0878 8077 4762 [email protected]

Ingin Menikah Dengan Pacar Non-Muslim

Assalamualaikum wr. wb. Saya sedang pacaran dengan seorang laki laki non muslim. Saya dan dia sudah merasa cocok satu sama lain. Memang usia kami berbeda jauh yaitu 20 tahun. Maka dari itu kami ingin segera menikah. Dia ingin menjadi mualaf. Tapi ibu nya melarang. Bahkan, ibu nya sampai menjauhi keluarga saya dan ingin memutus silaturahmi. Apa yg harus saya lakukan? Terima kasih. Wassalamualaikum.
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Bismilllahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Asyrafil anbiya’ wal Mursalin. amma ba’du:
Rumah tangga dan keluarga adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia. Bahagia dan tidaknya seseorang di dunia dan akhirat kerapkali ditentukan oleh kondisi keluarga dan rumah tangganya. Karena itu, urusan membentuk rumah tangga bukan main-main atau coba-coba. Islam telah memberikan rambu yang sangat ketat ttg hal ini dan bahkan menyebutnya sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang sangat berat).
Karena itu, untuk memasuki kehidupan rumah tangga yang pertama kali harus diperhatikan adalah kesiapan kita dan siapa calon pendamping hidup kita. Untuk ke arah pernikahan, tidak boleh diawali dengan interaksi, sentuhan, dan pergaulan yang dilarang agama.
Lalu Islam menggariskan bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria non-muslim. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS al-Baqarah [2]: 221).
Kalau kemudian calon suami yang saat ini masih non-muslim berniat masuk Islam, maka hendaknya hal itu dipastikan terlebih dahulu dan benar-benar didorong oleh kesadaran berislam; bukan sekedar karena ingin menikah dengan Anda. Sebab, banyak kasus di mana wanita muslimah dinikahi dengan pria muallaf, namun tidak lama kemudian si suami pindah ke agama asli. Kalau ini yang terjadi, maka sungguh sebuah petaka. Oleh sebab itu, kami sarankan agar Anda mempelajari sosok calon Anda dengan baik.
Untuk mengetahui keseriusannya berislam, harus disertai oleh orang yang memang mengerti agama dan bisa mendidiknya dengan baik. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan dengan serius kondisi keluarga, apakah memang kondusif atau tidak. Terutama terkait kesiapan keluarga Anda dalam menerima kehadirannya dan kesiapan keluarganya dalam menerima kehadiran Anda. Juga dukungan untuk melaksanakan agama dengan benar. Hal ini penting sebab sangat mempengaruhi perjalanan rumah tangga ke depan.
Jadi, ada banyak hal yang harus Anda pertimbangkan. Anda harus banyak meminta petunjuk dan nasihat orang-orang saleh di sekitar Anda di samping juga banyak berdoa kepada Allah agar diberi yang terbaik untuk dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb. 
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Bolehkah Wanita Memakai Pakaian Berwarna-Warni?

Saya pernah mendengar katanya pakaian wanita itu tidak boleh yang warna-warni, yang boleh hanya hitam saja. Benarkah demikian? Mohon penjelasannya. Terima kasih
 
Jawaban:
Sebagian orang menganggap bahwa wanita muslimah hanya boleh memakai pakaian hitam atau gelap saja. Kadang oknum mereka merendahkan para muslimah yang memakai pakaian berwarna selain gelap, betapa pun jilbabnya dan baju kurungnya begitu lebar dan panjang sempurna, dan mereka tetap menjaga diri dan kehormatannya, tetap mereka dipandang miring karena warna warninya itu.  Seolah wanita-wanita ini kurang shalihah dan ‘iffah hanya karena masalah warna pakaiannya.
Pandangan  tersebut adalah ghuluw (berlebihan) dan tidak benar, serta bertentangan dengan fakta sejarah yang dilalui wanita-wanita terbaik umat ini pada masa awal salaf. Muslimah berpakaian warna hitam dan gelap, memang umum dipakai oleh wanita pada masa dulu, dan masa kini disebagian negara, tentunya ini memiliki keutamaan, tetapi mereka tidak terlarang memakai pakaian berwarna selain hitam dan gelap, seperti hijau, kuning, merah, biru,  dan bermotif.
Sebelum kami sampaikan dalil-dalil, akan kami sampaikan sebuah ulasan bagus dari seorang ulama, yakni Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, katanya:
“Sesungguhnya pembuat syariat tidaklah membatasi warna tertentu bagi pakaian laki-laki dan pakaian wanita. Kadar perhiasan yang serasi pada pakaian tunduk pada tradisi kaum muslimin pada setiap negara. Dapat dimaklumi dan disaksikan masa sekarang ini, dan di semua masa, bahwa hiasan atau warna yang berlaku di antara wanita mukmin pada umumnya dapat diterima oleh ulama mereka di suatu tempat, mungkin terasa aneh bagi kaum muslimin di tempat lain, dan mungkin mereka malah mengingkarinya. Sebagaimana warna dan model berbeda dari satu masa ke masa lain di satu daerah. Benarlah kata Imam Ath Thabari yang mengatakan, “… Sesungguhnya menjaga model zaman termasuk muru’ah (harga diri) selama tidak mengandung dosa dan menyelisihi model serupa dalam rangka mencari ketenaran.” (Fathul Bari, 12/424)
Berikut ini akan kami sampaikan beberapa atsar yang tsaabit (kuat) tentang para shahabiyah yang memakai pakaian dengan beragam warna.
Riwayat pertama: Warna merah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ مَعَ عَلْقَمَةَ، وَالْأَسْوَدِ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَيَرَاهُنَّ فِي اللُّحُفِ الْحُمْرِ»، قَالَ: وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَرَى بِالْمُعَصْفَرِ بَأْسًا
Berkata kepada kami Abu Bakar, katanya: berkata kepada kami ‘Abbad bin Al ‘Awwam, dari Sa’id, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim (An Nakha’i, pen), bahwa dia bersama ‘Alqamah dan  Al Aswad menemui istri-istri Nabi ﷺ: mereka berdua melihat istri-istri nabi memakai mantel berwarna merah.  Ibrahim An Nakha’i berpendapat tidak apa-apa pula memakai celupan ‘ushfur (warnanya merah, pen). (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 24739)
Mujahid berkata:
أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرَوْنَ بَأْسًا بِالْحُمْرَةِ لِلنِّسَاء
ِMereka (para sahabat nabi) tidak mempermasalahkan wanita memakai pakaian warna merah. (Ibid, No. 24740)
Ibnu Abi Malikah berkata:
رَأَيْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ دِرْعًا، وَمِلْحَفَةً مُصَبَّغَتَيْنِ بِالْعُصْفُر
ِAku melihat Ummu Salamah (Istri nabi) memakai baju pelindung dan mantel yang keduanya dicelup dengan ‘ushfur (warnanya merah). (Ibid, No. 24741)
Al Qasim (cucu Abu Bakar Ash Shiddiq) berkata:
أَنَّ عَائِشَةَ، كَانَتْ تَلْبَسُ الثِّيَابَ الْمُعَصْفَرَةَ، وَهِيَ مُحْرِمَة
ٌBahwasanya, Aisyah dahulu memakai pakaian hasil celupan ‘ushfur dan saat itu dia sedang ihram. (Ibid, No. 24742. Juga oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq, 2/137. Al Hafizh mengatakan: sanadnya shahih. Fathul Bari, 3/405. Juga Al Qasthalani dalam Irsyad As Sari, 3/111)
Fathimah binti Mundzir berkata:
أَنَّ أَسْمَاءَ كَانَتْ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ، وَهِيَ مُحْرِمَة
ٌBahwa Asma dahulu memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur dan dia sedang ihram. (Ibid, No. 24745)
Sa’id bin Jubair bercerita:
أَنَّهُ رَأَى بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ مُعَصْفَرَةٌ
Dia melihat sebagian istri Nabiﷺ thawaf di Ka’bah sambil memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur. (Ibid, No. 24748)
Perlu diketahui, bahwa pakaian jika dicelup oleh pewarna ‘ushfur (sejenis tanaman) maka biasanya dominannya adalah merah. Berkata Al Hafizh Ibnu hajar:
فَإِنَّ غَالِب مَا يُصْبَغ بِالْعُصْفُرِ يَكُون أَحْمَر
Sesungguhnya apa saja yang dicelupkan ke dalam ‘ushfur maka dominasi warnanya adalah menjadi merah. (Fathul Bari, 10/305. Darul Ma’rifah, Beirut). Seperti ini juga dikatakan oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 2/110)
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan kebolehan memakai warna merah bagi wanita muslimah. Bahkan itu dipakai juga oleh istri-istri Nabi ﷺ seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhuma, dan ketahui oleh laki-laki yang bukan mahram mereka, bahkan ‘Aisyah dan  Asma Radhiallahu ‘Anhuma memakainya ketika di luar rumah yakni ketika ihram.
Riwayat kedua: Warna hijau
Dari ‘Ikrimah:
أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ القُرَظِيُّ، قَالَتْ عَائِشَةُ: وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ، فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا، فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا، قَالَتْ عَائِشَةُ: مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى المُؤْمِنَاتُ؟ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا.
Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, lalu mantan istrinya itu dinikahi oleh Abdurrahman bin Az Zubair Al Qurazhi. ‘Aisyah berkata: “Dia memakai kerudung berwarna hijau,” dia mengadu kepada ‘Aisyah dan  terlihat warna hijau pada kulitnya. Ketika datang Rasulullah ﷺ saat itu kaum wanita sedang saling membantu di antara mereka. ‘Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat seperti apa yang dialami para kaum mu’minah, sungguh kulitnya lebih hijau (karena luntur, pen) dibanding pakaian yang dipakainya.” (HR. Bukhari No. 5825)
Kisah shahih ini menunjukkan kebolehan memakai warna hijau, dan ini pun juga diketahui oleh Nabi.
Riwayat ketiga: Kombinasi hitam dan merah
Sakinah berkata:
دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا أَحْمَرَ، وَخِمَارًا أَسْوَدَ
Aku dan ayahku menemui ‘Aisyah,  aku melihat dia memakai baju pelindung berwarna merah, dan kerudung berwarna hitam. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf no. 24748).
Riwayat keempat: Motif warna warni
عَنْ أُمِّ خَالِدٍ بِنْتِ خَالِدٍ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ، فَقَالَ: «مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ» فَسَكَتَ القَوْمُ، قَالَ: «ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ» فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ، فَأَخَذَ الخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا، وَقَالَ: «أَبْلِي وَأَخْلِقِي» وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَر
ُDari Ummu Khalid binti Khalid: didatangkan ke Nabi ﷺ pakaian yang terdapat motif  berwarna hitam kecil-kecil. Nabi bersabda: “Menurut kalian siapa yang pantas memakai pakaian ini?” Mereka terdiam. Beliau bersabda: “Panggilkan kepadaku Ummu Khalid.” Lalu didatangkan Ummu Khalid dan dia dibopong. Lalu Nabi ﷺ mengambil  pakaian itu dengan tangannya sendiri dan memakaikan ke Ummu Khalid, lalu bersabda: “Pakailah ini sampai rusak.” Dan, pakaian tesebut juga terdapat corak berwarna hijau dan kuning.  (HR. Bukhari No. 5823).
Kisah ini begitu jelas bolehnya muslimah memakai pakaian kombinasi dua warna dan juga  bermotif warna warni, di sebutkan beragam warna motif, hitam, hijau, dan kuning. Bahkan Nabi ﷺ sendiri yang memakaikannya kepada Ummu Khalid. Jika ini terlarang pastilah Nabi ﷺ akan mencegahnya tapi justru Beliau yang memakaikannya sendiri. Wallahu A’lam.
Terakhir, ada baiknya kita perhatikan ulasan  Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah Rahimahullah:
“Sesungguhnya keserasian dalam perhiasan yang menghiasi pakaian, tidaklah menarik perhatian laki-laki, dan tidak disifati dengan tabarruj, karena tabarruj adalah apabila wanita mempertontonkan kecantikan dan keindahan dirinya sehingga dapat membangkitkan syahwat laki-laki. Ada pun jika pakaian memiliki pakaian yang indah tetapi tidak mencolok, dan dalam model yang indah tapi tidak menarik perhatian, maka model dan warna seperti ini dikenal dan dominan di kalangan muslimah. Semua itu tidak membangkitkan syahwat laki-laki, baik dari niat si wanita maupun dari pengaruh yang disebabkan oleh warna dan model pakaian-pakaian yang beraneka ragam. Ini merupakan perkara yang dapat disaksikan di beberapa negara Islam. Satu model dengan banyak warna tampak pada mala’ah Sudan dan pada pakaian wanita di perkampungan  Syiria. Sedangkan macam-macam warna dengan beragam model, tampak pada pakaian para mahasiswi yang sopan di kampus-kampus Mesir dan Kuwait. Kebanyakan mereka memakai pakaian dengan bermacam warna dan model, tetapi tetap terjaga oleh kesucian dan pemeliharaan diri, sehingga mereka dihormati dan dihargai. (Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 4, Hal. 352. GIP, Jakarta)
Wallahu A’lam.
Ustadz Farid Nu’man Hasan
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Ragu Sudah Tahiyyat atau Belum

Apa hukumnya kalau sholat diulang karena lupa, apakah tadi melakukan tahiyat awal atau tidak? Apakah boleh sholatnya diulang atau diputuskan untuk mengawali sholat lagi?
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Nabi saw bersabda, “Tinggalkan sesuatu yang membuatmu ragu menuju sesuatu yang tidak membuatmu ragu.” Dengan demikian, jika kita ragu apakah sudah shalat dua atau tiga rakaat, maka hendaknya mengambil yang dua rakaat karena yang diragukan adalah rakaat yang ketiga.
Demikian pula jika ragu sudah tahiyat atau belum maka hendaknya tahiyyat. Begitu seterusnya. Namun kalau perasaan ragu terjadi secara terus-menerus sehingga menyulitkan, maka ia sudah tergolong penyakit was-was yang harus diabaikan.
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah disebutkan bahwa orang yang ragu biasa, misalnya apakah sudah rukuk atau belum, maka ia harus rukuk sebab pada dasarnya ia belum melakukan rukuk. Namun jika keraguan tersebut terjadi karena penyakit was-was maka tidak perlu diulang karena hanya akan melahirkan kesulitan. Ia harus terus melanjutkan shalatnya dengan mengabaikan apa yang diragukan.
Ibnu Taymiyyah menegaskan, “Sikap hati-hati baik selama tidak membuat pelakunya menyalahi sunnah. Namun jika sampai menyalahi sunnah, maka bentuk kehati-hatiannya adalah meninggalkan sikap hati-hati yang semacam tadi.” Apalagi jika keraguan tersebut muncul selepas shalat atau sesudah dilakukan, dalam kondisi demikian keraguan tadi harus diabaikan. Bahkan mengulang shalat yang sudah dilakukan tanpa ada udzur syar’i hukumnya makruh.
Ibn Rajab rahimahullah menegaskan, “Jika sesudah shalat atau sesudah melakukan ibadah, muncul keraguan terkait apakah ia meninggalkan salah satu rukunnya atau tidak, maka keraguan tersebut harus diabaikan.” Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr wb. 
Ustadz Fauzi Bahreisy
ed : danw
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini 

