by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 11, 2016 | Konsultasi Ibadah
Apa hukumnya kalau sholat diulang karena lupa, apakah tadi melakukan tahiyat awal atau tidak? Apakah boleh sholatnya diulang atau diputuskan untuk mengawali sholat lagi?
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Nabi saw bersabda, “Tinggalkan sesuatu yang membuatmu ragu menuju sesuatu yang tidak membuatmu ragu.” Dengan demikian, jika kita ragu apakah sudah shalat dua atau tiga rakaat, maka hendaknya mengambil yang dua rakaat karena yang diragukan adalah rakaat yang ketiga.
Demikian pula jika ragu sudah tahiyat atau belum maka hendaknya tahiyyat. Begitu seterusnya. Namun kalau perasaan ragu terjadi secara terus-menerus sehingga menyulitkan, maka ia sudah tergolong penyakit was-was yang harus diabaikan.
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah disebutkan bahwa orang yang ragu biasa, misalnya apakah sudah rukuk atau belum, maka ia harus rukuk sebab pada dasarnya ia belum melakukan rukuk. Namun jika keraguan tersebut terjadi karena penyakit was-was maka tidak perlu diulang karena hanya akan melahirkan kesulitan. Ia harus terus melanjutkan shalatnya dengan mengabaikan apa yang diragukan.
Ibnu Taymiyyah menegaskan, “Sikap hati-hati baik selama tidak membuat pelakunya menyalahi sunnah. Namun jika sampai menyalahi sunnah, maka bentuk kehati-hatiannya adalah meninggalkan sikap hati-hati yang semacam tadi.” Apalagi jika keraguan tersebut muncul selepas shalat atau sesudah dilakukan, dalam kondisi demikian keraguan tadi harus diabaikan. Bahkan mengulang shalat yang sudah dilakukan tanpa ada udzur syar’i hukumnya makruh.
Ibn Rajab rahimahullah menegaskan, “Jika sesudah shalat atau sesudah melakukan ibadah, muncul keraguan terkait apakah ia meninggalkan salah satu rukunnya atau tidak, maka keraguan tersebut harus diabaikan.” Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
ed : danw
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Jan 11, 2016 | Artikel
Oleh: Adi Setiawan, Lc., MEI.
Imam Qurtubi dalam tafsirnya mengisahkan bahwa pemimpin kaum Tsaqif, Khaza’ah, dan Bani Mudlaj mengharamkan atas kaumnya untuk menikmati rezeki berupa hidangan dari hewan ternak dan hasil kebun mereka sendiri.
Kemudian Allah SWT meluruskan hal ini lewat firman-Nya, “Wahai manusia! Makanlah yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 168).
Menurut Imam Malik, tayyiban (baik) dalam ayat bermakna dan berfungsi sebagai ta’kid (penguat) dari kata halal itu sendiri. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, jika halal adalah zatnya maka tayyiban adalah rasanya, yaitu rasa yang nikmat.
Inilah dasar dari perintah Allah SWT agar manusia semuanya bekerja, mencari rezeki. Dan kemudian dengan bekerja dia mampu memenuhi diantara kebutuhan pokoknya berupa makanan. Sehingga selama makanan itu halal dan baik bagi manusia, tidak ada yang berhak mengharamkannya kecuali telah ada ketetapan khusus dari Allah SWT.
Rasulullah SAW pun menguatkan umatnya. Dari Umar bin Khattab dari Nabi SAW bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal. Pasti Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Di saat ia berangkat di pagi hari perutnya masih kosong. Dan ketika ia kembali ke sarangnya di sore hari perutnya sudah kenyang.” ( HR. Ahmad).
Allah SWT Ar-Rozzaq menjamin rezekinya burung. Maka sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung, begitu pula Ia akan memberi kita rezeki. Bahkan rezeki kita telah ditetapkan sebelum kita dilahirkan, saat kita masih berada dalam kandungan ibu kita.
Yang perlu disadari, kita tidak akan meninggal dunia kecuali Allah SWT telah cukupkan rezeki kita. Rasulullah SAW bersabda, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam gengaman tangan-Nya, Tidak akan meninggal setiap jiwa (manusia) sebelum sempurna jatah rezekinya. Bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Jangan sampai karena rezeki kalian datangnya lambat, membuat kalian mencarinya dengan cara tidak taat kepada Allah (cara yang haram). Sebab apa (rezeki) yang ada pada Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya. Pena-pena (pencatat takdir) telah diangkat dan kertasnya pun telah kering (takdir telah ditetapkan)”. (HR. Tabrani).
Ketika kita telah memiliki berbagai rezeki. Satu hal yang perlu diingat yaitu ancaman Allah SWT untuk mereka yang tidak mau berbagi dan cenderung lupa diri. Firman-Nya, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira bagi mereka, bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih. (QS. At Taubah: 34).
Jika ingin introspeksi diri apakah kita berpotensi mendapat ancaman Allah ini, perhatikan komentar Imam Qurtubi, bahwa ada dua ciri Al-Kaniz (penyimpan harta) yang cenderung ingin mempertahankan hartanya selamanya, yaitu mereka adalah orang-orang yang menolak untuk berzakat dan selalu menahan hartanya, mereka enggan mengulirkan hartanya tersebut kepada yang lain.
Mereka menyimpan harta dengan harapan agar hartanya bertambah namun Allah SWT menyangkal usaha mereka tersebut. Firman-Nya, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) (QS. Ar Ruum: 39).
Ayat ini menerangkan bahwa justru semua harta yang dikeluarkan sesuai dengan aturan Allah SWT dan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, akan dilipatgandakan pahala dan balasannya di dunia maupun di akhirat. Dan sebaliknya Allah SWT tidak akan menambahkan keridhaan-Nya kepada harta riba walaupun secara nominal ada kemungkinan lebih banyak mendapatkan tambahan.
Namun karena tidak diridhai Allah SWT harta tersebut akan terasa tidak pernah cukup bagi para pemiliknya. Tercukupinya seluruh kebutuhan menjadi tanda kekayaan seseorang yang sesungguhnya. Bisa dicukupi dengan harta yang dimilikinya sendiri, bisa juga dicukupi dengan harta yang dimiliki oleh orang lain yang digerakkan oleh Allah SWT untuk mencukupi kebutuhan kita atau bisa juga dengan rasa kecukupan yang diberikan Allah SWT atas segala rezeki sehingga tidak pernah merasa kekurangan.
Waallahu A’lam.
by M. Nasir Azzainy mnasirazzainy | Jan 11, 2016 | Artikel
Ringkasan Kajian Tadabbur Al Quran Surat Al Mumtahanah ayat 5
Bersama:
Ust. Fauzi Bahreisy
Ahad, 27 Desember 2015
Pkl. 18.00-19.30
Di Majelis Ta’lim Al Iman
Surat Al Mumtahanah ayat 5: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Kapan umat Islam menjadi fitnah?
– Ketika umat Islam dikalahkan orang-orang kafir dan berada dalam kendali mereka.
– Ketika umat Islam berada dalam kondisi lemah, papa, tertinggal, bodoh, dan seterusnya.
– Ketika umat Islam terus berada dalam kondisi konflik internal dan saling menyerang.
– Ketika umat Islam menunjukkan akhlak dan perbuatan tercela, serta tidak menjalankan agama.
Ketika itulah umat Islam menjadi fitnah: alasan, dalih, dan penghalang bagi orang kafir untuk memeluk Islam. Ketika itulah mereka mencibir Islam.
Bahkan bukan saja non muslim yangg menjauh dari Islam, kaum mukmin yang imannya masih lemah juga bisa menjadi ragu dan tidak senang dengan ajaran Islam.
Islam dianggap sebagai pemicu kekalahan, kemunduran, dan keterbelakangan.
Padahal umat Ini pernah berjaya selama 7 abad lebih saat Islam diterapkan dalam kehidupan.
Karena itu, sudah seharusnya kita kembali kepada Islam, mengamalkan Islam, menunjukkan akidah, ibadah dan akhlak yang baik agar semua simpati kepada Islam.
Setelah itu kita meminta ampunan atas segala kekurangan.
Kemudian setelah berusaha menampilkan yang terbaik, kita serahkan semuanya kepada Zat Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
***
Majelis Ta’lim Al Iman
Tiap Ahad. Pkl. 18.00-19.30
Kebagusan, Jakarta Selatan.
Jadwal Pengajian:
● Tadabbur Al Qur’an tiap pekan 2 dan 4 bersama Ust. Fauzi Bahreisy
● Kitab Riyadhus Shalihin tiap pekan 3 bersama Ust. Rasyid Bakhabzy, Lc
● Kontemporer tiap pekan 1 bersama ustadz dengan berbagai disiplin keilmuwan.
•••
Salurkan donasi terbaik Anda untuk mendukung program dakwah Majelis Ta’lim Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 10, 2016 | Konsultasi Ibadah
Assalamu alaikum. Jika seorang suami menyentuh istrinya apakah wudhunya otomatis menjadi batal? Terima kasih
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du:
Mengenai batal tidaknya wudhu ketika bersentuhan dengan wanita baik isterinya maupun orang lain, para ulama berbeda pendapat:
Kalangan Syafii berpendapat bahwa menyentuh kulit wanita baik isteri sendiri maupun bukan membatalkan wudhu meski tidak disertai syahwat. Dalilnya adalah Q.S. al-Maidah ayat 6
(وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا) المائدة/6.
Imam Syafii menafsirkan laamastumu annisaa dengan sentuhan antara kulit dengan kulit; tidak mesti jima. Alasannya:
- Allah berbicara tentang junub di awal ayat, lalu sesudah itu menyebutkan sentuhan tadi sesudah buang kotoran. Ini menunjukkan bahwa sentuhan tadi termasuk hadast kecil seperti buang kotoran; tidak seperti junub yang merupakan hadats besar.
- Secara bahasa laamasa bermakna lamasa seperti dalam bacaan riwayat yang lain. Semua bermakna sentuhan kulit dengan kulit seperti dalam surat al-An’am ayat 7.
- Riwayat Ibn Umar ra yang berkata, “Ciuman laki-laki terhadap isterinya dan sentuhan dengan kulitnya termasuk bentuk Mulamasah. Maka, siapa yang mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, ia harus berwudhu“. (HR Malik)
Sementara kalangan Hanafi memiliki pendapat yang berbeda. Menurut mereka, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu entah dengan syahwat ataupun tanpa syahwat. Dalilnya:
- Tidak ada riwayat sahih yang menyatakan batalnya wudhu dengan sentuhan.
- Terdapat sejumlah riwayat bahwa Nabi saw tidak berwudhu setelah bersentuhan dengan Aisyah ra.
- Kata laamasa yang terdapat pada ayat 6 dari surat al-Maidah bermakna jima; bukan sentuhan biasa seperti pada ayat 47 surat Ali Imran. Inilah pendapat Ibn Abbas ra.
Adapun kalangan Maliki dan Hambali menggabungkan antara pendapat kalangan Syafii dan Hanafi. Menurut mereka sentuhan yang membatalkan wudhu adalah sentuhan yang disertai syahwat. Sementara jika tanpa syahwat seperti sentuhan Rasul saw dengan Aisyah ra tidak membatalkan wudhu.
Demikian pendapat para ulama. Semoga kita bisa menghargai setiap perbedaan yang ada.
Wallahu ‘lam.
Wassalamu alaikum wr. wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 10, 2016 | Artikel, Kisah Sahabat
Oleh: Fauzi Bahreisy
Seorang yang senang berghibah duduk di dekat ar-Rabi ibn Khutsaym. Sebagian orang memang memiliki lisan yang suka membicarakan keburukan orang. Ia laksana gergaji yang memotong kehormatan atau seperti lalat yang suka bertengger pada bagian yang luka.
Setiap manusia memiliki kesalahan. Namun peng-ghibah suka mengumpulkannya. Ia suka memperhatikan orang-orang. Ia tidak senang dengan kesuksesan orang. Dirinya sakit. Melihat orang dengan pandangan buruk. Yang terlihat hanya aib dan kekurangan orang.
Namun sebagian lagi memiliki hati yang bersih. Ia selalu berusaha memaklumi saudaranya. Ia melihat pada sisi-sisi positif dari kehidupan mereka dan kepada akhlak mereka yang mulia. Ia memuji sisi tersebut.
Nah, orang yang suka berghibah tadi datang kepada ar-Rabi ibn Khutsaym. Mendengar hal itu a-Rabi berujar, “Engkau sudah berperang dengan Romawi?”
“Belum,” jawabnya.
“Engkau sudah berjihad melawan Persia?” tanyanya lagi
“Belum.” jawabnya
“Romawi dan Persia selamat darimu, sementara saudaramu sendiri sesama muslim tidak selamat dari lisanmu?!”