by Danu Wijaya danuw | May 21, 2016 | Artikel
Islamic Development Bank atau Bank Pembangunan Islam adalah lembaga keuangan internasional yang didirikan menurut Deklarasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Menteri Keuangan Negara-Negara Muslim yang diadakan di Jeddah di Dzul Q’adah 1393H, sesuai dengan Desember 1973. Bank secara resmi dibuka pada 15 Syawal 1395H sesuai dengan 20 Oktober 1975.
Tujuan dari Bank IDB adalah untuk mendorong pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial dari negara-negara anggota dan masyarakat Muslim secara individu serta bersama-sama sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yaitu hukum Islam.
Fungsi IDB adalah untuk berpartisipasi dalam modal dan memberikan pinjaman untuk proyek-proyek yang produktif dan perusahaan selain memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara anggota dalam bentuk lain untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Bank juga diperlukan untuk mendirikan dan mengoperasikan dana khusus untuk tujuan tertentu termasuk dana bantuan untuk komunitas Muslim di negara-negara non-anggota, selain menyiapkan dana perwalian.
IDB berwenang untuk menerima deposito dan untuk memobilisasi sumber daya keuangan melalui syariat Islam secara kompatibel. Hal ini juga dibebankan dengan tanggung jawab membantu dalam promosi perdagangan luar negeri terutama barang modal, antara negara-negara anggota; memberikan bantuan teknis kepada negara-negara anggota; dan memperluas fasilitas pelatihan bagi personil yang terlibat dalam kegiatan pembangunan di negara-negara Muslim untuk menyesuaikan diri dengan syariat.
Keanggotaan IDB terdiri dari 56 negara. Kondisi dasar untuk keanggotaan adalah bahwa calon negara anggota harus menjadi anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), membayar kontribusinya terhadap modal Bank dan bersedia menerima syarat dan ketentuan sebagaimana dapat diputuskan oleh Dewan Gubernur IDB. Sesuai keputusan Rapat Tahunan ke-38 Dewan Gubernur, modal dasar dari IDB dinaikkan menjadi ID 100 miliar dan modal berlangganan ID 50 miliar. Penghitungan tahun keuangan Bank IDB adalah bulan Hijriah Tahun.
Kantor pusat IDB terletak di Jeddah, di Kerajaan Arab Saudi. Empat kantor regional dibuka di Rabat (Maroko,) Kuala Lumpur (Malaysia) Almaty (Kazakhstan) dan Dakar (Senegal). Ia juga memiliki dua kantor negara gerbang di Ankara (Turki) dan Jakarta (Indonesia) dan perwakilan lapangan di 14 negara anggota (Afghanistan, Azerbaijan, Bangladesh, Burkina Faso, Guinea, Iran, Mali, Pakistan, Sudan, Turkmenistan, Uzbekistan, Yaman, Mauritania dan Libya).
Sumber :
http://www.isdb.org/irj/portal/anonymous/idb_faq_ar
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Apr 29, 2016 | Artikel
Oleh: Fauzi Bahreisy
Setiap manusia pasti menginginkan kemenangan, kesuksesan, dan keberhasilan. Ini merupakan fitrah dan tabiat yang melekat dalam diri setiap insan. Namun, bagaimana mempersepsikan kemenangan dan bagaimana cara untuk mendapatkannya, manusia terbagi dalam dua kelompok besar.
Pertama, kelompok yang menakar dan mengukur kemenangan dengan angka-angka dan sesuatu yang bersifat lahiriah dan fisik, seperti banyaknya harta, tingginya kedudukan, banyaknya suara dan dukungan, popularitas, serta aksesori duniawi lainnya.
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
[الجزء: ٢١ | الروم (٣٠)| الآية: ٧]
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (QS Arrum [30]: 7).
Karena orientasinya hanya tertuju kepada dunia, kelompok ini tidak memedulikan cara untuk mendapatkan kemenangan. Apakah benar atau salah, halal atau haram, baik atau tidak. Yang penting sukses dan menang.
Ketika apa yang diinginkan tercapai dan berhasil didapat, mereka menjadi bangga dan lupa diri, lalu bertingkah seperti Qarun, Firaun, dan Namrud. Sebaliknya, ketika gagal, mereka menjadi malu, stres, frustrasi, depresi, dan tidak sedikit yang berujung pada bunuh diri.
Adapun kelompok kedua, mereka adalah kaum beriman yang orientasi hidupnya jelas; yaitu tertuju kepada akhirat. Dunia bagi mereka hanya sarana untuk menggapai akhirat. Karena itu, standar kemenangan hakiki bagi mereka bukan dunia, tapi mendapat ridha Allah SWT dan meraih surga-Nya.
(Baca juga: Sejauhmana Hubungan Kita dengan Al Quran)
“Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh ia telah menang. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS Ali Imran [3]: 185).
