by Danu Wijaya danuw | Jul 26, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Jakarta – Kementerian Luar Negeri prihatin dan mengecam situasi di Kompleks Al Aqsha, Jerusalem .Dalam insiden itu, Sheikh Ikrima Sabri, Imam Masjid Al-Aqsa di Jerusalem Timur, terkena tembakan.
“Menlu RI telah lakukan pembicaraan per telepon dengan Menlu Jordania guna membahas situasi di Masjid Al-Aqsha,” ujar Juru Bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir.
Arrmanatha mengatakan, Pemerintah Indonesia juga mengecam langkah aparat keamanan Israel yang membatasi akses ke Kompleks Al-Aqsha.
Hal ini membuat umat Muslim tidak bisa beribadah dengan bebas sebagaimana haknya.
“Dalam kaitan ini Indonesia mendesak Israel untuk tidak mengubah status quo Kompleks Al-Aqsha, agar Masjid Al-Aqsha dan the Dome of the Rock tetap sebagai tempat suci untuk dapat diakses bagi semua umat Muslim,” kata Arrmanatha.
Pemerintah Indonesia juga meminta Israel segera memulihkan stabilitas dan keamanan di Kompleks Al-Aqsha.
“Indonesia juga mengajak semua pihak untuk menahan diri, agar situasi tidak memburuk,” lanjut dia.
Pernyataan Sikap MUI Terkait Penutupan Masjid Al-Aqsha
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan pernyataan sikap terkait penutupan Masjid Al-Aqsha yang dilakukan oleh pemerintah Israel.
Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan mengatakan, berdasarkan perkembangan situasi di Palestina, MUI mengutuk kebijakaan pemerintah Israel.
“Mengutuk keras kebijakan Zionis Israel yang menutup Masjid Al-Aqsha.” ujar Amirsyah saat membacakan konferensi pers di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Kamis (20/7).
Selain itu, MUI juga mendesak agar Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) segera mengadakan pertemuan khusus untuk membahas isu yang sangat sensitif tersebut. Menurutnya, kebijakan Israel terhadap Masjid Al-Aqsha adalah bentuk pelanggaran terhadap Piagam PBB tentang kebebasan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
“Meminta pemerintah Indonesia berinisiatif menekan Dewan Keamanan PBB supaya mengadakan sidang khusus,” katanya.
Tidak hanya itu, ia juga meminta agar umat Islam di Indonesia membaca qunut nazilah dan berdoa demi kedamaian, keselamatan, dan keamanan bangsa Palestina dalam menjaga tempat suci ketiga umat Islam tersebut.
“Mengingatkan Zionis Israel agar tidak memanfaatkan konflik internal negara-negara di kawasan Timur Tengah, khususnya Gulf Cooperation Council (GCC) untuk memperluas Yahudinisasi Palestina,” kata Amirsyah.
Presiden Jokowi Mengutuk Keras Israel
Presiden Joko Widodo mengutuk keras tindakan kekerasan pihak keamanan Isreal, yang telah menyebabkan tiga orang jemaah tewas dan lebih dari 100 luka-luka di kompleks Masjid Al Aqsa, Yerusalem, Jumat (21/7) kemarin.
Jokowi menyatakan bahwa Indonesia menolak segala bentuk aksi kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan terhadap jemaah yang berupaya menjalankan haknya untuk melakukan ibadah di Masjid Al Aqsha.
Presiden ketujuh RI ini juga mengecam pembatasan aktivitas ibadah di salah satu tempat suci umat Islam itu.
“Indonesia mengecam keras, sekali lagi, Indonesia mengecam keras pembatasan beribadah di Masjid Al Aqsha. Indonesia juga mengecam keras jatuhnya tiga korban jiwa,” kata Jokowi.
Sikap tersebut disampaikan Jokowi ketika berada di Universitas Ahmad Dahlan Jogjakarta, Sabtu (22/7). Saat itu tutur mendampinginya Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Sebagai respons cepat terhadap hal tersebut, pemerintah Indonesia telah mengambil sikap dengan meminta Sekretaris Jenderal dan Dewan Keamanan PBB segera mengadakan sidang untuk membahas masalah itu.
