0878 8077 4762 [email protected]

Sahabat yang Paling Menyerupai Akhlak Rasulullah

 
Ketika Utsman bin Affan bertemu dengan Rasulullah dan masuk Islam, Utsman bercerita, “Pada suatu perjalanan kembali ke negeri Syam, kami singgah di daerah antara Ma’an dan az-Zuqra’. Dalam kondisi setengah sadar, kami mendengar ada yang berseru, ‘Wahai orang-orang yang tidur, bangunlah! Ahmad telah diutus di Mekah. Ketika kami sampai di Mekah, kami mendengar tentangmu.”
Utsman bin Affan masuk Islam pada saat berumur 34 tahun, ia mengenal Islam lewat penawaran teman akrabnya, yakni Abu Bakar. Tanpa keraguan sedikit pun Utsman menerima Islam.
Setelah masuk Islam, Rasulullah menikahkan Utsman dengan putri beliau, yakni Ruqayyah. Awalnya, Ruqayyah adalah istri ‘Utbah bin Abu Lahab dan Ummu Kultsum (putri Rasulullah lainnya) adalah istri ‘Utaibah bin Abu Lahab. Namun ketika surah al-Lahab turun untuk mencela Abu Lahab dan juga keluarganya, maka kedua anak Abu Lahab ini menceraikan kedua putri Rasulullah.
Mendengar kabar ini, Utsman pun melamar Ruqayyah. Tak lama setelah perang Badar, Ruqayyah meninggal dunia. Utsman cukup terpukul atas kematian istrinya itu. Rasulullah pun begitu memahami perasaan Utsman, maka beliau menawarkan satu putrinya lagi yakni Ummu Kultsum.
Utsman pun menikahi Ummu Kultsum yang belum terjamah oleb ‘Utaibah, pada bulan Rabi’ul-Awwal tahun ke-3 Hijriyah. Dan keduanya baru berkumpul pada bulan Jumadits-Tsani. Mereka hidup bersama sampai Ummu Kultsum meninggal dunia tanpa mendapatkan seorang anak pun. Ummu Kultsum meninggal dunia pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriyah.
Rasulullah berkata, “Seandainya aku mempunyai sepuluh orang putri, maka aku akan tetap menikahkan mereka dengan Utsman.”
Kepribadian Utsman benar-benar merupakan gambaran dari akhlak yang baik (akhlakul karimah). Dia jujur, dermawan dan sangat baik hati. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencintai Utsman karena akhlaknya. Sebagaimana sabda Rasulullah, “…Ia (Utsman) adalah sahabatku yang paling menyerupaiku akhlaknya.”
 
Sumber: Jalansirah
Referensi : Abu Jannah. Sya’ban 1438 H. Serial Khulafa Ar-Rasyidin, Utsman bin Affan. Jakarta: Pustaka Al-Inabah

Bagaimana Rasul Bersiwak?

APA itu siwak?
Siwak (atau disebut juga miswak) merupakan kayu dari ranting pohon Aarak atau Peelu, yang lazim terdapat di jazirah Arab.
Nama latinnya: Salvadora Persica. Siwak inilah yang biasa digunakan sebagai sikat gigi sekaligus pasta gigi yang terkenal di jazirah Arab.
Dari Ali ibn Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kami bersiwak: ‘Sesungguhnya seorang hamba jika berdiri menunaikan shalat, malaikat lalu mendatanginya, berdiri di belakangnya mendengar bacaan al-Qur`an dan mendekat. Malaikat terus mendengar dan mendekat sampai ia meletakkan mulutnya di atas mulut hamba tersebut, hingga tidaklah dia membaca satu ayat pun kecuali malaikat berada di rongganya,” (Riwayat Baihaqi).
Hadist lain seputar Keutamaan Bersiwak dijelaskan sebagai berikut,
“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku, tentulah kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu,” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam redaksi lain, Nabi mengucapkan, “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku tentulah kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat,” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Keutamaan bersiwak sangat banyak. Bahkan penelitian-penelitian modern menemukan bahwa siwak lebih baik dan alami ketimbang sikat dan pasta gigi yang sekarang beredar luas. Rasulullah SAW pun sangat menyukai bersiwak (menyikat gigi dengan siwak).
Cara Rasulullah SAW bersiwak adalah sebagai berikut:
1. Berdoa sebelum bersiwak.
Salah satu do’a yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah: “Allahumma thahhir bissiwaak Asnaaniy, wa qawwiy bihi Litsaatsiy, wa afshih bihi lisaniy
Artinya “Wahai Allah sucikanlah gigi dan mulutku dengan siwak, dan kuatkanlah Gusi gusiku, dan fashih kan lah lidahku”;
2. Memegang siwak dengan tangan kanan atau tangan kiri (ada perbedaan pendapat tentang hal ini)
Dan meletakkan jari kelingking dan ibu jari di bawah siwak, sedangkan jari manis, jari tengah, dan jari telunjuk diletakkan di atas siwak.
3. Bersiwak dimulai dari jajaran gigi atas-tengah
Lalu atas-kanan, lalu bawah-kanan, lalu bawah-tengah, kemudian atas-tengah, lalu atas-kiri, lalu bawah-kiri. Jadi seperti angka 8 yang ditulis rebah
4. Langkah ke-3 di atas dilakukan 3x putaran;
5. Selesai bersiwak, mengucapkan hamdalah, “Alhamdulillah.
 