Mereka tidak terperdaya dengan dunia yang singkat dan fana. Mereka tidak mau tertipu dengan kesuksesan yang memperdaya.
Mereka tidak mau menghalalkan segala cara. Sebab,
ان الله طيب لا يقبل الا طيبا
mereka mengerti, Allah SWT Maha Baik. Dia hanya menerima yang baik-baik (Al Hadis).
Lalu, ketika kemenangan dan kesuksesan duniawi diraih, mereka bersyukur dan menampakkan kegembiraan secara proporsional.
(Baca juga: Urgensi Amar Ma’ruf Nahi Munkar)
Sebaliknya, ketika usahanya tidak seperti yang diharapkan, mereka bersabar; tidak stres dan frustrasi. mereka sadar bahwa seluruh amal dan karyanya tidak akan sia-sia. Sepanjang dilakukan untuk Allah SWT, ia akan membuahkan ganjaran di sisi-Nya.
Inilah kemenangan, kesuksesan, dan keberhasilan hakiki. Di dunia bahagia, dan diakhirat akan mendapat kebahagiaan yang jauh lebih besar.
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | Apr 27, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Sekarang saatnya kita mengenal shahabiyah yang teramat mulia dan banyak memiliki keistimewaan yang Allah berikan padanya. Apa saja keistimewaan itu?
Dialah wanita yang mendidik Rasulullah saw setelah Abdul Muthalib (kakek Rasul) meninggal dunia. Dialah ibu dari pejuang gagah berani, khalifah keempat, Ali bin Abu Thalib ra. Dialah nenek dari dua pemuda pemimpin para pemuda surga, Hasan ra. dan Husain ra. Dialah ibu dari pahlawan gagah berani yang gugur sebagai syahid lalu Rasulullah saw meihatnya terbang dengan dua sayap di surga, satu dari tiga panglima perang Mu’tah, yaitu Ja’far bin Abu Thalib ra. Dia juga mertua dari wanita terbaik di zamannya, Fatimah binti Rasulullah saw.
Siapakah Wanita yang Mulia Ini?
Dialah shahabiyah agung yang bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf Al-Hasimiyah. Ia termasuk ke dalam salah satu rombongan pertama yang hijrah untuk memeluk Islam. Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang penuh kasih sayang terhadap anak yatim piatu. Dan inilah awal mula bagaimana seorang wanita mulia Fatimah binti Asad ra. memulai perjalanan berkah dalam kehidupannya.
Selepas kedua orang tua Nabi saw meninggal dunia, Nabi saw dirawat oleh kakeknya yaitu Abdul Muthalib, namun kebersamaan Nabi saw dengan kakeknya hanyalah sebentar, setelah Abdul Muthalib merasa yakin bahwasanya Nabi saw akan bisa dijaga dan dirawat dengan baik oleh anaknya, yaitu Abu Thalib. Akhirnya Abdul Muthalib meninggal dunia, dan semenjak itu Nabi saw tinggal bersama pamannya, Abu Thalib dan istrinya Fatimah binti Asad ra.
Di rumah itu Rasulullah mendapatkan kasih sayang dari wanita yang mulia ini, bahkan Rasulullah menganggap Fatimah binti Asad adalah ibu keduanya. Fatimah binti Asad menyayangi dan merawat Rasulullah melebihi anak kandungnya sendiri.
Berkah Mulai Dirasakan oleh Keluarga Abu Thalib
Abu Thalib dan keluarganya hidup serba kekurangan. Namun, setelah Nabi tinggal bersama mereka, kondisi kehidupan mereka berubah menjadi lebih baik.
(Baca juga: Mulianya Aisyah binti Abu Bakar di Dalam Islam)
Terutama pada saat makan, Nabi ikut makan bersama keluarga Abu Thalib. Makanan yang terlihat hanya sedikit, namun mampu membuat seluruh keluarga merasa kenyang.
Jika mereka makan tanpa adanya Nabi, mereka tidak merasakan kenyang. Berbeda ketika Nabi ikut makan bersama. Oleh sebab itu, Abu Thalib melarang seluruh anggota keluarganya makan sebelum Nabi memulainya.
Jika mereka sedang minum susu, maka Nabi dipersilahkan meminum susu itu terlebih dahulu. Meskipun susu itu hanya satu gelas, cukup untuk mengenyangkan seluruh anggota keluarga.
Itulah berkah yang Allah berikan kepada keluarga Abu Thalib saat Nabi tinggal bersama mereka.
Kasih Sayang Semakin Bertambah
Fatimah binti Asad ra. merasakan betapa besar berkah yang ia rasakan bersama keluarganya karena kehadiran Nabi saw dirumahnya. Ini pun membuat dirinya semakin menyayangi keponakannya itu. Ia merawat Nabi saw. Sejak Nabi kanak-kanak hingga menjadi pemuda, dengan penuh kasih sayang dan kemuliaan. Hingga Nabi menikah dengan Khadijah.
