0878 8077 4762 [email protected]

Jangan Marah

Oleh: Dr. Aidh al-Qarni
 
Amarah senantiasa merusak. Penyakit kanker telah menyita perhatian dunia dan menghabiskan banyak harta. Sementara marah yang menyebabkan terjadinya pembekuan darah dan kontraksi di mana ia justru lebih sering mengantarkan kepada kematian daripada kanker malah kurang mendapat perhatian.
Bahkan Dale Carnegie berkata, “Bencana akibat marah merupakan bencana terbesar yang dihadapi manusia. Akan tetapi, mereka tidak mau memerhatikan dan merenungkannya.”
Bahaya Marah
Marah mengantarmu berkonflik dengan pihak lain serta membuat persoalan semakin rumit. Marah membuatmu dinilai negatif dan tidak disukai oleh orang. Marah bisa melahirkan persoalan kesehatan yang besar. Misalnya, penyakit jantung, stroke, dan kanker yang dialami oleh orang-orang yang sering marah. Marah bisa mengantar pada serangan lisan dan fisik yang mengarah kepada sejumlah orang yang semestinya dicintai dan dihormati. Orang yang sedang marah biasanya mengucap atau melakukan sesuatu yang membuatnya setelah itu menyesal disertai dengan celaan yang tidak pantas.
Bentuk-bentuk Amarah
Dampak amarah pada lisan terlihat dengan keluarnya kata cacian dan ucapan kotor yang orang berakal malu dengannya. Termasuk pengucapnya sendiri malu ketika amarahnya reda. Nabi saw bersabda, “Dosa manusia yang paling banyak berada di lisannya.”
Dampak amarah pada anggota badan terlihat dalam bentuk pukulan, serangan, penghancuran, pembunuhan, dan penganiayaan di saat memungkinkan. Kadang orang yang marah merobek pakaiannya dan menampar dirinya. Rasul saw bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek saku.” Kadang ia memukulkan tangannya ke tanah. Ia juga bisa kehilangan kontrol dan kesadaran.
Dampak amarah pada qalbu terlihat dalam bentuk sifat dengki, iri, menyembunyikan keburukan, senang dengan musibah yang menimpa orang, sedih dengan gembiranya, berusaha merusak rahasia, membuka hijab, mengolok-olok, dan berbagai sifat buruk lainnya.
Serta tentu saja amarah memberikan bahaya pada agama dan akhlak. Bahaya ini bisa berpengaruh pada kondisi fisik dan akal berikut pengaruh semuanya pada qalbu. Dari uraian tersebut kita bisa menangkap hikmah dari pesan Rasul yang agung, “Jangan marah!
Diantara dampak amarah adalah sombong, ujub, sikap arogan, angkuh, dan otoriter. Bahkan buruknya kebijakan penguasa bersumber dari amarah. Jika ia bersikap otoriter hal itu disebabkan oleh amarah. Fir’aun marah kepada kaumnya. Ia berkata, “Yang kukemukakan kepada kalian adalah apa yang kulihat baik dan tidaklah aku menuntun kalian kecuali ke jalan yang benar.” (QS. Ghafir : 29).
Ia tinggalkan segala sesuatu untuk meluapkan amarahnya sampai akhirnya tenggelam di laut.
Saat sedang marah ia berkata, “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku?” (QS. az-Zukhruf : 51).
Maka, Allah mengalirkan air dari atas kepalanya akibat amarah yang ia luapkan.
Lembaran Sejarah
Tidak diragukan lagi bahwa ketika membaca sejarah hidup orang mulia, kau dapati ia adalah orang yang dapat mengendalikan amarah. Orang-orang mulia hanya marah dalam kebenaran. Mereka tidak dikendalikan oleh amarah dan hawa nafsu. Marah bukan sifat mereka.
Pemimpin yang lurus dan baik tidaklah pemarah, Pasalnya, jika ia pemarah tentu tidak akan memiliki kontrol dan pandangan yang lurus. Ia akan dipermainkan oleh setan. Sebab, dalam amarah terdapat kekuatan yang bisa menawan manusia. Kemudian setelah itu lahir sejumlah keputusan menyimpang yang jauh dari kebenaran. Hal itu karena ia lahir dalam kondisi tidak tenang dan dari pikiran yang tidak lurus. Oleh sebab itu, engkau bisa melihat pemimpin dunia dalam perjalanan hidupnya tidak memiliki penyakit jiwa kronis seperti amarah. Sebab, orang pemarah hidup dalam kondisi cacat secara kejiwaan. Hidupnya tidak sempurna dan tidak lurus. Hal itu karena kondisi amarah berlawanan dengan akal dan naql serta bertentangan dengan sifat dasar manusia dan apa yang seharusnya.
Pesan Nabi saw
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, berikan wasiat singkat kepadaku!” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Orang itu kembali mengulangi permintaannya. Namun Nabi saw tetap menjawab, “Jangan Marah!
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Amr ra bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw, “Apa yang bisa menyelamatkanku dari murka Allah?” Beliau menjawab, “Jangan marah.
Abu ad-Darda berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku sebuah amal yang bisa mengantarku kepada surga.” Beliau menjawab, “Jangan marah!
Wallahu a’lam.
Diterjemahkan oleh Ustadz Fauzi Bahreisy
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 328 – 27 Maret 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Mencari Surga di Negeri Orang

Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh.
Saya ingin bertanya ustadz, tentang hukum menetap di negeri orang dengan tujuan bekerja, sedangkan untuk beribadah kepada Allah, sangat sulit sekali, terutama shalat jumat. mohon pencerahannya ustadz.
Terima kasih
 
Jawaban 
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Sebenarnya boleh tinggal di mana saja di dunia ini. Sebab, semuanya merupakan bumi Allah yang ditundukkan untuk manusia. Hanya saja untuk menetap dan tinggal di sebuah tempat terdapat sejumlah hal atau syarat yang harus diperhatikan:
Pertama, kita harus memastikan bahwa di daerah atau lingkungan tersebut kita masih bisa menjaga keimanan, akidah, dan keyakinan kita dengan baik. Jangan sampai menetapnya kita di sebuah tempat membuat keimanan kita rusak dan tercabut dari akarnya.
Kedua, kita masih bisa menunaikan syiar-syiar ibadah dan menjalankan syariat agama dengan baik. Misalnya masih bisa berhijab bagi wanita, masih bisa menunaikan shalat, dst.
Kalau kedua syarat di atas atau salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak boleh menetap di daerah tersebut. Sebab, keuntungan materil dan raihan duniawi tidak boleh mengorbankan agama. Bahkan Allah mengecam orang-orang yang menzalimi diri dengan alasan lemah, mengapa mereka tidak pindah ke negeri yang memungkinkan untuk menjaga iman dan menegakkan syiar agama (QS an-Nisa: 97).
Namun kalau kedua syarat tersebut masih bisa dipenuhi, artinya iman masih bisa dijaga dengan baik dan ibadah masih bisa ditunaikan meskipun membutuhkan perjuangan dan pengorbanan lebih, maka masih dimungkinkan menetap di daerah tersebut. Bahkan bila hal itu disertai dengan niat berdakwah dan menyiarkan agama kepada penduduk setempat, ia merupakan sebuah upaya mulia yang akan mendapatkan apresiasi istimewa dari Allah Swt.
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Istiqamah Bersama Islam

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Suatu ketika Abu Amr, Sufyan ibn Abdillah radhiallahuanhu mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, ajarkan padaku satu hal dalam Islam yang aku tidak akan menanyakannya lagi pada yang lain.” Demikian yang dikatakan oleh Abu Amr kepada Rasul Shallallahu’alaihi wasallam. Begitulah memang seharusnya seorang muslim. Ia harus banyak bertanya dan belajar. Terutama tentang agamanya.
Hanya saja, karena agama adalah urusan yang sangat penting yang akan mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat, maka yang ditanya harus tepat. Harus orang yang mengerti, menghayati, dan mengamalkan. Saat itu tidak ada lagi yang lebih layak ditanya melebihi Rasul Shallallahu’alaihi wasallam.
Lalu apa jawaban Nabi Shallallahu’alaihi wasallam? Beliau menjawab, “Qul amantu billah (katakanlah, aku beriman kepada Allah).” Dari sini dan dari beberapa dalil lain para ulama menegaskan bahwa ucapan dan pengakuan lisan sangat penting dalam iman. Iman harus diikrarkan. Karena itu, untuk membedakan antara muslim dan bukan perlu ada ikrar.
Selain itu, pengakuan beriman kepada Allah adalah pintu gerbang menuju sukses. Siapapun yang ingin selamat dan masuk ke dalam surga harus beriman kepada Allah.
Namun apa cukup dengan pengakuan lisan? Tentu saja tidak cukup. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melanjutkan, “Tsumma istaqim! (Kemudian istiqamahlah!)” Kalau lisan berikrar maka harus ada sikap konsisten dan istiqamah dengan pengakuan tersebut.
Jangan sampai mengaku beriman, mengaku muslim, mengaku sebagai hamba Allah tapi tidak mau diatur oleh Allah, tapi tidak mau beribadah, tidak mau menunaikan shalat, tidak berpenampilan islami, lebih loyal kepada musuh Allah, benci kepada saudara seiman, suka korupsi, dan seterusnya.
Ini namanya tidak konsisten dan tidak istiqamah dengan apa yang diucapkan. Iman harus istiqamah dalam segala keadaan, dalam segala situasi, dan dalam segala kondisi.
Iman tidak  hanya tampil di masjid. Akan tetapi, iman  juga harus tampil di rumah, di kantor, di pasar, di jalan, dan di berbagai tempat.
Iman tidak hanya di bulan Ramadhan, akan tetapi juga harus tampak di luar Ramadhan dan bahkan sepanjang masa.
Iman tidak hanya ketika berkumpul bersama banyak orang dan dikeramaian. Namun, ketika sedang sepi dan sendiri iman juga harus terlihat.
Iman tidak hanya ketika mendapat nikmat, mendapat kedudukan , dan mendapat jabatan. Akan tetapi, ketika mendapat musibah dan ujian iman tetap terpatri di dada dan tak goyah.
Iman tidak hanya saat menderita dan tak punya. Akan tetapi, di saat kaya dan berada iman tetap terpelihara.
Iman tidak hanya di lisan dan dalam ucapan.  Akan tetapi, perbuatan, penampilan dan muamalahnya menunjukkan keberadaan iman.
Hasan al-Bahsri berkata, “Iman bukan hanya sekedar angan-angan. Akan tetapi iman adalah apa yang tertancap dalam qalbu dan dibuktikan oleh amal perbuatan.”
Jadi harus ada sikap istiqamah dan konsisten dengan pengakuan. Konsisten bersama dengan kebenaran sampai akhir hayat, sampai ajal datang, sampai meninggalkan dunia yang fana ini. “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang benar dan janganlah meninggal dunia kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali Imran: 102).
Kalau sekedar pengakuan dengan lisan, orang munafik juga mengaku beriman. Namun mereka tidak istiqamah dan tidak konsisten dengan pengakuannya.
Nah, orang yang istiqamah dalam kebenaran, Allah janjikan kenikmatan yang tak terkira, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat, di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta”. (QS. Fushilat : 30-31).
Semoga kita menjadi orang yang istiqamah dan konsisten dalam kebenaran dan bersama Islam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman. Edisi 327 – 20 Maret 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Belajar dari Andalusia (bagian 1)

Oleh: Syaikh Ali Muhammad Ash Shalabi
 
Andalusia adalah salah satu wilayah di negara Eropa yang sekarang lebih dikenal dengan Spanyol. Kaum muslimin pernah mengalami kejayaan dan kegemilangan di negara tersebut. Akan tetapi, ia tidak berlangsung lama, karena setelah itu kaum Nasrani berhasil mengalahkan dan meruntuhkan kekuatan Islam disana.
Tentu ini dalah sebuah peristiwa yang sangat memilukan bagi kaum muslimin, dimana Andalusia yang tadinya berada di bawah kekuasaan Islam, setelah itu ia berpindah tangan kepada kaum Nasrani.
Kita tidak ingin hal ini kembali terlulang, sehingga kita harus mempelajari apa saja yang membuat Islam di Andalusia berhasil dikalahkan oleh Nasrani. Ada beberapa hal yang menyebabkan kekuatan Islam disana menjadi lemah, diantaranya:
Pertama, lemahnya kekuatan aqidah dan sikap mereka yang menyimpang dari aturan Allah. Ini adalah penyebab utama dari kekalahan yang mereka alami.
Kedua, loyalitas dan kepercayaan yang diberikan kepada kaum Nasrani serta bersekutu dengan mereka. Hal itu dapat kita lihat bahwa sejarah Andalusia seringkali diwarnai dengan kerja sama antara kelompok Islam dengan Nasrani yang mana hal ini merusak makna al-wala’ wal bara’ dan menciderai hakikat cinta dan benci karena Allah. Manakala ada sebuah umat yang melanggar perintah Tuhannya dan menyimpang dari perintah-Nya, maka mereka pasti akan mendapatkan murka dan siksa dari-Nya. Allah SWT berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.” (QS. al-Ma`idah: 57).
Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 28).
Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya.” (QS. al-Mujaadilah: 22)
Rasulullah SAW telah menerangkan cara ber-wala’ dan bara’ dalam sebuah sabdanya, “Ikatan iman yang paling kuat ialah sikap loyalitas di jalan Allah, memusuhi sesuatu karena Allah, mencintai dan membenci karena Allah.”
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Barang siapa yang menyakiti wali-Ku, maka ia telah mengikrarkan perang terhadap-Ku.”
Jika ini hal ini sudah tercatat di dalam Al-Qur`an dan Sunnah lalu mereka masih menyelisihinya, maka Allah pasti akan menurunkan azab bagi mereka yang tidak bisa dihalangi dan dicegah oleh siapapun.
Kita perhatikan dalam sejarah bahwa al-Mu’tamid bin Ibad pergi menuju Raja Castilla (wilayah Nasrani) untuk mengajukan perdamaian dengan menyerahkan sejumlah uang padanya. Hal ini ia lakukan untuk memerangi dan menghancurkan kelompok-kelompok Islam yang lain.
Bukankah lebih baik ia bersatu dengan saudara-saudaranya seiman dari kelompok-kelompok Islam tersebut? Bukankah hal itu akan membawa kemaslahatan baginya, bagi Andalusia secara umum, bagi Islam dan kaum muslimin?
Akan tetapi, mereka tidak memahami hakikat wala’ dan bara’, bahkan ada diantara pemimpin kaum muslimin yang meminta bantuan kepada Nasrani dan Yahudi dalam mengelola negara Islam. Akankah dengan cara seperti ini ia akan mendapatkan kemenangan? *bersambung
Diterjemahkan oleh: Ustadz Fahmi Bahreisy, Lc, dari http://iumsonline.org
 
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 326 – 13 Maret 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
 
 

Sumber Kekuatan

Tatkala kita lemah, tak berdaya,
Tatkala kita kalah dan teraniaya,
Tatkala kita papa dan tak punya,
Jangan pernah menyerah..
Masih ada satu sumber kekuatan yng bisa menjadi asa.
Ia adalah tobat dan istigfar.
Yakni kemampuan melakukan koreksi dan evaluasi dengan mengakui berbagai kekurangan dan aib diri; baik sebagai umat maupun pribadi.
Itulah sumber kekuatan dan pertolongan Tuhan.
Nabi saw melakukannya minimal seratus kali setiap hari sebagai pelajaran dan contoh bagi umat.
Allah berfirman,
Beristigfarlah kepada Rabb kalian, karena Dia Maha Pengampun…
Niscaya Dia kirimkan hujan yg lebat utk kalian; Dia anugerahkan harta dan anak-anak; serta Dia hadirkan kebun dan sungai… (QS Nuh: 10-12).
Dari sini (tobat dan istigfar) kita mulai perjalanan untuk meraih kemenangan.
ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [النور (٢٤)| الآية: ٣١]
“…Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah wahai orang-orang beriman agar kamu beruntung.”
Alfaqir ilallah
Fauzi Bahreisy
***
Majelis Taklim Al Iman
Infaq kegiatan dakwah dapat disalurkan melalui rekening an. Yayasan Telaga Insan Beriman
BSM 703.7427.734
BNI 1911.203.63
Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik dan memberikan keberkahan di dunia dan akhirat.
Kegiatan dakwah dapat dilihat di web www.alimancenter.com dan fanpage facebook: alimancenter
Silahkan disebarkan tanpa merubah isinya, semoga bermanfaat dan menjadi amal sholeh. Jazakumullah khairan