0878 8077 4762 [email protected]

Tanda Iman dan Cinta

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Allah berfirman, “Katakan (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian…” (QS al-Baqarah: 31).
Itulah diantara tanda iman adalah cinta kepada Allah. Bahkan kecintaan orang beriman kepada Allah mengalahkan cintanya kepada yang lain. Cintanya kepada Allah mengalahkan cintanya kepada anak, orang tua, kerabat, harta dan segalanya.
Allah berfirman, “Orang-orang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS al-Baqarah: 165).
Hal ini karena orang beriman sadar bahwa Allah-lah yang menciptakannya, yang memberikan semua kebutuhannya, yang memberikan indera dan perasaan cinta padanya, yang menghadirkan orang-orang yang ia cinta, yang menuntun jalannya, hingga mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Lalu bagaimana perasaan cinta itu terwujud secara benar? Bagaimana cara mengaplikasikan rasa cinta sebagai wujud dari keimanan? Dengan kata lain, apa tanda iman dan cinta yang hakiki?
Menurut para ulama, ayat di atas merupakan standar untuk membedakan antara orang yang benar-benar cinta kepada Allah dan orang yang hanya sekedar mengaku cinta.
Orang yang benar-benar mencintai Allah adalah yang mau mengikuti  ajaran dan keteladanan yang dihadirkan oleh Nabi SAW. Sementara, yang tidak mengikuti atau tidak mau mengikuti beliau, maka pengakuan iman dan cintanya tidak bisa diterima.
Dengan demikian, jika ada orang yang mengaku beriman tetapi tidak mau melaksanakan ibadah shalat, tidak mau berpuasa, tidak mau membayar zakat, dan tidak mau melaksanakan berbagai  ajaran Nabi SAW, dengan alasan yang penting memiliki akhlak baik, maka ini bertentangan dengan bunyi ayat di atas. Sebab, Rasul SAW adalah orang yang paling hebat ibadahnya.
Jika ada orang yang mengaku beriman akan tetapi tidak menunjukkan akhlak mulia, pembicaraannya kasar, ungkapannya penuh dengan fitnah dan caci maki, sering menipu dan berbohong, maka ini bertentangan dengan bunyi ayat di atas, sebab Rasul SAW adalah orang yang berakhlak mulia.
Jika ada orang yang mengaku beriman, akan tetapi malas beribadah dan akhlaknya kurang baik, dengan alasan yang penting hatinya  bersih dan mulia, ini juga bertentangan dengan ayat diatas. Pasalnya Rasul SAW adalah orang yang berhati bersih sekaligus banyak beribadah dan berperangai terpuji.
Jadi ayas diatas merupakan standar untuk mengukur sejauh mana kualitas keimanan dan cinta kita kepada Allah SWT. Mukmin sejati adalah yang memerhatikan  ibadah, akhlak, dan kebersihan hati. Inilah yang terpancar dari pribadi Nabi SAW.
Selanjutnya manakala seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh menyelaraskan hidupnya dengan apa yang telah dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi SAW, seperti bunyi ayat di atas,  ia akan mendapatkan cinta Allah SWT; sebuah kedudukan mulia yang hanya diberikan kepada orang-orang istimewa. Disamping itu, secara otomatis ia juga akan mendapatkan jaminan untuk masuk ke dalam surga-Nya.
Rasul SAW bersabda, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang tidak mau?” “Ya Rasulullah, ada yang tidak mau?” tanya sahabat. Beliau menjawab, “Yang mengikuti akan masuk surga. Sementara yang tidak mengikutiku, berarti ia tidak mau (masuk surga).”
Wallahu a’lam.

Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 360 – 12 Februari 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman: BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Bersenda Gurau dalam Islam

Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan
 
Islam adalah agama yang sempurna, sesuai dengan fitrah dan hajat hidup manusia. Di antara hajat itu adalah hajat untuk relaksasi dan menenangkan pikiran. Manusia bukanlah robot yang  hanya memiliki fisik dan seperangkat program berpikir, tetapi Allah SWT juga menciptakan jiwa dalam dirinya. Sehingga manusia dikatakan utuh jika dia mampu menjalankan fungsi fisik, akal, dan jiwanya. Agama dikatakan sempurna ketika mampu memberikan solusi atas kebutuhan-kebutuhan itu.
Bergurau adalah salah satu kebutuhan jiwa. Dengannya jiwa menjadi segar, hidup, dapat mengobati kesedihan, melupakan kepenatan dan amarah. Sehingga kita dapati dalam sejarah hidup manusia sejak dahulu adanya hal-hal yang unik, lucu, dan menghibur. Semua ini dalam rangka menjaga keseimbangan pada diri manusia. Namun kita juga mendapati dan melihat, adanya gurauan yang menyakitkan, membangkitkan kebencian, dan melecehkan, sehingga lahirlah permusuhan dan pertengkaran di antara manusia. Jauh dari menghibur dan membuat segar jiwa. Ada juga gurauan yang berlebihan sehingga melupakan hal-hal yang lebih utama dan penting, yang justru meruntuhkan wibawa pelakunya.
Nabi Muhammad juga Bersenda Gurau
Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bergurau, tersenyum, tertawa, dan mencandai para sahabatnya, sampai-sampai mereka bertanya:
Wahai Rasulullah, engkau mencandai kami? Beliau menjawab: “Tidaklah aku berkata kecuali yang benar.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Dalam riwayat lain, “Aku juga bergurau tapi tidaklah aku berkata kecuali benar adanya.” (HR. Alauddin Al Hindi, Kanzul ‘Ummal)
Imam Abu Daud dan Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah adu cepat lari sebanyak dua kali bersama istrinya, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, yang pertama ‘Aisyah pemenang dan yang kedua ‘Aisyah kalah. “
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bercanda dengan sahabatnya bernama Zahir, beliau menganggetkannya dengan cara memeluknya dari belakang dan menutup mata Zahir ketika berjualan di pasar, dan seterusnya.
Dari Anas bin Malik, ia berkata,“Sungguh, ada seorang lelaki meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah kendaraan untuk dinaiki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Aku akan memberimu kendaraan berupa anak unta.’ Orang itu (heran) lalu berkata, ‘Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta itu?’ Nabi bersabda, ‘Bukankah unta betina itu tidak melahirkan selain unta (juga)?’.”(HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Orang-Orang Shalih Juga Bergurau
Bakr bin Abdullah mengisahkan, “Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (bergurau dengan) saling melempar semangka. Tetapi, ketika mereka dituntut melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh, maka mereka adalah para kesatria.” (Lihat Shahih al-Adabul Al Mufrad No. 201).
Pada suatu hari, Imam Asy Sya’bi Rahimahullah bergurau, maka ada orang yang menegurnya dengan mengatakan, “Wahai Abu ‘Amr (Imam Asy Sya’bi, pen), apakah kamu bercanda?” Beliau menjawab, “Seandainya tidak begini kita akan mati karena bersedih.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, 2/214).
Berikut ini adalah adab-adab dalam bergurau yang mesti diperhatikan:
Pertama, hindari berbohong. Tidak sedikit manusia berbohong hanya untuk mencari perhatian dan tawa manusia. Kadang mereka mencampurkan antara yang fakta dan kebohongan atau ada yang bohong sama sekali. Islam mengajar umatnya untuk jujur baik dalam serius maupun candanya.
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang hamba tidak dikatakan beriman dengan sepenuhnya kecuali jika dia meninggalkan berbohong ketika   bergurau, dan meninggalkan berdebat meski ia benar.” (HR. Ahmad).
*bersambung
 
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 359 – 5 Februari 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman: BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Demo Kaum Miskin

