by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | Jan 27, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Shahabiyah yang kali ini kita akan ceritakan kisah imannya dan keteguhannya dalam berjuang di jalan Allah adalah Ummu Aiman.
Seorang wanita pengasuh Rasulullah SAW. Dialah ibu kedua bagi Rasulullah SAW. Ibu dari Aiman ra yang merupakan seorang sahabat yang ikut dalam berbagai peristiwa besar bersama Rasulullah SAW.
Ummu Aiman adalah istri dari Zaid bin Haritsah ra, anak angkat kesayangan Nabi SAW yang juga ibu dari Usamah bin Zaid ra, cucu kesayangan beliau.
Abu Nu’aim berkata, “Ummu Aiman adalah wanita yang ikut dalam peristiwa hijrah, mampu menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki, rajin berpuasa, tahan terhadap lapar, dan mudah menangis (karena takut kepada Allah). Dia akan mendapatkan minuman dari surga yang dapat mengobati semua kepedihan yang pernah ia rasakan”.
Pasti kita sangat penasaran akan kepribadian seorang Ummu Aiman bukan? Siapakah Ummu Aiman?
Ummu Aiman adalah wanita keturunan Habasyah. Budak yang diwarisi Rasulullah dari ayah beliau. Kemudian Rasulullah SAW memerdekakannya setelah Rasul menikahi Khadijah. Dia termasuk rombongan kaum muslimin yang hijrah pada gelombang pertama.
Nama aslinya adalah Barakah. Ummu Aiman adalah nama panggilannya, karena anaknya bernama Aiman. Ia menikah dengan Ubaid bin Harits Al-Khazraji, yang kemudian memiliki anak yang bernama Aiman.
Nama Aiman sendiri terukir dalam peristiwa hijrah dan jihad. Ia gugur sebagai syahid dalam perang Hunain.
Abdullah (ayah Nabi) adalah putra kesayangan Abdul Muthalib (kakek Nabi). Abdullah meninggal dunia saat Nabi Muhammad masih di dalam kandungan. Dan pada suatu hari, Aminah (ibunda Nabi) berniat berziarah ke makam suaminya di Madinah yang berjarak 500 km dari Makkah. Bersama ayah mertuanya (Abdul Muthalib), pembantunya (Ummu Aiman) dan Nabi Muhammad yang masih kecil, Aminah pun berangkat menuju Madinah.
Setelah satu bulan di Madinah, mereka memutuskan untuk pulang kembali ke Makkah. Diperjalanan pulang, Aminah sakit keras hingga meninggal dunia di ‘Abwa, perkampungan antara Madinah dan Makkah.
Disaat-saat sulit inilah, keistimewaan Ummu Aiman terlihat. Allah swt menghendakinya menghimpun semua kebajikan. Ia membawa Nabi Muhammad kecil kembali ke Madinah dan mengasuhnya dengan segenap kasih sayang. Abdul Muthalib tidak bisa mengasuh Nabi Muhammad selamanya. Ia sudah tua dan akhirnya meninggal dunia. Namun sebelumnya ia sudah berpesan kepada Abu Thalib (seorang anaknya) untuk mengasuh Nabi Muhammad. Nabi Muhammad kecil sangat sedih dengan meninggalnya sang kakek.
Keberkahan yang Datang Melalui Rasulullah SAW
Sepeninggal Abdul Muthalib, Nabi Muhammad kecil tinggal bersama Abu Thalib. Sejak saat itu ia diasuh oleh Fatimah binti Asad (istri Abu Thalib) dan Ummu Aiman dengan penuh kasih sayang. Keluarga Abu Thalib adalah keluarga yang serba kekurangan, namun semenjak kehadiran Nabi Muhammad. Kondisi keluarga Abu Thalib selalu baik, makanan dan minuman selalu tercukupi.
Abu Thalib sering berkata kepada Nabi Muhammad, “Kamu anak yang diberkahi”.
Bahkan Ummu Aiman pernah berkisah, “Rasulullah tidak pernah mengeluh lapar dan haus. Di pagi hari, beliau minum seteguk air zam-zam. Siang harinya ketika saya tawari makan, beliau berkata,”Tidak usah, aku tidak lapar”.
Nabi SAW Memerdekakannya dan Ubaid ra Menikahinya
Nabi Muhammad kecil tumbuh dalam dekapan kasih sayang dua wanita mulia: Fatimah binti Asad dan Ummu Aiman. Mereka memperlakukan Nabi Muhammad seperti anak mereka sendiri. Ketika Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau memerdekakan Ummu Aiman yang pada saat itu statusnya adalah budak Abdullah.
Setelah ia menjadi wanita merdeka ia menikah dengan Ubaid bin Harits Al-Khazraji. Ummu Aiman termasuk orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Hanya saja langkah baiknya tidak diikuti oleh suaminya. Ia tidak mau masuk Islam. Akhirnya keduanya berpisah.
Tetapi setelah kejadian tersebut Allah berikan kebahagian lainnya yaitu ia dinikahi oleh seorang budak Khadijah yang bernama Zaid bin Haritsah. Mereka dikaruniai anak bernama Usamah bin Zaid.
Rasulullah pernah berkata “Zaid, kamu adalah budak yang kumerdekakan. Kamu bagian dariku dan akan bersamaku, orang yang paling aku sayangi adalah kamu” *bersambung
by Ahmad Sodikun S.Pd.I. ahmadsodikun | Jan 13, 2016 | Artikel, Ringkasan Taklim
Kajian Kontemporer Majelis Taklim Al Iman
Bersama:
KH. DR. Ali Akhmadi, MA, Al-Hafizh.
Ahad, 3 Januari 2016
Pkl. 18.00-19.30
Di Pusat Dakwah Yayasan Telaga Insan Beriman
Jl. H. Mursid No.99B, Kebagusan, Jakarta Selatan.
Mencermati kehidupan manusia paling mulia Rasulullah SAW:
- Mendapatkan wahyu mulai umur 40 tahun
- Singkatnya waktu dalam melaksanakan tugas dakwah, hanya 23 tahun
Keberkahan umur yang Allah berikan sehingga dalam waktu yang relatif lebih singkat dapat melaksanakan berbagai tugas yang banyak dan berat dibanding nabi-nabi pendahulunya
Kewajiban kepada umat Muhammad SAW relatif lebih sedikit dibanding umat terdahulu, namun kualitasnya menyamai umat terdahulu
Kewajiban shalat 5 waktu ditambah shalat sunah yang mengiringinya hampir sama jumlahnya bahkan lebih dari kewajiban 50 waktu umat terdahulu
Berbicara waktu adalah berbicara tentang:
Al Waktu Huwal Hayah (Waktu adalah Kehidupan)
Kehidupan adalah lembaran (al-waktu shafahatun), seperti halnya buku, kita tuliskan didalamnya cerita tentang kehidupan. Dan kelak buku itu akan dibacakan kembali.
Semua hal yang kita lakukan baik amal sholeh maupun amal buruk akan ditulis. “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir” (QS. Qoff: 16-18)
Anggota badan akan menjadi saksi atas perbuatan yang dilakukan semasa hidup. “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Yasin:65).
Perbuatan yang dahulu dilakukan ketika didunia akan ditunjukkan bekas-bekasnya. “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12).
Yang selalu berbuat baik akan dihisab dengan mudah serta merasa senang dan puas dengan buku catatannya. (QS. Al Insyiqaq: 7)
Sebaliknya yang selalu berbuat jahat dan dzalim terhadap dirinya akan dimasukkan kedalam neraka dan menyesal sesal-sesalnya. (QS. Al Insyiqaq: 9-11)
Al Waktu Huwas Saif (Waktu Adalah Pedang)
Pedang yang tidak digunakan akan tumpul dan berkarat. Begitu juga dengan waktu yang kita miliki jika tidak digunakan untuk kebaikan ia akan menjadi sulit untuk merangkum berbagai kebaikan.
