by Sharia Consulting Center scc | Jun 14, 2016 | Artikel, Ramadhan
Jumlah Rakaat Tarawih
Dalam riwayat Bukhari tidak menyebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan tarawih.
Demikian juga riwayat ‘Aisyah -yang menjelaskan tentang tiga malam Nabi Saw mendirikan tarawih bersama para sahabat- tidak menyebutkan jumlah rakaatnya, sekalipun dalam riwayat ‘Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya pembedaan oleh Nabi Saw tentang jumlah rakaat shalat malam, baik di dalam maupun di luar Ramadhan.
Namun riwayat ini tampak pada konteks yang lebih umum yaitu shalat malam. Hal itu terlihat pada kecenderungan para ulama yang meletakkan riwayat ini pada bab shalat malam secara umum.
Misalnya Imam Bukhari meletakkannya pada bab shalat tahajud, Imam Malik dalam Muwatha’ pada bab shalat witir Nabi Saw (lihat Fathul Bari 4/250; Muwatha’ dalam Tanwir Hawalaik: 141).
Hal tersebut memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39 rakaat.
Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat berikut:
a. Hadits Aisyah:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
Artinya: “Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan” (lihat al-Fath : ibid).
b. Imam Malik dalam Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang.
Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman dinyatakan bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat (lihat al-Muwatha’ dalam Tanwirul Hawalaik: 138).
c. Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir).
Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan asy-Syafi’i (lihat Fiqhu Sunnah: 1/195).
d. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya (al-Fath: ibid ).
e. Imam asy-Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat. Sedangkan di Makkah 33 rakaat. Dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran (al-Fath : ibid).
Dari riwayat diatas jelas bahwa akar persoalan dalam jumlah rakaat tarawih bukanlah persoalan jumlah melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan.
Ibnu Hajar berpendapat: “Bahwa perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Asy-Syafi’i: “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Jika shalatnya pendek dan jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama”.
Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa :
- Orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Saw.
- Dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar Ra
- Sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh Salafus shalih dari generasi sahabat dan tabi’in.
Bahkan menurut Imam Malik ra hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad ra bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250 dan seterusnya).
Imam az-Zarqani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang.
Namun menjadi bergeser pada 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan dalam mendirikannya oleh umat Islam.
Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama (Lihat hasyiah Fiqhu Sunnah : 1/195).
Dengan demikian tidak ada alasan yang mendasar untuk saling memperdebatkan satu dengan yang lain dalam jumlah shalat tarawih, apalagi menjadi sebab perpecahan umat. Padahal persatuan umat adalah sesuatu yang wajib.
Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi perhatian dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media yang komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin, sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersama-Nya di manapun berada.
*bersambung
Sumber :
Buku Panduan Lengkap Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center
by Danu Wijaya danuw | Apr 24, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita meyakini bahwa keluarga adalah pondasi sosial, sementara pernikahan yang sah merupakan pondasi dasar keluarga. Islam menolak segala cara yang menyimpang seperti nikah sejenis dan lainnya. Karenanya Islam mendorong pernikahan dengan memudahkan sarananya dan ekonominya. Islam menolak berbagai tradisi yang tidak sesuai seperti mahalnya mahar, tingginya beban walimah, berbagai hadiah yang melampaui batas, berlebihan dalam berbagai pakaian dan perhiasan serta berfoya-foya serta hal lain yang Allah dan Rasul-Nya murkai. Sebab semua itu memperlambat pernikahan untuk mengutamakan agama dan akhlak dalam memilih suami atau istri.
“Maka pilihlah –calon istri- yang memiliki agama niscaya engkau bahagia” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)
Keluarga
Islam membangun hubungan keluarga melalui cinta dan kasih sayang antara suami dan istri disertai upaya untuk saling menunaikan hak dan kewajiban dan pergaulan yang baik.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Identitas & Karakteristik Umat Islam)
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al Baqarah : 228)
Perceraian
Pada dasarnya Islam menghendaki pernikahan yang langgeng dan abadi. Tetapi realitasnya kadang kala kehidupan keluarga seperti neraka sehingga tidak ada alasan perlu dilestarikan akibat perbedaan dan perselisihan itu sendiri.