Oleh: Rasyid Bakhabazy, Lc
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang faqir dari kaum muhajirin, mendatangi Rasulullah SAW lalu mereka berkata: “Orang orang kaya itu pergi dengan mendapatkan derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi!”
Rasul SAW bertanya : “Apa itu?” Mereka menjawab: “Mereka shalat sebagaimana kami juga bisa shalat, mereka puasa sebagaimana kami juga puasa namun mereka bisa bersedekah dan kami tidak bisa bersedekah, mereka bisa membebaskan budak tapi kami tidak bisa.”
Maka Rasulullah SAW berkata: “(Maukah kalian jika) aku ajarkan pada kalian sebuah amalan yang dengannya kalian bisa menyusul orang yang telah mendahului kalian dan melampaui orang yang sesudah kalian? Dan tidak ada seoarang pun yang lebih baik dari kalian kecuali orang yang melakukan sepertiapa yang kalian kerjakan
Mereka menjawab: “Ya (kami mau) Ya Rasulullah!”. Rasulullah SAW bersabda : “Bertasbihlah dan bertakbirlah dan bertahmidlah setiap selesai shalat sebanyak 33 kali
Maka orang-orang fakir dari muhajirin itu kembali kepada Rasulullah SAW lalu mereka berkata: “Ternyata saudara-saudara kami yang kaya itu mendengar apa yang kami lakukan. Lalu mereka pun melakukannya”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Itulah karunia Allah yang Dia berikan pada siapa yang Dia kehendaki” (HR.Muslim).
Dari hadits diatas terdapat sejumlah pesan yang terkandung di dalamnya, diantaranya ialah
Pertama, hadits diatas menunjukkan adanya kelompok ekonomi lemah pada generasi sahabat Nabi SAW. Padahal mereka adalah sebaik-baik generasi. Seperti yang sebutkan oleh Rasulullah SAW. “Sebaik baik generasi adalah generasiku, kemudian yang sesudahnya, lalu generasi yang sesudahnya“ (Syarhus Sunnah – Al Baghawy).
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran baiknya sebuah generasi tidaklah dilihat dari sisi materi. Jika ukuran kebaikan itu dengan materi tentunya Allah SWT akan jadikan semua sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang kaya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Karena ukuran kebaikan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketaqwaan.
Kedua, betapa semangatnya para sahabat Nabi SAW untuk bisa beramal. Sehingga para sahabat yang ekonominya lemah merasa iri pada orang-orang kaya yang mampu bersedekah sementara mereka tidak bisa bersedekah. Allah SWT berfirman “Dan mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infaqkan“ (QS. At Taubah : 92).
Bedanya sahabat nabi dengan orang zaman sekarang adalah para sahabat itu sedih karena tidak bisa bersedekah sementara orang zaman sekarang sedih karena tidak “kebagian” sedekah.
Ketiga, hadits di atas mengisyaratakan besarnya pahala sedekah. Dan inilah yang menggoda para sahabat untuk akhirnya mendatangi Nabi SAW supaya tidak kehilangan pahala besar dari sedekah.
Allah SWT berfirman : “Perumpamaan (sedekah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang mensedekahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).
Keempat, isyarat akan besarnya pahala dzikir (tasbih, tahmid & takbir). Dalam keterangan hadits disebutkan: (membaca) Alhamdulillah (pahalanya) bisa memenuhi mizan (timbangan amal), dan Subhanallah, Alhamdulillah & Allahu Akbar (pahalanya) bisa mengisi penuh ruang yang ada antara langit dan bumi (HR. Ahmad dari Abi Malik Al Asy’ari ra.).
Kelima, disyari’atkan berdzikir dengan membaca tasbih, tahmid & takbir masing-masing 33 kali setelah selesai shalat. Sementara tentang urutannya adalah bisa dengan tasbih, takbir lalu tahmid seperti yang tersebut dalam hadits diatas, atau tasbih, tahmid lalu takbir seperti yang umum dilakukan. Di dalam hadits disebutkan: “Sebaik-baik bacaan ada empat: Tidak jadi masalah dengan yang mana akan kamu memulainya: Subahanallah (tasbih) wal Hamdulillah (tahmid) wal Laa ilaaha illah (tahlil) wallaahu Akbar (takbir)”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Wallahua’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 321 – 30 Januari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Bahaya Dusta

