MUI Diminta Segera Terbitkan Fatwa Uang Elektronik

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) diharapkan dapat segera menerbitkan fatwa mengenai uang elektronik berbasis syariah. Saat ini diketahui sudah terdapat bank syariah yang memiliki uang elektronik.
Pengamat Ekonomi Syariah SEBI (School of Islamic Economics), Aziz Setiawan menilai, sudah saatnya DSN MUI untuk menerbitkan fatwa tentang uang elektronik secara khusus. Terlebih dalam praktiknya sudah ada bank syariah yang menerbitkan dan menyusul bank-bank syariah lainnya.
“Kita berharap fatwa yang akan diterbitkan bisa secara detail menjawab hal teknis yang berkembang dan juga bisa mengikat bagi penerbit uang elektronik syariah. Saat ini bank syariah sebagai penerbit terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan rambu-rambu syariah yang kurang tegas dan jelas dari DSN MUI,” ujar Aziz kepada Republika.co.id, Jumat (22/9).
Aziz menilai, masing-masing bank memang meminta persetujuan produk dari Dewan Pengawas Syariah masing-masing, namun publik belum mengetahui konstruksi akad fikihnya secara detail. Akad fikih yang perlu dijelaskan detail misalnya dasar akad yang membolehkan pengambilan biaya (fee).
“Jadi perlu fatwa DSN untuk penyeragaman dan menjadi clear konstruksinya,” imbuhnya.
Secara umum, uang elektronik adalah alat pembayaran yang sah berdasarkan ketentuan Bank Indonesia (BI) dan tidak terdapat perbedaan signifikan dalam fungsinya dengan uang kertas dan uang logam. Lalu apakah isi ulang uang elektronik ini termasuk jual beli mata uang?
Fatwa MUI Sementara Terkait Sharf
Menurut Aziz, secara umum proses isi ulang uang elektronik adalah pertukaran atau jual beli mata uang. Pertukaran atau jual beli mata uang baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis dikenal dengan istilah sharf.
DSN-MUI telah mengeluarkan pendapat syariah terkait sharf melalui Fatwa DSN nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
“Dalam perkembangannya, produk uang elektronik yang bersertifikat syariah dari DSN MUI secara umum menggunakan kaidah fatwa di atas,” tutur Aziz.
Skema syariah yang dilakukan adalah fee yang didapatkan penerbit bukan dari transaksi yang dilakukan, melainkan mendapatkan fee dari biller atau agen karena membantu membayarkan.
Terkait biaya isi ulang yang saat ini sedang diatur oleh Bank Indonesia (BI), khusus untuk uang elektronik bank syariah harus menggunakan kaidah seperti di atas, karena belum ada fatwa baru yang terbit terkait biaya isi ulang ini.
Potensi Riba dari Kelebihan Dana
 
“Isi ulang yang dikenakan biaya bisa masuk dalam kategori riba yang dilarang secara Syariah,” kata Aziz.
Lebih lanjut ia menuturkan, pertukaran Rupiah (uang kertas) dengan Rupiah (uang elektronik) maka berlaku hukum sharf, yaitu harus senilai (sama nilainya) dan tunai. Jika ada kelebihan dari diantara salah satu rupiah maka kelebihan itu cenderung menjadi riba.
Jika seseorang melakukan isi ulang uang elektronik, misalkan dengan menggunakan uang kertas Rp 50 ribu,-, akan tetapi saldo yang tersimpan dalam chip uang elektronik hanya sebesar Rp 49.000, maka kelebihan Rp 1.000,- yang diterima penerbit kartu adalah dikategorikan riba. Sama halnya dengan isi ulang Rp 50 ribu,- diharuskan membayar Rp 51.000,-.
“Pendapatan penerbit seharusnya bisa dikembangkan dari sumber yang lain seperti fee dari agen atau fee membership seperti dalam ketentuan kartu kredit syariah,” ujar Aziz.
Sebelumnya Bank Indonesia (BI) menyebutkan rencana menerbitkan ketentuan biaya isi ulang uang elektronik. Sementara itu saat ini DSN MUI sedang menyusun fatwa mengenai uang elektronik syariah.
 