Permata Hatinya di Rumah Rasulullah SAW
Lihatlah bagaimana Fatimah binti Asad mendorong anaknya (Ali bin Abu Thalib) untuk tinggal bersama Rasulullah saw. Ia melihat bahwa sebelum ini Rasulullah sangat perhatian dan menyayangi Ali.
Sejarawan Ibnu Ishaq menulis, “Diantara nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah kepada Ali ra. adalah tercukupinya kebutuhannya, padahal Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Ketika itu,orang-orang Quraisy ditimpa paceklik. Muhammad muda berkata kepada Abbas (satu dari pamannya) yang hidup berkecukupan, “Paman Abbas, paman Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Dan paman tahu, ini masa paceklik. Bagaimana kalau kita meringankan beban paman Abu Thalib. Aku menanggung satu anaknya, paman Abbas menanggung satu anaknya?” Abbas setuju.
(Baca juga: Ummu Kultsum binti Uqbah: Wanita yang Diselamatkan Al Quran (bagian 1)]
Lalu mereka datang ke rumah Abu Thalib dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Dan Abu Thalib pun menyetujuinya seraya berkata “Terima kasih atas kebaikan kalian”. *bersambung
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Apr 25, 2016 | Artikel, Qur'anic Corner
Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Wahai saudaraku, jadikanlah Al Qur’an sebagai sahabat bagi kita, jadikan hubungan antara kita dengan Al Qur’an bagaikan hubungan persahabatan. Karena bersahabat dengan Al Qur’an itulah yang akan mendatangkan syafa’at dari Rasulullah. Bukankah Rasulullah bersabda:
إقرؤو القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
“Bacalah Al Qur’an karena ia nanti akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafa’at kepada sahabatnya”
Hubungan persahabatan tidak hanya sekedar diukur dengan tilawah, hafalan, ataupun ayat demi ayat yang kita pelajari, tetapi yang dikatakan bersahabat dengan Al Qur’an, ialah adanya keterikatan hati antara kita dengan Al Qur’an.
Tatkala ada satu hari yang terlewatkan tanpa adanya interaksi dengan Al Qur’an, maka hati pun akan terasa gersang, ada kehampaan dan kegelisahan, karena hati yang bersahabat dengan Al Qur’an hanya merasa tenang ketika ia bertemu dengannya.
[Baca juga: Indahnya Bersahabat dengan Al Quran (bagian 1)]
Bersahabat dengan Al Qur’an yaitu, dengan memuliakannya, memperhatikannya, dan peduli padanya, hingga diri kita tidak merasa nyaman ketika ada Al Qur’an yang dipenuhi debu, merasa risih dan tidak menerima tatkala ada Al Qur’an yang diletakkan di posisi yang tidak layak dan pantas
ذلك و من يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب
“Dan barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itulah tanda hati yang bertaqwa.”
Bersahabat dengan Al Qur’an, ialah dengan cara menjadikannya sebagai pedoman hidup kita, petunjuk dalam tiap langkah kehidupan kita, sebagai kompas untuk mengarahkan jalan menuju surga Allah, yang akhirnya kita terapkan dan tercermin dalam akhlak dan perilaku kita sehari-hari.
[Baca juga: Indahnya Bersahabat dengan Al Quran (bagian 2)]
Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah, ketika Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya, bagaimana akhlaknya Rasulullah? Beliau menjawab: “Akhlaknya Rasulullah adalah Al Qur’an”.
Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah “Al Qur’an yang berjalan diatas bumi”
اللهم اجعل القرآن ربيع قلوبنا و نور صدورنا و ضياء قلوبنا و جلاء أحزاننا و ذهاب همومنا و غمومنا.
Wallahua’lam.
by Danu Wijaya danuw | Apr 24, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita meyakini bahwa keluarga adalah pondasi sosial, sementara pernikahan yang sah merupakan pondasi dasar keluarga. Islam menolak segala cara yang menyimpang seperti nikah sejenis dan lainnya. Karenanya Islam mendorong pernikahan dengan memudahkan sarananya dan ekonominya. Islam menolak berbagai tradisi yang tidak sesuai seperti mahalnya mahar, tingginya beban walimah, berbagai hadiah yang melampaui batas, berlebihan dalam berbagai pakaian dan perhiasan serta berfoya-foya serta hal lain yang Allah dan Rasul-Nya murkai. Sebab semua itu memperlambat pernikahan untuk mengutamakan agama dan akhlak dalam memilih suami atau istri.