Sahabat Ali ra berkata: alwaktu kassaif fa in lam taqtaha’u qatha’aka [waktu seperti pedang jika kamu tidak menggunakannya untuk memotong (berbuat kebaikan) maka waktu akan memotongmu (menjadi penyesalan)]
Kelak amal-amal baik akan menjadi teman yang setia hingga menghadap Rabbnya.
Amal buruk akan menjadi beban dan penyebab siksa neraka
Al Waktu Huwal Fulus (Waktu adalah Uang)
Orang barat menganggap “time is money” maksudnya waktu adalah penghasilan
Waktu yang sudah kita lewati menghasilkan apa?
Yang menguntungkan? Atau merugi?
Sahabat pernah bertanya “mata sa’ah” (kapan hari kiamat) Rasulullah menjawab “madza a’dadta lahaa” (apa yang telah kamu persiapkan untuknya?).
Orang yang pandai adalah yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk kehidupan setelah mati
Bagi orang beriman tentulah memahami pentingnya waktu, setiap detiknya harus menghasilkan. Dua rakaat sebelum shubuh misalnya keutamaannya menyamai kebaikan sebesar dunia dan seisinya. Belum lagi fadhilah dari dzikir, sadaqah dan lain sebagainya yang masih bisa digandakan sesuai kehendak Allah SWT.
Waktu adalah modal yang paling utama dalam kehidupan ini. Modal yang Allah berikan sama dengan
1 hari = 24 jam
1 pekan = 168 jam
1 bulan = 720 jam
1 tahun = 8640 jam
Begitu juga yang diberikan kepada Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Yang membedakan adalah keberkahan dari waktu tersebut.
***
Majelis Taklim Al Iman
Tiap Ahad. Pkl. 18.00-19.30
Kebagusan, Jakarta Selatan.
Jadwal Pengajian:
● Tadabbur Al Qur’an tiap pekan 2 dan 4 bersama Ust. Fauzi Bahreisy
● Kitab Riyadhus Shalihin tiap pekan 3 bersama Ust. Rasyid Bakhabzy, Lc
● Kontemporer tiap pekan 1 bersama ustadz dengan berbagai disiplin keilmuwan.
•••
Salurkan donasi terbaik Anda untuk mendukung program dakwah Majelis Ta’lim Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya
by Muhammad Syukron msyukron | Dec 6, 2015 | Artikel
Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
Suatu ketika, Rasulullah SAW kedatangan beberapa orang wanita Quraisy, mereka bertanya kepada Rasulullah SAW tentang berbagai permasalahan, dan diantara mereka ada yang bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi dari nada Rasulullah SAW.
Disaat terjadi diskusi antara Rasulullah SAW dan wanita-wanita Quraisy tersebut, tiba-tiba datang sahabat Umar Bin Khattab dan memohon izin untuk masuk dan bertemu Rasulullah SAW. Wanita-wanita Quraisy itupun segera bersembunyi dibalik tirai. Setelah diizinkan, Umar Bin Khattab pun masuk dan disambut dengan senyuman oleh Rasulullah SAW.
Melihat Rasulullah tersenyum Umar Bin Khattab berkata : “Wahai Rasul, apakah gerangan yang membuatmu tersenyum?”
Rasulullah SAW menjawab : “Karena aku heran melihat mereka (wanita Quraisy). Sebab ketika mendengar suaramu, mereka segera bersembunyi dibalik tirai”
Umar Bin Khattab berkata : “Engkau lebih berhak untuk dimuliakan daripada aku wahai Rasulullah”
Umar pun mendekati wanita-wanita Quraisy tersebut seraya berkata : “Wahai kalian yang menjadi musuh bagi diri kalian sendiri. Apakah kalian takut padaku dan tidak takut pada Rasulullah SAW?”
Mereka menjawab : “Karena engkau lebih keras dari Rasulullah SAW wahai Umar”
Rasulullah SAW pun bersabda : “Wahai Umar! Demi jiwaku yang berada didalam genggaman-Nya. Tidaklah syetan mendapatimu berjalan disebuah lembah melainkan ia akan mencari jalan lain yang tidak engkau lewati”
ed : danw