0878 8077 4762 [email protected]

Marahnya Rasul SAW

Oleh : Dr. Aidh Al-Qarni
 
Dalam banyak hadits Rasulullah SAW menegaskan sisi kemanusiaan beliau dan bahwa beliau sama seperti manusia lainnya. Beliau bisa marah seperti yang lain. Beliau juga ridha sebagaimana halnya mereka.
Abu Hurairah ra meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Ya Allah, Muhammad adalah manusia biasa. Ia bisa marah seperti yang lainnya marah.  Aku sudah membuat janji pada-Mu yang tidak akan kuingkari. Siapa saja mukmin yang kusakiti, kucela, atau kucambuk, jadikanlah hal itu sebagai penebus dosa baginya dan sebagai bentuk taqarrub yang mendekatkannya kepada-Mu di hari kiamat.’”
Kehidupan Rasul SAW tidaklah selalu lapang dan dihiasi dengan mawar. Terdapat berbagai kondisi yang di dalamnya beliau marah seperti manusia pada umumnya. Hanya saja, marah beliau tetap di jalan Allah dan karena membela agama-Nya.
Beliau marah demi agama dan demi kebenaran. Beliau marah sebagai bentuk rahmat bagi semesta alam. Beliau marah ketika ada larangan yang dilanggar, dan seterusnya. Yang membedakan dengan yang lain, marah Rasul SAW tidak membuat beliau keluar dari kebenaran. Marah beliau tetap disertai sikap sabar, santun, dan tabah.
Di antara contoh marah beliau yang sebenarnya mencerminkan kasih sayang beliau kepada umat adalah saat mendengar keberadaan imam yang memanjangkan shalat, tidak seperti tuntunan beliau.
Ibn Mas’ud ra berkata, “Seseorang bercerita, ‘Ya Rasulullah saya mundur dari shalat subuh berjamaah lantaran Fulan yang menjadi imam memanjangkan shalatnya.’
Mendengar hal itu Rasul SAW marah. Aku tidak pernah melihat  beliau semarah itu pada saat tersebut. Kemudian beliau berkata, ‘Wahai manusia, di antara kalian ada yang membuat orang lari. Siapa yang menjadi imam hendaknya meringankan. Sebab, di belakangnya terdapat orang yang papa, tua, dan memiliki hajat.’”
Beliau juga marah demi agama. Hal itu seperti yang diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdillah bahwa Umar ibn al-Khattab mendatangi Nabi SAW dengan membawa sebuah buku yang ia dapat dari Ahlul Kitab. Umar membacakannya di hadapan Nabi SAW.
Seketika beliau marah seraya berkata, “Apakah engkau masih bimbang wahai Ibnul Khattab?! Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya. Aku telah datang kepada kalian dengan membawa syariat yang putih dan bersih. Jangan sampai kalian tanyakan sesuatu kepada mereka dimana ketika mereka mengabarkan yang benar, kalian dustakan atau yang batil tapi justru kalian benarkan. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Musa hidup, pasti ia akan mengikutiku.”
Kondisi lain yang menjelaskan marah Rasul SAW adalah ketika ada sahabat yang memberikan pembelaan agar hukum Allah tidak ditegakkan. Hal ini diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa kabilah Quraisy sangat risau dengan posisi wanita mereka yang mencuri di masa Nabi SAW, tepatnya di perang al-Fatah.
Mereka bertanya, “Adakah orang yang bisa berbicara dengan Nabi SAW?” Menurut mereka yang berani untuk membicarakan hal itu kepada Rasul SAW, hanya Usamah ibn Zaid, orang yang sangat dicintai beliau. Maka, Usamah membawa wanita yang dimaksud kepada Rasulullah SAW. Usamah berbicara tentangnya.
Seketika wajah Rasulullah SAW berubah. Beliau bersabda, “Apakah engkau akan memberikan pembelaan terkait dengan salah satu hukum hudud yang telah Allah tetapkan?
Mintakan ampunan untukku wahai Rasulullah!” ujar Usamah.
Selanjutnya Rasulullah SAW bangkit berdiri. Beliau berkhutbah diawali dengan pujian untuk Allah yang memang layak untuk Dia sandang.
Kemudian beliau bersabda, “Amma ba’du, yang membuat binasa orang-orang sebelum kalian adalah bahwa ketika yang mencuri di antara mereka berasal dari keluarga mulia (ningrat), mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri dari kalangan lemah, mereka memberikan hukuman kepadanya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, tentu telah kupotong tangannya.” Kemudian beliau menyuruh untuk memotong tangan wanita tersebut.
Dari sini tampak dengan jelas apa yang dikatakan oleh Anas ra, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah memberikan hukuman untuk kepentingan dirinya. Beliau hanya memberikan hukuman saat ada larangan Allah yang dilanggar.
Apabila larangan atau kehormatan Allah dilanggar, beliau akan sangat marah. Kalau dua urusan diperlihatkan kepada beliau, tentu beliau akan memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak mengandung murka Allah. Namun jika di dalamnya terdapat murka Allah, beliau orang yang paling jauh darinya.
Itulah tiga kondisi yang ada. Masih banyak lagi kondisi lain yang menerangkan bahwa Rasul SAW tidak marah untuk dirinya. Namun beliau marah untuk Allah, untuk kebenaran, dan untuk agama, dan karena cinta beliau kepada umat. Inilah yang dijelaskan oleh Ali ibn Abi Thalib.
Ia berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah marah karena dunia. Apabila beliau marah karena sebuah kebenaran, tidak ada yang tahu. Ketika marah itu datang beliau dapat menguasainya. Akhlak tersebut (Engkau berada di atas akhlak yang agung, QS al-Qalam: 4) beliau miliki karena beliau paham.
Beliau bersabda, “Tidak ada tegukan yang pahalanya di sisi Allah lebih besar daripada tegukan amarah yang ditahan oleh seseorang karena mencari ridha Allah.”
Diterjemahkan oleh: Ustadz Fauzi Bahreisy
Sumber : Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 325 – 6 Maret 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
 