“Maka pilihlah –calon istri- yang memiliki agama niscaya engkau bahagia” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)
Keluarga
Islam membangun hubungan keluarga melalui cinta dan kasih sayang antara suami dan istri disertai upaya untuk saling menunaikan hak dan kewajiban dan pergaulan yang baik.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Identitas & Karakteristik Umat Islam)
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al Baqarah : 228)
Perceraian
Pada dasarnya Islam menghendaki pernikahan yang langgeng dan abadi. Tetapi realitasnya kadang kala kehidupan keluarga seperti neraka sehingga tidak ada alasan perlu dilestarikan akibat perbedaan dan perselisihan itu sendiri.
Terkait dengan melepas ikatan pernikahan Islam telah memilih jalan untuk tetap memperhatikan tabiat wanita disertai upaya mempertahankan kebutuhan rumah tangga semaksimal mungkin. Selain itu, Islam memperhatikan tanggung jawab laki-laki serta kemashlahatan anak.
- Ishlah : Islam mengajak suami dan istri untuk tetap bersabar, toleran, dan berlaku baik. Pihak keluarga masing-masing melakukan ishlah dan menyelesaikan perkaranya
- Rujuk : Suami yang diberi hak untuk mentalak satu istrinya, masih diberi peluang kembali tanpa pernikahan baru selama iddah (3 kali haidh) lewat. Sedangkan istrinya tetap berada dirumah suami tanpa hubungan suami istri sampai rujuk selesai. Apabila tidak rujuk, maka berlanjut menjadi talak bain yaitu suami istri harus berpisah total meskipun masih ada kesempatan kembali dengan pernikahan baru
- Khuluk : dalam Islam istri diberi kewenangan untuk menggugat cerai (khuluk) serta memberi syarat kapanpun bisa diceraikan. Serta hak mengadukan kepengadilan kezaliman yang menimpa dirinya.
- Talak Kedua : Apabila sudah rujuk terjadi perselisihan kembali, wajib mengikuti proses seperti talak satu, sampai terjadi talak kedua. Status talak kedua masih raj’i, yaitu suami bisa kembali kepada istrinya dalam iddah atau sesudahnya seperti perceraian pertama.
- Talak Ketiga : Apabila kedua suami istri yang rujuk setelah perceraian kedua lalu terjadi perselisihan kembali. Perceraian ketiga ini merupakan talak ketiga atau talak bain kubra, yang artinya mantan suami tidak boleh rujuk sampai istrinya telah pernah menikah dengan orang lain. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah ayat 162 :
“……Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….”
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Wanita)
Poligami
Dahulu bangsa-bangsa didunia melakukan poligami tanpa aturan. Ketika Islam datang, ia memberikan batas-batas dan aturan serta hanya bagi yang membutuhkan, mampu, dan yakin akan bertindak adil.
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, (kawinilah) seorang saja” (Q.S. An Nisa : 3)
Saat ini propaganda persamaan gender mengemuka dengan berbagai aturan perundangan yang memandang poligami sebagai kejahatan yang wajib diberi sanksi. Sementara hubungan lawan jenis diluar pernikahan sebaliknya.
Terdapat sejumlah kondisi pribadi yang membuat seseorang memiliki lebih dari satu istri. Misalnya ketika istrinya mandul atau menderita sakit yang tidak mungkin memberikan layanan kepada suaminya. Sebetulnya suami berhak menceraikan, namun ketika ia mempertahankan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain tentu lebih utama sekaligus membuat istri pertama tetap terhormat.
Peperangan membuat kondisi perempuan lebih banyak dari laki-laki. Disinilah poligami menjadi solusi terbaik secara moral dan kemanusiaan. Syariat Allah datang untuk menyelesaikan realita persoalan.
Orang Tua dan Anak
Islam mengatur hubungan antara orang tua dan anak. Di satu sisi, orang tua mereka wajib membimbing anak-anak mereka secara mnyeluruh baik dari sisi materi, psikologi, serta etika. Sementara disisi lain, anak wajib berbuat baik dan berperilaku terpuji kepada orang tua. Diantara bentuk pendidikan adalah kesempatan belajar anak di usia dini. Yaitu pendidikan yang dapat memberi bekalan kemampuan dan life skill.
Salah satu kewajiban masyarakat dan negara adalah memberikan pendidikan kepada kaum ibu dan anak-anak pada usia dini. Khususnya para yatim dan anak-anak terlantar seperti yang diajarkan Al Qur’an dan Sunnah mendorong untuk berbuat baik kepada mereka. Mereka berhak mendapatkan bagian dalam zakat, sedekah, dan harta rampasan perang.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Manusia)
Keluarga dalam Islam lebih luas cakupannya, bukan hanya komunitas kecil yang terdiri dari suami istri dan anak-anak, sebab meliputi kerabat dan saudara-saudara dekat. Menjaga hubungan dengan mereka adalah wajib, sementara memutusnya merupakan dosa besar.
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak serta karib-kerabat.” (Q.S. An Nisa : 56).
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)