0878 8077 4762 [email protected]

Peduli Rohingya, Sejumlah Komunitas Gelar Teatrikal di Bundaran HI

Jakarta – Sejumlah komunitas yang tergabung dalam aksi Save Rohingya menggelar aksi damai yang mengecam kekerasan yang terjadi pada pada warga Rohingya di Rakhine, Myanmar. Turut hadir dalam aksi tersebut Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris.
Fahira Idris tampak berorasi di kawasan Car Free Day (CFD), Bundaran HI, Jakarta Pusat (Minggu/9/2017). Dia mengecam aksi kekerasan yang dialami warga Rohingya.
“Kita sangat mengecam pihak pemerintah dan militer Myanmar atas genosida terhadap Muslim Rohingya. Ini sudah melanggar hak asasi manusia,” ucap Bernard Ali Jabbar, Sekjen Komite Advokasi untuk Muslim Rohingya Arakan (Kamra).
Aksi ini terdiri dari komunitas Peduli Jilbab, Aku Cinta Islam, Bidik Production, Jakarta Sinergi, dan One Day Juz. Selain orasi mereka juga melakukan penggalangan dana untuk warga Rohingya.
“Intinya mau penggalangan, kita mau nyampaikan ke pengunjung CFD kalau saudara kita di Rohingya lagi dalam keadaan entah lah kita nggak bisa ngomong, mereka Muslim dibantai, ketika kita melihat itu apakah kita diam saja, makanya kita bikin aksi ini,” ujar Humas aksi Save Rohingya, Tuti Alawiyah di lokasi acara.
Selain itu, peserta aksi juga menggelar aksi teatrikal. Aksi ini banyak menarik perhatian pengunjung CFD di Bundaran HI. Mereka juga ada yang memberikan bantuan melalui penggalangan dana.
 
Sumber : Detik/Hidayatullah

Meski Bahaya, Dompet Dhuafa Potong 20 Sapi di Kamp Rohingya

SITTWE — Dompet Dhuafa membawa amanah dari para pekurban di Indonesia ke kamp pengungsi Rohingya di Sittwe, Myanmar. Meski berbahaya dan akses cukup sulit, 20 ekor sapi dari para pekurban di Indonesia yang diamanahkan melalui Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa harus sampai ke tangan yang berhak di Myanmar.
“Misi kemanusiaan kali ini lebih berisiko dan mendebarkan,” kata Tim Kemanusiaan Dompet Dhuafa, Shofa melalui keterangan tertulisnya, kepada Republika.co.id, Ahad (3/9)
Shofa mengatakan, sebelumnya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) memberikan informasi mengenai situasi di Myanmar dalam dua pekan terakhir yang cukup berbahaya. Tim Kemanusiaan Dompet Dhuafa diminta mempertimbangkan misi menyampaikan amanah dari para pekurban di Indonesia ke Muslim Rohingya. Akan tetapi mengingat amanah para pekurban sudah diterima Dompet Dhuafa, maka mereka merasa harus menyalurkannya ke Muslim Rohingya.
Dompet Dhuafa melalui proses panjang dan berliku dalam mencari mitra lapangan untuk mengakses lokasi yang dijaga militer. Akhirnya Tim Kemanusiaan Dompet Dhuafa tiba di lokasi kamp pengungsian Muslim Rohingya.
Dia menyebut, perjuangan Dompet Dhuafa tidak berhenti sampai di sini. Pihaknya harus meneliti kondisi hewan kurban yang sesuai untuk dikurbankan. Kemudian harus memikirkan bagaimana caranya memasukkan hewan kurban tersebut ke wilayah kamp pengungsian Muslim Rohingya di Sittwe. “Alhamdulillah, Allah memudahkan. Ringkasnya, akhirnya hewan berhasil kami masukkan ke kamp pengungsian dan disembelih untuk para pengungsi pada Sabtu,” ujarnya.
Shofa menceritakan, masyarakat di kamp pengungsian menyambut baik hewan kurban dari pekurban di Indonesia. Sebab, sebelumnya pemerintah setempat melarang umat Muslim Rohingya melaksanakan kurban. Bahkan di kota besar seperti Yangon, tidak ada pemotongan hewan kurban saat Idul Adha.
Dia menyebut, adanya kurban di kamp pengungsian kali ini diharapkan bisa menjadi pelipur lara dan sumber bahagia bagi etnis Rohingya di Sittwe dan sekitarnya. Dompet Dhuafa sangat berterimakasih kepada para donatur atau pekurban yang mengamanahkan hewan kurban untuk disalurkan ke camp pengungsian Rohingya melalui Dompet Dhuafa.
Sekretaris II Sosbud KBRI di Yangon, Yasfitha Febriany Murthias mengatakan, pihaknya sangat berterimakasih kepada Dompet Dhuafa dan pera pekurban di Indonesia. “Kami sebagai perwakilan pemerintah Indonesia di sini, selalu membuka tangan untuk bersinergi dalam mengatasi krisis kemanusiaan ini,” ujarnya.
Yasfitha mewakili pemerintah Indonesia untuk menjembatani penyaluran hewan kurban di Myanmar. Dia berharap, hadirnya kurban kali ini di kamp pengungsian akan terus membawa berkah untuk Muslim Rohingya sehingga proses perdamaian cepat selesai.
 
Sumber : Republika

ACT Kembali Tebar Hewan Kurban untuk Pengungsi Rohingya

JAKARTA – Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kembali menyebar daging kurban di tempat-tempat pengungsi Rohingya. Dengan demikian kebahagiaan Idul Adha di Indonesia bisa meredamkan kepiluan mereka.
“Insya Allah, tahun ini Global Qurban tak luput menyapa Muslim Rohingya yang tengah berduka di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh,” kataHasan, salah satu mitra ACT di Chittagong lewat keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Rabu (30/8).
Hasan memastikan, daging kurban yang diberikan masyarakat Indonesia bisa meredam pilu Rohingya di Bangladesh. Apalagi, gelombang pengungsi diperkirakan akan terus berdatangan menuju Coxs Bazar, Bangladesh.
“Jumat kemarin (25/8), mitra Aksi Cepat Tanggap di Chittagong, Bangladesh, para pengungsi akan mencari suaka terdekat, yakni Coxs Bazar,” katanya.
Menurut Hasan, Kamp Kutupalong dan Kamp Balukhali menjadi sasaran utama para warga Rohingya yang bereksodus ke Bangladesh. “Kamp Kutupalong saja kini sudah ada sekitar 15 ribu KK atau 66 ribu jiwa. Sementara itu, Kamp Balukhali sudah ada 4 ribu KK,” katanya.
Hasan menambahkan, menjelang Idul Adha, tak diragukan lagi jumlah tersebut akan terus bertambah. Menurutnya, akan banyak pengungsi baru yang merayakan Idul Adha pertamanya di kamp pengungsian.
“Idul Adha pada tahun lalu, jumlah daging kurban yang kami bagikan kepada para pengungsi Rohingya dirasa belum cukup. Meski demikian, berkat kerja keras relawan ACT hampir sebagian besar pengungsi mendapat daging kurban, meski jumlah yang mereka terima tidak begitu banyak,” tuturnya.
“Dengan makin banyaknya pengungsi baru yang datang, kami berharap perayaan Idul Adha kali ini dapat mengikis trauma teror yang tengah mereka alami,” katanya
 
Sumber : Republika

Sekitar 3.000 Muslim terbunuh di Myanmar dalam 3 hari, Dewan Rohingya Eropa Melaporkan

 
Antara 2.000 sampai 3.000 Muslim terbunuh di negara bagian Rakhine di Myanmar dalam tiga hari terakhir, Dewan Rohingya Eropa mengatakan pada hari Senin (28/8/2017).
Juru bicara dewan, Anita Schug mengatakan kepada Anadolu Agency antara 2.000 sampai 3.000 orang Muslim telah meninggal di negara bagian Rakhine, dan ribuan lainnya terluka dalam apa yang dia gambarkan sebagai “slow-burning genocide”.
“Ini [situasi di Rakhine] adalah slow-burning genocide yang terus berlanjut,” kata Schug, menuduh militer Myanmar berada di balik pembantaian tersebut.
Dia mengatakan hampir seribu umat Islam terbunuh pada hari Ahad (27/8/2017) di desa Saugpara, Rathedaung.
Lebih dari 100.000 warga sipil telah mengungsi dari Rakhine, sementara 2.000 Muslim lainnya terjebak di perbatasan Myanmar-Bangladesh yang ditutup oleh pemerintah Bangladesh, Schug menambahkan.
Dia juga mengatakan bahwa seratus penduduk desa dari Auk Nan Yar dibawa ke tempat yang tidak diketahui pada hari Rabu, menambahkan bahwa ada kekhawatiran akan keselamatan mereka.
Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di negara bagian Rakhine, Myanmar barat, pecah pada hari Jumat (25/8/2017), mengakibatkan korban sipil massal.
Kemudian, laporan media muncul dengan mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar menggunakan kekuatan yang tidak proporsional dan mengungsikan ribuan warga desa Rohingya, menghancurkan rumah dengan mortir dan senapan mesin.
Daerah ini telah mengalami ketegangan antara populasi Budhis dan Muslim sejak kekerasan komunal terjadi pada tahun 2012.
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, di mana Rohingya adalah warga mayoritas di daerah tersebut, menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan, menurut laporan PBB.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan brutal dan penculikan. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 orang tewas dalam operasi tersebut.
Rohingya adalah komunitas tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia dan salah satu minoritas yang paling teraniaya.
Dengan menggunakan dialek yang serupa dengan yang diucapkan di Chittagong di tenggara Bangladesh, Muslim Rohingya dibenci oleh banyak orang di Myanmar yang beragama Buddha yang melihat mereka sebagai imigran ilegal dan menyebut mereka “Bengali” – meskipun banyak warga Rohingya telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Mereka tidak secara resmi diakui sebagai kelompok etnis, sebagian karena undang-undang 1982 yang menetapkan bahwa kaum minoritas harus membuktikan bahwa mereka tinggal di Myanmar sebelum tahun 1823 – sebelum perang Anglo-Burma pertama – untuk mendapatkan kewarganegaraan.
Sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine barat yang miskin namun ditolak kewarganegaraannya dan dilecehkan dengan pembatasan pergerakan dan akses pekerjaan.
Sebanyak 400.000 lainnya tinggal di kamp-kamp di Bangladesh, meskipun Dhaka hanya mengakui sebagian kecil sebagai pengungsi.
 
