by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Jun 12, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sayyid Sabiq
Ijma’ ulama memutuskan bahwa seorang muslim yang berakal, sudah balig, sehat, dan mukim (tidak musafir) diwajibkan berpuasa. Bagi wanita, harus suci dari haid dan nifas. Jadi, orang kafir, orang gila, anak-anak, orang sakit, musafir, perempuan yang sedang haid atau nifas, orang tua, dan wanita hamil atau menyusui tidak diwajibkan berpuasa.
Di antara mereka ini, ada yang tidak diwajibkan berpuasa sama sekali, seperti orang kafir dan orang gila. Ada yang walinya diminta untuk menyuruhnya berpuasa. Ada yang wajib tidak berpuasa dan harus mengqadha. Ada yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan diharuskan membayar fidyah. Berikut ini penjelasannya:
1. Orang Kafir dan Orang Gila
Puasa merupakan ibadah dalam agama Islam, karena itu orang nonmuslim tidak diwajibkan berpuasa. Sedangkan orang gila tidak termasuk mukallaf karena keberadaan akal adalah tolok ukur masuknya seseorang menjadi mukallaf dan orang gila sudah kehilangan akalnya.
Ali ra., meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Pena (catatan amal perbuatan) diangkat dari tiga golongan: orang gila hingga akalnya kembali normal, orang tidur hingga ia bangun, dan anak kecil hingga ia bermimpi (balig).” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
2. Puasa Anak-Anak
Meskipun anak-anak tidak diwajibkan berpuasa, tetapi sang wali hendaklah menyuruhnya berpuasa agar si anak terbiasa berpuasa sejak kecil, selama anak itu mampu melakukannya.
Rubayyi’ binti Muawwidz meriwayatkan bahwa di pagi hari Asyura’,
Rasulullah mengirim utusan ke desa-desa kaum Anshar untuk menyampaikan, “Barangsiapa yang telah berpuasa dari pagi hari, hendaknya ia meneruskan puasanya, dan barangsiapa yang sejak pagi tidak puasa maka hendaknya ia berpuasa di waktu yang tersisa.”
(Baca juga: Ancaman Bagi yang Tidak Berpuasa Ramadhan)
Setelah itu, kami pun berpuasa di hari Asyura, dan kami menyuruh anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa. Kami membawa mereka ke masjid. Kami buatkan mereka boneka dari bulu domba. Jika ada yang menangis karena lapar, kami berikan boneka itu. Begitu terus hingga tiba waktu berbuka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sumber :
Fiqih Sunah Jilid I, Sayyid Sabiq, Penerbit Al-I’tishom Cahaya Umat
by Syahrul syahrul | Feb 26, 2016 | Fatwa
Pertanyaan : Ada sebagian orang menamakan diri mereka dengan Ahlul Qur’an dan Hadits atau Ahlu At-Tauhid, sedangkan mereka memiliki beberapa prinsip :
- Mengingkari Ijma’ dan Qiyas sebagai hujjah
- Dilarang mengikuti salah satu mazhab dari mazhab yang empat atau lainnya dan mewajibkan kepada setiap orang untuk berijtihad walupun mereka tidak mengerti bahasa Arab.
- Tidak membolehkan berhujjah dengan perkataan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum karena mereka mengklaim bahwa para sahabat telah menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallim.
Jawaban :
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah washsholatu wassalaamu ‘ala sayyidina Rasulillah SAW.
Pernyataan sesat tersebut tidak boleh dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak juga kepada Ahlul Hadits dan Ahlurra’yi, bahkan tidak termasuk ke dalam salah satu mazhab yang ada di dalam Islam.
Sesuai dengan kesepakatan para ulama bahwa Ijma’ adalah salah satu hukum Islam yang sudah jelas kedudukannya, yang tidak boleh dilanggar. Ia telah menjadi identitas Islam dan merupakan bagian dari Islam yang diketahui secara pasti.
Adapun dalil yang berkaitan dengan hal tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa’ : 115).
Hadits-hadits yang telah di riwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa umat Islam tidak akan bersepakat (berijma’) dalam kesesatan.
Demikian juga kalangan yang menerima adanya Qiyas dari kalangan Fuqaha’ telah sepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah dengan syarat-syarat tertentu yang telah digariskan di dalam kitab-kitab ushul. Bahkan sekelompok dari Fuqaha’ berfatwa bahwasanya kalau seandainya para Fuqaha’ diberikan harta wakaf, maka golongan yang mengingkari qiyas tidak berhak mendapakan bagian darinya.
Sedangkan sebuah pernyataan yang mewajibkan ijtihad bagi setiap orang, walaupun orang tersebut tidak mengerti bahasa Arab dan pernyataan yang mengharamkan taqlid (mengikuti) mazhab yang empat dan yang lainnya, itu semua adalah sebuah sikap yang bodoh yang tidak pantas disematkan kepada orang-orang yang berakal. Karena membebankan orang-orang awam untuk berijtihad sama dengan membebankan orang yang lumpuh untuk melakukan penerbangan, dan Itu adalah kewajiban di luar batas kemampuan.
Apabila ia berpendapat bahwa mengikuti mazhab yang empat adalah perbuatan yang haram, maka hal ini sama saja dengan melakukan penghancuran terhadap pondasi-pondasi Islam atas nama Islam, dan menghilangkan sunnah dengan klaim bahwa ia berpegang kepada sunnah. Dengan demikian, para ulama wajib melakukan intervensi untuk memerangi fitnah tersebut, yang telah menyebarkan pernyataan-pernyataan sesat.
Adapun yang berkaitan dengan hujjah atau tidaknya perkataan para sahabat yang berselisih, maka itu termasuk perkara khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, yang mana pembahasan tentang hal tersebut telah dijelaskan di dalam kitab-kitab ushul.
Akan tetapi, diwajibkan kepada setiap muslim untuk menjaga adab terhadap sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menemani sebaik-baik makhluk-Nya yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka adalah orang-orang yang membawa Islam dan yang menyampaikan syari’at-Nya. Sehingga mencela mereka dengan sengaja adalah bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan termasuk adab yang tercela terhadap mereka radhiallahu ‘anhum. Akan tetapi berbaik sangkalah kepada mereka dengan mengatakan: ini adalah derajat ilmunya fulan, atau: kemungkinan hadits ini belum sampai kepadanya, atau: hadits ini menurutnya radhiyallahu ‘anhu tidak shahih.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dan berusaha untuk mengikuti agama-Nya yang benar, serta tidak boleh mengambilnya dari sumber yang tidak jelas, sebagaimana Al-Imam Ahmad ibn Siiriin rahimahullah berkata : “Bahwa sesungguhnya ilmu itu adalah bagian dari agama maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama-mu”.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 39
Tanggal : 12/09/2006
Penerjemah : Syahrul
Editor Ahli : Fahmi Bahreisy, Lc