslim itu!”
Azzam kemudian menjelaskan bahwa yang diminta bangsa Indonesia adalah senjata dan pengajuan masalah Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Raja Aziz al-Saud lantas menegaskan, “Ya, Abdurrahman, apapun yang mereka minta, saya siap melakukannya.”
Pertemuan berakhir dengan kesepakatan bahwa pengiriman senjata menjadi tanggung jawab Mesir, sedangkan biaya pengangkutan senjata menjadi tanggung jawab Arab Saudi.
Setelah mendapat dukungan dari para Raja kerajaan Arab, Azzam pun bertekad untuk segera mengirimkan bantuan kepada Indonesia. Ditatapnya lamat-lamat peta dihadapanya. Ia tuliskan nama Indonesia.
“Harus..harus ada perwakilan liga Arab yang datang langsung ke Indonesia,” gumannya. Ia pun bertekad mengutus perwakilan bangsa Arab datang menyatakan dukungannya kepada Indonesia. Sebuah kado, kado istimewa untuk Indonesia dari bangsa Arab.
Kelak sejarah akan mencatat bagaimana perwakilan Liga Arab, M. Abdul Mun’im menembus blokade, bertaruh nyawa, menyelusup ke negeri ini menyampaikan segenggam pesan sederhana: Negeri Ini Tidak Sendiri Bung!
Berbilang tahun, tak ada lagi kesendirian. Namanya tercetak gagah di peta-peta dunia. Tak sulit lagi menemukan Indonesia. Kado yang begitu istimewa dari Arab. Namun, berpuluh tahun kemudian, masih ada amanat yang belum tertunai.
Harapan Azzam akan negeri ini. Harapan akan perannya suatu saat kelak, membebaskan negeri-negeri terjajah. Negeri-negeri yang nun jauh di sana, yang mungkin masih berpeluh dalam kesendirian. Semakin tergerus waktu, namanya bahkan dari peta dunia menghilang berganti nama lain.
Sejarah seakan berulang. Akankan negeri ini mengingat ketika masih dalam kesendirian? Ketika satu persatu tangan terulur lembut.
Negeri yang dulu bahkan tak ada namanya dalam peta. Negeri yang dulu berjuang dalam sunyi. Akankah ada kado istimewa untuk Palestina? Atau mereka lupa dengan para pendahulunya?
Biar sejarah yang akan mencatatnya…





Ditulis oleh : Rizki Lesus – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Dipublikasikan pertama di jejakislam.net
Tulisan ini hanyalah cerita pendek yang dihimpun dari data-data tercecer yang dapat dipertanggungjawabkan:
- Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, M Zein Hassan
- Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia-Mesir.Tim Kedubes Indonesia untuk Mesir, ed. AM Fachir