3 Waktu Tidur Yang Dilarang Rasulullah

Tidur merupakan aktivitas yang dibutuhkan oleh tubuh kita. Rasul mengatakan bahwa tubuh kita mempunyai hak untuk beristirahat.
Namun, ternyata ada tiga waktu tidur yang menurut Rasulullah shalallahu alaihi wassalam hendaknya dihindari :
1. Tidur di Pagi Hari Setelah Shalat Shubuh
Dari Sakhr bin Wadi’ah Al-Ghamidi radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Ya Allah, berkahilah bagi ummatku pada pagi harinya,”
(HR. Abu dawud 3/517, Ibnu Majah 2/752, Ath-Thayalisi halaman 175, dan Ibnu Hibban 7/122 dengan sanad shahih).
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata:
“Termasuk hal yang makruh bagi mereka yaitu orang shalih adalah tidur antara shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga sekali.
“Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam, mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit.”
“Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa” (Madaarijus-Saalikiin 1/459).
2. Tidur setelah Shalat Ashar Menjelang Maghrib
Biasanya kalau kita tidur di sore hari yakni pada waktu ashar sampai menjelang magrib, akan membuat keadaan seperti linglung, pusing, badan sakit, dan justru seperti orang sakit.
Sebagian ulama mengatakan “Siapa saja yang tidur selepas waktu ashar sehingga terganggu kejiwaannya, maka janganlah ia mencaci selain dirinya sendiri“
Jika terlalu sering tidur di sore hari akan membuat jiwa atau pikiran semakin buruk.
3. Tidur Sebelum Shalat Isya’
Diriwayatkan dari Abu Barzah radlyallaahu ‘anhu : ”Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya” (HR. Bukhari 568 dan Muslim 647).
Mayoritas hadits-hadits Nabi menerangkan makruhnya tidur sebelum shalat isya’.
Oleh sebab itu At-Tirmidzi (1/314) mengatakan : “Mayoritas ahli ilmu menyatakan makruh hukumnya tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya. Dan sebagian ulama’ lainnya memberi keringanan dalam masalah ini.
Abdullah bin Mubarak mengatakan : “Kebanyakan hadits-hadits Nabi melarangnya, sebagian ulama membolehkan tidur sebelum shalat isya’ khusus di bulan Ramadhan saja”.
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Baari (2/49) : “Di antara para ulama melihat adanya keringanan (yaitu) mengecualikan bila ada orang yang akan membangunkannya untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita katakan bahwa alasan larangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu shalat.”

Liwa dan Rayah, Bendera Panji Islam Semasa Rasulullah

Liwa dan Rayah, Bendera Panji Islam Semasa Rasulullah

Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu memiliki bendera tauhid dengan bentuk dan corak yang khas. Para sahabat Rasulullah saw selalu berharap bahwa diri merekalah yang menjadi pembawa bendera tauhid itu.
Salah satu contohnya ditunjukkan pada saat perang Khaibar, dimalam hari dimana keesokan paginya Rasulullah saw akan menyerahkan bendera/panji-panji kepada seseorang:
«فَبَاتَ النَّاسُ يَدُوْكُوْنَ لَيْلَتَهُمْ: أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا؟»
“Malam harinya, semua orang tidak tidur dan memikirkan siapa diantara mereka yang besok akan diserahi bendera itu.”(HR. Bukhari)
Kisah diatas menunjukkan betapa pentingnya kedudukan bendera dan panji-panji didalam Islam.
Orang yang diserahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawanya memiliki kemuliaan yang sangat tinggi.
Pengertian Liwa dan Rayah
Di dalam bahasa Arab, bendera disebut dengan liwa (jamaknya adalah alwiyah). Sedangkan panji-panji perang dinamakan dengan rayah. Disebut juga dengan istilah al-‘alam.
Rayah adalah panji-panji yang diserahkan kepada pemimpin kaum muslim, dimana seluruh pasukan di bawah naungannya dan (ia) akan mempertahankannya hidup atau mati.
Sedangkan liwa adalah bendera yang menunjukkan posisi pemimpin pasukan, dan ia akan dibawa mengikuti posisi pemimpin pasukan.
liwa rayan_1494379026818
Liwa adalah al-‘alam atau bendera tauhid berwarna putih yang berukuran besar. Seringkali sebagai penanda sebagai wilayah muslim.
Sedangkan rayah adalah bendera tauhid berwarna hitam yang berukuran lebih kecil, yang diserahkan oleh Khalifah atau wakilnya kepada pemimpin, serta komandan-komandan pasukan Islam lainnya.
Rayah merupakan tanda yang menunjukkan bahwa orang yang membawanya adalah pemimpin pasukan.
Jadi Liwa (bendera negara) berwarna putih, sedangkan rayah (panji-panji) berwarna hitam.
Riwayat hadist tentang bendera Rasulullah
Banyak riwayat (hadits) yang menunjukkan warna liwa dan rayah, diantaranya:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ –صلعم- كَانَتْ رَايَتُهُ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ

“Rayahnya (panji peperangan) Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam, sedangkan benderanya (liwa-nya) berwarna putih.” (HR. Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah)
Riwayat lain,

كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ –صلعم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ

“Panji (rayah) Nabi saw berwarna hitam, sedangkan liwa-nya (benderanya) berwarna putih. Meskipun terdapat juga hadits-hadits lain yang menggambarkan warna-warna lain untuk liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang), akan tetapi sebagian besar ahli hadits meriwayatkan warna liwa dengan warna putih, dan rayah dengan warna hitam.”
Panji-panji Nabi saw dikenal dengan sebutan al-‘uqab, sebagaimana yang dituturkan:
إِسْمُ رَايَةِ رَسُوْلِ اللهِ –صلعم- الْعُقَابُ
Nama panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-‘uqab. Tidak terdapat keterangan (teks nash) yang menjelaskan ukuran bendera dan panji-panji Islam di masa Rasulullah saw, tetapi terdapat keterangan tentang bentuknya, yaitu persegi empat.
Dalam hadist lain
كَانَتْ رَايَتُهُ سَوْدَاءَ مُرَبِّعَةً مِنْ نَمْرَةٍ
“Panji Rasulullah saw berwarna hitam, berbentuk segi empat dan terbuat dari kain wol.” (HR. Tirmidzi)
Al-Kittani mengetengahkan sebuah hadits yang menyebutkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ –صلعم- عَقَدَ لَهُ رَايَةً، رُقْعَةً بَيْضَاءَ ذِرَاعًا فِيْ ذِرَاعٍ
“Rasulullah saw telah menyerahkan kepada Ali sebuah panji berwarna putih, yang ukurannya sehasta kali sehasta. Pada liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang) terdapat tulisan Lâ ilâha illa Allah, Muhammad Rasulullah.
Pada liwa yang berwarna dasar putih, tulisan itu berwarna hitam. Sedangkan pada rayah yang berwarna dasar hitam, tulisannya berwarna putih”. (Musnad Imam Ahmad dan Tirmidzi, melalui jalur Ibnu Abbas)
Imam Thabrani meriwayatkannya melalui jalur Buraidah al-Aslami, sedangkan Ibnu Adi melalui jalur Abu Hurairah.
Begitu juga hadits-hadits yang menunjukkan adanya lafadz Lâ ilâha illa Allah, Muhammad Rasulullah, pada bendera tauhid dan panji-panji, terdapat pada kitab Fathul Bari.
Sebagian besar para fuqaha dan ahli hadits menganggap bahwa keberadaan liwa dan rayah adalah sunnah.
Kisah panji Islam di masa Rasulullah
Ibnul Qayyim berkata: Pasukan disunnahkan membawa bendera tauhid besar dan panji-panji. Warna liwa (bendera besar) disunnahkan berwarna putih, sedangkan panji-panjinya boleh berwarna hitam’.
Kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengangkat orang-orang tertentu sebagai pemegang panji-panji, juga dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar ra, sebagaimana yang dituturkan Abu Yusuf:
‘Rasulullah saw biasa menyerahkan liwa kepada pemimpin pasukan, yang diikatkan di ujung tombaknya. Rasulullah saw telah menyerahkan liwa kepada Amru bin Ash dalam perang Dzatu Salasil.
Setelah beliau saw wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq menyerahkan liwa kepada Khalid bin Walid, yang dipasang di ujung tombaknya’.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan sunnah untuk membawa bendera tauhid Liwa dan Rayah di dalam pasukan.
 
Wallahu’alam Bishowab
 
Sumber : MuslimJurnalism/SejarahIslam

Hikmah Dibalik Gempa Bumi Saat Zaman Rasulullah dan Sahabat

 
Gempa bumi sejatinya adalah peringatan Allah kepada hamba-Nya. Bukan sekadar fenomena alam belaka. Allah menciptakan musibah dan bencana alam untuk mengingatkan manusia agar mereka takut dan berharap kembali kepada Allah.
Allah Swt. berfirman,
وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا
Tidaklah kami mengirim tanda-tanda kekuasaan itu (berupa musibah dan sejenisnya), selain dalam rangka menakut-nakuti mereka.” (QS. Al-Isra’: 59)
Suatu hari pernah terjadi gempa bumi di Madinah.
Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan bersabda, “Tenanglah … belum datang saatnya bagimu.”
Selanjutnya, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya, Rabb kalian menegur kalian … maka jawablah (buatlah Allah ridh0a kepada kalian)!”
Adapun Umar bin Khathab ra mengingat kejadian itu.
Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, “Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!”
Umar bin Khathab bisa merasakan bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh para penduduk Madinah, sepeninggal Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq telah mengundang bencana.
Karena itu, Umar mengingatkan kaum muslimin agar menjauhi maksiat dan segera kembali kepada Allah.
Demikian pula yang disampaikan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab Al-Jawab Al-Kafy berkenaan dengan gempa:
“Dan terkadang Allah menggetarkan bumi dengan guncangan yang dahsyat, menimbulkan rasa takut, khusyuk, rasa ingin kembali dan tunduk kepada Allah, serta meninggalkan kemaksiatan dan penyesalan atas kekeliruan manusia.
Di kalangan salaf, jika terjadi gempa bumi mereka berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian’.”
Hakikatnya, gempa bumi adalah suatu bentuk musibah berupa peringatan, teguran, bahkan hukuman dari Allah Al-Jabbar (Dzat Yang Mahaperkasa) atas perbuatan manusia yang telah banyak melakukan maksiat dan dosa.
Karena itu, sebelum Allah kembali menegur kita dengan teguran yang lebih keras, sudah saatnya bagi kita untuk segera bertobat dan meningkatkan takwa dengan sebenar-benarnya. Wallahu ‘alam
 
Sumber : Republika
Oleh : ustad Ahmad Syahirul Alim, Lc

Kenapa Rasulullah dan Islam Lahir Di Jazirah Arab?

JIKA kita banyak membaca sejarah, maka kita akan menemukan bahwa nabi dan rasul yang terpilih banyak yang lahir dari Jazirah Arab. Lalu timbul pertanyaan, “Mengapa Arab?” “Mengapa tanah gersang dengan orang-orang nomad di sana dipilih menjadi tempat diutusnya Rasul terakhir ini?”
Tidak sedikit umat Islam yang bertanya-tanya penasaran tentang hal ini. Mereka berusaha mencari hikmahnya. Ada yang bertemu. Ada pula yang meraba tak tentu arah.
Para ulama mencoba menyebutkan hikmah tersebut. Dan dengan kerendahan hati, mereka tetap mengakui hakikat sejati hanya Allah-lah yang mengetahui.
Para ulama adalah orang yang berhati-hati. Jauh lebih hati-hati dari seorang peneliti. Mereka jauh dari mengedepankan egoisme suku dan ras. Mereka memiliki niat, yang insya Allah, tulus untuk hikmah dan ilmu.
Dikutip dari Zaid bin Abdul Karim az-Zaid dalam Fiqh as-Sirah menyebutkan di antara latar belakang diutusnya para rasul, khusunya rasul terakhir, Muhammad saw, di Jazirah Arab adalah:
Pertama: Jazirah Arab adalah tanah merdeka.
Jazirah Arab adalah tanah merdeka yang tidak memiliki penguasa. Tidak ada penguasa yang memiliki kekuasaan politik dan agama secara absolut di daerah tersebut. Berbeda halnya dengan wilayah-wilayah lain. Ada yang dikuasai Persia, Romawi, dan kerajaan lainnya.
Kedua: Jauh dari peradaban besar.
Mengapa jauh dari peradaban besar merupakan nilai positif? Karena benak mereka belum tercampuri oleh pemikiran-pemikiran lain. Orang-orang Arab yang tinggal di Jazirah Arab atau terlebih khusus tinggal di Mekah, tidak terpengaruh pemikiran luar.
Jauh dari ideologi dan peradaban majusi Persia dan Nasrani Romawi. Bahkan keyakinan paganis juga jauh dari mereka. Sampai akhirnya Amr bin Luhai al-Khuza’i kagum dengan ibadah penduduk Syam. Lalu ia membawa berhala penduduk Syam ke Jazirah Arab.
Jauhnya pengaruh luar ini, membuat jiwa mereka masih polos, jujur, dan lebih adil menilai kebenaran wahyu.
Ketiga: Mereka berkomunikasi dengan satu Bahasa yaitu bahasa Arab.
Jazirah Arab yang luas itu hanya memiliki satu bahasa untuk komunikasi di antara mereka, yaitu Bahasa Arab. Adapun wilayah-wilayah lainnya memiliki banyak bahasa. Saat itu, di India saja sudah memiliki 15 bahasa resmi (as-Sirah an-Nabawiyah oleh Abu al-Hasan an-Nadawi, Cet. Jeddah: Dar asy-Syuruq. Hal: 22).
Bayangkan seandainya di Indonesia, masing-masing daerah berbeda bahasa, bahkan ada sampai ratusan bahasa. Komunikasi akan terhambat dan dakwah sangat lambat tersebar, karena kendala bahasa saja. Sehingga bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu sangatlah tepat.
Keempat: Banyaknya orang-orang yang datang ke Mekah.
Mekah telah menjadi tempat istimewa sejak masa Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam. Oleh karena itu, banyak utusan dari wilayah Arab lainnya datang ke sana. Demikian juga jamaah haji. Pedagang, para ahli syair dan sastrawan.
Keadaan ini mempermudah untuk menyebarkan risalah kenabian. Mereka datang ke Mekah, lalu kembali ke kampung mereka masing-masing dengan membawa berita risalah kerasulan.
Kelima: Memiliki agama dan kepercayaan yang beragam.
Mereka memang orang-orang pagan penyembah berhala. Namun berhala mereka berbeda-beda. Ada yang menyembah malaikat. Ada yang menyembah bintang-bintang. Dan ada pula yang menyembah patung –ini yang dominan-.
Patung yang mereka sembah pun bermacam ragam. Setiap daerah memiliki patung jenis tertentu. Keyakinan mereka beragam. Ada yang menolak, ada pula yang menerima.
Di antara mereka juga terdapat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan sedikit yang masih berpegang kepada ajaran Nabi Ibrahim yang murni.
Keenam: Kondisi sosial unik memiliki jiwa fanatik kesukuan (ashabiyah).
Orang Arab hidup dalam tribalisme, kesukuan. Pemimpin masyarakat adalah kepala kabilah. Mereka menjadikan keluarga sendiri yang memimpin suatu koloni atau kabilah tertentu. Dampak positifnya kentara saat Nabi saw memulai dakwahnya. Kekuatan bani Hasyim menjaga dan melindungi beliau dalam berdakwah.
Apabila orang-orang Quraisy menganggu pribadi beliau, maka paman beliau, Abu Thalib, datang membela. Hal ini juga dirasakan oleh sebagian orang yang memeluk Islam. Keluarga mereka tetap membela mereka.
Ketujuh: Secara geografi, Jazirah Arab terletak di tengah dunia.
Memang pandangan ini terkesan subjektif. Tapi realitanya, Barat menyebut mereka dengan Timur Tengah. Geografi dunia Arab bisa berhubungan dengan belahan dunia lainnya. Sehingga memudahkan dalam penyampaian dakwah Islam ke berbagai penjuru dunia. Terbukti, dalam waktu yang singkat, Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ke Eropa dan Amerika.
Kedelapan: Faktor penduduknya.
Penduduk Arab adalah orang-orang yang secara fisik proporsional; tidak terlalu tinggi dan tidak pendek. Tidak terlalu besar dan tidak kecil. Demikian juga warna kulitnya. Serta akhlak dan agamanya.
Sehingga kebanyakan para nabi diutus di wilayah ini. Tidak ada nabi dan rasul yang diutus di wilayah kutub utara atau selatan.
Para nabi dan rasul secara khusus diutus kepada orang-orang yang sempurna secara jenis (tampilan fisik) dan akhlak. Kemudian Ibnu Khaldun berdalil dengan sebuah ayat:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali Imran: 110). (Muqaddimah Ibnu Khaldun, Cet. Bairut: Dar al-Kitab al-Albani. Hal: 141-142).
Namun Allah Ta’ala lebih hikmah dan lebih jauh kebijaksanaannya dari hanya sekadar memandang fisik. Dia lengkapi orang-orang Kaukasia yang ada di Timur Tengah dengan perangai yang istimewa.
Hal ini bisa kita jumpai di buku-buku sirah tentang karakter bangsa Arab pra-Islam. Mereka jujur, polos, berkeinginan kuat, dermawan, dan lain-lain. Kemudian Dia utus Nabi-Nya, Muhammad saw di sana
 
Sumber : Kisahmuslim

Ini Doa yang Dianjurkan Rasulullah di Bulan Ramadhan

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada bulan ramadhan, agar kita meraih keistimewaan lailatul qadar. Sebab kita tak bisa memprediksi kapan malam lailatul qadar Allah swt hadirkan. Maka beberapa masjid menggunakan doa ini disela-sela shalat tarawih.
Doa ini sangat dianjurkan oleh suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Yaitu, jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti ku ucapkan?
Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdoalah: Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni “
Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku.
(HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850, hadist hasan – shahih)
Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Sedangkan Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Hadits ini dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam bab “Keutamaan meminta maaf dan ampunan pada Allah”.
Hadits di atas disebutkan pula oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom pada hadits no. 706.
Semoga kita dapat melafalkan doa tersebut hingga mendapat maghfirah dan keutamaan malam Lailatul Qadar.
 
Disadur : Rumasyo