Sumber : Pustaka Imam Syafi’i

Kelakar dan Canda Rasulullah

 
Suatu ketika melihat seorang sahabatnya sedang naik kuda, Nabi saw menegur, ”Hai, mengapa kaunaiki seekor anak kuda?
Sahabatnya itu terkejut dan menyanggah, “Bukan ya Rasulullah. Kuda saya sudah dewasa. Ini induk kuda, bukan anak  kuda.”
Nabi tertawa, “Bagaimana mungkin? Induk kuda pun anak kuda juga bukan? Apakah anak kucing?”
Sahabat itu terpingkal-pingkal setelah menyadari kebodohannya.
Pada hari yang berbeda beliau melihat seorang sahabat sedang makan kurma dalam keadaan matanya yang sebelah sakit. Nabi bertanya kaget, “Hai, sungguh mengherankan. Bagaimana caranya engkau memakan kurma, padahal matamu yang sebelah sedang sakit?”
Sahabat itu tahu Nabi sedang bercanda. Dengan nada yang sama ia menjawab, “Saya makan dengan mata yang sebelahnya lagi, ya Rasulullah.”
Nabi  memang suka berkelakar  untuk menghidupkan suasana ceria dengan para sahabatnya. Sehingga hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin berlangsung wajar dan tidak kaku.
Pernah Rasulullah terlambat tiba di masjid ketika para sahabat sudah ramai berkumpul. Biasanya Rasulullah sudah berada lebih dahulu di mesjid  sebelum para sahabat berdatangan.
Melihat  Nabi saw muncul di pintu mesjid, para sahabat langsung berdiri untuk menghormati kehadirannya.
Beliau segera mencegah seraya berkata, “Janganlah kalian berdiri menyambut kedatanganku. Aku bukan raja. Aku cuma seorang hamba Allah yang makan dan minum seperti kalian juga.” []
 