Sumber : Republika

Belajar Mengambil Ilmu dari Ulama Lain

Salah seorang dosen Syari’ah di kuwait melakukan sebuah “percobaan” kepada para mahasiswanya dengan mengubah sejumlah nama ulama terhadap beberapa fatwa.

  • Fatwa Syaikh Bin Baz (Arab), beliau ganti dengan Syaikh Al-Bouthiy (Suriah)
  • Fatwa Syaikh Utsaimin (Arab), beliau ganti dengan Syaikh Asy-Sya’rawiy (Mesir)
  • Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan An-Najdiy (Arab), beliau ganti dengan Syaikh Al-Ghumari (Maroko) , dll.

Kebanyakan para mahasiswa memilih fatwa Syaikh Bin Baz, Syaikh Al-Utsaimin, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan.
Tatkala mereka ditanya alasan mereka memilih fatwa Syaikh Bin Baz, Syaikh ‘Utsaimin, dan Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan?
Mereka menjawab: sebab para ulama tersebut diatas Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak sebagaimana fatwa Syaikh Al-Bouthiy, Syaikh Asy-Sya’rawiy, dan Syaikh Al-Gumari.
Kemudian mereka (para mahasiswa ini) di buat tercengang oleh sang Dosen.
Karena fatwa-fatwa yang mereka pilih tadi yang mereka anggap fatwa Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan (dengan alasan bahwa fatwa-fatwa itu berdiri di atas Al-Quran dan As-Sunnah) ternyata sebenarnya adalah fatwa Syaikh Al-Bouthiy, Syaikh As-Sya’rawi, dan Syaikh Al-Ghumari.
Kemudian sang dosen menjelaskan pada segenap mahasiswanya dengan penjelasan yang logis dan menyentuh hati bahwa mereka.
Ternyata umumnya kita hanya mengikuti kebenaran berdasarkan nama-nama tokoh semata, bukan berdasarkan dalil dan kedekatan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Demikianlah fakta diantara fakta-fakta yang terjadi di tengah ummat masa kini.
Mudah-mudahan Allah memberi kita hidayah kepada jalan yang lurus.
 
Dosen tersebut bernama:
Syaikh Dr. Yasir ‘Ujail An-Nasymi.

Hoax, MUI Bantah Keluarkan Fatwa Haram Pasang Bendera di Masjid

Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons berita bohong atau hoax terkait haramnya pemasangan bendera merah putih di masjid. Hoax tersebut beredar di https://muipusat.wordpress.com.
“Berita tersebut (pemasangan bendera di masjid) palsu dan fitnah,” tegas Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh melalui pesan tertulis, Rabu (16/8/2017).
Pihaknya meminta masyarakat untuk tidak menyebarkan berita tersebut karena berpotensi merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Asrorun menyatakan, sikap MUI terkait kehidupan berbangsa dan bernegara, tentang hubungan agama dan negara, semua sudah tertuang dalam produk fatwa dan kebijakan MUI.
Ia juga meminta masyarakat mewaspadai upaya adu domba, saling menghina dan saling fitnah yang ujungnya pihak tersebut ingin Indonesia jadi negara yang tidak aman.
“Kita minta Kominfo menutup dan mencegah meluasnya hoax tersebut. Kita koordinasi dengan Kominfo dan sudah terdeteksi akun pembuatnya,” jelas Asrorun.
MUI meminta pula penegak hukum mencari dan menindak tegas penyebar hoax tersebut.
Sebelumnya beredar tulisan yang soal fatwa haram MUI tentang pemasangan bendera di masjid dalam sebuah situs di Internet. Dalam tulisan terpampang foto sejumlah pengurus MUI.
 
Sumber : Liputan6

Apakah Melakukan Demonstrasi Termasuk Bid'ah?

Demontrasi adalah berkumpulnya sekelompok orang secara terang-terangan untuk menyampaikan sebuah permintaan kepada pemimpin. Permintaan tersebut sifatnya bukanlah untuk kepentingan individu semata, tetapi untuk kepentingan masyarakat luas.
Demontrasi terdiri dari dua unsur, dimana keduanya sama-sama boleh untuk dilakukan;

  1. Sebatas melakukan perkumpulan, dan ini tidak ada larangan, karena tidak ada dalil yang melarangnya.
  2. Tuntutan untuk menerapkan sebuah aturan yang baik atau membatalkan peraturan yang merugikan orang lain.