Terkait dengan melepas ikatan pernikahan Islam telah memilih jalan untuk tetap memperhatikan tabiat wanita disertai upaya mempertahankan kebutuhan rumah tangga semaksimal mungkin. Selain itu, Islam memperhatikan tanggung jawab laki-laki serta kemashlahatan anak.
- Ishlah : Islam mengajak suami dan istri untuk tetap bersabar, toleran, dan berlaku baik. Pihak keluarga masing-masing melakukan ishlah dan menyelesaikan perkaranya
- Rujuk : Suami yang diberi hak untuk mentalak satu istrinya, masih diberi peluang kembali tanpa pernikahan baru selama iddah (3 kali haidh) lewat. Sedangkan istrinya tetap berada dirumah suami tanpa hubungan suami istri sampai rujuk selesai. Apabila tidak rujuk, maka berlanjut menjadi talak bain yaitu suami istri harus berpisah total meskipun masih ada kesempatan kembali dengan pernikahan baru
- Khuluk : dalam Islam istri diberi kewenangan untuk menggugat cerai (khuluk) serta memberi syarat kapanpun bisa diceraikan. Serta hak mengadukan kepengadilan kezaliman yang menimpa dirinya.
- Talak Kedua : Apabila sudah rujuk terjadi perselisihan kembali, wajib mengikuti proses seperti talak satu, sampai terjadi talak kedua. Status talak kedua masih raj’i, yaitu suami bisa kembali kepada istrinya dalam iddah atau sesudahnya seperti perceraian pertama.
- Talak Ketiga : Apabila kedua suami istri yang rujuk setelah perceraian kedua lalu terjadi perselisihan kembali. Perceraian ketiga ini merupakan talak ketiga atau talak bain kubra, yang artinya mantan suami tidak boleh rujuk sampai istrinya telah pernah menikah dengan orang lain. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah ayat 162 :
“……Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….”
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Wanita)
Poligami
Dahulu bangsa-bangsa didunia melakukan poligami tanpa aturan. Ketika Islam datang, ia memberikan batas-batas dan aturan serta hanya bagi yang membutuhkan, mampu, dan yakin akan bertindak adil.
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, (kawinilah) seorang saja” (Q.S. An Nisa : 3)
Saat ini propaganda persamaan gender mengemuka dengan berbagai aturan perundangan yang memandang poligami sebagai kejahatan yang wajib diberi sanksi. Sementara hubungan lawan jenis diluar pernikahan sebaliknya.
Terdapat sejumlah kondisi pribadi yang membuat seseorang memiliki lebih dari satu istri. Misalnya ketika istrinya mandul atau menderita sakit yang tidak mungkin memberikan layanan kepada suaminya. Sebetulnya suami berhak menceraikan, namun ketika ia mempertahankan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain tentu lebih utama sekaligus membuat istri pertama tetap terhormat.
Peperangan membuat kondisi perempuan lebih banyak dari laki-laki. Disinilah poligami menjadi solusi terbaik secara moral dan kemanusiaan. Syariat Allah datang untuk menyelesaikan realita persoalan.
Orang Tua dan Anak
Islam mengatur hubungan antara orang tua dan anak. Di satu sisi, orang tua mereka wajib membimbing anak-anak mereka secara mnyeluruh baik dari sisi materi, psikologi, serta etika. Sementara disisi lain, anak wajib berbuat baik dan berperilaku terpuji kepada orang tua. Diantara bentuk pendidikan adalah kesempatan belajar anak di usia dini. Yaitu pendidikan yang dapat memberi bekalan kemampuan dan life skill.
Salah satu kewajiban masyarakat dan negara adalah memberikan pendidikan kepada kaum ibu dan anak-anak pada usia dini. Khususnya para yatim dan anak-anak terlantar seperti yang diajarkan Al Qur’an dan Sunnah mendorong untuk berbuat baik kepada mereka. Mereka berhak mendapatkan bagian dalam zakat, sedekah, dan harta rampasan perang.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Manusia)
Keluarga dalam Islam lebih luas cakupannya, bukan hanya komunitas kecil yang terdiri dari suami istri dan anak-anak, sebab meliputi kerabat dan saudara-saudara dekat. Menjaga hubungan dengan mereka adalah wajib, sementara memutusnya merupakan dosa besar.
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak serta karib-kerabat.” (Q.S. An Nisa : 56).
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Danu Wijaya danuw | Apr 1, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk yang dimuliakan. Ia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi untuk memakmurkannya. Karena manusia dimuliakan dan diangkat sebagai khalifah, Allah posisikan ia sebagai pimpinan bagi seluruh makhluk serta Dia tundukkan semua untuk melayaninya.
“Dia menundukkan untuk kalian apa yang terdapat dilangit dan dibumi yang seluruhnya berasal dariNya” (Q.S. Al Jatsiyah : 13)
Allah menganugerahkan kepada manusia sejumlah hak yang membantunya untuk menjaga kemuliaannya dan menunaikan perannya. Dia menyuruh manusia untuk memelihara hak tersebut sekaligus menjadikannya sebagai kewajiban utama. Hak yang paling pertama adalah kebebasan manusia dalam meyakini apa yang ia kehendaki. Islam sangat menjaga kebebasan akidah ini dengan menyuruh kaum muslimin berperang guna mempertahankannya serta guna melawan mereka yang mencederai agama.
Diantara hak manusia dalam Islam adalah menjaga akal, memeliharanya, serta mengerahkan semua potensinya dalam mengkaji dan menelaah Islam berupaya membangun rasionalitas ilmiah yang berlandaskan perenungan dan pengamatan terhadap cakrawala dan dirinya sendiri. Siapa yang berpendapat bahwa berpikir merupakan kewajiban Islam tidaklah ditiru. Demikian Al Qur’an menegaskan
“Katakanlah, Aku hendak mengingatkanmu satu hal saja yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) secara berdua atau sendiri. Kemudian cobalah engkau berpikir.” (Q.S. Ali Imran : 191)
Ia juga memerintahkan untuk memperhatikan dan merenungkan seraya memotivasi untuk melakukan hal tersebut dalam banyak ayat. Islam mengingkari sikap taklid buta dan sikap jumud yang hanya berpegang pada warisan terdahulu atau pada apa yang diperintahkan oleh pimpinan dan para pembesar.
“Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami. Mereka telah menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Q.S. al Ahzab)
Selain itu, Islam menolak sikap mengikuti prasangka dalam kondisi yang didalamnya dituntut adanya keyakinan. Islam juga tidak membolehkan mengikuti hawa nafsu dan emosi yang menyesatkan dari kebenaran.
“Mereka hanya mengikuti prasangka dan hawa nafsu” (Q.S. an Najm : 23)
Islam tidak menerima dakwaan atau pengakuan apapun jika tidak disertai bukti yang menguatkan kebenarannya. Apabila keberadaan bukti menjadi pegangan dalam rasionalitas berpikir, maka penyaksian menjadi pegangan dalam sesuatu yang konkret. Otentifikasi menjadi landasan dalam riwayat, kebenaran wahyu menjadi pegangan dalam hal agama. Karena itu Allah menantang orang-orang yang berbuat syirik
“Apakah kalian mempunyai sedikit pengetahuan sehingga dapat kalian sampaikan kepada kami? Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Dan kalian tidak lain hanyalah berdusta ” (Q.S. al An’am : 148)
Islam mengajak kepada pengetahuan, mengajak untuk unggul di dalamnya, untuk memergunakan sarana terbarunya, serta mengikuti ketentuannya dalam segala bidang. Islam memandang proses berpikir sebagai bentuk ibadah serta upaya mencari ilmu yang dibutuhkan oleh umat sebagai kewajiban.
Islam tidak melihat adanya kontradiksi antara akal yang jelas dan naql yang benar. Dengan akal keberadaan Allah, kenabian secara umum, dan kenabian Muhammad secara khusus menjadi demikian tegas. Kemudian dalam peradaban Islam, tidak ada kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan nash-nash Islam yang qath’i. Agama bagi kita merupakan ilmu
Islam terbuka bagi warisan ilmu dan pemikiran di seluruh dunia. Ia memburu hikmah yang keluar dari tempat manapun dan mengambil manfaat dari berbagai pengalaman umat baik dimasa dulu maupun sekarang selama tidak bertentangan dengan syariat. Berbagai filsafat yang diambil kaum muslimin tidak boleh berkebalikan dengan nash.