Sumber :Daily Sabah

Palang Merah Internasional Desak Myanmar Bolehkan Bantuan untuk Warga Rohingya

Peter Maurer, presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC), mengatakan kepada wartawan di ibukota komersial Myanmar, Yangon, Rabu (10/5/2017) malam bahwa dia telah meminta pemerintahan Aung San Suu Kyi untuk memberikan akses kepada pekerja bantuan untuk orang-orang yang menderita di bawah Kondisi memprihatinkan di bebarapa bagian negara Myanmar.
Pemerintah Myanmar telah memblokir akses ke daerah-daerah di mana mereka melakukan tindakan keras terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya.
“Kami ingin memiliki akses ke semua orang yang membutuhkan untuk melakukan penilaian yang tepat, untuk membantu memudahkan sesuai dengan kebutuhan,” kata Maurer.
Maurer baru-baru ini mengunjungi negara bagian Rakhine di bagian barat laut, di mana dia mengunjungi kamp-kamp yang didirikan hampir lima tahun yang lalu untuk menampung Muslim Rohingya yang mengungsi akibat diusir oleh ekstremis Budha. Namun, dia tidak diizinkan untuk mengunjungi bagian utara negara tersebut, di mana sebuah operasi keamanan membuat sekitar 75.000 orang Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh.
Presiden Palang Merah itu mengatakan bahwa dia “tidak puas” dengan pembatasan yang diberlakukan oleh pejabat Myanmar. Dia mengatakan bahwa dia yakin pemberian lebih banyak akses akan sesuai dengan kepentingan pemerintah dan angkatan bersenjata Myanmar.
“Dipenghujung hari tidak ada alat yang lebih efektif untuk mengurangi ketegangan daripada menawarkan prosedur yang lancar untuk akses ke organisasi kemanusiaan seperti kita,” katanya.
Maurer dijadwalkan untuk pergi ke ibu kota, Naypyidaw, pada hari Jum’at untuk bertemu dengan pejabat dan akan bertemu dengan Aung San Suu Kyi di Beijing dalam sebuah konferensi internasional di sana pekan depan, katanya.
Mantan tahanan politik Ang San Suu Kyi menang telak dalam pemilihan dan menjadi kepala pemerintahan sipil de facto pada bulan April 2016 setelah berpuluh-puluh tahun diperintah militer.
Tentara dan polisi Myanmar melakukan pembunuhan dan memperkosa terhadap Rohingya, yang kewarganegaraannya ditolak di Myanmar dan secara luas dipandang sebagai orang luar oleh mayoritas umat Budha negara itu meski mereka telah berabad-adab tinggal di negara tersebut.
Sejak Oktober 2016, pasukan Myanmar telah melakukan tindakan keras militer di Negara Bagian Rakhine, di mana komunitas Rohingya terutama berbasis, menyusul sebuah serangan di sebuah pos polisi yang dipersalahkan atas militan terkait Rohingya.
Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan oleh PBB bulan lalu, pasukan Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan perkosaan terhadap komunitas Muslim Rohingya.
 
Sumber : Okezone/voaislam