Sumber:  30 Kisah Teladan, Aburrahman Ar-Raisi, Penerbit Rosda Karya

Kondisi Rumah Rasulullah Membuat Umar Menangis

Suatu hari, Umar bin Khattab berkunjung ke rumah Nabi. Nabi tinggal di sebuah ruangan kecil, bersebelahan dengan masjidnya.
Ruangan ini sekarang termasuk dalam bagian Masjid Nabi yang indah di Madinah. Tapi pada waktu itu, temboknya dibangun dari lumpur dan batu, atap pohon palem dan tangkai, dan lantainya adalah pasir. Pintu-pintunya langsung menjorok ke halaman dan tempat shalat.
Umar mengetuk dan meminta izin untuk masuk. “Bolehkah Umar bin Al-Khattab masuk, wahai Rasulullah?” kata Umar.
“Ya, masuklah, Umar,” jawab Nabi.
Umar memasuki ruangan dimana Nabi sedang beristirahat. Dia pertama kali menyapa Nabi, “Assalamualaikum…”
“Wa’alaikumsalam, keselamatan untukmu,” jawab Nabi.
Umar duduk di lantai dan mulai memperhatikan ruangan itu untuk pertama kalinya. Tidak ada tempat tidur di ruangan itu. Nabi waktu itu tengah terbaring di atas sebuah tikar. Sebagian tubuhnya ada di lantai dan sebagian di atas tikar.
Tikar itu kasar dan lantainya keras. Tanda dari tikar itu terlihat di tubuhnya. Nabi mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan yang kasar. Nabi punya bantal, tapi bantal itu terbuat dari daun berduri pohon palem.
Tidak ada yang lain di ruangan itu, tidak ada lemari pakaian, tidak ada makanan berlimpah untuk dimakan, tidak ada kasur yang nyaman.
Sebagai gantinya, di sudut ada beberapa daun berry, dan setumpuk kecil gandum, dan sepotong kulit yang belum diolah sedang digantung.
Air mata mulai mengalir di mata Umar. Ketika Nabi melihat Umar menangis, Nabi bertanya kepadanya, “Kenapa kau menangis, Umar?”
Umar menjawab dengan suara pahit, “Dan mengapa aku tidak menangis, wahai Nabi Allah? Aku melihat tempat tidur dan tanda dari tikar di punggungmu, aku melihat semua barang milikmu yang sederhana, dan namun engkau adalah Nabi Allah dan Rasul pilihan-Nya!
“Kaisar Byzantium dan Persia tinggal dalam kemewahan dan kenyamanan. Takhta mereka terbuat dari emas dan pakaian dan tempat tidurnya terbuat dari sutra terbaik,” Umar masih berkata.” Dan inilah yang engkau miliki. Inilah hartamu.”
Nabi tersenyum dan memandangi Umar dengan lembut. “Apakah engkau tidak bahagia, hai Umar bahwa kita akan menerima kekayaan dan harta kita dan kenyamanan dalam kehidupan yang kekal nanti?”
“Raja-raja dunia ini telah menerima bagian penuh mereka di sini, dan bahkan bagian ini tidak akan berguna bagi mereka segera setelah mereka berangkat dari dunia ini. Bagian kita akan datang nanti, tapi begitu kita menerimanya, maka akan tetap bersama kita selamanya.” lanjut sang Rasul menyemangati.
 
Sumber : Jalan Sirah
Keterangan gambar :

  • Kotak besar adalah Masjid Nabawi dulu
  • Kotak kecil adalah rumah Rasul
  • dan Gunung Uhud dibelakangnya.

Romantisme Ketika Rasulullah Tidur Di Depan Pintu

Aisyah ra mengerti betul kepribadian suaminya, Rasulullah SAW. Hidup dalam suasana keluarga memberinya kenangan indah yang kaya dari sikap keseharian utusan Allah itu. Nabi diketahui tak pernah mengeluh meski keadaan kurang mendukung. Hatinya sangat lapang.
Pernah Nabi tak medapati makanan apapun untuk sarapan di meja dapurnya. Seketika Nabi berniat puasa untuk hari itu. Begitulah. Rasulullah tak ingin menjadi beban orang lain, termasuk keluarganya sendiri.
Nabi bahkan selalu memanggil Aisyah dengan sapaan mesra ”ya humaira” (wahai pemilik pipi kemerah-merahan).
Pengalaman lain yang tetap membekas di hati Aisyah adalah “peristiwa di pagi buta”.
Suatu hari Aisyah dicengkram rasa khawatir. Hingga menjelang shubuh ia tidak menjumpai suaminya tersebut tidur di sebelahnya.
Dengan gelisah Aisyah pun mencoba berjalan keluar. Ketika pintu dibuka, Aisyah terbelalak kaget. Rasulullah sedang tidur di depan pintu.
“Mengapa Nabi tidur di sini?” tanyanya.
“Aku pulang larut malam. Karena khawatir mengganggu tidurmu, aku tak tega mengetuk pintu. Itulah sebabnya aku tidur di depan pintu,” jawab Nabi.
Dengan demikian, tidak aneh, setiap Aisyah ditanya soal kepribadian Nabi, ia selalu menjawab tegas, “Kana khuluquhu al-qur’an. Akhlaknya tak ubahnya al-Qur’an” Subhanallah!
 
Sumber : SirahNabawiyah/Ruang Muslimah