Demontrasi adalah sarana untuk melakukan tuntutan tersebut, dan hukum dari penggunaan sarana tersebut sesuai dengan hukum dari tujuan penggunaannya. Pada dasarnya, menuntut sesuatu yang memang dibutuhkan kepada seorang pemimpin adalah perkara yang sesuai dengan syari’at.
Sebab, tugas dari seorang pemimpin adalah menutupi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengancam para pemimpin yang menutup dirinya dari orang-orang yang membutuhkan bantuan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Barang siapa yang dijadikan pemimpin untuk mengurus kepentingan ummat Islam, lalu ia bersembunyi dari kebutuhan, kemiskinan, dan kefakiran mereka (menahan hak mereka), maka  Allah juga tidak akan memenuhi kebutuhan dan permintaan mereka.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah saw bersabda,
Barang siapa yang diberikan kedudukan untuk mengatur urusan kaum muslimin, kemudian ia menahan hak dari orang yang lemah dan fakir, maka Allah tidak akan memenuhi kebutuhannya pada hari kiamat.”
Bahkan Rasulullah saw mendorong para sahabat agar mereka bisa menjadi perantara untuk memenuhi kebetuhan orang lain. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari abu Musa al-‘Asy’ari r.a, berkata, setiap kali Rasulullah didatangi oleh orang yang meminta bantuan atau ada yang sedang membutuhkan sesuatu, beliau berkata,
Jadilah kalian menjadi perantara (untuk kebutuhan orang lain), maka kalian akan mendapatkan pahala. Allah akan menetapkan sesuatu melalui lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki-Nya.”
Maknanya ialah, jadilah kalian menjadi perantara untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang memang sedang membutuhkan bantuan, maka kalian akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang kalian lakukan.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a.,
“Ketika Allah memberi rampasan fai kepada Nabi saw orang-orang anshar berkata, “Semoga Allah mengampuni Rasulullah, sebab beliau memberi bagian kepada Quraisy dan membiarkan kami-kami (tidak mendapatkan bagian), Padahal pedang kami masih meneteskan darah mereka.”
Lalu Anas berkata, maka hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw. Seketika itu pula Rasulullah langsung mengutus seseorang ke Anshar dan mengumpulkan mereka dalam sebuah kemah yang terbuat dari tanah liat. Tidak yang beliau undang selain mereka. Setelah semua Anshar berkumpul,
Rasulullah saw  berdiri dan bersabda, “Apa maksud protes yang telah kudengar dari kalian?
Para pemuka Anshar menjawab: “Adapun para pemimpin-pemimpin kami wahai Rasulullah, mereka sama sekali tak menyampaikan protes apapun, adapun generasi muda kami, memang mereka telah berkata: Semoga Allah mengampuni Rasulullah saw, sebab ia telah memberi bagian kepada Quraisy namun membiarkan kami-kami ini, padahal pedang kami masih meneteskan darah mereka.” Maka
Nabi saw memberi jawaban, “Sungguh aku memberi beberapa orang yang baru saja baru masuk Islam dengan maksud untuk menyatukan hati mereka dengan kita, apakah kalian tidak puas sekiranya manusia membawa harta sedang kalian membawa Nabi saw ke perumahan kalian? Demi Allah, apa yang kalian bawa pulang, jauh lebih istimewa daripada yang mereka bawa pulang.”
Mereka lantas berujar: “Wahai Rasulullah, kami semua sekarang telah ridha.”, Nabi berkata, “Kalian akan menemui pilihan yang berat, maka bersabarlah kalian hingga kalian bertemu dengan Allah dan Rasul-Nya saw, karena aku berada di telaga.” Anas berkata,”Namun mereka tidak bersabar”.
Hadits diatas menjadi dalil dibolehkannya untuk menyuarakan kepentingan masyarakat umum kepada pemimpin, sebab Rasulullah saw tidak melarang apa yang mereka lakukan.
Meskipun demikian, ada beberapa syarat-syarat dan aturan diperbolehkannya melakukan demonstrasi:

