0878 8077 4762 [email protected]

Fatwa Al Azhar Mesir : Bagaimana Hukum Seorang Istri ke Masjid dan Rumah Saudaranya serta Berinfaq Tanpa Izin Suami?

Pertanyaan:
Pertama: Bolehkah bagi seorang istri setiap harinya pergi ke masjid mulai dari pagi hingga menjelang pukul tiga siang tanpa sepengetahuan atau izin sang suami walaupun dia menginginkannya?
Kedua : Bolehkah seorang istri keluar mengunjungi saudara-saudaranya atau teman-temannya meskipun suaminya tidak suka dan tidak mengizinkannya?
Ketiga : Bolehkah seorang istri menyumbang dengan harta suaminya tanpa sepengetahuan dan izinnya?
Jawaban
Seorang wanita wajib menaati suami dalam hal kebaikan, jika dia membangkang maka seorang istri menjadi durhaka yang dapat menggugurkah nafkah suami kepadanya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman :
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shaleh, adalah mereka yang ta’at (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar” (QS. An-Nisa’ : 34).
Banyak hadits yang mendorong seorang wanita untuk ta’at kepada suaminya, diantaranya :
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Kalau seandainya saya dibolehkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada yang lainnya, maka saya akan memerintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya”. HR. At-Tirmidzi (hadits hasan gharib).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ada tiga golongan yang shalat mereka tidak diterima dan amalan mereka tidak diangkat kelangit: budak yang melarikan diri dari tuan-tuannya sampai dia kembali lalu meletakkan tangannya pada tangan-tangan mereka, wanita yang suaminya marah kepadanya sampai dia (suaminya) memaafkannya, dan orang yang mabuk sampai sadar.” (HR. At-Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah -hadits shahih)
Oleh karena itu seorang wanita tidak dibolehkan keluar rumah atau melakukan sesuatu apapun tanpa sepengetahuan dan izin suaminya. Adapun keluarnya seorang wanita untuk shalat di masjid, maka dikatakan kepadanya bahwa shalatnya di rumahnya itu lebih utama baginya. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Sebaik-baik tempat shalat bagi wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) di rumahnya”. (HR. Ahmad, At-Thabrani, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, hadits shahih).
Shalat yang dilakukan oleh seorang wanita di dalam bayt-nya (tempat yang lebih kecil dari kamar dalam sebuah rumah) lebih baik dari pada shalat yang dilakukan di dalam hujrah-nya (kamar dalam rumah). Sementara shalatnya yang dilakukan di dalam hujrah-nya (kamar dalam rumah) lebih baik daripada shalat yang dilakukannya di dalam daar-nya (rumah). Dan shalat yang di lakukan oleh seorang wanita di dalam daar-nya (rumah) lebih baik daripada shalat yang dilakukan di dalam masjid kaumnya” (HR. At-Thabrani, dengan sanad yang bagus).
Tidaklah shalat seorang wanita yang paling dicintai oleh Allah selain shalat yang dilakukannya di tempat yang paling gelap di rumahnya” (HR. At-Thabrani dan Ibnu Khuzaimah, hadits shahih).
Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas merupakan dalil yang membolehkan seorang wanita untuk shalat di masjid walaupun shalat yang dilakukannya di rumahnya itu lebih utama baginya.
Yang demikian itu apabila dia menuju ke masjid dengan tujuan melaksanakan shalat, adapun jika keluarnya ke masjid untuk belajar ilmu yang diwajibkan – fardhu ‘ain – maka hukumnya adalah wajib tanpa harus ada izin darinya (suami).
Kecuali jika kebutuhannya terhadap ilmu tersebut sudah tersedia di rumahnya, baik berupa buku-buku, alat-alat elektronik, kaset-kaset, dan lain-lain sebagainya. Sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam : “Apabila istri kalian meminta izin kepada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka” (HR. Muslim.)
Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, meskipun shalat di rumah itu lebih baik bagi mereka”. (HR. Abu Daud)
Kesemuanya itu harus mendapatkan izin dari suaminya.
Adapun yang berkaitan dengan sumbangan seorang wanita tanpa izin suaminya, telah disebutkan di dalam Shahih Bukhari bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jika seorang istri berinfaq dari harta hasil usaha suaminya, tanpa perintah suaminya, maka baginya setengah pahala”.
Adapun di dalam Shahih Muslim, Ahmad, dan Ashhabussunan kecuali At-Tirmizi Rasulullah Shallallahu ‘laihi wasallam bersabda : “Seorang wanita tidak diperbolehkan memberikan apapun (dari harta suaminya) kecuali dengan seizing suaminya”.
Dan diriwayatkan dari At-Tirmidzi : “Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya”.
Maka wajiblah bagi seorang istri untuk menjaga harta suaminya dan tidak boleh menggunakannya kepada sesuatu yang dapat merugikan suaminya. Apabila dia bersedekah dari harta suaminya tanpa ada izin darinya maka dia (istri) berhak mendapatkan setengah dari pahala tersebut, yang demikian itu jika jumlahnya kecil yang menurut perkiraan bahwa suaminya akan mengizinkannya, adapun jika harta yang akan di sedekahkan itu dalam jumlah besar atau dalam jumlah kecil tapi menurut perkiraan bahwa suaminya tidak akan mengizinkannya maka hukumnya adalah haram baginya bersedekah dengan harta tersebut.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam
Sumber: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor: 4623
Tanggal: 28/02/2005
Penerjemah: Syahrul
Editor: Fahmi Bahreisy, Lc

Katakan Insya Allah

Oleh: Ahmad Sodikun, S.Pd.I., M.Pd.I
 
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi”, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah” dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini”. (QS. Al Kahfi : 23-24).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, beliau menyebutkan bahwa asbabun nuzul dari ayat ini adalah terkait dengan kisah sebagai berikut:
“Suatu hari Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang sahabat tentang kisah ashabul kahfi. Diantara pertanyaannya adalah: berapa tahun ashabul kahfi berlindung dan menghabiskan masa tidurnya dalam gua al-kahfi? Dan berapa jumlah anggota yang tergabung dalam ashabul kahfi ketika itu, lima orang dengan seekor anjingnya atau tujuh beserta anjingnya?
Rasulullah SAW saat itu tak sanggup memberi jawaban pasti. Lantas, beliau berkata kepada sahabat yang bertanya: “Jawabannya akan kuberikan besok.” Biasanya pada saat-saat seperti demikian, keesokannya turun wahyu sebagai jawaban.
Keesokan harinya, fajar telah menyingsing menyambut mentari terbit di ufuk timur. Sang surya terus menyemai panas diatas kepala sehingga dzuhur. Namun, wahyu dari Sang Khaliq tak kunjung turun memberikan jawab. Akhirnya, sore semakin tinggi. Senjapun memerah mengantar kegelapan malam.
Berhari-hari Rasulullah SAW menantikan wahyu itu. Lewat lima belas hari turunlah wahyu. Wahyu sebagai jawaban disertai teguran dalam ayat : “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu : “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) “Insya Allah.“ (QS. Al Kahfi : 23-24).
Nasihat berharga, dan petunjuk mulia merupakan teguran untuk Rasulullah SAW juga berlaku untuk kita semua sebagai umatnya, hendaknya kita menyandarkan kepada Allah ketika menjanjikan sesuatu yang baik dengan mengucapkan Insya Allah (jika Allah menghendaki). Ini merupakan sebuah etika yang harus diperhatikan karena kita tidak dapat memastikan apa yang menjadi kehendak-Nya.
Begitupun Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan mulia tidak dapat memastikan segala sesuatu yang akan terjadi kecuali atas kehendak Allah SWT sebagaimana ayat di atas secara langsung ditujukan kepada beliau sebagai teguran dan nasihat serta kaidah untuk kita.
Pada ayat yang ke-24 disebutkan (dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa) merupakan anjuran jika lupa mengucapkan Insya Allah lalu ingat, maka tetap dianjurkan untuk mengucapkan itu, walaupun sudah lama waktu antara janji (yang lupa Insya Allah) dengan waktu ingatnya itu bahkan walau sudah hampir satu tahun, sebagaimana pendapat sahabat Ibn Abbas yang dinukil oleh Imam Qurthubi dalam tafsirnya.
Wallahua’lam bisshawab

Fatwa Al Azhar Mesir : Apa Hukumnya Membaca Al Qur’an, Do’a dan Talkin untuk Orang yang Meninggal Dunia

Assalamualaikum. Di wilayah kami terjadi perselisihan mengenai beberapa amalan berkaitan dengan penguburan jenazah. Oleh karena itu, mohon penjelasan beberapa permasalahan berikut ini:
1. Apakah berdoa untuk jenazah dilakukan secara pelan (sirr) atau keras (jahr)?
2. Apakah boleh memberikan nasihat kepada para hadirin sebelum jenazah dimakamkan?
3. Apa hukum men-talkin mayat? Dan bagaimana pula bentuk lafalnya?
4. Apakah boleh membaca Al Qur’an setelah pemakaman?
 
Jawaban:
Hendaknya orang-orang bersikap tenang dan diam ketika mengantar jenazah ke kuburan.
Imam Nawawi berkata “Ketahuilah, sesungguhnya yang benar adalah bersikap tenang ketika mengantarkan jenazah, sebagaimana yang dipraktikkan oleh kalangan salaf. Tidak perlu mengeraskan suara dengan bacaan Al Qur’an, zikir ataupun bacaan yang lain. Hal ini dianjurkan karena akan membuat jiwa seseorang lebih tenang dan pikirannya lebih terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan jenazah, dan inilah yang dituntut dalam kondisi tersebut.”
Adapun berdiri sejenak dan berdoa di atas kubur setelah pemakaman mayat, maka hal itu termasuk sunah.
Hal ini berdasarkan hadits Utsman r.a. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim, dan Hakim berkata, “Sanadnya shahih”. Utsman berkata, “Setelah selesai menguburkan mayat, Nabi saw. berdiri di sisi kuburnya. Lalu beliau bersabda, “Mohonlah ampunan untuk saudara kalian dan mintalah kepada Allah agar dia diteguhkan, karena dia sekarang sedang ditanya“.
Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Amr bin Ash ra, dia berkata, “Jika kalian telah menguburkanku, maka lemparkanlah sedikit tanah ke kuburanku dan berdiamlah di atasnya selama waktu orang menyembelih unta dan membagikan dagingnya, sehingga aku dapat menjadikan kalian sebagai penenang bagiku dan melihat jawaban yang akan aku sampaikan kepada para utusan Tuhanku.”
Semua ini hanya dilakukan setelah selesai penguburan. Tidak apa-apa pula disampaikan nasihat singkat untuk para hadirin mengenai kematian dan kehidupan akhirat sebelum dibacakan doa. Karena, hal itu dapat membuat jiwa orang-orang yang hadir menjadi lebih khusyuk dan lebih siap untuk bermunajat kepada Allah.
Diriwayatkan dari Ali ra, dia berkata, “Pada suatu hari kami menghadiri pemakaman jenazah di Baqi’ Gharqad. Lalu Nabi saw. datang dan duduk dan kami pun duduk di sekitar beliau. Ketika itu beliau memegang sebuah tongkat pendek. Beliau menunduk dan mematuk-matukkan ujung tongkat pendek itu ke tanah. Beliau lalu bersabda, “Tidak ada seorangpun dari kalian, tidaklah ada jiwa yang diciptakan, kecuali telah ditetapkan tempatnya di surga atau di neraka, dan telah ditetapkan sebagai orang celaka atau bahagia.” Lalu seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau begitu apa tidak sebaiknya kita berserah diri pada ketetapan itu?”. Beliau menjawab, “Beramallah, karena setiap orang dimudahkan untuk melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang untuknya dia diciptakan“. (Muttafaq ‘Alaih).
Ketika menyebutkan hadits di atas dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari membuat bab yang berjudul “Bab Nasehat dari Seseorang Ketika Berada di Sisi Kuburan dan Para Sahabatnya Duduk di Sekitarnya”.
Adapun men-talkin mayat setelah dikuburkan maka ia merupakan perbuatan yang disunahkan. Hal itu sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Rasyid bin Sa’ad, Dhamrah bin Habib dan Hakim bin Umair –mereka adalah tokoh tabi’in yang tinggal di kota Homs (nama sebuah kota di Suriah), bahwa mereka berkata, “Jika seorang mayat telah dikuburkan dan orang-orang telah selesai melakukan proses penguburan itu, para ulama menganjurkan untuk mentalkin mayat tersebut dengan mengatakan, “Wahai Fulan, ucapkanlah, la ilaha illallah, dan bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah.” Perkataan ini diucapkan sebanyak tiga kali. Lalu diucapkan lagi, “Wahai Fulan, katakanlah bahwa tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan nabiku adalah Muhammad saw.” Setelah itu baru meninggalkan tempat penguburan itu.” (HR. Said bin Manshur dalam Sunannya).
Diriwayatkan pula dari Abu Umamah al-Bahili ra, dia berkata, “Jika aku meninggal, maka perlakukanlah diriku seperti apa yang diperintahkan Rasulullah saw kepada kami dalam mengurus jenazah. Rasulullah saw. mengatakan kepada kami, “Jika salah seorang dari saudara kalian meninggal dunia, lalu kalian telah menimbunkan tanah di kuburnya, maka hendaklah salah satu dari kalian duduk bagian kepalanya dan berkata, “Wahai Fulan bin Fulanah.” Mayat itu mendengar ucapannya tapi dia tidak menjawab. Lalu orang itu berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah.” Mayat itu lalu duduk.
Kemudian dia berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah.” Mayat itu lalu berkata, “Berilah petunjuk pada kami, semoga Allah merahmatimu.” Namun, kalian semua tidak akan merasakan hal itu. Kemudian hendaklah orang yang men-talkin itu mengatakan, “Ketika kamu meninggalkan dunia, ingatlah syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan bahwasanya kamu ridha menjadikan Allah sebagai tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai nabimu dan Al Qur’an sebagai pemimpinmu.”
Maka malaikat Munkar dan Nakir akan saling memegang tangan mereka dan berkata, “Marilah kita pergi. Untuk apa kita duduk pada orang yang telah diajarkan hujjahnya.” Dan Allah menjadi hujjah baginya dari pertanyaan dua malaikat itu.” Lalu salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika ibunya tidak diketahui?” Maka beliau pun menjawab, “Hendaknya dia menisbatkannya pada Hawa. Yaitu dengan mengatakan, “Wahai Fulan bin Hawa.” (HR. Thabrani, Ibnu Syahin dan lainnya).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sanad hadits ini adalah shalih (baik). Adh-Dhiya` telah menguatkannya dalam kitab Ahkam-nya.”
Dalam kitab Raudhah ath-Thalibin dan al-Majmu’, Imam Nawawi berkata, “Para ulama hadits dan yang lainnya sepakat untuk bersikap toleran terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhail al-a’mal) dan at-Targhib wat Tarhib.
Di samping itu hadits ini juga diperkuat dengan hadits-hadits yang shahih. Seperti hadits, “Mohonlah agar dia diberi keteguhan“. Juga dikuatkan dengan wasiat ‘Amr bin Ash ra dan hadits di atas serta riwayat dari Amr bin Ash ini adalah shahih. Hal ini senantiasa diamalkan oleh penduduk Syam pada masa orang-orang yang ditauladani hingga saat ini.”
Adapun cara berdoa di atas kubur, apakah dengan jahr ataupun suara lirih, maka terdapat kelapangan dalam hal ini, sehingga dipersilahkan untuk memilih salah satunya.
Memperdebatkan masalah itu tidaklah diridhai Allah dan Rasul-Nya, sebab perdebatan dalam hal ini termasuk perbuatan bid’ah yang tercela. Karena, salah satu bentuk bid’ah adalah mempersempit sesuatu yang dilapangkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
Jika Allah memerintahkan suatu perbuatan dalam bentuk umum yang dalam pelaksanaannya mempunyai lebih dari satu kemungkinan, maka perintah itu harus dipahami dalam keumuman dan kelapangan itu. Tidak boleh membatasi maknanya pada satu kemungkinan kecuali berdasarkan dalil.
Rasulullah saw melarang kaum muslimin untuk banyak mempermasalahkan berbagai hal dan banyak bertanya. Beliau menjelaskan bahwa jika Allah SWT mendiamkan suatu masalah, maka itu adalah bentuk rahmat dan kelapangan yang diberikan kepada umat ini.
Beliau bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Tsa’labah al- Khusyaniy, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan berbagai hal maka janganlah kalian menyepelekannya. Allah juga telah mengharamkan berbagai perbuatan, maka janganlah kalian melanggarnya. Allah telah membuat batasan- batasan, maka janganlah kalian melampauinya. Dan Allah mendiamkan banyak hal sebagai bentuk rahmat untuk kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya).” (HR. Daruquthni dan lainnya).
Hadits di atas dishahihkan oleh Ibnu Shalah dan dihasankan oleh Imam Nawawi. At-Taftazani dalam kitab Syarh al-Arba’in an- Nawawiyyah berkata, “Maksud kalimat: “maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya)” adalah janganlah bertanya-tanya mengenainya. Karena bertanya-tanya tentang sesuatu yang didiamkan oleh Allah akan mengakibatkan munculnya pembebanan dengan kewajiban yang menyulitkan. Dan masalah seperti ini dihukumi dengan bara`ah ashliyyah (prinsip bebas hukum selama tidak ada ketentuan ).”
Rasulullah saw menjelaskan bahwa sangat buruk tindakan seseorang yang membuat kaum muslimin mengalami kesulitan disebabkan dia banyak bertanya. Diriwayatkan dari ‘Amir bin Sa’ad dari ayahnya, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Orang muslim yang paling besar kejahatannya terhadap kaum muslimin adalah seseorang yang menanyakan dan mencari tahu tentang sesuatu sehingga hal itu diharamkan kepada semua orang akibat pertanyaannya” (HR. Muslim).
Abu Hurairah r.a. berkata, “Pada suatu hari Rasulullah berkhutbah di hadapan kami. Beliau bersabda, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan ibadah haji atas kalian, maka lakukanlah.” Seorang sahabat lalu bertanya, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Beliau terdiam hingga sahabat itu mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Kalau aku mengatakan, ‘Ya’, niscaya akan menjadi kewajiban dan kalian tidak akan sanggup melakukannnya.” Beliau lalu berkata lagi, “Biarlah seperti yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya para umat sebelum kalian telah binasa akibat tindakan mereka yang suka bertanya dan berselisih dengan para nabi mereka. Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan sesuatu maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian. Dan jika aku melarang kalian dari melakukan sesuatu maka tinggalkanlah” (Muttafaq ‘alaih).
Al-Allamah al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir , “Maksud hadits ini adalah: “Janganlah kalian menyampaikan pertanyaan kepadaku selama aku mendiamkan kalian melakukan amalan kalian. Maka janganlah kalian banyak bertanya mengenai sesuatu yang tidak penting dalam urusan agama kalian, selama aku membiarkan kalian dan tidak berkata apa-apa kepada kalian. Karena bisa jadi hal itu akan menjadi sesuatu kewajiban dan beban yang memberatkan. Ambillah sesuai apa yang aku perintahkan dan jangan mencari-cari persoalan lain seperti yang dilakukan oleh para Ahlul Kitab. Janganlah sering menyelidiki sesuatu yang telah jelas secara lahir meskipun mempunyai kemungkinan makna yang lain, karena hal itu dapat menyebabkan bertambahnya jawaban atas hal itu. Sehingga, tindakan itu akan menyerupai kisah bangsa Israil yang mempersulit diri sehingga mereka pun dipersulit. Maka Rasulullah saw. khawatir akan terjadi hal serupa pada umatnya.”
Adapun berdoa bersama-sama, maka kemungkinan untuk dikabulkan lebih besar, juga membuat hati lebih terjaga, pikiran lebih terfokus, dan membuat lebih khusyuk di hadapan Allah SWT, terutama jika doa itu diawali dengan nasihat singkat. Rasulullah saw bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, “Pertolongan Allah bersama jamaah.” (HR. Nasa`i dan Tirmidzi, serta dihahihkan oleh Tirmidzi).
Membaca sejumlah ayat Al Qur’an untuk mayat setelah penguburan adalah disyariatkan oleh agama. Al-Baihaqi, dalam as-Sunan al-Kubra, meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dengan sanad hasan –sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi — bahwa dia menganjurkan untuk membaca awal dan akhir surat al-Baqarah setelah prosesi pemakaman.
Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, “Bacakanlah surat Yasin atas orang-orang yang meninggal dari kalian” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).
Ketika mengomentari hadits di atas Imam al-Qurthubi dalam at-Tadzkirah berkata, “Ini dapat berarti membacakannya di sisi mayit ketika dia meninggal dunia dan dapat juga di sisi kuburannya.”
Dalam kitab al-Adzkar , an-Nawawi berkata, “Dianjurkan untuk duduk di sekitar kubur setelah proses pemakaman selama waktu seseorang menyembelih unta dan membagi-bagikan dagingnya. Orang-orang yang duduk itu hendaknya membaca Al Qur’an dan berdoa untuk mayat, serta memberi nasihat dan menceritakan kisah para shalihin kepada hadirin. Imam Syafi’i dan para ulama madzhab Syafi’i menyatakan bahwa dianjurkan untuk membaca sejumlah ayat Al Qur’an di tempat penguburan. Dan akan lebih baik jika dapat mengkhatamkan Al Qur’an di sana.”
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 452
Tanggal : 27/02/2006
Penerjemah : Fahmi Bahreisy, Lc

Adab Bergurau dalam Islam

Oleh: Farid Nu’man Hasan
 
Berikut ini adalah adab-adab dalam bergurau yang mesti diperhatikan:
Pertama, hindari berbohong. Tidak sedikit manusia berbohong hanya untuk mencari perhatian dan tawa manusia. Kadang mereka mencampurkan antara yang fakta dan kebohongan atau ada yang bohong sama sekali. Islam mengajar umatnya untuk jujur baik dalam serius maupun candanya.
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang hamba tidak dikatakan beriman dengan sepenuhnya  kecuali jika dia meninggalkan berbohong ketika   bergurau, dan meninggalkan berdebat meski ia benar.” (HR. Ahmad).
Dr. Muhammad Rabi’ Muhammad Jauhari mengatakan: “Beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) memberikan arahan kepada para sahabatnya agar memiliki komitmen yang kuat untuk jujur dalam bergurau dan memperingatkan dari dusta saat bergurau.
Dari Bahz bin Hakim, katanya: berkata ayahku, dari ayahnya, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Celakalah bagi yang bicara lalu dia berdusta hanya untuk membuat orang tertawa, celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi). (Akhlaquna, Hal. 179. Cet. 4, 1999M/1420H. Maktabah Darul Fakhr Al Islamiyah).
Kedua, hindari kata-kata kotor, kasar, dan keji. Kadang ada orang yang bergurau dengan menggunakan kata-kata kotor dan tidak pantas, baik mengandung porno, mengejek secara kasar, bisa jadi semua  berawal dari sindiran kecil, dan semisalnya. Boleh jadi itu mengundang tawa. Tapi itu adalah gurauan berkualitas rendah yang tidak pantas dilakukan seorang muslim.
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lainnya ..” (QS. Al Hujurat: 11)
Dari Alqamah bin Abdillah, dia berkata: Bersabda Rasulullah:
Bukan orang beriman yang suka menyerang, melaknat, berkata keji, dan kotor. (HR. At Tirmidzi No. 1977, katanya: hasan gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Ketiga, hindari berlebihan. Aktifitas apa pun jika berlebihan tidak akan baik. Jika hal-hal yang pasti sunahnya saja mesti menghindari sikap berlebihan karena khawatir dianggap wajib, apalagi aktifitas yang boleh-boleh saja seperti  bergurau yang berpotensi melalaikan hati manusia.
Allah berfirman: “Dan janganlah kalian melampaui batas sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al An’am: 141)
Nabi bersabda: “Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.” (HR.  Ibnu Majah no. 3400).
Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah berkata: “Jangan banyak tertawa, sebab hati yang selalu berkomunikasi dengan Allah (berdzikir) adalah tenang dan tenteram. Jangan suka bergurau, karena umat yang berjihad tidak berbuat kecuali dengan bersungguh- sungguh terus menerus.” (Washaya Al ‘Asyr Lil Imam Hasan Al Banna)
Keempat, hindari main fisik. Main fisik di sini maksudnya adalah mengejek kondisi fisik seseorang (kurus, gemuk, hitam, pendek, pincang, pesek, dan lainnya) untuk mengundang tawa, atau memang menyakiti fisiknya dengan tangan kita. Ini terlarang dalam agama.
Rasulullah bersabda:
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama?” Beliau bersabda: “Yaitu orang yang muslim lainnya aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari No. 11, Muslim No. 42, dari Abu Musa Al Asy’ari).
Kelima, hindari bergurau dengan ayat-ayat Allah. Ini termasuk memperolok-olok agama yang sangat diharamkan dalam Islam. Menjadikan ayat-ayat atau sunah Nabi sebagai bahan ejekan adalah tindakan yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (QS. At Taubah : 65-66). *akhir
Wallahu A’lam
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 362 – 26 Februari 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!