Untuk diketahui, akses menuju Masjid Al Aqsadibatasi sejak Jumat pekan lalu. Aparat Israel memasang pendeteksi logam, serta pagar besi di salah satu gerbang masuk kompleks masjid yang akhirnya memicu amarah rakyat Palestina.
Disadur : SindoNews/Republika/JPNN
by Danu Wijaya danuw | Jul 23, 2017 | Sejarah
SALAH satu peristiwa yang paling luar biasa dan penting dari sejarah Islam baru-baru ini adalah Konflik Arab Israel. Konflik ini sangat kompleks, dan merupakan salah satu insiden paling bermasalah di dunia dalam hubungan internasional.
Salah satu aspek dari konflik ini adalah masalah pengungsi yang dimulai pada tahun 1948, dengan lahirnya Negara Israel. Lebih dari 700 ribu warga Palestina menjadi pengungsi tahun itu, kemudian dikenal sebagai “Nakba”, yang dalam bahasa Arab berarti bencana.
Latar Belakang Peristiwa
Pada tahun 1800, sebuah gerakan nasionalis yang baru lahir di Eropa. Zionisme adalah gerakan politik yang menganjurkan pembentukan negara Yahudi. Banyak orang Yahudi percaya bahwa memiliki negara mereka sendiri, sangat diperlukan dalam menghadapi diskriminasi dan penindasan oleh orang Eropa yang terjadi selama berabad-abad.
Setelah mereka berdebat mengenai lokasi di mana negara baru itu akan diciptakan melalui Kongres Zionis Pertama pada tahun 1897, gerakan Zionis memutuskan untuk menciptakan negara mereka di Palestina, yang merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman. Sultan Ottoman, Abdulhamid II, menolak rencana itu, termasuk menapikan pembayaran 150 juta pound dari Inggris yang diusulkan oleh Theodor Herzl, pendiri gerakan Zionis, dalam pertukaran untuk kepemilikan wilayah Palestina.
Pintu terbuka untuk Zionisme, pasca Perang Dunia Pertama. Selama perang, Inggris menaklukkan Palestina dari Ottoman pada tahun 1917. Di sekitar waktu yang sama, menteri luar negeri Inggris, Arthur Balfour, mengeluarkan deklarasi untuk gerakan Zionis menjanjikan dukungan Inggris bagi pembentukan sebuah negara Yahudi di Palestina.
Setelah perang, Palestina menjadi mandat Liga Bangsa-bangsa di bawah kendali Inggris pada tahun 1920. Sejak itu di bawah kontrol Inggris, gerakan Zionis menganjurkan emigrasi Yahudi Eropa ke Palestina. Hasilnya adalah kenaikan eksponensial dalam jumlah orang Yahudi yang tinggal di Palestina.
Menurut data sensus Inggris, pada tahun 1922, ada 83.790 orang Yahudi di Palestina. Tahun 1931, meningkat 175.138. Dan pada tahun 1945, jumlah itu melonjak menjadi 553.600 orang. Dalam 25 tahun, 11% orang-orang Yahudi telah pergi ke Palestina dari jumlah total populasi 31%.
Orang-orang Arab Palestina tidak antusias menyambut kedatangan Yahudi. Ketegangan antara pemukim baru Yahudi dan warga asli Palestina meletus pada berbagai kesempatan. Akhirnya, Inggris memutuskan pada tahun 1940-an bahwa mereka tidak lagi dapat mengontrol wilayah tersebut, dan memutuskan untuk mengakhiri mandat Palestina dan meninggalkan negara itu.
Rencana Liga Bangsa-Bangsa dan Kemerdekaan Israel
Melihat berakhirnya kontrol Inggris terhadap Palestina, dan terjadinya konflik yang tak terhindarkan antara orang Arab dan Yahudi, PBB yang baru dibentuk mengangkat masalah itu pada tahun 1947.
Hal itu datang dengan rencana yang dikenal sebagai Rencana Pembagian PBB (UN Partition Plan) untuk Palestina. Di dalamnya, mereka menganjurkan pembentukan dua negara yang secara historis dikenal sebagai Palestina. Satu untuk orang Yahudi, yang dikenal sebagai Israel, dan satu untuk orang Arab, Palestina.