  1. Tuntutan yang diajukan bukanlah perkara yang bathil dan dilarang oleh syari’at.
  2. Demonstrasi yang dilakukan tidak disertai dengan simbol-simbol atau ucapan-ucapan yang dilarang oleh syari’at.
  3. Tidak melakukan perbuatan yang haram, seperti menyakiti orang lain atau merusak barang-barang milik orang lain atau bercampur antara laki-laki dan wanita.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa demontrasi adalah sebuah perbuatan yang terlarang dan termasuk perbuatan bid’ah yang berasal dari Barat, maka pendapat ini tidak benar.
Pasalnya, ia tidak termasuk dalam perkara ibadah, sehingga dikatakan sebagai perbuatan bid’ah.
Jika ada yang berkata, “Maksudnya adalah bid’ah yang berkaitan dengan adat (kebiasaan) yang berasal dari negara Barat.” Maka, pendapat tersebut juga tidak benar.
Demonstrasi sudah dikenal oleh kaum muslimin sejak dulu, terkadang ia dilakukan terhadap pemimpin mereka sendiri atau juga kepada para penjajah.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitab Hilyatul awliya dari asy-Sya’bi: “Sebaik-baik kaum ialah rakyat jelata, mereka mencegah terjadinya banjir, memadamkan kebakaran, dan melakukan protes terhadap para pemimpin yang zalim.”
Selain itu, tidak semua yang berasal dari negara Barat adalah sebuah hal yang tercela dan dilarang.
Di dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik ia pernah berkata, “Ketika Rasulullah hendak menulis surat kepada Romawi, ada yang berkata kepada beliau, “Mereka tidak akan membaca surat jika tidak diberi cap stempel. Lalu beliau menggunakan cincinnya yang terdapat ukiran bertuliskan “Muhammad Rasulullah.”
Imam at-Thabari meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab melakukan musyawarah dengan kaum muslimin di saat ia akan menetapkan undang-undang.
Lalu Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Engkau harus membagi-bagi harta yang masuk ke kas negara, dan jangan biarkan tersisa.”
Utsman bin Affan berkata, “Aku melihat bahwa harta kita sangat banyak, jika engkau tidak membagi-bagi siapa yang berhak untuk mendapatkannya dan siapa yang tidak, maka ia akan terbuang percuma.”
Walid bin Hisyam bin Mughirah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku baru saja datang dari Syam, aku melihat para pemimpin mereka mencatat setiap undang-undang yang ditetapkan dan membentuk sebuah pasukan. Catatlah undang-undang yang telah ditetapkan dan bentuklah pasukan.”
Umar bin Khattab pun memilih pendapatnya Walid bin Hisyam.”
Pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa Umar meniru beberapa model kepemimpinan dari bangsa lain selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kesimpulannya, bahwa pada dasarnya demonstrasi boleh untuk dilakukan. Hukum tersebut bisa berubah menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram sesuai dengan tujuan dan cara pelaksanaanya. Wallahu a’lam.
 
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 4015
Tanggal : 17-8-2011
Penerjemah dari Al Iman: Ust Fahmi Bahreisy, Lc