Oleh : Fauzi Bahreisy
 
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Mendekati kiamat akan muncul para pendusta. Maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR Muslim).
Hadits diatas menggambarkan kondisi akhir zaman. Satu kondisi yang tampaknya mulai terasa sekarang seiring dengan melemahnya nilai-nilai iman.
Saat ini orang sudah tidak merasa risih berdusta. Bahkan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan masuk ke dalam seluruh sendi kehidupan. Mulai dari lingkungan keluarga, pendidikan, bisnis, hiburan, politik, birokrasi hingga pemerintahan. Semuanya tidak lepas dari praktek dusta, kecurangan, dan kepalsuan.
Ada yang berdusta untuk kepentingan dunia; untuk mendapatkan harta, tahta, dan wanita.  Ada yang berdusta untuk mencelakakan saudaranya karena dendam dan kebencian. Ada juga yang berdusta karena canda, hobi, dan kebiasan. Akhirnya virus penyakit dusta ini menyebar ke mana-mana.
Cukuplah kita memahami bahaya besar dari dusta ketika Allah menyebutkannya dalam Al Qur’an sebanyak 280 kali seraya memberikan ancaman keras kepada orang yang biasa berdusta sekaligus menafikan keimanannya. Di antaranya Allah befirman, “Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang boros dan pendusta.” (QS Ghafir: 28). “Celaka bagi orang yang pembohong dan pendosa.” (QS al-Jatsiyah: 7). “Orang yang mengadakan kebohongan adalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka adalah para pendusta.” (QS an-Nahl: 105).
Peringatan Allah tersebut tidak lain untuk kemaslahatan manusia. Pasalnya dusta bisa mendatangkan berbagai dampak buruk dan bahaya sebagai berikut:
Pertama, dusta membuat pelakunya tidak bisa tenang dan selalu merasa gelisah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jujur mendatangkan ketenangan, sementara dusta mendatangkan keragu-raguan (kegelisahan).” Bagaimana bisa tenang, orang yang berdusta akan selalu dibayang-bayangi oleh rasa takut dan khawatir kalau kebohongannya diketahui orang.
Kedua, dusta menjadi penyebab jatuhnya citra, nama baik, dan kehormatan si pelaku. Orang menjadi kehilangan kepercayaan padanya.
Bayangkan kalau dalam satu komunitas satu dengan yang lain sudah tidak saling mempercayai?!
Ketiga, dusta menjadi bagian dari bentuk kemunafikan sehingga mengancam eksistensi iman. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Tanda orang munafik ada tiga, yaitu:
1.       Apabila berbicara ia berdusta
2.       Apabila berjanji ia ingkar, dan
3.       Apabila dipercaya ia khianat
Keempat, kalaupun si pendusta selamat dan aman di dunia dimana ia berhasil membungkus segala kepalsuan, kedustaaan, dan kebohongannya dengan berbagai macam intrik dan tipudaya sehingga orang tetap percaya, maka di sisi Allah ia tidak akan bisa selamat. Bahkan dalam hadits disebutkan. “Dusta  mengantar pada kejahatan, dan kejahatan mengantar kepada neraka. Manakala seseorang terus berdusta dan berusaha berdusta, ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR al-Bukhari)
Karena itu, tidak ada jalan lain kalau kita ingin hidup tenang, bahagia, tehormat, dipercaya dan sukses dunia akhirat  maka jalannya adalah menghias diri dengan kejujuran.
Kejujuran adalah modal dasar orang-orang istimewa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman, “Ceritakan (wahai Muhammad SAW) kisah Ibrahim dalam al-Kitab (Al Qur’an). Ia adalah orang yang jujur dan juga seorang Nabi.” (QS Maryam: 41). “Ceritakan (wahai Muhammad SAW) kisah Idris dalam al-Kitab (Al Qur’an). Ia adalah orang yang jujur dan juga seorang Nabi.” (QS Maryam: 56). Nabi Yusuf ‘Alaihissalam juga disebut dan dikenal sebagai orang jujur (lihat QS Yusuf: 46). Apalagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sejak muda beliau dikenal sebagai sosok yang jujur dan dapat dipercaya.
Wallahua’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 355 – 8 Januari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
 

