Orang yang Boleh Tidak Puasa dan Wajib Mengqadha

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Orang yang sedang sakit dan orang yang sedang musafir boleh tidak puasa, tetapi mereka wajib mengqadha.
Allah Ta’ala berfirman, “...dan barangsiapa sakit atau dalam perjalan (dan ia tidak puasa), maka (ia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Mu’adz ra. berkata, “Sesungguhnya, Allah telah mewajibkan puasa kepada Nabi. Allah menurunkan firman-Nya, ‘Hai orang-orang yang beriman, kalian diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Yaitu) di hari-hari yang telah ditentukan. Maka, jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Dan orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), maka wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin.‘ (Al-Baqarah: 184)
Karena itu, ada yang memilih berpuasa dan ada yang memilih membayar fidyah. Semua pilihan itu diperbolehkan.
Kemudian Allah menurunkan ayat lain, ‘(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah ia berpuasa.’ (Al-Baqarah: 185)
Oleh karena itu, puasa diwajibkan kepada orang yang mukim dan sehat. “Sedangkan orang yang sakit atau sedang musafir diperbolehkan tidak puasa. Orang tua renta yang tidak kuat puasa diwajibkan membayar fidyah.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi dengan sanad yang shahih)
Sakit yang menyebabkan bolehnya tidak berpuasa adalah sakit berat yang akan semakin parah jika berpuasa atau dikhawatirkan akan memperlambat kesembuhan.
Pengarang Al-Mughni meriwayatkan, “Diceritakan bahwa beberapa ulama salaf membolehkan tidak puasa meskipun sakit yang diderita secara ringan, seperti luka di jari atau sakit gigi, karena ayat di atas meriwayatkan ‘sakit’ secara umum. Selain itu, jika musafir saja dibolehkan tidak puasa meskipun ia mampu puasa, maka begitu juga dengan orang yang ‘sakit’, ia boleh tidak berpuasa meskipun mampu melakukannya”. Pendapat ini juga dianut oleh Bukhari, Atha’, dan Ahlu Zhahir.”
Orang yang sehat akan jatuh sakit karena berpuasa, maka boleh tidak puasa seperti orang yang sakit. Begitu juga dengan orang yang sedang berpuasa dan merasa sangat kelaparan atau kehausan, hingga mungkin akan celaka, maka ia harus membatalkan puasa dan mengqadha di hari lain, meskipun ia orang sehat dan mukim.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa’: 29)
Juga firman-Nya, “Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untuk kalian dalam agama.” (Al-Hajj: 78)
Jika orang yang sedang sakit itu memilih berpuasa dan mau menahan rasa sakitnya, maka puasanya sah. Hanya saja, tindakannya itu hukumnya makruh karena tidak memilih keringanan yang disukai Allah, dan siapa tahu mungkin ia mendapatkan bahaya karena perbuatannya itu. Sebagian sahabat pada masa Rasulullah saw memilih berpuasa dan sebagian lagi memilih tidak puasa. Namun, kedua kelompok ini melakukannya berdasarkan fatwa dari Rasulullah.
Hamzah Al-Islami berkata kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, aku merasa kuat untuk berpuasa ketika sedang dalam perjalanan. Salahkah aku apabila tetap berpuasa?
Rasulullah saw. bersabda, “Itu adalah keringanan dari Allah Ta’ala. Barangsiapa yang menerimanya, itu adalah lebih baik, dan siapa yang masih ingin berpuasa, maka tidak ada salahnya.” (H.R. Muslim)
Abu Sa’id Al-Khudri ra. menceritakan, “Kami berpergian bersama Rasulullah saw. ke Mekah. Saat itu, kami berpuasa. Kami berhenti di suatu tempat. Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Kalian telah dekat dengan musuh kalian. Tidak berpuasa akan lebih menguatkan kalian.
Ini adalah rukhshah (keringanan). Di antara kami ada yang tetap berpuasa, dan ada yang membatalkan puasanya. Kemudian kami berhenti di suatu tempat lain, maka Nabi saw bersabda, “Besok pagi, kalian akan berhadapan dengan musuh kalian. Tidak berpuasa lebih menguatkan kalian. Karena itu, janganlah berpuasa. Ini merupakan keharusan, maka kami pun tidak berpuasa. Di kemudian hari, ketika dalam perjalanan bersama Rasulullah, kami berpuasa.” (H.R. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan, “Kami berperang bersama Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang puasa dan ada yang tidak. Orang yang puasa tidak menyalahkan yang tidak puasa, dan yang tidak puasa tidak menyalahkan yang puasa. Mereka berpendapat bahwa orang yang kuat berpuasa lalu ia memilih berpuasa, maka itu baik baginya. Dan, orang yang merasa lemah lalu memilih untuk tidak puasa, maka itu lebih baik baginya.” (H.R. Ahmad dan Muslim)
 
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat

Fiqih Wanita Berkaitan dengan Ramadhan (bagian 1)

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Wanita muslimah yang sudah baligh dan berakal, pernah mengalami haid dan hamil maka ia wajib berpuasa di bulan Ramadhan, sebagaimana perintah puasa dalam Al Qur’an. Namun bila syarat tidak terpenuhi seperti wanita bukan muslim, belum baligh, tidak berakal, dan dalam keadaan haidh atau nifas maka tidak diwajibkan berpuasa.
1. Wanita haidh atau nifas
Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan melakukan puasa, jika ia melakukannya maka berdosa. Apabila seorang wanita sedang berpuasa keluar darah haidhnya baik di pagi, siang, sore ataupun sudah menjelang terbenamnya matahari, maka ia wajib membatalkannya. Dan wajib meng-qadha (mengganti) setelah ia bersuci. Sedangkan jika wanita tersebut suci sebelum fajar walaupun sekejap, maka ia wajib berpuasa pada hari itu walau mandinya baru dilakukan setelah fajar.
(Simak juga: Video Empat Langkah Menuju Ramadhan)
2. Wanita tua yang tidak mampu berpuasa
Seorang wanita yang lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa dan jika berpuasa akan membahayakan dirinya, maka justru ia tidak boleh berpuasa, melihat firman Allah
“….Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan…” (Q.S. Al Baqarah ayat 195)
Disebabkan orang yang lanjut usia itu tidak bisa diharapkan untuk bisa mengqadha, maka baginya wajib membayar fidyah saja (tidak wajib meng-qadha) dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin berdasarkan firman Allah swt.
(Baca juga: Visi Ramadhan Umat Muslim)
Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin” (Q.S. Al Baqarah : 184)
Kemudian dalam riwayat Bukhari
Dari Atha ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat yang artinya “Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya untuk membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin” Ibnu Abbas berkata : “Ayat ini tidak dinasakh, ia untuk orang yang lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak sanggup berpuasa hendaknya memberi makan setiao hari satu orang miskin”. *bersambung
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

X