Sementara orang-orang Yahudi di Palestina menerima rencana dengan antusias, orang-orang Arab dengan keras menolak itu. Dalam pandangan mereka, pembagian itu mengambil tanah yang telah menjadi tanah Arab peninggalan sejarah Muslim sejak Perang Salib dan memberikannya kepada minoritas Yahudi baru di negara itu. Ketegangan terus meningkat antara kedua belah pihak.
Di tengah ketegangan meningkat ini, Inggris menyatakan mengakhiri Mandat Palestina, dan menarik diri dari negara itu pada 14 Mei 1948. Hari itu, gerakan Zionis di Palestina menyatakan pembentukan sebuah negara baru, Israel. Hari berikutnya, negara-negara Arab tetangga menyatakan penolakan mereka terhadap deklarasi dan menyerang Israel.
Hasil perang 1948 justru adalah peningkatan besar dalam ukuran wilayah teritori Israel. Negara yang dilahirkan jauh lebih besar wilayahnya dari negara yang diusulkan oleh PBB, mencakup sekitar 50% dari negara Arab yang diusulkan.
Pengusiran Palestina, Tragedi Nakba
Dampak kemanusiaan terbesar dari perang 1948 adalah pengusiran mayoritas penduduk Palestina. Dalam batas-batas Negara baru Israel, sebelum perang ada sekitar 1 juta orang Arab Palestina.
Pada akhir perang di tahun 1949, sekitar 700 ribu – 750 ribu warga Palestina telah diusir. Hanya 150 ribu yang tetap bertahan di Israel.
Pengungsi merupakan efek samping dari perang. Sepanjang sejarah, sekelompok orang selalu melarikan diri untuk menghindari pertempuran dan penaklukan. Apa yang membuat para pengungsi Palestina tahun 1948 menjadi unik, adalah mengapa mereka menjadi pengungsi.
Karena hingga saat ini, masih sangat banyak konflik yang terjadi, banyak sejarawan menganalisis penyebab eksodus Palestina dipengaruhi oleh politik dan hubungan internasional. Sejarawan (termasuk beberapa sejarawan Israel) menetapkan beberapa alasan utama untuk Eksodus:
1. Takut: Banyak warga Palestina meninggalkan karena karena takut serangan Israel dan kekejaman. Ketakutan ini beralasan.
Pada tanggal 9 April 1948, sekitar 120 pejuang Israel memasuki kota Palestina Deir Yassin, dekat Yerusalem. 600 penduduk desa tewas. Beberapa meninggal ketika membela kota dalam pertempuran melawan pasukan Israel, sementara yang lain dibunuh oleh granat tangan yang dilemparkan ke rumah mereka, atau dieksekusi setelah diarak melalui jalan-jalan Yerusalem.
Tentu, setelah kata dari pembantaian ini tersebar di seluruh Palestina, Palestina takut terjadi hal yang terburuk dari Israel. Dalam banyak kasus, seluruh warga desa Palestina melarikan diri dari invasi Israel, berharap untuk menghindari nasib yang sama seperti Deir Yassin. Beberapa kelompok Israel, seperti Yishuv, mempercepat proses pengungsian itu melalui perang psikologis yang dimaksudkan untuk mengintimidasi kota-kota Palestina agar menyerah atau melarikan diri. Siaran radio yang disiarkan dalam bahasa Arab, memperingatkan warga Arab bahwa mereka tidak bisa menahan kemajuan invasi Israel, dan perlawanan adalah sia-sia.
2. Pengusiran oleh Angkatan Israel : Sementara ketakutan adalah faktor pendorong utama untuk mengungsi di awal perang, seperti perang yang terjadi berlarut-larut pada tahun 1948, pengusiran oleh Israel semakin di sengaja dan menjadi lebih umum.
Setiap orang-orang Israel menaklukkan wilayah yang lebih dan lebih, kekuatan mereka menjadi tersebar secara merata di seluruh negeri. Dalam rangka untuk mempertahankan kontrol atas wilayah ini, banyak desa baru ditaklukkan secara paksa dan dikosongkan oleh pasukan Israel.
Contoh penting dari ini adalah kota-kota Lida dan Ramla, dekat Yerusalem. Ketika mereka ditaklukkan pada bulan Juli 1948, Yitzhak Rabin menandatangani sebuah perintah pengusiran semua warga Palestina dari dua kota, sebesar antara 50 ribu – 70 ribu orang. Pasukan Israel memaksa beberapa dari mereka ke garis depan wilayah Arab, sementara yang lain terpaksa berjalan, hanya diizinkan untuk mengambil harta mereka sebatas apa yang bisa mereka bawa. Pengusiran ini saja menyumbang sekitar 10% dari total pengusiran Palestina pada tahun 1948.
3. Dorongan oleh Pasukan Arab : Dalam beberapa kasus, tentara Arab dari negara-negara tetangga, khususnya Yordania, mendorong warga di kota-kota Palestina untuk mengungsi. Salah satu alasannya, agar tidak tercipta medan perang terbuka yang melibatkan warga sipil dalam baku tembak.

Kamp pengungsi warga Palestina
Dalam setiap kasus, banyak warga sipil Palestina meninggalkan rumah mereka di bawah arahan dari tentara Arab, berharap untuk kembali segera setelah kemenangan Arab, hanya untuk menjadi pengungsi di negara-negara tetangga.
Pasca Perang
Perang Arab Israel 1948 menciptakan masalah pengungsi skala besar di Timur Tengah. Lebih dari 500 kota-kota di seluruh Palestina ditinggalkan penghuninya selama ini.
700 ribu pengungsi dari kota-kota tersebut menjadi beban ekonomi dan sosial di negara-negara tetangga dan Tepi Barat, tanah Palestina di bawah kekuasaan Yordania.
Pada tahun 1954, Israel melangkahi hukum pencegahan infiltrasi. Hal ini memungkinkan pemerintah Israel untuk mengusir setiap orang Palestina yang berhasil menyelinap kembali ke rumah mereka. Hal ini juga memungkinkan pemerintah untuk mengusir setiap pengungsi yang merupakan warga Palestina yang masih menetap di dalam Israel, jika mereka berusaha untuk kembali ke rumah mereka.
Hari ini, hak warga Palestina untuk kembali ke negeri mereka masih merupakan masalah utama yang belum diselesaikan. Pengusiran paksa warga Palestina pada tahun 1948 terbukti menjadi masalah yang belum terpecahkan, bahkan setelah para pengungsi asli hidup di abad 21.
Sumber : Lost Islamic History.
by Danu Wijaya danuw | Jul 22, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
SETAHUN silam Israel sudah berusaha dengan sengaja menghapus bangunan bersejarah di Yerusalem. Diantaranya situs Muslim dan situs Kristen dihapus dan diganti namanya dari peta panduan turis di Kota Tua. Sebaliknya, Israel menempatkan di peta situs pemukim Zionis illegal, demikian lansir World Bulletin.
“Ada banyak situs yang secara historis penting, namun dijalankan oleh pemukim ilegal,” kata Betty Herschman, direktur hubungan internasional dan advokasi di Ir Amim. Sebuah LSM hak asasi manusia Israel yang memberikan tur Yerusalem Timur untuk diplomat dan pihak lain.
“Penghapusan Itu merugikan situs Muslim dan situs Kristen historis yang relevan, yang seharusnya jauh lebih diprioritaskan pada peta Kota Tua, dimana terjalin hub dari tiga agama monoteistik besar.”
Situs Gereja St Anne atau Gereja Penebus, termasuk salah satu situs yang dihapus.
Kementerian Pariwisata Israel membela keputusannya tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu mencerminkan permintaan dari pariwisata.
Namun, Abu Sarah mengatakan bahwa masuknya situs tertentu di dalam dan di luar tembok Kota Tua tampaknya untuk mempromosikan representasi nasionalis Yahudi di Yerusalem Timur.
“Secara politik, ia menambahkan situs yang kontroversial, seperti pemukiman di Yerusalem Timur, merupakan penempatan unsur politik sepihak.”
“Peta ini, selain menghapus tempat suci paling penting bagi Muslim (Masjid Al-Aqsa) dan Kristen di Kota Tua, juga menghapus seluruh lingkungan di sekitar cekungan bersejarah, mengganti nama mereka tidak hanya dengan nama-nama Ibrani, tetapi dengan nama-nama pemukiman ilegal,” kata Herschman kepada Al Jazeera.
“Ini adalah bentuk konsolidasi kontrol Israel, episentrum titik paling kritis dari Yerusalem. Ada konsekuensi politik yang sangat penting yang terlibat.
Sumber : Al Jazeera/World Buletin
by Danu Wijaya danuw | Jul 15, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
PALESTINA—Israel dilaporkan telah melarang shalat jumat di masjid Al-Aqsha pada Jumat (14/7/2017). Larangan ini datang setelah terjadi aksi heroik berani mati yang menewaskan dua serdadu Israel oleh 3 pemuda Palestina.
Larangan untuk menggelar shalat jumat di Al-Aqsha adalah baru yang pertama kalinya diberlakukan Israel sejak tahun 1969, PIC (Palestine Information Center) melaporkan.
Dalam konteks yang sama, PM Israel Benyamin Netanyahu juga merilis keputusan untuk melarang penyelenggaraan shalat Jum’at di Masjid Al-Aqsha dan menutupnya secara total. Keputusan diambil setelah Netanyahu melakukan pembahasan dengan sejumlah pejabat keamanan Israel.
Larangan shalat jumat di masjid Al-Aqsha ini terjadi untuk pertama kalinya sejak masjid ini dibakar Yahudi pada 1969. Kala itu Israel menutup gerbang-gerbang Al-Aqsha dan melarang shalat jumat di sana dan saat itu pula pertama kali terjadi sejak Israel menjajah Palestina.
Pelarangan kali ini terjadi setelah meletus bentrokan di halaman Al-Aqsha pada Jumat (14/7/2017), PIC melaporkan.
Selain itu, pasukan Israel menangkap satpam masjid Al-Aqsha dan menganiaya mereka dengan pukulan keras serta diseret ke halaman Al-Baraq.
Kantor berita resmi Palestina Wafa menegaskan, pasukan Israel melarang sejumlah tokoh Islam di antaranya Mufti besar Al-Quds dan wilayah Palestina Syeikh Muhammad Husain dan Ketua Dewan Wakaf Islam untuk masjid Al-Aqsha.
Mufti besar Palestina menyerukan agar warga tetap berdatangan ke Al-Aqsha dan berada di perlintasan-perlintasan dan halaman Al-Aqsha untuk menunaikan shalat Jumat.
“Tidak ada kekuatan di atas muka bumi yang melarang warga Palestina menunju Al-Aqsha dan menunaikan shalat jumat di sana,” ungkap Syeikh Muhammad Husein.
Sebelumnya, organisasi dan partai-partai Yahudi mulai melakukan kampanye provokasi untuk menggerebek Al-Aqsha.
TV7 Israel mengutip pernyataan anggota Knesset dari partai Jewish Home Mote Yogav yang menyerukan agar menutup masjid Al-Aqsha bagi umat Islam selamanya.
Sementara Organisasi Bukit Kuil Yahudi menyatakan, respon atas aksi berani mati di Al-Quds adalah dengan menambah bangunan permukiman Yahudi dan jam penggerebekan ke Al-Aqsha.
Sumber : Daily Sabah
by Danu Wijaya danuw | Jul 2, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
Film Wonder Woman telah menempati box office dan ditayangkan di bioskop-bioskop banyak negara. Namun, sejumlah negara muslim memboikot film tersebut. Diantaranya Qatar, Tunisia, Lebanon, dan Yordania.
Alasan utama pemboikotan film tersebut adalah pemeran Wonder Woman, Gal Gadot. Aktris dan model Israel itu diketahui memiliki hubungan kuat dengan militer Israel dan memusuhi Palestina.
Berikut ini 5 fakta Gal Gadot mendukung militer Israel dan memusuhi Palestina:
1. Miss Israel
Gal Gadot adalah pemenang gelar Miss Israel pada tahun 2004. Ia juga mewakili Israel dalam ajang kecantikan Miss Universe Dunia ditahun yang sama.
Mungkin ini tidak langsung berhubungan dengan dukungan untuk militer Israel dan memusuhi Palestina.
Namun, kontes kecantikan semacam ini merupakan salah satu implementasi strategi Zionis dalam mengegolkan protokol ke-14 dalam protocol of zion. Dengan strategi Ghauzul Fikri atau Perang Pemikiran yaitu 6F (Food, Film, Fashion, Fun, Faith, Freedom) dan 4S (Sing, Sex, Sport, Smoke).
2. Mendukung tentara Israel
Aktris kelahiran 30 April 1985 itu diketahui mendukung militer negaranya, Israel. Gal Gadot mendukung IDF (Israel Defense Forces) termasuk saat melakukan agresi ke Gaza. Dukungan itu juga disuarakan Gadot melalui tulisan-tulisannya di media sosial.
3. Menjadi bagian tentara Israel
Gal Gadot adalah bagian dari tentara Israel. Sebagai warga Israel, Gal Gadot juga mengikuti wajib militer. Ia dilatih menjadi kombatan yang siap diterjunkan ke medan perang. Gal Gadot mengikuti pelatihan militer itu pada tahun 2006 lalu.
4. Mendukung Agresi Israel ke Gaza
Pemeran Wonder Woman itu juga mendukung agresi militer Israel ke Gaza. Saat militer Israel membombardir Gaza pada tahu 2014, ia menuliskan cuit dukungan dan doanya untuk tentara Israel yang menurutnya “mengorbankan nyawa, untuk mengakhiri tindakan buruk Hamas.”
5. Menyebut Hamas Pengecut
Sebagaimana mendukung agresi militer Israel, Gal Gadot juga memusuhi Palestina. Khususnya Hamas. Ia bahkan menyebut Hamas pengecut. Istri Yaron Versano memfitnah, Hamas menggunakan wanita dan anak-anak sebagai tameng. Padahal yang viral foto israel meletakkan anak palestina dikap mobil jip perang israel.
Negara-Negara yang Memboikot Wonder Woman yang Diperankan Gal Gadot
1. Qatar
Film Wonder Women seharusnya diputar perdana di Qatar pada Kamis (27/6/2017). Bahkan, bioskop di Doha sudah menayangkan iklannya pada hari-hari sebelumnya. Namun, Doha News melaporkan pada Rabu (28/7) penggemar film di negara tersebut mengetahui bahwa iklannya menghilang di laman resmi bioskop.
Calon penonton film ini juga menyatakan tidak bisa memesan tiket. Dua jaringan bioskop di Qatar, Vox Cinemas dan Novo Cinemas pun mengkonfirmasi bahwa Wonder Woman batal ditayangkan.
2. Lebanon
Sementara, Kementerian Dalam Negeri Lebanon melarang film “Wonder Woman 2017” setelah mereka mengeluarkan perintah untuk melarang film tersebut, yang dibintangi bekas tentara Israel, Gal Gadot, berdasarkan sebuah rekomendasi dari direktorat jenderal keamanan negara itu.
3. Tunisia
Menyusul Libanon, Tunisia akan membatalkan pemutaran film terbaru Hollywood, Wonder Woman di negaranya.
Association of Young Lawyers Tunisia melayangkan gugatan untuk membatalkan penyiaran film yang dijadwalkan akan dilakukan hari ini.
“Kami tidak menerima anak-anak kami menonton film ini,” yang akan sama halnya dengan “menormalisasi hubungan dengan Israel,” Presiden Association of Young Lawyers Tunisia, Yassine Younsi, mengatakan pada Business News.
Front Populer bahkan telah menghubungi Menteri Urusan Budaya Tunisia, Mohamed Zine El-Abidine, yang berjanji untuk mencegah penanyangan film di bioskop Tunisia.
4. Yordania
Yordania menjadi negara terbaru yang melarang pemutaran film Hollywood berjudul “Wonder Woman 2017”.
Yordania adalah satu dari dua negara tetangga Arab yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Namun hubungan diplomatiknya sebatas formalitas, karena Yordania yang diberi tanggungjawab mengurus Keagamaan dan Wakaf negara Palestina yang diblokade Israel.
Sejumlah kampanye telah diluncurkan mayoritas warga Yordania untuk menyerukan agar pemerintah memboikot film tersebut.
“Jika kita menonton film ini, berarti kita akan mendukung aktor Israel ini. Saya menentang film ini dan saya menyerukan agar melarang film ini beredar di Yordania dan juga di seluruh dunia Arab,” kata Mohammad Ali, anggota sebuah kampanye online untuk memboikot film tersebut di Yordania kepada kantor berita Cina Xinhua.
Sumber : Tarbiyah.net/MirajNews