by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 13, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh : Fauzi Bahreisy
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Mendekati kiamat akan muncul para pendusta. Maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR Muslim).
Hadits diatas menggambarkan kondisi akhir zaman. Satu kondisi yang tampaknya mulai terasa sekarang seiring dengan melemahnya nilai-nilai iman.
Saat ini orang sudah tidak merasa risih berdusta. Bahkan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan masuk ke dalam seluruh sendi kehidupan. Mulai dari lingkungan keluarga, pendidikan, bisnis, hiburan, politik, birokrasi hingga pemerintahan. Semuanya tidak lepas dari praktek dusta, kecurangan, dan kepalsuan.
Ada yang berdusta untuk kepentingan dunia; untuk mendapatkan harta, tahta, dan wanita. Ada yang berdusta untuk mencelakakan saudaranya karena dendam dan kebencian. Ada juga yang berdusta karena canda, hobi, dan kebiasan. Akhirnya virus penyakit dusta ini menyebar ke mana-mana.
Cukuplah kita memahami bahaya besar dari dusta ketika Allah menyebutkannya dalam Al Qur’an sebanyak 280 kali seraya memberikan ancaman keras kepada orang yang biasa berdusta sekaligus menafikan keimanannya. Di antaranya Allah befirman, “Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang boros dan pendusta.” (QS Ghafir: 28). “Celaka bagi orang yang pembohong dan pendosa.” (QS al-Jatsiyah: 7). “Orang yang mengadakan kebohongan adalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka adalah para pendusta.” (QS an-Nahl: 105).
Peringatan Allah tersebut tidak lain untuk kemaslahatan manusia. Pasalnya dusta bisa mendatangkan berbagai dampak buruk dan bahaya sebagai berikut:
Pertama, dusta membuat pelakunya tidak bisa tenang dan selalu merasa gelisah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jujur mendatangkan ketenangan, sementara dusta mendatangkan keragu-raguan (kegelisahan).” Bagaimana bisa tenang, orang yang berdusta akan selalu dibayang-bayangi oleh rasa takut dan khawatir kalau kebohongannya diketahui orang.
Kedua, dusta menjadi penyebab jatuhnya citra, nama baik, dan kehormatan si pelaku. Orang menjadi kehilangan kepercayaan padanya.
Bayangkan kalau dalam satu komunitas satu dengan yang lain sudah tidak saling mempercayai?!
Ketiga, dusta menjadi bagian dari bentuk kemunafikan sehingga mengancam eksistensi iman. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Tanda orang munafik ada tiga, yaitu:
1. Apabila berbicara ia berdusta
2. Apabila berjanji ia ingkar, dan
3. Apabila dipercaya ia khianat
Keempat, kalaupun si pendusta selamat dan aman di dunia dimana ia berhasil membungkus segala kepalsuan, kedustaaan, dan kebohongannya dengan berbagai macam intrik dan tipudaya sehingga orang tetap percaya, maka di sisi Allah ia tidak akan bisa selamat. Bahkan dalam hadits disebutkan. “Dusta mengantar pada kejahatan, dan kejahatan mengantar kepada neraka. Manakala seseorang terus berdusta dan berusaha berdusta, ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR al-Bukhari)
Karena itu, tidak ada jalan lain kalau kita ingin hidup tenang, bahagia, tehormat, dipercaya dan sukses dunia akhirat maka jalannya adalah menghias diri dengan kejujuran.
Kejujuran adalah modal dasar orang-orang istimewa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman, “Ceritakan (wahai Muhammad SAW) kisah Ibrahim dalam al-Kitab (Al Qur’an). Ia adalah orang yang jujur dan juga seorang Nabi.” (QS Maryam: 41). “Ceritakan (wahai Muhammad SAW) kisah Idris dalam al-Kitab (Al Qur’an). Ia adalah orang yang jujur dan juga seorang Nabi.” (QS Maryam: 56). Nabi Yusuf ‘Alaihissalam juga disebut dan dikenal sebagai orang jujur (lihat QS Yusuf: 46). Apalagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sejak muda beliau dikenal sebagai sosok yang jujur dan dapat dipercaya.
Wallahua’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 355 – 8 Januari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Iman Santoso Lc imansantoso | Jan 7, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Iman Santoso, Lc
Kualitas keislaman seseorang adalah sejauhmana dia mampu melaksanakan amal-amal berkualitas dan meninggalkan perbuatan yang tidak berguna apalagi mengandung dosa. Rasulullah SAW bersabda: ”Diantara kebaikan Islam seseorang, ia meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna”.
Sedangkan hidup ini adalah kumpulan dari hari-hari, maka sangat merugilah orang yang menyia-nyiakan waktunya. Keimanan akan senantiasa mendorong dan memotivasi orang beriman untuk senantiasa beramal dan berlomba dalam setiap medan kebaikan.
Berlomba dalam Kebaikan (Musabaqoh Fil Khairaat)
Orang beriman memahami bahwa kewajiban yang ditugaskan lebih banyak dari waktu yang tersedia. Oleh karenanya, ia terus-menerus beramal dan keimanan itu memotivasi dirinya untuk tetap beramal dalam kondisi apapun. Bagi orang beriman tidak ada istilah menganggur dan tidak punya kerjaan karena amal shalih dan ibadah itu banyak sekali bentuk dan macamnya.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa sebagian sahabat bertanya pada Rasulullah saw. ”Wahai Rasulullah SAW orang-orang kaya telah memborong pahala kebaikan, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa. Dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka“. Rasul SAW bersabda: ”Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian bisa sedekah? Bahwa setiap tasbih sedekah, setiap takbir sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah, setia amar ma’ruf sedekah, setiap nahi mungkar sedekah. Dan seseorang meletakkan syahwatnya (pada istrinya) sedekah”. Sahabat bertanya: ”Apakah seseorang menyalurkan syahwatnya dapat pahala? Rasul SAW menjawab: “Ya, bukankah jika menyalurkannya pada yang haram akan mendapat dosa? Begitulah jika menyalurkan pada yang halal maka akan mendapat pahala”.
Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang-orang beriman memiliki motivasi tinggi dalam beramal dan senantiasa belomba dalam kebaikan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kebaikan dan pahala. Dan hadits ini juga menerangkan betapa amal shalih itu banyak dan beragam bentuknya. Ketika kita melakukannya, dan dengan niat karena Allah, maka itu bagian dari sedekah dan kontribusi kita pada umat dan bangsa.
Lapangan hidup bagi orang beriman tidaklah sempit, bukan hanya rumah dan tempat mencari nafkah saja. Tetapi lapangan hidup orang beriman adalah bumi dan seisinya dengan berbagai macam aktivitasnya. Apalagi jika orang beriman terlibat dengan aktivitas dakwah, maka ia akan mendapatkan banyak manfaat dan kebaikan dari dunia ini.
Dan potret kehidupan yang luas dan diisi dengan semangat perlombaan ini sangatlah banyak pada orang-orang beriman generasi terbaik dari umat ini.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra berkata: ”Rasulullah SAW melewati Abdullah bin Mas’ud, saya dan Abu Bakar bersama beliau dan Ibnu Ma’sud sedang membaca Al-Qur’an. Maka Rasulullah SAW bangkit dan mendengarkan bacaannya, kemudian Abdullah ruku dan sujud. Berkata Umar ra, Rasul SAW bersabda: ”Mintalah pasti akan dikabulkan, mintalah pasti akan dikabulkan”. Berkata Umar ra. Kemudian Rasulullah SAW berlalu (dari Ibnu Mas’ud ra) dan bersabda: ”Barangsiapa ingin membaca al-Qur’an seindah sebagaimana diturunkan, maka bacalah sebagaimana bacaan Ibnu Ummi Abdi (Ibnu Mas’ud)”. Berkata (Umar): ”Maka saya bersegera di malam hari datang menuju rumah Abdullah bin Mas’ud untuk menyampaikan kabar gembira apa yang dikatakan Rasulullah SAW, berkata (Umar): ”Tatkala saya mengetuk pintu atau berkata agar (Ibnu Mas’ud) mendengar suaraku, berkata Ibnu Mas’ud ra. “Apa yang membuatmu datang pada saat seperti ini?”. Saya (Umar) berkata : “Saya datang untuk menyampaikan kabar gembira (padamu) sebagaimana apa yang telah dikatakan Rasulullah SAW“. Berkata Ibnu Mas’ud ra. “Abu Bakar telah mendahuluimu”. Saya berkata: ”Apa yang dia lakukan, dia selalu menang dalam perlombaan kebaikan, tidaklah saya berlomba untuk suatu kebaikan pasti dia (Abu Bakar) telah mendahuluiku” (HR Ahmad).
Itu adalah motivasi keimanan yang menggerakkan orang-orang beriman untuk senantiasa berlomba dalam kebaikkan. Abu Bakar dan Umar telah mencontohkan yang terbaik dalam setiap perlombaan kebaikan. Begitulah kondisi mereka tidak pernah meninggalkan pintu-pintu kebaikan, kecuali mereka cepat melaksanakannya dengan motivasi yang kuat. Hal ini hanya dimiliki oleh orang-orang beriman yang selalu siap untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka yaitu pahala, keridhaan dan surga Allah.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman. Edisi 352 – 4 Desember 2015. Tahun ke-8.
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan. Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Dec 28, 2015 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sebagai seorang muslim, tentu kita ingin merasakan nikmat dan lezatnya iman. Sebab, apalah artinya iman tanpa ada kenikmatan di dalamnya. Apalah artinya berislam tapi tak bisa merasakan kelezatannya. Diantara cara agar kita dapat merasakan nikmatnya iman ialah adanya perasaan cinta dan kasih sayang kepada sesama muslim. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam Shahih Muslim, “Ada tiga hal yang jika engkau mendapatkannya maka engkau merasakan nikmatnya iman,” diantaranya ialah, “Engkau mencintai seseorang hanya karena Allah SWT.”
Rasa cinta kepada sesama muslim ini telah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW, diantaranya ialah kecintaan yang ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib kepada para sahabat, terutama kepada Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhuma. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat akrab dan saling mencintai satu dengan yang lainnya. Hal ini tidaklah aneh sebab keduanya merupakan binaan dari Rasulullah SAW yang selalu mengajarkan ummatya untuk saling menghargai, mencintai dan berkasih sayang.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyah ia berkata, “Aku berkata kepada ayahku, siapakah manusia yang paling mulia setelah Nabi SAW?” Ali r.a. menjawab, “Abu Bakar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Ia menjawab, “Umar.” Bahkan Ali bin Abi Thalib pernah berkata dalam sebuah riwayat dari Imam Ahmad, “Tidak ada seorang pun yang lebih mengutamankanku daripada Abu Bakar dan Umar kecuali aku akan cambuk dia sebagai balasan atas kedustaannya.”
Dalam riwayat dari Uqbah bin Harits disebutkan, “Aku pernah keluar bersama Abu Bakar setelah shalat Ashar dan Ali berada disampingnya. Lalu ia bertemu dengan Hasan bin Ali sedang bermain dengan teman sebayanya. Lalu Abu Bakar menggendongnya dan berkata dengan nada bercanda, “Wahai seorang anak yang mirip dengan Nabi, tapi tidak mirip dengan Ali.” Dan saat itu Ali pun tertawa mendengar ucapan Abu Bakar.”
Sebagaimana keakraban dan keharmonisan yang terjalin antara Ali dengan Abu Bakar, begitu juga hubungan antara Ali bin Thalib dengan sahabat-sahabat yang lainnya terutama Umar bin Khattab. Kecintaan Ali kepada tampak jelas ketika Umar bin Khattab mengajak Ali untuk berunding sebelum melakukan peperangan melawan Romawi dan Persia. Pada saat itu, ketika pasukan akan berangkat menuju peperangan, Ali bin Abi Thalib berkhutbah yang mana intinya ialah (sebagaimana yang tertera dalam kitab Nahjul Balaghah); Ali menamakan pasukan yang disiapkan oleh Umar sebagai pasukannya Allah, ia juga menegaskan bahwa dirinya merupakan salah satu bagian dari tentaranya Umar bin Khattab, di dalam khutbah tersebut beliau juga menafikan adanya permusuhan diantara sahabat terutama di masa Umar, bahkan ia menegaskan bahwa dengan keberadaan Umar, Islam menjadi kuat dan kokoh.
Dalam sebuah surat yang dikirim oleh Ali kepada Muawiyah, di dalamnya tertulis mengenai keutamaan Abu Bakar dan Umar yang isinya ialah sebagai berikut, “Muslim yang terbaik dan yang paling setia terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, kemudian setelah itu adalah Umar bin Khattab al-Faruq. Keduanya memiiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Ketiadaan keduanya merupakan musibah yang besar bagi agama Islam. Semoga Allah merahmati keduanya dan membalas kebaikan keduanya.” (Lihat kitab Syarh Nahjul Balaghah).
Subhanallah, inilah pengakuan Ali bin Abi Thalib r.a. akan kemulian kedudukan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Rasa cinta yang tertanam di dalam dirinya merupakan buah akan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah. Dan masih banyak riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan akan besarnya kecintaan dan penghormatan Ali kepada Abu Bakar dan Umar.
Hal ini sekaligus juga membantah anggapan bahwa adanya permusuhan antara Ali bin Abi Thalib –karramahullah wajhahu- dengan dua sahabat yang agung ini. Bahkan rasa cinta tersebut beliau wujudkan dengan menamakan keturunannya dengan nama Abu Bakar dan Umar. Ketika Ali ditanya perihal alasan dari pemberian nama tersebut, ia menjawab bahwa ia ingin anaknya sama seperti dengan Abu Bakar dan Umar.
Ini adalah sebuah gambaran akan eratnya hubungan diantara mereka yang juga seharusnya dicontoh oleh generasi penerus yang mengaku mencintai Abu Bakar, Umar, Ali, dan sahabat-sahabat yang lainnya. Keagungan dan kemuliaan mereka sesuai dengan firman Allah SWT, “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.” (QS. al-Fath: 29). Semoga Allah meridhai mereka semua. Amiin.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman
Edisi 350 – 20 November 2015. Tahun ke-8
***
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
by Iman Santoso Lc imansantoso | Dec 22, 2015 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Ust. Iman Santoso, Lc
Keimanan adalah energi yang sangat kuat yang terus mendorong dan memotivasi orang-orang beriman untuk terus beribadah, beramal, berdakwah dan berjihad kemudian memberi manfaat sebesar-besarnya kepada umat manusia sesuai dengan tingkatan orang beriman dan sesuai dengan asupan ruhiyah imaniyah yang dicapainya.
Mereka ibarat pohon buah yang dilempari batu oleh sang pelempar, tetapi pohon itu melempari buahnya bagi manusia.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (QS Ibrahim 24-25).
Dzatiyah Imaniyah (Jati Diri Keimanan)
Keimanan memiliki karakteristik dan jati diri yang khas. Disebutkan dalam hadits Rasul SAW: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang pagi ini puasa?” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab: ”Saya”, Rasul bertanya: ”Siapa yang pagi ini sudah mengantar jenazah ke kuburan?” Abu Bakar menjawab: “Saya”, Rasul SAW bertanya: “Siapa yang pagi hari ini telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab: “Saya”, Rasul saw bertanya: ”Siapa yang pagi hari ini menengok orang sakit?” Abu Bakar menjawab: “Saya”. Maka Rasulullah SAW bersabda: ”Tidaklah (semua perbuatan baik itu) terkumpul pada seseorang pasti dia akan masuk surga” (HR Muslim).
Berkata Imam Hasan al-Bashri: “Keimanan bukanlah angan-angan tetapi keyakinan yang kokoh dalam hati dan dibuktikan oleh amal”.
Demikianlah keimanan. Keimanan merupakan daya dorong atau motivasi internal yang senantiasa menggerakkan orang yang beriman untuk senantiasa beramal dan beramal. Sesungguhnya dusta jika ada orang yang mengaku beriman, tetapi tidak beramal atau beribadah.
Keimanan akan menggerakkan pelakunya untuk terus menerus berkarya, berproduksi dan memberikan kontribusi yang positif kepada umat dan bangsa. Seorang yang beriman adalah orang yang sibuk memperbaiki dirinya kemudian melakukan perbaikan terhadap kondisi umat dan bangsanya.
Keimanan adalah energi yang sangat kuat yang dimiliki manusia. Semakin kuat keimanan seseorang, maka semakin kuat pula energinya. Kita menyaksikan bahwa segala produktivitas kebaikan dilahirkan oleh orang-orang beriman, sesuai dengan kekuatan keimanan tersebut. Puncaknya terjadi pada diri Rasulullah SAW, sahabat, tabiin dan tabiit tabiin. Merekalah generasi terbaik dari umat ini. Rasul SAW bersabda “Sebaik-baiknya masa adalah masaku, kemudian masa berikutnya, kemudian masa berikutnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Apa yang dicontohkan oleh sahabat mulia Abu Bakar adalah bukti nyata betapa produktifnya beliau dalam waktu yang masih relatif pagi telah memborong amal shalih, puasa sunnah, mengantar jenazah, memberi makan orang miskin dan menengok saudaranya seiman yang sakit. Dan itu dilakukan diluar Ramadhan. Bagaimana dengan kita? Betapa banyak waktu yang dilalui tetapi terbuang hanya sia-sia, atau digunakan untuk kegiatan yang tidak bermanfaat untuk dirinya keluarganya ataupun umat dan bangsa.
Banyak manusia yang mengaku dirinya muslim menghabiskan waktunya untuk yang sia-sia bahkan mengandung dosa, seperti main gaple, catur, nonton TV, mendengar musik dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih parah dari itu menghabiskan waktunya untuk perbuatan yang haram dan tidak diridhai Allah, seperti, berjudi, minuman keras, narkoba, zina, dan lain sebagainya.
Orang-orang yang beriman adalah orang tahu diri dan tahu posisi. Tahu diri maksudnya mereka potensi dirinya, kelebihan dan kekurangannya. Sehingga mampu mengendalikan diri dan memberdayakan dirinya sesuai anugerah yang Allah berikan kepadanya. Tahu posisi yaitu orang-orang beriman memahami tugas dan risalah dirinya kemudian melaksanakan tugas dan risalah atau misinya tersebut.
Mereka mengetahui bahwa hidup di dunia ini sementara dan kemudian seluruh perbuatannya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Zalzalah ayat 6-8: “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman. Edisi 351 – 27 November 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya
by Farid Numan Hasan faridnuman | Dec 19, 2015 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh : Dr. Yusuf Al Qardhawy
Diterjemahkan dari Kitab Hawla Rukn al Ikhlash
Penerjemah : Ust. Farid Nu’man Hasan
Ikhlas adalah keinginan untuk mendapatkan ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui amal shalih, dan membersihkannya dari setiap kepentingan duniawi. Tidak mencampurkan amalnya dengan keinginan dunia pada dirinya, baik berupa keuntungan dunia, pangkat, harta, ketenaran, kedudukan di hati makhluk, pujian manusia, lari dari celaan, mengikuti nafsu tersembunyi, atau keinginan lainnya berupa penyakit dan kotoran amal. Prinsipnya, menginginkan selain Allah ‘Azza wa Jalla dari seluruh amalnya.
Ikhlas dengan pengertian ini adalah buah di antara buah-buah tauhid yang sempurna, yaitu mengesakan Allah Ta’ala dalam peribadatan dan meminta pertolongan. Sebagaimana yang tergambar dalam firmanNya: “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan”. Oleh karena itu riya -lawan dari Ikhlas- termasuk dari syirik. Berkata Syadad bin Aus radhiallahu ‘anhu: “Adalah kami kembali kepada masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam: Sesungguhnya riya itu termasuk syirik kecil.”(HR. Hakim).
Sulitnya Ikhlas
Membersihkan amal dari kotoran dan keinginan dunia bukanlah urusan mudah sebagaimana yang disangka sebagian orang. Sesungguhnya ia adalah kemenangan atas egoisme dan kecintaan kepada materi, lenyapnya ketamakan jiwa dan tujuan-tujuan pendek dunia. Karena itu, harus ada mujahadah (kesungguhan) yang keras, muraqabah (pengawasan) yang konsisten terhadap ruang-ruang masuknya syaitan, meluruskan dirinya dari niatan-niatan tersembunyi dan riya, cinta kemegahan dan ketenaran. Inilah faktor-faktor yang bisa mengalahkan para pemilik kekuatan dan berpengaruh pada jiwa manusia.
Karena itu, sebagian orang shalih bertanya: Apakah yang paling berat bagi jiwa? Jawabnya: Ikhlas, karena ia tidak mendapatkan bagiannya.
Yang lain berkata: Membersihkan niat adalah amal paling berat dari seluruh amal. Juga ada yang berkata: Yang paling agung di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak manusia yang bersungguh-sungguh namun terjatuh dalam riya di hatinya, seakan ia tumbuh menjadi rupa yang lain.
Bahkan ada ungkapan indah: Beruntunglah bagi yang benar langkahnya walau sekali, dia tidak menghendaki dengan langkahnya itu kecuali Allah Ta’ala.
Diantara manusia ada yang melihatnya, mereka menyangka bahwa dia beramal untuk Islam dengan benar, bahkan barangkali ia mengira dirinya juga demikian. Maka, jika hatinya mencari dan menduga hakikat niatnya itu, ia akan temukan tuntutan dunia di balik pakaian agama. Sekarang memang belum ia inginkan semua ketamakan di balik amalnya, tetapi ia akan harapkan itu esok hari. Setelah itu, angin menggugurkan apa-apa yang ia angankan.
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima hati yang tidak murni, tidak pula amal yang tercampur. Dia hanya menerima amal yang ditujukan untuk wajahNya semata.
Keutamaan Ikhlas
Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan Ikhlas di dalam kitab-Nya, dan sangat menekankannya dalam banyak surat Al Qur’an khususnya Makkiyah, karena ia berkaitan dengan pemurnian tauhid, pelurusan aqidah, dan melempengkan tujuan. Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya: “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (QS. Az Zumar: 2-3).
“Katakanlah: ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agamaku’ ” (QS. Az Zumar: 14).
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ “(QS. Al An’am: 162-163).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”(QS. An Nisa: 125).
“Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan Allah dengan apapun dalam beribadah.” (QS. al Kahfi:110).
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 354 – 18 Desember 2015. Tahun ke-8.
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Dec 18, 2015 | Artikel, Buletin Al Iman
Nikmat terbesar yang Allah berikan kepada umat ini adalah agama Islam. Allah hadirkan Islam untuk kita sebagai penerang jalan dan rambu menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan Islam kita mengenal hakikat hidup, dengan Islam kita mengetahui cara mengisi hidup, dan dengan Islam kita mengetahui tujuan hidup.
“Pada hari ini Kusempurnakan untukmu agamamu, Kusempurnakan nikmat-Ku padamu, dan Aku rela Islam menjadi agama-Mu” (QS al-Maidah: 3).
Hanya saja tidak semua orang bisa menerima Islam. Banyak di antara mereka yang tidak siap dan tidak percaya kepada agama Islam. Kalau sikap ingkar dan mendustakan agama ini dilakukan oleh orang-orang kafir, tidak ada yang aneh. Namun, kalau sikap mendustakan tersebut dilakukan oleh mereka yang mengaku muslim, ini yang aneh.
Pertanyaannya, adakah muslim yang mendustakan agama Islam? Jawabannya ada, bahkan banyak. Sebagian mendustakan dengan lisan dan sebagian lagi mendustakan dengan amal. Sangat sering kita menjumpai muslim yang tidak mau taat dan patuh pada ajaran agama. Inilah yang disebut mendustakan agama. Mengaku muslim, tetapi ucapan, gerak-gerik, tingkah laku, dan amal perbuatannya jauh dari nilai-nilai Islam.
Sebagai contoh dalam surat al-Ma’un Allah memberikan satu gambaran sekaligus meluruskan persepsi tentang model orang yang mendustakan agama. Allah memulai dengan sebuah pertanyaan “Apakah engkau pernah melihat orang yang mendustakan agama?” Atau “Tahukah engkau siapa yang mendustakan agama?” Barangkali sebagian menduga bahwa yang mendustakan agama adalah mereka yang kafir. Atau yang tidak mau melakukan ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat, dan seterusnya.
Ternyata bukan itu. Orang yang kafir dan tidak mau melakukan ibadah mahdah sudah jelas menyimpang dan sesat. Namun, ada bentuk mendustakan agama yang kadang tidak terlintas dalam benak manusia. “Yaitu orang yang menghardik anak yatim. Serta yang tidak menganjurkan memberi makan kepada fakir miskin.”
Jadi dikatakan mendustakan agama orang yang tidak punya perhatian kepada sesama; yang tidak mau membantu orang yang membutuhkan; yang tidak iba dan tidak tergerak perasaannya untuk menolong.
Pertama-tama anak yatim disebutkan secara khusus, bukan dhuafa secara umum, karena mereka adalah golongan yang paling membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Mereka ditinggal oleh ayahnya saat masih kecil. Sudah sepantasnya kalau kita memberikan perhatian dan kasih sayang kepada yatim. Sampai-sampai Rasul SAW bersabda, “Aku dan orang yang mengasuh yatim, akan seperti ini (sembari menyandingkan jari telunjuk dan tengahnya) di dalam surga.” (HR al-Bukhari).
Nah, orang yang mendustakan agama, jangankan memberikan perhatian, mereka malah menghardik, bersikap kasar, dan menelantarkan anak yatim.
Selanjutnya, orang yang mendustakan agama adalah orang tidak menganjurkan memberi makan kepada fakir miskin. Allah tidak mengatakan orang yang mendustakan agama adalah yang tidak memberi makan kepada fakir miskin. Namun “tidak menganjurkan”. Sebab, bisa jadi mereka memang tidak memiliki harta yang cukup atau makanan berlebih yang bisa diberikan kepada yang lain. Akan tetapi dalam kondisi demikian, mereka masih bisa menjadi perantara dan sarana kebaikan, dengan meminta orang lain yang mampu untuk membantunya. Ini seperti yang dilakukan oleh Rasul SAW saat tidak punya makanan. Beliau masih berusaha membantu dengan menanyakan sahabat, siapa di antara mereka yang dapat menjamu tamu beliau yang lapar. Begitulah akhlak muslim.
Setelah itu dalam surat al-Ma’un, Allah berbicara tentang orang yang shalat, yang diancam celaka. Yaitu yang shalatnya hanya dikerjakan secara formalitas dan riya, tanpa penghayatan dan tidak sesuai tuntunan. Apalah artinya shalat yang tidak mendatangkan kebaikan dan perbaikan akhlak?!
Kesimpulannya, agama ini adalah agama rahmah, agama kasih sayang; tidak hanya sekedar shalat dan ibadah. Cukup dikatakan mendustakan agama orang yang tidak memiliki kasih sayang. Nabi SAW bersabda, “Kasih sayang tidak dicabut kecuali dari orang yang celaka.” (HR Abu Daud).
Wallahua’lam
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 353 – 11 Desember 2015. Tahun ke-8
Telah diterbitkan sebelumnya oleh:
Harian Umum Republika
Rubrik Hikmah – 30 November 2015.
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya