by Danu Wijaya danuw | Feb 6, 2018 | Artikel, Dakwah
IBNU Abbas Radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, ” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk melakukan sujud dengan bertumpu pada 7 anggota badan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, juga dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan: dahi –dan beliau berisyarat dengan menyentuhkan tangan ke hidung beliau–, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua kaki…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis, tujuh anggota sujud dapat kita rinci:
• Dahi dan mencakup hidung.
• Dua telapak tangan.
• Dua lutut.
• Dua ujung-ujung kaki.
Menempelkan Hidung dan Dahi
Praktek beliau ketika sujud, hidung dipastikan menempel di lantai. Sahabat Abu Humaid Radhiyallahu ‘anhu menceritakan cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menempelkan dahi dan hidungnya ke lantai… (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan agar dahi dan hidung benar-benar menempel di lantai. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah tidak menerima shalat bagi orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah, sebagaimana dia menempelkan dahinya ke tanah.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2710, Abdurrazaq dalam Mushannaf 2898, ad-Daruquthni dalam Sunannya 1335 dan dishahihkan Al-Albani).
Hadis ini menunjukkan, menempelkan hidung ketika sujud hukumnya wajib. Dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Habib (ulama Malikiyah). (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/208).
Bagaimana Jika Ada salah Satu Anggota Sujud tidak Menyentuh Lantai?
Praktek semacam ini sangat sering kita jumpai di masjid. Yang sering menjadi korban adalah kaki. Bagian kaki tidak menempel tanah. Terutama ketika sujud kedua. Sehingga orang ini tidak sujud dengan bertumpu pada 7 anggota sujud.
Sebagian ulama menilai, sujud semacam ini batal, sehingga shalatnya tidak sah.
Imam An-Nawawi mengatakan: Untuk anggota sujud dua tangan, dua lutut, dan dua ujung kaki, apakah wajib sujud dengan menempelkan kedua anggota badan yang berpasangan itu?
Ada dua pendapat Imam Syafi’i.
- Pendapat pertama, tidak wajib. Namun sunah muakkad (yang ditekankan).
- Pendapat kedua, hukumya wajib. Dan ini pendapat yang benar, dan yang dinilai kuat oleh as-Syafi’i Rahimahullah. Karena itu, jika ada salah satu anggota sujud yang tidak ditempelkan, shalatnya tidak sah. (al-Majmu’, 4/208).
Keterangan yang sama juga disampaikan Dr. Sholeh al-Fauzan. Dalam salah satu fatwanya, beliau mengatakan: Orang yang sujud, namun salah satu anggota sujudnya tidak menempel tanah, maka di sana ada rincian:
Jika dia tidak menempelkan sebagian anggota sujud, karena udzur yang menghalanginya untuk melakukan hal itu, seperti orang yang tidak bisa sujud dengan meletakkan salah satu anggota sujudnya,
Maka tidak ada masalah baginya untuk melakukan sujud dengan bertumpu pada anggota sujud yang bisa dia letakkan di tanah. Sementara anggota sujud yang tidak mampu dia letakkan, menjadi udzur baginya.
Namun jika dia tidak meletakkan sebagian anggota sujud tanpa ada udzur yang diizinkan syariat, maka shalatnya tidak sah. Karena dia mengurangi salah satu rukun shalat, yaitu sujud di atas tujuh anggota sujud.
by Danu Wijaya danuw | Jan 24, 2018 | Artikel, Berita, Nasional
Jakarta – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan surat imbauan untuk menyambut Gerhana Bulan Total yang kehadirannya bersamaan dengan fenomena Supermoon dan Blue moon pada tanggal 31 Januari 2018 mendatang. Surat tersebut ditandatangani pada hari ini, Selasa (23/1).
Di dalamnya Anies memaparkan, awal GBT diperkirakan terjadi pukul 19.51 WIB, dengan puncaknya pada pukul 20.29 WIB, dan berakhir pada pukul 21.07 WIB.

Surat instruksi Gubernur DKI Jakarta
Melalui surat itu juga, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu meminta kepala-kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan (Disdik), Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud), dan Biro Pendidikan, Mental, dan Spiritual (Dikmental) DKI Jakarta untuk menyiapkan keperluan tertentu dalam rangka menyambut GBT.
1. KaDisdik (Dinas Pendidikan)
Diharap menyebarkan edaran kepada sekolah-sekolah berisi informasi tentang fenomena gerhana bulan disertai dengan himbauan kepada guru untuk menjadikan fenomena ini sebagai media pembelajaran dan mendorong minat siswa mempelajari sains, serta mensyukuri anugerah dan mengagumi kebesaran Tuhan.
2. KaDisparbud (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan)
Diharap menyiapkan fasilitas dan dukungan di tempat-tempat wisata di bawah pengelolaan Pemprov yang dapat dijadikan titik pengamatan gerhana bulan bagi warga Jakarta.
Menanggapi surat tersebut, Kepala Disparbud DKI Jakarta Tinia Budiati menyebut ada beberapa tempat yang bisa digunakan untuk menyaksikan secara langsung Gerhana bulan total, misalnya Planetarium di Taman Ismail Marzuki dan di atas gedung-gedung tinggi.
“Silakan menikmati gerhana bulan itu, dengan fasilitas yang dimiliki. Misal gedung tinggi kan punya space di atas. Silakan untuk yang mau melihat. Tapi kan untuk melihat gerhana bulan butuh alat khusus, teropong,” jelas Tinia saat dihubungi, Selasa (23/1).
3. KaBiro Dikmental (Pendidikan, Mental dan Spiritual)
Diharap menyebarkan edaran kepada masjid-masjid berisi informasi tentang fenomena gerhana bulan disertai ajakan dan panduan untuk menunaikan shalat gerhana secara syar’i.
Kepala Biro Dikmental DKI Jakarta Hendra Hidayat mengatakan, imbauan tersebut adalah yang pertama kalinya.
Dalam Islam sendiri bagi umat muslim shalat gerhana hukumnya adalah Sunnah Muakkadah (sangat dianjurkan). Nabi Muhammad saw telah melaksanakan dan memerintahkan bila melihat gerhana, maka berseraya mengajak shalat gerhana. Disini Anies sebagai pemimpin mengajak warga Jakarta untuk menghidupkan sunnah shalat gerhana.
Disadur : Jawapos
by Danu Wijaya danuw | Jan 17, 2018 | Artikel, Dakwah
Seperti kita ketahui, shalat Isya mempunyai jangka waktu yang lama. Lebih dari 9 jam rata-rata. Pertanyaannya, kapan batas akhir shalat Isya sebenarnya?
Imam Ahmad menyatakan bahwa akhir shalat Isya adalah pada sepertiga malam.
Karena, dalam sebuah hadis tentang Malaikat Jibril disebutkan, bahwa beliau pernah shalat bersama Nabi SAW untuk yang kedua kalinya pada sepertiga malam, sesuai sabda Nabi SAW, “Waktu shalat Isya adalah antara dua waktu ini.”
Juga dalam hadis dari Buraidah disebutkan bahwa, “Nabi SAW mengerjakan shalat Isya pada hari yang kedua hingga memasuki sepertiga malam.”
Demikian pula ‘Aisyah RA menyatakan, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Kerjakanlah Shalat Isya pada waktu terbenamnya awan merah sampai sepertiga malam yang pertama,” (HR Muttafaqun Alaih).
Abu Hanifah berbeda pendapat, bahwa akhir waktu shalat Isya itu adalah sampai pertengahan malam saja.
Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, di mana ia bercerita, “Rasulullah SAW mengakhirkan shalat Isya sampai pertengahan malam,” (HR Al-Bukhari).
Dalam hadis lain dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Bahwa Rasulullah telah bersabda: ‘Waktu Shalat Isya itu sampai pertengahan malam’,” (HR Abu Dawud).
Menurut Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Fiqih Wanita Edisi Lengkap menyatakan bahwa,
“Diperbolehkan bagi wanita Muslimah mengakhirkan shalat Isya sampai pertengahan malam, di mana hal itu disebut sebagai waktu darurat yang hukumnya sama seperti waktu darurat dalam shalat Ashar.”
Jadi, diperbolehkannya melaksanakan shalat Isya pada sepertiga malam yang pertama, atau pertengahan malam dan bahkan sampai hampir memasuki waktu fajar adalah apabila benar-benar berada dalam kondisi darurat.
Adapun yang afdhal (lebih utama) adalah mengerjakan tepat pada waktunya untuk menambah pahala dari Allah SWT.
Referensi: Fiqih Wanita Edisi Lengkap/ Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah/Pustaka Al-Kautsar/2012
Sumber : inspiradata
by Danu Wijaya danuw | Jan 9, 2018 | Artikel, Dakwah
JIKA saya terlambat memasuki shaff pada shalat jama’ah pada saat imam sedang ruku’, lalu saya langsung ikut ruku’ bersamanya, maka apakah yang demikian itu dianggap satu raka’at? Padahal saya juga belum membaca surat Al Fatihah.
Barang siapa yang mendapati imam ruku’, lalu dia ikut ruku’ bersamanya, maka hal itu dianggap satu raka’at menurut jumhur ulama, meskipun ia belum membaca surat Al Fatihah.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh imam Bukhori (750) dari Abu Bakrah bahwa dia mendapati Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sedang ruku’, kemudian ia ikut ruku’ bersama Nabi sebelum memasuki shaff, lalu hal itu dilaporkan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau bersabda:
” زادك الله حرصا ولا تعد “.
“Semoga Allah menambahkan keseriusanmu, namun janganlah diulangi.”
Telah diriwayatkan dengan riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
” من لم يدرك الإمام راكعا لم يدرك تلك الركعة ” أخرجه البيهقي ، وصححه الألباني في إرواء الغليل 2/262
“Barang siapa yang tidak mendapati imam dalam keadaan ruku’, maka ia tidak mendapatkan raka’at tersebut,” (HR. Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Albani dalam Irwaul Ghalil: 2/262).
Ibnu Umar berkata: “Barang siapa yang mendapati imam sedang ruku’, maka dia ikut ruku’ sebelum imam mengangkat kepalanya, maka dia telah mendapatkan satu rakaat,” (HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Albani dalam Irwaul Ghalil: 2/263).
Disebutkan riwayat yang serupa dari Abu Bakar ash Shiddiq, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Zubair. (Baca Irwaul Ghalil: 2/264)
Imam An Nawawi –rahimahullah- berkata di dalam Al Majmu’ (4/112): “Hal inilah yang telah kami sebutkan tentang kesempurnaan satu raka’at itu dengan mendapatkan ruku’nya imam adalah benar, itulah yang benar menurut Imam Syafi’i.
Demikian juga pernyataan jumhurnya pengikut syafi’i dan jumhur (mayoritas) ulama’, hadits-hadits yang berkaitan dengan itu menjadi jelas dan telah dipraktekkan oleh masyarakat.
Dalam masalah ini terdapat sisi lemah yang mengatakan bahwa tidak dianggap mendapatkan satu raka’at penuh.”
Disebutkan di dalam ‘Aunul Ma’bud (3/102): “Ketahuilah bahwa pendapat jumhur ulama yang mengatakan, barang siapa yang mendapati imam dalam keadaan ruku’ dan ia pun mengikutinya maka hal itu dianggap satu rakaat penuh meskipun tidak mendapatkan bacaan imam.
Sebagian ulama lagi berbeda pendapat bahwa barang siapa yang mendapati imam sedang ruku’ maka tidak dianggap satu raka’at penuh, hal ini merupakan pendapat Abu Hurairah, imam Bukhori meriwayatkan “dalam hal membaca (al Fatihah) di belakang imam dari semua orang yang mewajibkan membaca (al Fatihah) di belakang imam”.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Khuzaimah, Shibghi, dan yang lainnya dari para perawi dari madzhab Syafi’i, dikuatkan oleh Syeikh Taqiyyud Diin As Subki dari kalangan belakangan, dan ditarjih oleh Al Muqbili.”
Pendapat yang rajih adalah madzhab jumhur berdasarkan hadits dan atsar di atas sebelumnya. Wallahu A’lam. Alangkah lebih baik shalat berjamaah tepat waktu sejak takbiratul ihram.
Sumber: Islamqa.
by Danu Wijaya danuw | Nov 30, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel, Muslimah
Islam sangat menjaga dan melindungi kehormatan dan kemuliaan wanita. Karena itulah Islam memerintahkan para wanita untuk menetap di dalam rumahnya.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu …” (Al-Ahzab: 33)
Islam juga menganjurkan kepadanya agar melaksanakan shalat di rumahnya dan menjelaskan bahwasanya hal itu lebih baik baginya daripada shalat di masjid, demi menjaga kehormatan, kesucian diri dan kemuliaannya.
Sikap berikut ini menggambarkan kepada kita sebuah akhlak yang mulia dari seorang shahabiyah (sahabat dari kalangan perempuan) dalam melaksanakan petunjuk Nabi Shalallaahu’alaihi wa Sallam untuknya, yaitu menunaikan shalat di rumah, karena hal ini adalah yang lebih afdhal baginya.
Ath-Thabrani dan lainnya meriwayatkan dari Ummu Humaid, istri Abu Hamid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anha :
Ummu Humaid berkata, “Saya berkata (kepada Rasulullah), ‘Wahai Rasulullah! Para suami kami melarang kami shalat bersamamu (di masjid).’
Rasulullah Shalallaahu’alaihi wa Sallam berkata,
صَلَاتُكُنَّ فِي بُيُوتِكُنَّ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكُنَّ فِي حُجَرِكُنَّ، وَصَلَاتُكُنَّ فِي حُجَرِِكُنَّ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِكُنَّ فِي دُوْرِكُنَّ وَ صَلَاتِكُنَّ فِي دُوْرِكُنَّ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِكُنَّ فِي الجَمَاعَةِ
‘Shalat kalian di tempat tidur kalian lebih baik daripada shalat kalian di kamar kalian, shalat kalian di kamar kalian lebih baik daripada shalat kalian di rumah kalian, dan shalat kalian di rumah lebih baik daripada shalat kalian berjamaah (di masjid)’.”
Hadist riwayat Ahmad (6/371), Shahih Ibnu Hibban (5/595), dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/295).
Penggalan kisah dalam hadits tersebut menjelaskan kepada setiap muslimah betapa kesungguhan seorang shahabiyah yang mulia ini selalu mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullaah Shalallaahu’alaihi wa Sallam.
Sebab, saat Nabi Shalallaahu’alaihi wa Sallam menjelaskan kepadanya bahwa shalatnya di dalam rumah lebih baik baginya, ia tidak membantahnya, tidak mengajukan protes dan juga tidak mengeluh.
Ia telah mengetahui seyakin-yakinnya bahwa Rasulullah Shalallaahu’alaihi wa Sallam tidak memerintahkan sesuatu kepadanya kecuali apa yang terbaik baginya untuk dunia dan agamanya.
Sumber: muslimah.or.id