by Danu Wijaya danuw | Oct 10, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Kiat pertama yang harus dilakukan seorang wanita agar sukses membangun rumah tangga bahagia, langgeng, rukun, serta jauh dari permusuhan adalah mentaati perintah Rasulullah SAW. Sebagaimana Sabda beliau :
“Apabila orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang untuk melamar, nikahkan dia. Jika tidak, pasti akan terjadi fitnah di bumi ini sekaligus kerusakan.”
Para sahabatnya bertanya, “Rasulullah, meskipun pada diri itu terdapat kekurangan?”
Rasulullah menjawab, “Apabila orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang untuk melamar, nikahkan dia,” jawab Rasulullah tiga kali. (HR. Tirmidzi).
Artinya apabila kalian tidak menikahkan seorang pria yang taat beragama dan berakhlak mulia, meskipun tidak kaya, tidak terhormat, atau tidak terpandang.
Namun karena kalian lebih menyukai sosok yang kaya, terhormat, dan terpandang, meskipun dia tidak taat beragama dan tidak berakhlak mulia, hal ini akan mengakibatkan kerusakan yang parah.
Mungkin akan banyak wanita yang hidup tanpa suami, dan banyak pula pria yang hidup tanpa isteri. Zina dan perbuatan nista akan tersebar luas. Hal ini akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberikan wasiat dalam memperlakukan wanita. Dengan demikian, akhlak mulia harus bersanding dengan agama, dan harus dijadikan pertimbangan utama dalam menentukan pasangan hidup.
Pria yang taat beragama dan mulia pastia akan memperlakukan isterinya dengan baik, apabila dia mencintainya. Dan, jika dia tidak menyukai isterinya, dia takkan pernah menghinanya, kalau tidak bisa mempertahankan rumah tangganya, dia pasti menceraikan isterinya dengan cara yang baik pula.
Sumber: Kiat Menjadi Muslimah Seutuhnya/karya: Adnan Tharsyah/Penerbit: Senayan Publishing/Diposting : Ruang Muslimah
by Danu Wijaya danuw | Mar 21, 2017 | Artikel, Muslimah
Telinga ini seakan lelah mendengar maraknya terjadi perceraian. Rumah tangga seolah-olah menjadi permainan. Banyak suami istri yang tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan rumah tangganya. Alhasil, perpisahan menjadi langkah yang banyak diambil oleh mereka.
Padahal, keawetan rumah tangga itu harus diperjuangkan. Sebab, suami istri sudah terikat janji dalam ikatan suci pernikahan untuk saling melengkapi satu sama lain. Tentunya, sehidup semati mereka harus berusaha untuk tetap bersama. Tapi, bagaimana caranya agar rumah tangga bisa awet?
Perceraian tidak akan terjadi jika suami dan istri saling mengedepankan prinsip baik dalam berumah tangga. Prinsip apakah itu?
1. Prinsip yang pertama ialah kesetiaan.
Ya, setia memang terlihat mudah untuk dilakukan. Tetapi ternyata, banyak sekali godaannya. Setia berarti tetap menjaga hati hanya untuk pasangan kita, dan tidak mudah tertarik pada yang lain. Maka, suami istri harus mampu memantapkan hatinya satu sama lain untuk saling menjaga cinta dan kasih sayangnya.
2. Prinsip kedua ialah taat.
Sikap taat menunjukkan kepadatuhan kita kepada Sang Pencipta. Dialah yang menyatukan seorang perempuan dan lelaki untuk menjalin rumah tangga. Maka, dalam menjaga keutuhan rumah tangga, kita harus taat terhadap perintah-Nya. Sebab, melalui perintah-Nya itulah yang akan menentukan jalan menuju kebahagiaan.
3. Prinsip selanjutnya ialah takut pada azab Allah.
Jika kita bisa menerapkan rasa takut pada azab Allah, maka sepasang suami istri akan lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Sebab, segala sesuatu pasti diperhitungkan.
Ketiga prinsip itulah yang bisa membuat rumah tangga awet. Di mana satu sama lain saling menjaga hati untuk pasangannya.
Sepasang suami istri yang taat dan beriman kepada Allah, akan lebih mudah menggapai kebahagiaan berumah tangga. Sebab, ketenangan dan kedamaian tercipta di dalamnya.
Dan rasa takut akan azab Allah, menguatkan cinta mereka untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya, demi menggapai ridha-Nya.
Referensi: Sang Bidadari, Karya: Sendi Rizaldi Supriadi Putra, Penerbit: Hakim Publishing
by M. Lili Nur Aulia mlilinuraulia | Jul 12, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : M. Lili Nur Aulia
Salah seorang salaf berjalan di jalan raya dan matanya melihat seorang perempuan.
Maka dia memukul kedua matanya hingga bengkak dan mengatakan kepadanya, “Kenapa kamu melihat kepada sesuatu yang tidak halal bagimu.”
Diceritakan, Muhammad bin Sirin berkata, “Tidaklah aku melihat seorang wanita yang sama sekali tidak halal bagiku, sehingga dalam mimpiku perempuan itu datang dan aku melihatnya.
Ternyata dia bukan Ummu Abdullah – istrinya – kemudian aku tundukkan pandanganku, karena takut dosa.“
Tanyaku : Dalam tidur?
Jawabnya : Iya.
Sumber
Ramadhan Sepenuh Hati, M. Lili Nur Aulia
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | May 21, 2016 | Artikel, Tausiyah Iman
Tausiyah Iman – 12 Mei 2016
Imam Ghazali:
Dua jenis manusia yang merusak agama;
(1) Alim yang suka maksiat
(2) Orang bodoh yang taat
Si alim tidak mengamalkan ilmunya, sementara si jahil beramal semaunya tanpa dalil.
Ustadz Fauzi Bahreisy
(Baca juga: Lupa Peringatan Allah)
•••
Join Channel Telegram: http://tiny.cc/Telegram-AlimanCenterCom
Like Fanpage: fb.com/alimancentercom
•••
Rekening donasi dakwah:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
by Danu Wijaya danuw | Jan 13, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : KH Rahmat Abdullah
Yang dimaksud dengan at tho’ah disini adalah
“Melaksanakan sekaligus menjalankan perintah tanpa reserve (menunda) baik dalam kelapangan maupun dalam kesempitan, dalam suka maupun duka”
(Hasan Al Bana)
Di negeri yang malang ini, sikap ekstrem terdiri atas ifrath (keras berlebihan) dan tafrith (lunak berlebihan). Ada orang yang meletakkan akal teronggok begitu saja tanpa kerja. Karenanya seringkali kita temui para pemimpin yang ingin mengambil keuntungan besar, harus menyemai benih-benih kebodohan dan menyikapi langkah pencerahan seseorang sebagai hama yang akan menggagalkan panen mereka.
Sementara sudut ekstrem lawannya membayangkan taat dengan dalil “La tha’ata limakhluqin fi ma’shiyatil Khaliq” (Tidak boleh taat kepada makhluk yang bermaksiat kepada Al Khaliq). Dengan sarat beban duka, kepedihan dan trauma otoriter mereka gunakan dalil tersebut mereka gunakan untuk menolak keputusan syuro jamaah karena tak sejalan dengan persepsi atau ambisi pribadi. Atau mengecam dengan keras perintah seorang pemimpin yang sah karena kesalahan atau maksiat pribadinya.
Betapa selamat umat, komunitas, atau bangsa yang mau berlapang hati untuk mengorbankan kemauan, pandangan dan persepsi pribadinya saat mereka bertentangan dengan sang pemimpin. Lebih beruntung mereka yang tunduk dalam keputusan syura, bahkan sekedar menjalankan perintah seorang pemimpin.
Bangga dalam Taat
Kalaulah mereka tahu kelezatan sebuah ketaatan, sebagaimana seorang Abu Ubaidah Amir bin Jarrah. Sepanjang karirnya sebagai da’i dan panglima tak satupun perintah atasan ditentangnya baik kepada Rasulullah, khalifah Abu Bakar ataupun Umar. Tak satu kata protes disimpannya di hati apalagi di ungkapkan kepada Rasulullah. Bahkan ketika Rasul menugaskan Abu Ubaidah membawa pasukan ke medan berat hanya dengan bekal sekantung makanan, yang dihitung-hitung setiap prajurit hanya mendapat sebutir sehari untuk makan pagi, siang dan malam.
Berapa Ibnu Atban memenuhi panggilan jihad ketika dia sedang bersama istrinya. Sampai-sampai Rasulullah mengatakan :”Saya telah membuatmu tergesa-gesa wahai saudaraku”. Taat sebagai sebuah Wala’ (loyalitas) dalam Tarbiyah yang akan memunculkan thaqatu’t taghyir (kekuatan daya ubah) yang luar biasa. Salah satu pengakuan Rasulullah atas ketaatan perempuan Madinah ialah sikap mereka spontan menyambar apa saja untuk menutupi aurat karena turunnya ayat hijab. Begitupula ketika para penduduk Madinah menerima informasi larangan tuntas meminum khamar, mereka langsung menumpahkan khamr-khamr.
Banyak orang yang mengira, ketaatan hanya ada kepada Rasulullah SAW dan belum tentu untuk masa para sahabat, tabiin atau pemimpin muslim biasa. Ternyata sampai zaman Umar, seorang Abu Ubaidah tetap setia seperti gelar yang diberikan Rasulullah. Sabda beliau : “Setiap umat punya orang kepercayaan (amiin) dan orang kepercayaan umat ini Abu Ubaidah”. Ali tetap mengutus putera-puteranya untuk menjaga khalifah Ustman dari serangan kaum bughat. Hakim (qadhi) Cordova tetap meminta syarat kepada Sultan bila ia tetap ingin menjadi khatib jumat.
Sultan menangis oleh pesan-pesan yang mendalam, ikhlas, dan berani. “Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan apabila kamu menyiksa maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku” (Q.S. Asy Syuara : 128-131)
Pemerintahan Abu Bakar yang singkat adalah pembuktian ketaatan Islami, bukan sekedar suatu pergantian kekuasaan menyusul wafatnya sang Rasul SAW. Alangkah sadarnya generasi hari ini untuk seimbang kepada daya kritis yang tidak menafikan ketaatan dan loyalitas yang tetap memelihara kesuburan daya kritis.
Ketaatan dan Daya Sambut (Istijabah)
Hakikat ketaatan ialah kepada Allah, Rasul-Nya dan sesama orang beriman. Bila ketaatan itu terwujud dalam hubungan antara makhluk berupa rakyat dengan pemimpin, maka keikhlasan adalah hal yang paling dominan sehingga ketaatan itu dapat bernas. Sahabat Saad bin Abi Waqash telah memerankan hal tersebut dengan baik. Kecintaannya kepada ibunya tak membuat imannya luluh sekalipun sang ibu telah mogok makan (dan akhirnya berhasil menyadarkan dan membuatnya beriman kepada Allah).
Sudah sepatutnya doa mustajab Rasulullah menjadi haknya. “ Ya Allah, tetapkanlah bidikannya dan kabulkan doanya”, demikian doa beliau. Sampai-sampai menahan diri dari menyumpahi orang karena fitnah yang dilancarkannya. “Ya Allah, jika hamba-Mu ini dusta, maka panjangkanlah umurnya dan panjangkanlah miskinnya”.
Seorang Umar Tilmisani pengacara muda yang necis dan lembut berusaha menjadi murid yang taat dan menyesuaikan diri dengan gurunya Al Bana dalam berkorban, hidup sederhana dan berani. Tak ada kekuatan pemerintahan yang membuatnya takut berkata benar dan tak ada penghinaan yang membuatnya kehilangan kesantunan.
Suatu hari disebuah acara resmi yang disiarkan di media cetak dan elektronik Presiden Anwar Sadat menyerang jamaahnya dengan tuduhan keji dan tak mendasar; separatis dan berbagai tuduhan batil. Dengan tenang syaikh Tilmisani menjawab: “ Hal yang lumrah bila aku dizalimi oleh siapapun untuk mengadukanmu kepada Allah sebagai tempat bernaung kaum tertindas. Sekarang aku mendapatkan kezaliman darimu, karenanya tak ada kemampuan bagiku selain mengadukanmu kepada Allah.”
Spontan Sadat gemetar, ngeri dan mengiba-ngiba agar Syaikh menarik pengaduannya kepada Allah. Dengan tegas, tenang dan kuat Syaikh menjawab: “Aku tak mengadukanmu kepada (penguasa) yang zalim. Aku mengadukanmu hanya kepada Tuhan yang adil yang mengetahui apa yang kukatakan”. Itulah pengalaman dihari-hari terakhir hayatnya. Sadat menyerang seorang pemimpin dan mursyid jamaah, sebelum kematian yang perih membungkamnya.
Mustahilkah jaman kini dari istijabah yang menyuburkan hidup para kader dan aktifis dari kucuran doa para masyaikh dan pemimpin atas pribadi-pribadi ataupun kelompok? Ataukah para pembangkang dan kaum arogan telah siap menerima limpahan yang akan menenggelamkan mereka karena kerontang ketaatan di hati mereka? Sebagai pewaris nabi, para ulama dan masyaikh tak akan mengutuki pengikutnya.
Referensi:
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Da’watuna, KH Rahmat Abdullah