Menyikapi Suami Pemabuk dan Pemarah

Assalamualaikum. Saya adalah seorang istri. Suami saya tidak sholat dan pemabok. Dia kalau mabok sering marah-marah dan main tangan. Dulu waktu menikah dia janji akan berubah. Tapi sampai sekarang tidak berubah. Kami sudah 5 tahun menikah. Apakah dosa kalau saya pergi meninggalkan suami. Jazakallah. Wassalamualaikum.
 
Jawaban:
Assalamu’alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah harus dibangun di atas pondasi takwa kepada Allah SWT. Karena itu, suami dan isteri harus berusaha menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta menunaikan tugas dan kewajiban masing-masing sesuai dengan tuntunan syariat. Islam juga memposisikan pernikahan dan ikatan suami isteri sebagai ikatan suci yang harus dipelihara dan dirawat dengan baik; bukan ikatan yang mudah diurai dan dilepas kapan saja mereka inginkan.
Oleh sebab itu, tidak boleh seorang suami dengan tanpa sebab menceraikan isterinya dengan sesuka hati. Demikian pula seorang isteri tidak boleh meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan. Bahkan Rasul SAW bersabda, “Wanita manapun yang meminta cerai pada suaminya tanpa alasan mendesak, maka haram bagi sang isteri mencium bau surga.”
Namun demikian, bila terdapat satu kondisi yang menjadikan kondisi keluarga tidak lagi diliputi oleh sakinah, mawaddah, wa rahmah, serta setelah berbagai usaha untuk menjaga keutuhan rumah tangga telah dijalankan, maka boleh bagi suami menceraikan isterinya dan juga boleh bagi isteri untuk menuntut cerai suaminya. Terkait dengan dengan kondisi suami yang tidak mau shalat dan suka mabuk, maka seorang isteri harus berusaha mengingatkan, menasihati, dan mendoakan. Jika semua sudah dilakukan, namun suami tetap dengan kondisinya tersebut, maka boleh bagi isteri untuk menuntut cerai; bukan lari dari rumah tanpa ada kejelasan status.
Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, apabila seorang wanita tidak lagi menyukai suaminya lantaran akhlaknya, agamanya kondisinya yang tua dan lemah, serta si wanita tersebut khawatir tidak dapat menunaikan tugas untuk taat, maka boleh baginya melakukan khulu’ dengan mengembalikan mahar yang sudah diberikan berdasarkan firman Allah pada surat al-Baqarah: 229.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb
Ustadz Fauzi Bahreisy


 
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini 

Telapak Kaki Wanita Terlihat Saat Shalat

Assalamu alaikum. Kalau wanita yang sedang ruku terlihat telapak kakinya yang tidak tertutup mukena, sholat tersebut batal tidak? Atau mengulangi sholat lagi?
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pertama-tama bahwa menutup aurat, terutama dalam shalat adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-A’raf: 31 yang menyuruh untuk memakai baju atau pakaian saat melakukan shalat. (lihat Tafsir Ibn Katsir).
Menurut jumhur ulama aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Sementara menurut Abu Hanifah, selain itu adalah telapak kaki. Menurutnya ia bukan merupakan aurat karena termasuk yang biasa terlihat seperti wajah.
Karena itu, kalau berpegang pada pandangan jumhur, yang boleh terlihat dari wanita di saat shalat hanya muka dan telapak tangan. Sementara kaki tidak boleh terlihat. Namun kalau berpegang pada pandangan Abu Hanifah, telapak kaki wanita boleh terlihat.
Untuk keluar dari perbedaan dan untuk kehatia-hatian, sebaiknya telapak kaki wanita juga tertutup entah dengan baju, mukena, atau kaos kaki. Lalu kalaupun kemudian masih ada aurat yang terlihat ketika shalat, jika aurat yang terlihat hanya sedikit dan tidak disengaja, maka menurut pendapat kalangan Hambali tidak batal sehingga tidak perlu mengulang shalat.
Wallahu a’lam. Wassalamu alaikum wr.wb. 
ed : danw