Berlomba dalam Kebaikan

Oleh: Iman Santoso, Lc
 
Kualitas keislaman seseorang adalah sejauhmana dia mampu melaksanakan amal-amal berkualitas dan meninggalkan perbuatan yang tidak berguna apalagi mengandung dosa. Rasulullah SAW bersabda: ”Diantara kebaikan Islam seseorang, ia meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna”.
Sedangkan hidup ini adalah kumpulan dari hari-hari, maka sangat merugilah orang yang menyia-nyiakan waktunya. Keimanan akan senantiasa mendorong dan memotivasi orang beriman untuk senantiasa beramal dan berlomba dalam setiap medan kebaikan.
Berlomba dalam Kebaikan (Musabaqoh Fil Khairaat)
Orang beriman memahami bahwa kewajiban yang ditugaskan lebih banyak dari waktu yang tersedia. Oleh karenanya, ia terus-menerus beramal dan keimanan itu memotivasi dirinya untuk tetap beramal dalam kondisi apapun. Bagi orang beriman tidak ada istilah menganggur dan tidak punya kerjaan karena amal shalih dan ibadah itu banyak sekali bentuk dan macamnya.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa sebagian sahabat bertanya pada Rasulullah saw. ”Wahai Rasulullah SAW orang-orang kaya telah memborong pahala kebaikan, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa. Dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka“. Rasul SAW bersabda: ”Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian bisa sedekah? Bahwa setiap tasbih sedekah, setiap takbir sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah, setia amar ma’ruf sedekah, setiap nahi mungkar sedekah. Dan seseorang meletakkan syahwatnya (pada istrinya) sedekah”. Sahabat bertanya: ”Apakah seseorang menyalurkan syahwatnya dapat pahala? Rasul SAW menjawab: “Ya, bukankah jika menyalurkannya pada yang haram akan mendapat dosa? Begitulah jika menyalurkan pada yang halal maka akan mendapat pahala”.
Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang-orang beriman memiliki motivasi tinggi dalam beramal dan senantiasa belomba dalam kebaikan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kebaikan dan pahala. Dan hadits ini juga menerangkan betapa amal shalih itu banyak dan beragam bentuknya. Ketika kita melakukannya, dan dengan niat karena Allah, maka itu bagian dari sedekah dan kontribusi kita pada umat dan bangsa.
Lapangan hidup bagi orang beriman tidaklah sempit, bukan hanya rumah dan tempat mencari nafkah saja. Tetapi lapangan hidup orang beriman adalah bumi dan seisinya dengan berbagai macam aktivitasnya. Apalagi jika orang beriman terlibat dengan aktivitas dakwah, maka ia akan mendapatkan banyak manfaat dan kebaikan dari dunia ini.
Dan potret kehidupan yang luas dan diisi dengan semangat perlombaan ini sangatlah banyak pada orang-orang beriman generasi terbaik dari umat ini.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra berkata: ”Rasulullah SAW melewati Abdullah bin Mas’ud, saya dan Abu Bakar bersama beliau dan Ibnu Ma’sud sedang membaca Al-Qur’an. Maka Rasulullah SAW bangkit dan mendengarkan bacaannya, kemudian Abdullah ruku dan sujud. Berkata Umar ra, Rasul SAW bersabda: ”Mintalah pasti akan dikabulkan, mintalah pasti akan dikabulkan”. Berkata Umar ra. Kemudian Rasulullah SAW berlalu (dari Ibnu Mas’ud ra) dan bersabda: ”Barangsiapa ingin membaca al-Qur’an seindah sebagaimana diturunkan, maka bacalah sebagaimana bacaan Ibnu Ummi Abdi (Ibnu Mas’ud)”. Berkata (Umar): ”Maka saya bersegera di malam hari datang menuju rumah Abdullah bin Mas’ud untuk menyampaikan kabar gembira apa yang dikatakan Rasulullah SAW, berkata (Umar): ”Tatkala saya mengetuk pintu atau berkata agar (Ibnu Mas’ud) mendengar suaraku, berkata Ibnu Mas’ud ra. “Apa yang membuatmu datang pada saat seperti ini?”. Saya (Umar) berkata : “Saya datang untuk menyampaikan kabar gembira (padamu) sebagaimana apa yang telah dikatakan Rasulullah SAW“. Berkata Ibnu Mas’ud ra. “Abu Bakar telah mendahuluimu”. Saya berkata: ”Apa yang dia lakukan, dia selalu menang dalam perlombaan kebaikan, tidaklah saya berlomba untuk suatu kebaikan pasti dia (Abu Bakar) telah mendahuluiku” (HR Ahmad).
Itu adalah motivasi keimanan yang menggerakkan orang-orang beriman untuk senantiasa berlomba dalam kebaikkan. Abu Bakar dan Umar telah mencontohkan yang terbaik dalam setiap perlombaan kebaikan. Begitulah kondisi mereka tidak pernah meninggalkan pintu-pintu kebaikan, kecuali mereka cepat melaksanakannya dengan motivasi yang kuat. Hal ini hanya dimiliki oleh orang-orang beriman yang selalu siap untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka yaitu pahala, keridhaan dan surga Allah.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman. Edisi 352 – 4 Desember 2015. Tahun ke-8.
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan. Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya