by Danu Wijaya danuw | Aug 6, 2018 | Artikel, Dakwah
Gempa bumi sejatinya adalah peringatan Allah kepada hamba-Nya. Bukan sekadar fenomena alam belaka. Allah menciptakan musibah dan bencana alam untuk mengingatkan manusia agar mereka takut dan berharap kembali kepada Allah.
Allah Swt. berfirman,
وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا
“Tidaklah kami mengirim tanda-tanda kekuasaan itu (berupa musibah dan sejenisnya), selain dalam rangka menakut-nakuti mereka.” (QS. Al-Isra’: 59)
Suatu hari pernah terjadi gempa bumi di Madinah.
Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan bersabda, “Tenanglah … belum datang saatnya bagimu.”
Selanjutnya, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya, Rabb kalian menegur kalian … maka jawablah (buatlah Allah ridh0a kepada kalian)!”
Adapun Umar bin Khathab ra mengingat kejadian itu.
Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, “Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!”
Umar bin Khathab bisa merasakan bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh para penduduk Madinah, sepeninggal Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq telah mengundang bencana.
Karena itu, Umar mengingatkan kaum muslimin agar menjauhi maksiat dan segera kembali kepada Allah.
Demikian pula yang disampaikan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab Al-Jawab Al-Kafy berkenaan dengan gempa:
“Dan terkadang Allah menggetarkan bumi dengan guncangan yang dahsyat, menimbulkan rasa takut, khusyuk, rasa ingin kembali dan tunduk kepada Allah, serta meninggalkan kemaksiatan dan penyesalan atas kekeliruan manusia.
Di kalangan salaf, jika terjadi gempa bumi mereka berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian’.”
Hakikatnya, gempa bumi adalah suatu bentuk musibah berupa peringatan, teguran, bahkan hukuman dari Allah Al-Jabbar (Dzat Yang Mahaperkasa) atas perbuatan manusia yang telah banyak melakukan maksiat dan dosa.
Karena itu, sebelum Allah kembali menegur kita dengan teguran yang lebih keras, sudah saatnya bagi kita untuk segera bertobat dan meningkatkan takwa dengan sebenar-benarnya. Wallahu ‘alam
Sumber : Republika
Oleh : ustad Ahmad Syahirul Alim, Lc
by Danu Wijaya danuw | Aug 6, 2018 | Artikel, Berita, Nasional
Seorang santri meninggal dunia akibat gempa berkekuatan 7 magnitudo yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Santri itu bernama Muhammad Khudori. Remaja 14 tahun itu merupakan santri di Pondok Pesantren Riyadussibat, Sidemen, Kabupaten Lombok Barat, NTB.
Dia meninggal akibat tertimpa reruntuhan bangunan pada gempa yang terjadi sekitar pukul 18.46 WIB.
“Anak saya terluka parah di bagian kepala,” kata Khairul, ayah dari korban meninggal dunia yang ditemui ketika sedang menangisi kematian anaknya di jalan raya depan Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) Mataram.
Khairul menjelaskan, anaknya yang tengah duduk di kelas 1 MTs (setara SMP) tertimpa reruntuhan bangunan saat sedang mengaji.
Khairul membawa anaknya menggunakan mobil warga ke RSAD Mataram dari pondok pesantren yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya.
Kondisi ayah dua anak itu kini memprihatinkan. Dia muntah-muntah sambil menangis dalam kondisi kedinginan karena hanya menggunakan sarung dan baju dalam.
Saat ini, jenazah Khudori berada di atas mobil ambulans yang terparkir di jalan raya. Tenaga medis rumah sakit sibuk mengurus pasien yang kondisinya sangat serius.
Para pasien RSAD Mataram diungsikan ke jalan raya dan lapangan Kantor Gubernur NTB yang tidak jauh dari rumah sakit.
Gempa berkekuatan 7,0 magnitudo terjadi pada pukul 18.46 WIB. Bersamaan dengan itu BMKG juga mengumumkan adanya potensi gelombang tsunami.
BMKG sudah mencabut peringatan tsunami tersebut pada pukul 20.25 WIB
Berdasarkan laporan BMKG telah ada tsunami dengan ketinggian tsunami yang masuk ke daratan 10 cm dan 13 cm. Sempat pula diprediksi bahwa maksimum ketinggian tsunami 0,5 meter.
Sumber : Antara
by Danu Wijaya danuw | Aug 2, 2018 | Artikel, Berita, Internasional
Denmark telah menjadi negara kelima di Eropa yang melarang niqab atau cadar dan burqa. Keputusan itu baru saja ditetapkan setelah Anggota parlemen memilih undang-undang pelarangan Cadar di negaranya.
Ini berarti Denmark sekarang bersama 4 negara sebelumnya yaitu Austria, Perancis, Belgia dan Bulgaria dalam pelarangan cadar ini
Gauri van Gulik, Direktur Eropa Amnesty HAM International, mengatakan:
Semua wanita harus bebas berpakaian sesukanya dan mengenakan pakaian yang mengekspresikan identitas atau keyakinan mereka.
Larangan ini akan memiliki dampak yang sangat negatif pada wanita Muslim yang memilih untuk memakai niqab atau burqa.
Larangan penggunaan cadar di Denmark mulai berlaku 1 agustus 2018. Bagi yang ketahuan mengenakannya bakal dikenakan denda sebesar 1.000 Krona Denmark (sekitar Rp2,2 juta).
Namun bagi yang telah berulangkali “melanggar” dikenakan denda sebesar 10 ribu Krona Denmark (sekitar Rp21,8 juta)
Mathias Vidas Olsen, seorang warga Kopenhagen berusia 29 tahun, menyatakan akan bergabung dalam unjuk rasa menolak larangan bercadar di tempat umum.
“Semua orang berhak mengenakan apa pun yang mereka inginkan, apakah mereka Muslim atau anggota punk,” kata Olsen.
Isabelle Praile, Wakil Presiden Eksekutif Muslim Belgia, mengatakan aturan ini bisa menciptakan Preseden berbahaya. Dia ingin agar muslimah bebas mengenakan cadar karena mereka merupakan warga negara Denmark.
Sumber : Tribunnews
by Danu Wijaya danuw | Aug 2, 2018 | Artikel, Berita, Nasional
Arnita Rodelia Turnip tak pernah menyangka bahwa perkuliahannya di Institut Pertanian Bogor (IPB) kandas lantaran beasiswanya dicabut hanya karena dirinya pindah agama.
Pemerintah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tiba-tiba mencabut Beasiswa Utusan Daerah (BUD) kepadanya sejak 2016 atau saat dia menginjak di semester dua di kampus tersebut. Artinya sudah 2 tahun.
Kepada kumparan, Arnita menuturkan bahwa dirinya begitu yakin bahwa Pemkab Simalungun mencabut beasiswa itu sejak dirinya memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Hal itu disebabkan karena tak ada satu poin pun pelanggaran yang dia lakukan saat menerima beasiswa tersebut.
“Saya tidak melanggar satu pun dari MoU. Indeks Prestasi (IP) saya di atas 2,5. Saya juga membuat Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ), tapi di semester dua, teman-teman saya dananya cair, saya doang yang tidak. Namun saya tetap kuliah lanjut semester tiga hingga lanjut UTS,” kata Arnita saat dihubungi kumparan, Selasa (31/7).
MoU yang dimaksud Arnita adalah surat pernyataan yang ditanda tangani di atas materai oleh dirinya pada 2015 silam. Dalam surat pernyataan itu, disebutkan bahwa penerima beasiswa akan gugur apabila tidak mendapat IP tak lebih dari 2,5, dikeluarkan dari kampus (drop out), hingga tidak menyelesaikan laporan pertanggung jawaban.
Menurutnya, semua persyaratan yang dia tanda tangani itu tak pernah dilanggarnya sama sekali. Saat duduk di semester pertama, kata dia, dirinya mendapat IP sebesar 2,62.
Sejak saat semester 2 dirinya tak lagi menerima uang saku per semester yang biasa masuk ke rekeningnya. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang seharusnya otomatis dibayarkan ke IPB pun menjadi tertunggak.
Arnita menjelaskan, dirinya memang memutuskan untuk memeluk agama islam sejak satu pekan berada di IPB. Kala itu dia resmi memeluk Islam di Masjid Al-Hurriyah IPB. Namun, dia tak pernah mengira bahwa keputusan privatnya itu berdampak pada pencabutan beasiswa tersebut.
Kasus ini pun sempat terkatung-katung pada 2016 dan 2017 karena tak ada dukungan dari keluarga. Baru kemudian kasus ini mencuat kembali pada pekan ini karena ibunda Arnita, Lisnawati, mengadukan persoalan ini ke Ombudsman Sumatera Utara.
Minta Bantuan Kuliah di UHAMKA
Arnita akhirnya mengontak koleganya yang merupakan orang di Muhammadiyah. Di Jakarta, akhirnya dia dikuliahkan di Fakultas Ekonomi Universitas Prof Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta.
“Jadi saya diperbolehkan kuliah di UHAMKA dengan tunggakan-tunggakan, dan nantinya boleh dicicil. Makanya sekarang saya ngajar jadi guru privat. Dari pagi sampaai siang saya kuliah, dari sore sampai malam saya ngajar. Saya biaya sendiri di sini,” terang Arnita.
Meski sudah kuliah di UHAMKA, Arnita tetap berharap bahwa kasus ini segera selesai. Dia masih bermimpi untuk tetap bisa kuliah di IPB seperti dahulu
Komentar IPB dan MUI
Kepala Humas IPB, Yatri Indah Kusumastuti memastikan pihaknya sedang berupaya agar Arnita dapat berkuliah kembali di IPB.
“Yang bersangkutan belum di-DO. Bahkan IPB sedang mencarikan solusi atas beasiswa yang diputus tersebut,” kata Yatri.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis menyayangkan adanya kejadian tersebut.
“Saya menunggu dari hasil Ombudsman dan bagaimana tindakannya. Tetapi untuk sementara sangat disayangkan kalau itu benar bahwa anak bangsa dihentikan beasiswa kuliahnya karena perbedaan agama.”
Dinas Pendidikan Pemkab Simangulun Buka Suara
Dinas Pendidikan Pemkab Simangulun berdalih bahwa beasiswa untuk Arnita disetop sementara hanya karena masalah teknis. Dinas mengaku sempat kesulitan untuk mentrasfer dana beasiswa kepada Arnita karena gadis itu maupun keluarganya sulit dihubungi.
Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara telah memfasilitasi pertemuan antara Kepala Dinas Pendidikan, Resman Saragih dengan keluarga Arnita yang diwakili sang ibu, Lisnawati Damanik, di Medan pada Selasa, 31 Juli 2018.
Resman mengaku lega, karena kendala komunikasi kini sudah terselesaikan. Karena itu, dia menjanjikan segera mengembalikan nama Arnita dalam daftar penerima Beasiswa Utusan Daerah (BUD), yang berarti Arnita dapat menerima lagi haknya.
Source : Kumparan/Viva
by Danu Wijaya danuw | Aug 1, 2018 | Artikel, Berita, Nasional, Sejarah
Lombok namanya. Pulau Seribu Masjid julukannya. Pulau yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini sedang naik daun dalam beberapa tahun terakhir lewat gebrakan pariwisata halal.
Citra Lombok sebagai Pulau Seribu Masjid pun ikut menjulang ke seantero negeri, bahkan hingga ke ranah internasional.
Berdasarkan data, ada 9.000 lebih masjid besar dan kecil di pulau seluas 5.435 km² ini. Masjid merupakan representasi budaya Sasak di Lombok. Dalam catatannya, terdapat 3.767 masjid besar dan 5.184 masjid kecil di 518 desa di Lombok.
Penyebutan Lombok Seribu Masjid
Salah satu putra Sasak, yang kini menjadi dosen di Fakultas Seni Rupa Desain Institut Teknologi Nasional Bandung, Taufan Hidjaz, menjelaskan,
Penyebutan Pulau Seribu Masjid ini bermula dari kunjungan kerja Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Effendi Zarkasih, pada tahun 1970 silam.
Kala itu, Effendi meresmikan Masjid Jami’ Cakranegara. Saat meresmikan, Effendi terkesan sekali dengan banyaknya masjid di Lombok.
“Sebutan Lombok sebagai Pulau Seribu Masjid itu diberikan Dirjen Bimas Islam Pak Effendi Zarkasih,” kata Taufan dalam Seminar Wisata Halal yang digelar di Islamic Center, Mataram, NTB
Selanjutnya, tutur Taufan, masjid merupakan artefak penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kolektif masyarakat di Lombok dalam semua aspek. Masjid menjadi tanda bagi keberadaan kolektif masyarakat Sasak, dari tingkatan dusun, desa, dan kota sebagai umat Muslim.
“Tanpa masjid maka kehidupan kolektif seperti kehilangan pusat orientasi ruang dan tidak semua kegiatan seolah tidak punya rujukan dan makna apapun,” ucapnya.
Kedatangan Islam ke Pulau Lombok
Taufan menceritakan, Islam datang di Pulau Lombok dan diterima oleh masyarakat Sasak Lebung, karena dianggap kompatibel dengan ideologi Lomboq (lurus) dan pencarian kebenaran Sak Sha (yang satu) yang selama ini mereka cari. Tentunya tidak serta merta, tetapi melalui proses transformasi bertahap yang sangat damai.
Mengapa etnis Sasak Lombok seluruhnya identik dengan Islam? Padahal di daerah lain yang jauh lebih dahulu Islam tidak demikian. Penelusurannya bisa dari aspek budaya, juga dari nama Lomboq (lurus) dan Sasak (sak sha=yang satu).
Konon, cikal bakal orang Lombok dulu adalah para pendatang dari luar berideologi Lomboq (lurus), yang senantiasa berupaya untuk menemukan kondisi ideal dimana satu kebenaran yang paling benar untuk pedoman kehidupan mereka.
Melihat pada adat istiadat yang masih ada, artefak budaya, cerita-cerita, dan peninggalan yang masih ada, sebelum orang Sasak menganut Islam, mereka adalah penganut mistis-animisme.
“Orang Sasak lama (Sasak Lebung) membangun mitos Dewi Anjani karena ketergantungan pada Gunung Rinjani sebagai pusat orientasi,” ungkap Taufan.
Ketika Islam datang, lanjutnya, masyarakat Sasak benar-benar menerimanya sebagai sebuah keyakinan yang baru.
Sebagai penganut animisme, masyarakat Sasak lebih tertarik dengan Islam ketimbang Hindu. “Kalau Hindu ya sama saja, sebelumnya mereka animisme,” kata dia.
Menyisihkan Penghasilan Masyarakat
Pada kesempatan yang sama, Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB,
H. Lalu Abdul Hadi Faishal, menjelaskan rahasia mengapa di Lombok berdiri ribuan masjid. Mayoritas masjid-masjid yang dibangun masyarakat itu besar dan indah.
“Karena masyarakat Lombok menyisihkan 50% penghasilannya untuk membangun masjid. Biar rumahnya sendiri biasa-biasa saja, tetapi masjid-masjid mereka indah,” ungkap Faishal.
Besarnya animo masyarakat dalam keikutsertaan membangun masjid inilah yang juga menjadi jawaban masjid-masjid yang dibangun masyarakat lebih cepat selesai dibanding masjid yang dibangun pemerintah.
“Ada masjid yang dibangun pemerintah, malah belum selesai-selesai,” kata Faishal sembari menyebut salah satu masjid yang dibangun dengan anggaran pemerintah yang hingga kini belum selesai.
by Danu Wijaya danuw | Aug 1, 2018 | Artikel, Berita, Nasional
Jakarta – Banyak cara dilakukan untuk memberikan pendidikan agama terbaik bagi buah hati. Salah satunya dengan memasukkan anak ke pondok pesantren.
Hal inilah yang dilakukan pasangan suami-istri Syaifullah dan Linda, yang mengantarkan anak keduanya Muhammad Ariel Fadhilah Putra masuk ke Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an, Tangerang.
Butuh perjuangan karena mereka datang langsung dari Papua. Kendati demikian, Linda mengaku senang dengan pilihan anaknya masuk pondok pesantren.
“Pasti ada rasa berat melepas anak ke tempat yang jauh. Namun saya senang saat ia memilih pesantren sebagai tempat pendidikan selanjutnya. Saya juga memiliki keyakinan pesantren akan mendidik anak saya tumbuh menjadi insan yang cerdas, beriman, dan bertakwa” ujar Linda dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/6/2018).
Alasan lain Linda memilih pesantren sebagai tempat pendidikan anaknya adalah kekhawatirannya pada dunia pergaulan saat ini yang rentan akan pengaruh buruk narkoba, minuman keras, atau perilaku kekerasan, seperti tawuran.
Kecemasan akan pergaulan modern itu jugalah yang membuat pasangan Fanny Indrawan dan Puput Puji Lestari, yang berasal dari Lampung, memasukkan putranya Muhammad Raffy Abipraya Indrawan ke Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an.
Menurut mereka, selain akan mengenalkan anak-anak pada ajaran Islam sejak dini, dunia pesantren akan membuat karakter positif pada anak.
Menurutnya sang ibu, memilih pesantren sebagai tempat pendidikan pasti membutuhkan kesiapan mental bagi calon santri dan orang tua.
Ketua Daarul Qur’an, Ustadz Ahmad Jamil mengatakan sangat bersyukur dengan semakin banyaknya orang tua yang mempercayakan pondok pesantren sebagai tempat pendidikan selanjutnya bagi putra dan putrinya.
“Alhamdulillah, ini harus kita syukuri bersama. Semoga ini menjadi pertanda baik bahwa Allah berkehendak kebaikan untuk generasi saat ini dan mendatang sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukhari,
‘Barangsiapa yang dikehendaki Allah (mendapat) kebaikan, maka akan dipahamkan ia dalam (masalah) agama,” jelasnya.
Sumber : Detik