Kajian Majelis Ta’lim Al Iman : Kitab Riyadhush Shalihin

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hadirilah………!
 
Kajian Kitab Riyadhushshalihin Bab ke-77 dengan  tema:
Marah Saat Dilanggar Aturan Allah
 
Bersama :
Ustadz Rasyid Bakhabazy
 
In-syaa Allah akan diselenggarakan pada:
Hari Ahad, 20 Maret 2016
Pukul 18.00-19.30 WIB
 
Bertempat di Majelis Ta’lim Al Iman, Jl. Kebagusan Raya No.66, Jaksel (Belakang Apotik Prima Farma)
Agar semakin bermanfaat, jangan lupa ajak keluarga dan sahabat agar mereka juga bisa merasakan manfaat dari majelis ini.
Info Jadwal Pengajian:

  • Tadabbur Al Qur’an tiap pekan 2 dan 4 bersama Ust. Fauzi Bahreisy
  • Kitab Riyadhus Shalihin tiap pekan 3 bersama Ust. Rasyid Bakhabzy, Lc
  • Kontemporer tiap pekan 1 bersama ustadz dengan berbagai disiplin keilmuwan.

Terima kasih banyak bagi yang sudah menyebarkan info pengajian ini ke keluarga dan sahabat. Semoga amal yang sederhana ini menjadikan kita bisa masuk surga bareng-bareng.
 
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bercampur Setelah Sepuluh Tahun Berpisah

Assalamu’alaikum. Mohon petunjuk, saya pernah bercerai dengan istri. Dan saya pun sudah menikah lagi. Tapi selama 10 tahun cerai istri pertama saya tidak menikah. Tiga tahun akhir ini saya sering silaturahmi ke rumah mantan dan terjadi hubungan bercampur lagi. Apakah boleh lagi bercampur?
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Untuk menjawab pertanyaan di atas terdapat sejumlah hal yang harus diketahui:
Jika Anda telah bercerai dengan isteri Anda dengan talak tiga, maka cerai tersebut membuat Anda tidak bisa lagi menikahi isteri Anda, sebelum dia menikah dengan orang lain dan kemudian bercerai (tapi bukan hasil rekayasa).
Namun jika baru talak satu atau talak dua, peluang untuk kembali rujuk dengan isteri Anda terbuka tanpa mengharuskannya menikah lagi.
Tetapi untuk itu ada ketentuan. Yaitu jika rujuk yang ingin Anda lakukan tidak lebih dari tiga kali masa suci isteri (sekitar 3 bulan) dari waktu cerai, maka rujuk Anda tidak perlu dengan nikah ulang.
Apabila jika sudah lebih dari tiga kali masa suci, apalagi sampai sepuluh tahun, maka rujuknya harus dengan nikah ulang.
Dengan demikian Anda tidak bisa langsung bercampur dengan mantan isteri Anda sebelum nikah ulang. Itu kalau yang Anda jatuhkan masih talak satu atau dua.
Sementara jika talak tiga, Anda tidak boleh rujuk dan kembali sebelum ia menikah dengan pria lain.
Sehingga bercampurnya Anda dengan mantan isteri sebelum ada rujuk dan nikah ulang termasuk dalam kategori zina.
Karena itu Anda berdua harus bertobat dengan tobat nasuha. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua. Amin
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Prinsip Islam Moderat : Persatuan Umat Islam

Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
 
Perbedaan merupakan rahmat Allah swt terhadap manusia. Seandainya syariat hanya berupa satu pandangan tentu akan menyulitkan umat. Perbedaan menjadi khazanah kekayaan pemahaman dan kelapangan bagi umat. Keragaman pandangan membuka ruang untuk memilih dalil yang paling kuat, jalan yang paling tepat, serta yang paling sesuai untuk mewujudkan sejumlah tujuan syariat dan kemashlahatan makhluk. Kita telah melihat bagaimana umat demikian lapang menerima berbagai mazhab dan pandangan.
Perbedaan yang ada mengarah kepada kekayaan dan variasi, bukan perbedaan yang mengarah kepada konflik dan pertentangan. Kita semua juga harus komitmen dengan etika berbeda pendapat dan mengetahui fiqih ikhtilaf atau yang dikenal fiqih i’tilaf (fiqih persatuan). Maksudnya pandangan boleh berbeda, tetapi hati kita tidak boleh berbeda.
Dalam menghadapi berbagai persoalan umat yang besar ini kita harus berdiri dalam satu barisan seperti satu bangunan yang kokoh saling menguatkan. Kita tidak boleh memberikan celah untuk musuh yang sedang menunggu kesempatan guna mencerai beraikan persatuan dan memecah belah kita. Terutama dalam kurun waktu yang sulit ini dimana umat dihadapkan pada makar yang paling hebat dan agamanya sedang dihadapkan pada bahaya.
Persatuan umat harus diawali diantara para ulama yang memimpin umat lewat hukum-hukum syariat diatas landasan. Yang kita tuju adalah adanya dialog yang konstruktif yang bertujuan memperlihatkan kebenaran dan membuka pintu kerjasama dalam kebaikan. Dialog tersebut pertama-tama harus terwujud diantara para ulama dan pemikir dalam suasana persaudaraan serta dibawah kerangka ilmiah dan sikap objektif, jauh dari lontaran pemikiran yang membabi buta.
Selanjutnya kita meyakini bahwa hubungan antara muslim dan saudara sesama muslim berdasarkan prasangka yang baik serta mengantarkan menuju kebaikan. Seorang muslim tidak boleh memposisikan saudaranya sebagai orang yang berdosa, fasik, dan ahli bid’ah kecuali dengan dalil qath’i. Dan hal terburuk adalah mengkafirkan tanpa hujjah dan bukti yang jelas.
Hadist-hadist shahih yang demikian banyak mengingatkan kita untuk tidak mengkafirkan antar kaum muslimin. Hal ini tak boleh dipandang remeh agar setiap kelompok tidak mudah mengkafirkan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya. Nabi saw bersabda,
Siapa yang menyebut seseorang sebagai kafir atau mengatakan, “Musuh Allah!” padahal tidak demikian, maka kondisi tersebut kembali kepadanya.” (H.R. Muslim dan Ahmad dari Abu Dzarr al Ghifari ra.)
Jika seseorang berkata kepada saudaranya, Wahai orang kafir!” maka kekafiran melekat pada salah satu dari keduanya jika ia memang seperti yang dikatakan. Namun, jika tidak ia kembali kepada yang mengucapkannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar)
Sikap mengkafirkan adalah dosa agama, kesalahan ilmiah, dan sebuah kejahatan sosial. Sebab ia memicu perpecahan umat dan bisa memicu munculnya kondisi yang diperingatkan oleh Rasulullah saw.,
Janganlah sesudah kepergianku kalian kembali saling membunuh.”
Meskipun tindakan mengkafirkan diperbolehkan jika disertai dengan bukti-bukti nyata, namun ia harus ditujukan kepada jenis perbuatannya bukan kepada orangnya. Misalnya dengan berkata, “Siapa yang mengucapkan ini dan itu berarti ia telah kafir. Siapa yang berbuat demikian berarti ia kafir. Siapa yang mengingkari ini berarti ia kafir.” Jadi tidak boleh menyebutkan orangnya dengan berkata, “Fulan kafir”, kecuali setelah adanya interogasi, penelitian, dan pemeriksaan tanpa disertai keraguan sedikitpun. Ini hanya dapat dilakukan oleh peradilan.
Amal yang paling utama disisi Allah adalah berusaha merekatkan kaum muslimin, memperbaiki hubungan diantara mereka, menghilangkan sebab-sebab perpecahan diantara kelompok dan golongan mereka.
Orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al Hujurat : 10)
Dengan melihat kepada kesamaan akidah, syariat dan tujuan mereka dikumpulkan oleh persaudaraan atas landasan iman, maka Islam memberikan kepada persaudaraan ini sejumlah hak yang tetap dalam hal pembelaan solidaritas dan perlindungan.
Muslim yang satu saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak boleh menzaliminya dan membiarkannya dizalimi.”
Kaum muslimin adalah bersaudara. Mereka disatukan oleh akidah yang sama, kiblat yang sama, iman kepada kitab yang sama, rasul yang sama, dan syariat yang sama. Mereka harus menghilangkan seluruh faktor yang bisa memecah belah kesatuan mereka. Entah itu berupa sikap fanatisme ras dan teritorial, sikap mengekor, sikap mengikuti hawa nafsu, dan egoisme yang menginjak-injak kepentingan umat dan bahkan menampakkan loyalitas kepada musuh umat Islam.
Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu. Maka sembahlah Aku” (Q.S. Al Anbiya : 92)
Mereka harus merelaisasikan solidaritas Islam dari sebatas wacana kepada amal yang nyata. Mereka harus saling mendukung secara politis diberbagai blok dunia. Umat Islam layak menjadi sebuah blok terbesar jika mereka mau merespon seruan Tuhan.
Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali Allah dan jangan berpecah belah” (Q.S. Ali Imran : 103)
Kaum muslimin harus bahu membahu untuk membebaskan negeri Islam dari para perampasnya sesuai dengan orientasi untuk meraih kemashlahatan Islam yang paling tinggi, serta kebutuhan dan tuntutan dibidang militer, ekonomi,dan kemanusiaan. Aktivitas mereka dalam hal ini merupakan jihad yang paling utama dalam Islam. Siapa yang tidak mampu seorang diri melawan agresor dan memerdekakan negerinya, maka seluruh kaum muslimin berkewajiban menolongnya semampu mungkin.
Janganlah kalian saling bertikai! Jika demikian kalian pasti gagal dan kehilangan kekuatan” Q.S. Al Anfal : 46
Palestina khususnya menjadi tempat jihad kaum muslimin pada saat ini. Ia adalah tanah air kenabian, tempat Isra Mi’raj Nabi saw, serta negeri tempat Masjidil Aqsa. Ia adalah persoalan setiap muslim. Karena itu, seluruh umat Islam harus membantu apa yang dibutuhkan oleh penduduknya agar negeri mereka yang terampas bisa merdeka, agar rakyatnya bisa mendapatkan haknya kembali, serta agar mereka bisa menegakkan negara yang merdeka ditanah airnya.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Bertobat dari Durhaka Kepada Orang Tua

Assalamu’alaikum. Saya mau bertanya apakah seseorang yang sudah durhaka kepada ibu bisa bertaubat dan diampuni dosanya. Terima kasih. Wassalamualaikum
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Dosa kepada orang tua, terutama kepada ibu termasuk dosa besar. Pasalnya, di banyak ayat dan hadits Allah menyuruh kita untuk berbakti kepada orang tua dan melarang untuk durhaka kepadanya.
Di antara sekian banyak ancaman bagi yang durhaka kepada orang tua adalah hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Ashbihani, “Semua dosa Allah tangguhkan hukumannya sesuai dengan kehendak-Nya hingga hari kiamat kecuali durhaka kepada orang tua. Allah menyegerakan hukumannya kepada pelakunya saat ia masih hidup sebelum mati.
Lalu apa ada jalan untuk bertobat dari durhaka kepada ibu atau orang tua?
Tentu saja ada. Siapapun yang durhaka kepada orang tua harus segera bertobat dari dosa besar tersebut. Ia harus menyesal, meminta ampunan kepada Allah, serta bertekad untuk tidak mengulangi.
Ia juga harus memperbanyak bakti dan mencari ridha ibunya dengan cara menghormati, berkata baik, dan membantu sang ibu. Ia juga tidak boleh putus asa dan terus memperbanyak amal-amal kebaikan dan ibadah lainnya sebab “Amal-amal kebaikan bisa menghapus dosa.” (QS Hud: 114).
Semoga Allah memberikan ampunan dan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb. 
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini