Sebuah Renungan Rakyat yang Merindukan Pemimpin yang Shalih

Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih Al-Ùtsaimīn Allahuyarhamuh berkata:
“… Wajib bagi kita untuk mengetahui bahwasanya manusia itu bagaimana kondisi mereka maka begitu pula pemimpinnya.
Jika kondisi mereka buruk antara sesama mereka dan dengan Allah, maka Allah akan uji mereka dengan pemimpin mereka. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون

Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zhalim berteman dengan sesamanya, sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 129)
Apabila rakyat shalih dan baik, maka Allah akan anugerahkan untuk mereka pemimpin dari kalangan orang-orang yang shalih, dan bila sebaliknya maka yang terjadipun sebaliknya.
Dan, disebutkan bahwa seseorang dari kalangan pemberontak khawarij datang ke Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Wahai Ali! Kenapa manusia menentangmu dan tidak menentang Abu Bakar dan ‘Umar?!”.
Maka Ali menjawabnya, “Sesungguhnya, rakyat di masa Abu Bakar dan ‘Umar itu saya dan semisal saya, adapun rakyat di masa saya itu kamu dan semisal kamu!”.
Beliau maksudkan dari orang-orang yang tidak memiliki kebaikan padanya. Sehingga, dialah yang menjadi sebab rakyat memberontak dan berpecah belah terhadap Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang akhirnya merekapun memerangi beliau radhiallahu ‘anhu.
Dan juga disebutkan, salah seorang penguasa dari Bani Umayyah yang mendengar kritikan dan protes rakyat terhadap dirinya,
Maka beliau seingat saya dia adalah Abdul Malik bin Marwan mengumpulkan para pemuka dan tokoh masyarakat dan berbicara dengan mereka.
“Wahai sekalian manusia! Maukah kalian agar aku menjadi seperti Abu Bakr dan ‘Umar?!”.
Mereka menjawab, “Ya!”.
Beliau berkata, “Jika kalian menginginkannya, maka jadilah kalian seperti kami masyarakatnya Abu Bakr dan ‘Umar!”,
Allah Subhanahu wa ta’ala itu Maha Bijaksana, Ia akan menetapkan pemimpin bagi rakyat sesuai dengan amal mereka.
Jika mereka buruk, maka buruk pula bagi mereka, dan jika mereka baik, maka baik pula untuk mereka.
Namun, bersamaan dengan itu…
Tidaklah diragukan bahwa kebaikan seorang pemimpin itulah asalnya, karena jika baik pemimpin maka terwujudlah kebaikan.
Sebab seorang pemimpin itu memiliki kekuasaan dan mampu untuk mewujudkan kebaikan dan menegakkan keadilan bagi yang menyimpang dan menghukum bagi yang melampui batas dan melanggar.
Semoga Allah Jalla Wa ‘Alā senantiasa memperbaiki seluruh rakyat Indonesia dan para pemimpinnya.
 
Sumber:
Syarh Riyadhush-Shālihīn, Bab Ash-Shabr (tentang Kesabaran) jilid 1 hal. 282-283, cet. Madārul Wathan, Riyadh.
Akhukum,
Hudzaifah bin Muhammad.
Ghafarallāhu lahu wa wālidaihi
 

Mereka Bersahabat

Tentang pengambilan tanah Fadak itu benar. Abu Bakr mengalih-milikkan tanah itu kepada negara. Tetapi itu bukanlah tanah Fatimah. Itu adalah bagian milik Rasulullah saw. Saat beliau wafat, Fatimah menuntutnya sebagai hak waris, tapi Abu Bakr menolaknya.
Alasannya tanah itu bagian Nabi saw sebagai ‘Rasul’ sebagaimana ditetapkan Al Qur’an, bukan bagian beliau sebagai pribadi. Maka hak tanah tersebut melekat pada fungsi kepemimpinannya, yakni negara.
Apalagi ada hadis yang dipersaksikan para sahabat. “Kami para Nabi, tidaklah mewariskan (harta),” yang menguatkan keputusan Abu Bakr itu. Fatimah memang agak marah atas keputusan ini.
Ali ra demi menjaga perasaan Fatimah, menahan diri dari membaiat Khalifah Abu Bakr sampai Fatimah meninggal 5 bulan kemudian. Riwayat tentang ‘kemarahan Fatimah’ ini kata Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, terasa aneh. Tetapi jika demikian adanya lanjut beliau, kita terima sebagai sisi manusiawi yang semua insan harus dimengerti keadaannya.
Catatan lain, pendapat bahwa Ali tak membaiat Abu Bakr karena tak mengakui keutamaan Ash Shiddiq terbantah dengan riwayat hasutan Abu Suyfan ke beliau karamallahu wajhah.
Suatu hari, Abu Sufyan bin Harb mendatangi Ali dan berkata, “Mengapa urusan ummat ini diserahkan pada lelaku dari kabilah terlemah (sebab Abu Bakr dari Bani Taim). Wahai Ali, sesungguhnya kami Bani Ummayah dibelakang kalian (Bani Hasyim). Perintahkanlah!”
Ali tersenyum dan menjawab, “Hai Abu Sufyan, apakah kau masih ingin menjadi musuh Islam setelah menjadi muslim? Sesungguhnya kaum muslimin telah sepakat untuk memilih sahabat Rasulullah yang paling dekat, satu diantara dua yang berada dalam gua, yang begitu berkah jiwa dan hartanya bagi Islam. Kami ridha padanya walau dalam ikatan keluarga, kami lebih dekat dengan Rasulullah.”
Betapa dekatnya Abu Bakr dan Ali terlihat ketika suatu hari dimasa khifalahnya, Abu Bakar menggendong Hasan dan Husain anak Ali bin Abi Thalib. Abu Bakr berkata, “Kalian betul-betul mirip sang Nabi. Dan sama sekali tidak mirip Ali!” Lalu beliau tertawa diiringi Ali yang juga tertawa terpingkal.
“Pernah terjadi,” ujar Ali, “Allah mencela seluruh penduduk bumi kecuali Abu Bakr Ash Shiddiq, dalam firman-Nya di Surah At Taubah ayat 40.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Keindahan Hukum di Zaman Ali

Kasus hukum zaman Ali menarik jua, sengketa penguasa vs minoritas. Baju besi milik Ali bin Abi Thalib satu waktu lenyap saat persiapan tempur. Berikutnya ia terlihat dipakai oleh seorang Yahudi. Ali sangat mengenali baju besi miliknya itu, maka disergahlah si Yahudi dengan santun, “Saudara, setelan dzir’a itu milikku!”
“Jika ia melekat pada tubuhku,” tukas si Yahudi berkacak pinggang, “maka ia adalah milikku. Anda tak bisa mengaku sembarangan.”
“Sebab aku sangat mengenali milikku, dan kau hanya mengaku dengan bukti lekatnya ia ditubuhmu, bagaimana kalau kita ber-tahkim?” balas Ali.
“Apakah dia bisa berbuat adil, dimana aku seorang Ahli Kitab, sedangkan engkau Amirul Mukminin?” selidik si Yahudi.
“Demi Musa yang mengutus Taurat,” ujar Ali, “aku yang pertama-tama meluruskannya dengan pedang jika dia bengkok.”
Maka pergilah mereka pada Hakim Syuraih. “Selamat datang Amirul Mukminin!” sambut Syuraih. Kemudian sidangpun berjalan.
“Sudah tiga kali ketidakadilan kurasakan sejak masuk majelismu hai Syuraih!” tegur Ali. “Luruskanlah atau kelayakanmu dalam mengadili batal!” Pertama, kau panggil aku dengan gelar, sementara dia hanya nama. Kedua, kau dudukkan aku disisimu, sementara dia dihadapan kita. Ketiga, kau biarkan aku menjawab tanpa bantahan, sedangkan jawaban dia kau pertanyakan lagi.” Si Yahudi heran dengan keberatan Ali.
Setelah beberapa hal diluruskan, Syuraih berkata, “Amirul Mukminin, ini memang baju besimu yang jatuh dari kuda saat di Auraq. Tetapi untuk memutuskan bahwa ini memang milikmu,” lanjut Syuraih, “aku tetap membutuhkan kesaksian dua orang lelaki adil.”
“Maka inilah Hasan dan pelayanku Qanbur sebagai saksiku!” ujar Ali. “Qanbur bisa kuterima,” jawab Syuraih, “tapi Hasan tidak. Kesaksian seorang anak untuk ayahnya tidak dapat diterima oleh pengadilan ini!” tegas Syuraih. Ali tercenung sejenak.
“Tapi tidakkah engkau mendengar,” sanggah Ali, “Umar berkata bahwa Rasul bersabda, “Al-Hasan dan Al-Husein itu penghulu pemuda surga.”
” Maaf,” kata Syuraih sambil tersenyum, “aku tak menemukan dalil bahwa hal semacam itu bisa mengecualikan dalam hak persaksian.”
Maka Syuraih memutuskan bahwa baju besi itu menjadi milik si Yahudi, sebab Ali gagal menghadirkan dua orang saksi untuk pengakuannya. Tersentuh, si Yahudi masuk Islam dan hendak mengembalikan baju besi yang memang adalah milik Ali itu.
Ali menolak. “Tidak,” katanya, “kau sekarang saudaraku, maka itu juga kuda ini hadiah dariku agar tumbuh cinta diantara kita.
 
Sumber :

  • Hilyatul Auliya (Abu Nu’aim), Subulus Salam (Ash-Shan’ani), Akhbarul Qudhah (Muhammad bin Khalaf), dan lain-lain.
  • Beberapa Ulama hadis Muta’akhirin enggan menerimanya sebab meski terdapat tiga jalur periwayatan hadis, ada sedikit cela pada sanadnya.
  • Abul A’la Al-Maududi mengatakan, Andai standar penshahihan hadis diterapkan untuk tarikh (sejarah), kita akan kehilangan 3/4 sejarah Islam. Maka sanad kisah ini masih ‘termaafkan’.

Kaidah Kuasa

Menurut Abu Bakar Ash Shiddiq, “Jika pasar mengalahkan masjid, maka masjid akan mati. Jika masjid mengalahkan pasar, maka pasar akan hidup.”
Adapun Umar bin Khattab bertutur, “Negeri akan baik jika orang shalihnya kuat, orang jahatnya lemah. Namun negeri pun rusak jika sebaliknya.”
“Pemimpin yang mudah menyerah pada tekanan menjatuhkan negara dalam kekacauan. Jernihlah selalu dengan ibadah.” papar Ustman bin Affan.
Sementara Ali bin Abi Thalib berujar, “Seperti apa rakyat, demikianlah Allah memberi pemimpin sebagai wajah mereka. Selanjutnya, maukah dia membaikkan diri?”
Umar bin Abdul Aziz pun menambahkan, “Memaksakan perubahan serta merta, melahirkan penolakan menyeluruh. Mulailah perbaikan dari pemahaman mendasar.”