Kemudian diantara hak manusia dalam Islam adalah menjaga kesehatan, jasmani, jiwa dan akal
“Tubuhmu memiliki hak yang harus kau penuhi” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Salimah)
Diantara hak tubuh yang harus dipenuhi pemiliknya adalah memberinya makan ketika lapar, memberinya kesempatan beristirahat ketika lelah, membersihkannya ketika kotor, menguatkannya ketika lemah, dan mengobatinya ketika sakit. Sebab Allah tidak menurunkan penyakit kecuali ada obatnya. Ada yang mengetahui ada pula yang tidak mengetahui. Karena itu pula syarat sah shalat adalah kebersihan badan dan tempatnya.
Selanjutnya anjuran kepada manusia adalah menjaga lingkungan dari tindakan pengrusakan, entah pengrusakan karena marah dan murka, perbuatan sia-sia atau karena tidak peduli. Sebab selain berbuat baik kepada manusia, diperintahkan pula berbuat baik kepada binatang, tumbuhan, bumi dan tanah.
“Siapa yang memotong pohon (dengan sia-sia), Allah benamkan kepalanya di neraka.” (H.R. Abu Dawud dari Abdullah ibn Habsyi dan H.R. Baihaqi. Perawinya dapat dipercaya)
Terdapat neraca keseimbangan alam yang diketahui oleh mereka yang berilmu. Ia tidak boleh timpang. Ketimpangan akibat kelalaian, kecerobohan dan kerakusan manusia. Bahaya muncul ketika sumber daya disalah gunakan, baik karena kekeliruan atau berlebihan yang akhirnya bisa mengancam jiwa manusia. Oleh karena itu, Allah menyuruh manusia untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Danu Wijaya danuw | Apr 1, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita berpegang pada konsep moderat yang positif yang tegak diatas keseimbangan dalam memandang berbagai persoalan agama dan dunia, tanpa berlebihan dan mengabaikan. Tidak boleh berlebihan dalam timbangannya dan tidak boleh mengurangi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT.
“Supaya kamu tidak melampaui batas dalam neraca itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca tersebut.” (Q.S. ar Rahman 8-9).
Kami melihat bahwa Islam sangat memperhatikan sikap moderat dalam segala hal sekaligus menjadikannya sebagai karakteristik yang melekat pada umat.
“Demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat yang moderat(pertengahan).” (Q.S. Al Baqarah : 143).
Sikap moderat yang menjadi pegangan kita menggambarkan keseimbangan positif dalam segala aspek : dalam hal keyakinan dan amal perbuatan, materi dan maknawi, serta individu dan masyarakat. Islam masuk ke dalam kehidupan individu diatas prinsip keseimbangan antara ruh dan materi, antara akal dan kalbu, antara hak dan kewajiban, serta antara dunia dan akhirat.
“Wahai Tuhan, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat” (Q.S. al Baqarah : 102).
Di sisi lain, Islam menegakkan timbangan yang adil antara individu dan masyarakat. Karena itu, ia tidak memberikan hak-hak kebebasan kepada masyarakat yang dapat membahayakan kemashlahatan umum sebagaimana yang dilakukan kapitalisme. Sebaliknya, Islam juga tidak memberikan kekuasaan kepada masyarakat yang sifatnya menindas dan menekan individu sehingga mengerdilkan dan mematikan bakat dan potensinya sebagaimana yang dilakukan oleh sosialisme dan komunisme.
Namun, Islam memberikan kepada individu apa yang menjadi haknya secara proporsional tanpa berlebihan dan menguranginya. Hal itu telah diatur oleh hukum-hukum syariat berikut arahannya. Kita memandang sikap berlebihan dalam agama sebagai sesuatu yang bisa mencelakakan individu dan masyarakat.
“Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama. Sebab yang membinasakan generasi sebelum kalian adalah sikap berlebihan dalam beragama” (H.R. Ibn Majah, An Nasai, dan Ahmad dari Ibn Abbas. Para perawi dapat dipercaya).
Sebaliknya berlepas dari tali, nilai, akidah, dan syariat agama juga bisa membinasakan. Karena itu kami membangun pandangan moderat dalam segala aspek. Itulah yang sesuai untuk umat dan membuatnya menjadi baik.
Pandangan Islam adalah sikap pertengahan
- Antara kalangan yang menyerukan fanatisme mazhab secara sempit dan kalangan yang menyerukan sikap untuk tidak berpegang pada mazhab
- Antara pengikut tasawuf meskipun menyimpang dan mengandung bid’ah dan para musuh tasawuf meski komitmen dan mengikuti jalan yang benar
- Antara mereka yang mengagungkan akal meski berlawanan dengan nas yang qath’i dan mereka yang menafikan akal meski dalam rangka memahami nash
- Antara mereka yang mengilhami secara mutlak sehingga tidak mengakui wujud serta pengaruhnya dan mereka yang berlebihan dalam memposisikannya sehingga menjadikannya sebagai sumber hukum syariat
- Antara mereka yang bersikap keras meski dalam urusan cabang dan mereka yang agak longgar meski dalam masalah prinsip
- Antara mereka yang mengagungkan peninggalan generasi terdahulu meski didalamnya mengandung cacat dan mereka yang mencampakkannya meski mengandung petunjuk yang mengagumkan
- Antara filsafat kaum idealis yang nyaris tidak menaruh perhatian terhadap realitas dan filsafat kaum pragmatis yang berpegang pada idealisme
- Antara penyeru filsafat liberalisme yang mendewakan individu serta menafikan masyarakat dan penyeru filsafat kolektivitas marxisme yang mendewakan masyarakat sehingga menafikan individu
- Antara mereka yang tidak menginginkan perubahan meski dalam hal perangkat dan mereka yang menyerukan perkembangan meski dalam hal prinsip dan tujuan
- Antara mereka yang menyerukan pembaharuan dan ijtihad meski dalam hal prinsip agama dan sesuatu yang bersifat qath’i dan mereka yang menyerukan sikap taklid dan menentang ijtihad meski dalam berbagai persoalan masa kini yang tidak pernah terlintas dalam benak generasi terdahulu
- Antara mereka yang mengabaikan nash-nash baku dengan dalih menjaga maksud tujuan syariat dan mereka yang mengabaikan semua tujuan syariat guna menjaga lahiriah nash
- Antara mereka yang menyerukan keterbukaan tanpa patokan yang jelas dan mereka yang menyerukan sikap tertututp tanpa disertai alasan yang benar
- Antara mereka yang berlebihan dalam mengkafirkan sehingga mengkafirkan kaum muslimin yang taat dan mereka yang agak longgar didalamnya meski terhadap mereka yang jelas-jelas murtad, melawan agama, serta menjadi kaki tangan musuh
- Antara mereka yang berlebihan mengharamkan sehingga seolah-olah didunia tidak ada lagi yang namanya halal dan mereka yang berlebihan membolehkan sehingga seolah-olah tidak ada lagi didunia sesuatu yang haram
- Antara mereka yang hanyut dalam masa lalu dan mereka yang mengabaikan masa lalu seolah-olah mereka ingin membuang kata “kemarin” danbentuk kata kerja lampau dari bahasa
Sikap moderat yang seimbang ini disempurnakan oleh kondisi saling melengkapi yang bersifat komprehensif. Pasalnya, perhatian utama Islam tidak tertuju kepada penerapan aspek hukum syariat secara lahiriah. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah upaya untuk menegakkan kehidupan Islam yang hakiki, bukan hanya formalitas. Yaitu kehidupan yang berusaha memperbaiki jiwa manusia, sehingga Allah memperbaiki kondisi mereka
Dalam format semacam itulah manusia beriman, keluarga kokoh, masyarakat kuat, dan negara yang adil yang berciri adil dan amanah bisa dibentuk. Itulah kehidupan Islam yang komprehensif yang diarahkan oleh akidah Islam, dikontrol oleh syariat Islam, dibimbing oleh pemahaman Islam, dipagari oleh akhlak Islam, serta diperindah oleh adab-adab Islam.
Ia adalah kehidupan yang saling menopang dan kokoh sepertu satu bangunan yang sisi-sisinya saling menguatkan. Didalamnya tidak boleh ada yang kelaparan, sementara tetangga sebelahnya dalam kondisi kenyang. Didalamnya ilmu yang bermanfaat juga bisa didapat oleh setiap orang, pekerjaan yang sesuai bisa diperoleh oleh setiap penganggur, upah yang adil didapat oleh setiap pekerja, nutrisi yang cukup tersedia bagi setiap orang yang lapar, obat tersedia bagi setiap orang yang sakit,tempat tinggal yang sehat tersedia bagi setiap penduduk, ada kecukupan bagi setiap orang yang membutuhkan, ada perlindungan materi dan sosial bagi setiap yang lemah terutama anak-anak, orang tua, janda dan mereka yang cacat.
Disamping itu didalamnya juga terdapat kekuatan dalam setiap tingkatan, kekuatan pikiran, kekuatan spiritual, kekuatan badan, kekuatan akhlak, kekuatan ekonomi, kekuatan senjata, dan peralatan serta kekuatan persatuan. Tentu saja landasan dari semua itu adalah kekuatan iman.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Danu Wijaya danuw | Mar 19, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Perbedaan merupakan rahmat Allah swt terhadap manusia. Seandainya syariat hanya berupa satu pandangan tentu akan menyulitkan umat. Perbedaan menjadi khazanah kekayaan pemahaman dan kelapangan bagi umat. Keragaman pandangan membuka ruang untuk memilih dalil yang paling kuat, jalan yang paling tepat, serta yang paling sesuai untuk mewujudkan sejumlah tujuan syariat dan kemashlahatan makhluk. Kita telah melihat bagaimana umat demikian lapang menerima berbagai mazhab dan pandangan.
Perbedaan yang ada mengarah kepada kekayaan dan variasi, bukan perbedaan yang mengarah kepada konflik dan pertentangan. Kita semua juga harus komitmen dengan etika berbeda pendapat dan mengetahui fiqih ikhtilaf atau yang dikenal fiqih i’tilaf (fiqih persatuan). Maksudnya pandangan boleh berbeda, tetapi hati kita tidak boleh berbeda.
Dalam menghadapi berbagai persoalan umat yang besar ini kita harus berdiri dalam satu barisan seperti satu bangunan yang kokoh saling menguatkan. Kita tidak boleh memberikan celah untuk musuh yang sedang menunggu kesempatan guna mencerai beraikan persatuan dan memecah belah kita. Terutama dalam kurun waktu yang sulit ini dimana umat dihadapkan pada makar yang paling hebat dan agamanya sedang dihadapkan pada bahaya.
Persatuan umat harus diawali diantara para ulama yang memimpin umat lewat hukum-hukum syariat diatas landasan. Yang kita tuju adalah adanya dialog yang konstruktif yang bertujuan memperlihatkan kebenaran dan membuka pintu kerjasama dalam kebaikan. Dialog tersebut pertama-tama harus terwujud diantara para ulama dan pemikir dalam suasana persaudaraan serta dibawah kerangka ilmiah dan sikap objektif, jauh dari lontaran pemikiran yang membabi buta.
Selanjutnya kita meyakini bahwa hubungan antara muslim dan saudara sesama muslim berdasarkan prasangka yang baik serta mengantarkan menuju kebaikan. Seorang muslim tidak boleh memposisikan saudaranya sebagai orang yang berdosa, fasik, dan ahli bid’ah kecuali dengan dalil qath’i. Dan hal terburuk adalah mengkafirkan tanpa hujjah dan bukti yang jelas.
Hadist-hadist shahih yang demikian banyak mengingatkan kita untuk tidak mengkafirkan antar kaum muslimin. Hal ini tak boleh dipandang remeh agar setiap kelompok tidak mudah mengkafirkan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya. Nabi saw bersabda,
“Siapa yang menyebut seseorang sebagai kafir atau mengatakan, “Musuh Allah!” padahal tidak demikian, maka kondisi tersebut kembali kepadanya.” (H.R. Muslim dan Ahmad dari Abu Dzarr al Ghifari ra.)
“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, Wahai orang kafir!” maka kekafiran melekat pada salah satu dari keduanya jika ia memang seperti yang dikatakan. Namun, jika tidak ia kembali kepada yang mengucapkannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar)
Sikap mengkafirkan adalah dosa agama, kesalahan ilmiah, dan sebuah kejahatan sosial. Sebab ia memicu perpecahan umat dan bisa memicu munculnya kondisi yang diperingatkan oleh Rasulullah saw.,
“Janganlah sesudah kepergianku kalian kembali saling membunuh.”
Meskipun tindakan mengkafirkan diperbolehkan jika disertai dengan bukti-bukti nyata, namun ia harus ditujukan kepada jenis perbuatannya bukan kepada orangnya. Misalnya dengan berkata, “Siapa yang mengucapkan ini dan itu berarti ia telah kafir. Siapa yang berbuat demikian berarti ia kafir. Siapa yang mengingkari ini berarti ia kafir.” Jadi tidak boleh menyebutkan orangnya dengan berkata, “Fulan kafir”, kecuali setelah adanya interogasi, penelitian, dan pemeriksaan tanpa disertai keraguan sedikitpun. Ini hanya dapat dilakukan oleh peradilan.
Amal yang paling utama disisi Allah adalah berusaha merekatkan kaum muslimin, memperbaiki hubungan diantara mereka, menghilangkan sebab-sebab perpecahan diantara kelompok dan golongan mereka.
“Orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al Hujurat : 10)
Dengan melihat kepada kesamaan akidah, syariat dan tujuan mereka dikumpulkan oleh persaudaraan atas landasan iman, maka Islam memberikan kepada persaudaraan ini sejumlah hak yang tetap dalam hal pembelaan solidaritas dan perlindungan.
“Muslim yang satu saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak boleh menzaliminya dan membiarkannya dizalimi.”
Kaum muslimin adalah bersaudara. Mereka disatukan oleh akidah yang sama, kiblat yang sama, iman kepada kitab yang sama, rasul yang sama, dan syariat yang sama. Mereka harus menghilangkan seluruh faktor yang bisa memecah belah kesatuan mereka. Entah itu berupa sikap fanatisme ras dan teritorial, sikap mengekor, sikap mengikuti hawa nafsu, dan egoisme yang menginjak-injak kepentingan umat dan bahkan menampakkan loyalitas kepada musuh umat Islam.
“Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu. Maka sembahlah Aku” (Q.S. Al Anbiya : 92)
Mereka harus merelaisasikan solidaritas Islam dari sebatas wacana kepada amal yang nyata. Mereka harus saling mendukung secara politis diberbagai blok dunia. Umat Islam layak menjadi sebuah blok terbesar jika mereka mau merespon seruan Tuhan.
“Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali Allah dan jangan berpecah belah” (Q.S. Ali Imran : 103)
Kaum muslimin harus bahu membahu untuk membebaskan negeri Islam dari para perampasnya sesuai dengan orientasi untuk meraih kemashlahatan Islam yang paling tinggi, serta kebutuhan dan tuntutan dibidang militer, ekonomi,dan kemanusiaan. Aktivitas mereka dalam hal ini merupakan jihad yang paling utama dalam Islam. Siapa yang tidak mampu seorang diri melawan agresor dan memerdekakan negerinya, maka seluruh kaum muslimin berkewajiban menolongnya semampu mungkin.
“Janganlah kalian saling bertikai! Jika demikian kalian pasti gagal dan kehilangan kekuatan” Q.S. Al Anfal : 46
Palestina khususnya menjadi tempat jihad kaum muslimin pada saat ini. Ia adalah tanah air kenabian, tempat Isra Mi’raj Nabi saw, serta negeri tempat Masjidil Aqsa. Ia adalah persoalan setiap muslim. Karena itu, seluruh umat Islam harus membantu apa yang dibutuhkan oleh penduduknya agar negeri mereka yang terampas bisa merdeka, agar rakyatnya bisa mendapatkan haknya kembali, serta agar mereka bisa menegakkan negara yang merdeka ditanah airnya.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)