Azab Kubur dan Nikmatnya

Mohon penjelasan tentang azab kubur dan nikmatnya?
Jawaban :
Dalam aqidah Islam, azab dan nikmat kubur adalah peristiwa yang benar-benar akan terjadi. Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Azab kubur adalah Haq (benar)”.
Azab kubur adalah peristiwa yang diakui di dalam Islam dengan dalil-dalil yang begitu banyak, di antaranya:
Firman Allah ‘Azza wa Jalla yang berkaitan dengan Fir’aun dan kaumnya:
Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras“. (QS. Ghaafir : 45-46).
Maksud ayat di atas adalah bahwa keluarga Fir’aun akan ditenggelamkan dengan siksaan yang sangat buruk, yaitu mereka akan dihadapkan pada neraka setiap pagi dan sore, selama mereka berada di dalam kubur, hingga datangnya hari kiamat. Jika kiamat datang, dikatatakan kepada para malaikat:
Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras“. (QS. Ghaafir : 46).
Maksudnya adalah ke dalam siksa neraka yang sangat pedih.
Dalam ayat lain Allah berfirman tentang orang-orang fasiq dan kafir:
Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. As-Sajdah : 21).
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa “al ‘azaabil udnaa” adalah -azab yang paling dekat atau yang paling ringan- yaitu azab kubur, sedangkan “al ‘azaabil akbar“ adalah azab akhirat.
Allah juga berfirman:
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta“. (QS. Thaha : 124).
Abu Sa’id Al-Khudri dan Abdullah ibn Mas’ud mengatakan “ﺿﻨﻜًﺎ” maknanya adalah azab kubur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda : “Kubur adalah sebuah taman dari surga, atau sebuah jurang dari neraka” (HR. At-Tirmidzi).
Kalimat “atau sebuah jurang dari neraka” adalah dalil mengenai adanya azab kubur. Zir bin Hubaisy meriwayatkan dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Kami pernah meragukan tentang adanya azab kubur sehingga turun ayat :
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)”. (QS. At-Taktsur : 1 – 3).
Maksudnya adalah mengetahuinya di alam kubur.
Imam Bukhari dan Muslim serta Ibnu Abi Syaibah meriwayakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ya, (mereka diadzab dengan) adzab yang dapat didengar oleh binatang-binatang” (Musnad Ahmad).
Syaikhani dan Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa yang besar. Yang satu disiksa karena tidak menjaga diri dari kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba.”
Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah. Lalu beliau membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut.
Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?”
Beliau menjawab: “Semoga siksa keduanya diringankan selama dahan pohon ini masih basah”.
Abu Hurairah berkata : Kuburan orang kafir akan disempitkan sehingga tulang-tulang rusuknya patah di dalamnya, itulah dia penghidupan yang sempit.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : “Tahukah kaliah apakah penghidupan yang sempit? Mereka menjawab: “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.
Rasul berkata: “Itu adalah adzab kubur bagi orang-orang kafir. Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, mereka dililit 99 tinnin, tahukah kalian apa itu tinnin? Yaitu 99 ekor ular setiap ekor memiliki 7 kepala yang menyemburkan api ke tubuh orang kafir itu, mematuknya dan mengoyaknya hingga hari kiamat, dan dia akan digiring dari kuburnya menuju tempatnya di padang mahsyar dalam keadaan buta”.
Diriwayatkan dari Hudzaifah, dia berkata : “Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadiri prosesi pengurusan jenazah, ketika sampai di kuburan beliau duduk di pinggirnya dan mengarahkan pandangannya ke kuburan itu, lalu bersabda : “Di dalam kubur seorang mukmin akan ditekan sehingga hancur otot-otot pada testisnya, sedangkan orang kafir akan di penuhi dengan api.
Kemudian beliau bersabda : “Maukah kalian aku beritahu hamba Allah yang paling jahat? Dialah orang yang keras dan sombong. Maukah kalian aku beritahu tentang hamba Allah yang paling baik? Dialah orang yang lemah dan tertindas serta hanya memiliki dua pakaian usang, jika dia bersumpah niscaya Allah akan mengabulkan sumpahnya itu”. (HR. Ahmad, al-Hakim dan At-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul).
Imam Ahmad, al-Hakim, at-Tirmidzi, at-Thabrani, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari, dia berkata : Pada suatu hari kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menghadiri jenazah Sa’ad bin Mu’adz. Setelah jenazahnya dishalatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimasukkan ke dalam kubur dan di tutup dengan tanah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertasbih dan kami pun ikut berstasbih cukup lama, lalu beliau bertakbir dan kami pun ikut betakbir.
Lalu salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau bertasbih lalu bertakbir?”, Beliau menjawab : “Tadi kubur hamba shaleh ini telah menyempit, hingga kemudian Allah ‘Azza wa jalla membuatnya lapang”.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka azab kubur adalah peristiwa yang ditegaskan di dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Sehingga seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh mengingkari adanya azab dan nikmat kubur.
Wallahu subhanahu wa ta’ala ‘alam.
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 260
Tanggal : 15/02/2005
Penerjemah al iman: Syahrul
Editor Ahli al iman: Fahmi Bahreisy, Lc

X