Kecintaan Ali kepada Abu Bakar dan Umar

Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
 
Sebagai seorang muslim, tentu kita ingin merasakan nikmat dan lezatnya iman. Sebab, apalah artinya iman tanpa ada kenikmatan di dalamnya. Apalah artinya berislam tapi tak bisa merasakan kelezatannya. Diantara cara agar kita dapat merasakan nikmatnya iman ialah adanya perasaan cinta dan kasih sayang kepada sesama muslim. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam Shahih Muslim, “Ada tiga hal yang jika engkau mendapatkannya maka engkau merasakan nikmatnya iman,” diantaranya ialah, “Engkau mencintai seseorang hanya karena Allah SWT.”
Rasa cinta kepada sesama muslim ini telah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW, diantaranya ialah kecintaan yang ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib kepada para sahabat, terutama kepada Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhuma. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat akrab dan saling mencintai satu dengan yang lainnya. Hal ini tidaklah aneh sebab keduanya merupakan binaan dari Rasulullah SAW yang selalu mengajarkan ummatya untuk saling menghargai, mencintai dan berkasih sayang.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Hanafiyah ia berkata, “Aku berkata kepada ayahku, siapakah manusia yang paling mulia setelah Nabi SAW?” Ali r.a. menjawab, “Abu Bakar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Ia menjawab, “Umar.”  Bahkan Ali bin Abi Thalib pernah berkata dalam sebuah riwayat dari Imam Ahmad, “Tidak ada seorang pun yang lebih mengutamankanku daripada Abu Bakar dan Umar kecuali aku akan cambuk dia sebagai balasan atas kedustaannya.
Dalam riwayat dari Uqbah bin Harits disebutkan, “Aku pernah keluar bersama Abu Bakar setelah shalat Ashar dan Ali berada disampingnya. Lalu ia bertemu dengan Hasan bin Ali sedang bermain dengan teman sebayanya. Lalu Abu Bakar menggendongnya dan berkata dengan nada bercanda, “Wahai seorang anak yang mirip dengan Nabi, tapi tidak mirip dengan Ali.” Dan saat itu Ali pun tertawa mendengar ucapan Abu Bakar.
Sebagaimana keakraban dan keharmonisan yang terjalin antara Ali dengan Abu Bakar, begitu juga hubungan antara Ali bin Thalib dengan sahabat-sahabat yang lainnya terutama Umar bin Khattab. Kecintaan Ali kepada tampak jelas ketika Umar bin Khattab mengajak Ali untuk berunding sebelum melakukan peperangan melawan Romawi dan Persia. Pada saat itu, ketika pasukan akan berangkat menuju peperangan, Ali bin Abi Thalib berkhutbah yang mana intinya ialah (sebagaimana yang tertera dalam kitab Nahjul Balaghah); Ali menamakan pasukan yang disiapkan oleh Umar sebagai pasukannya Allah, ia juga menegaskan bahwa dirinya merupakan salah satu bagian dari tentaranya Umar bin Khattab, di dalam khutbah tersebut beliau juga menafikan adanya permusuhan diantara sahabat terutama di masa Umar, bahkan ia menegaskan bahwa dengan keberadaan Umar, Islam menjadi kuat dan kokoh.
Dalam sebuah surat yang dikirim oleh Ali kepada Muawiyah, di dalamnya tertulis mengenai keutamaan Abu Bakar dan Umar yang isinya ialah sebagai berikut, “Muslim yang terbaik dan yang paling setia terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, kemudian setelah itu adalah Umar bin Khattab al-Faruq. Keduanya memiiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Ketiadaan keduanya merupakan musibah yang besar bagi agama Islam. Semoga Allah merahmati keduanya dan membalas kebaikan keduanya.” (Lihat kitab Syarh Nahjul Balaghah).
Subhanallah, inilah pengakuan Ali bin Abi Thalib r.a. akan kemulian kedudukan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Rasa cinta yang tertanam di dalam dirinya merupakan buah akan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah. Dan masih banyak riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan akan besarnya kecintaan dan penghormatan Ali kepada Abu Bakar dan Umar.
Hal ini sekaligus juga membantah anggapan bahwa adanya permusuhan antara Ali bin Abi Thalib –karramahullah wajhahu- dengan dua sahabat yang agung ini. Bahkan rasa cinta tersebut beliau wujudkan dengan menamakan keturunannya dengan nama Abu Bakar dan Umar. Ketika Ali ditanya perihal alasan dari pemberian nama tersebut, ia menjawab bahwa ia ingin anaknya sama seperti dengan Abu Bakar dan Umar.
Ini adalah sebuah gambaran akan eratnya hubungan diantara mereka yang juga seharusnya dicontoh oleh generasi penerus yang mengaku mencintai Abu Bakar, Umar, Ali, dan sahabat-sahabat yang lainnya. Keagungan dan kemuliaan mereka sesuai dengan firman Allah SWT, “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.” (QS. al-Fath: 29). Semoga Allah meridhai mereka semua. Amiin.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman
Edisi 350 – 20 November 2015. Tahun ke-8
***
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692

X