0878 8077 4762 [email protected]

Menjadi Muslim Hakiki

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Kalau kita membaca Al Qur’an ada satu fakta dan kenyataan yang Allah tegaskan yaitu, bahwa umat ini, umat Islam, telah ditempatkan pada kedudukan yang mulia oleh Allah Swt. Allah befirman:
“…Kalian adalah umat terbaik...” (QS. Ali Imran : 110)
“…Kalian adalah umat pertengahan…” (QS. Al Baqarah : 143)
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa umat Islam adalah soko guru bagi seluruh alam. Posisi ini bukan pilihan manusia. Akan tetapi, ia adalah pilihan Allah. Allah yang memilih umat ini menjadi umat yang mulia dan istimewa.
Karena itu kemuliaan dan keistimewaan tersebut harus terwujud dan terlihat pada identitasnya yakni, pada akidah, ibadah, akhlak, dan tampilan mereka. Allah tidak ingin umat ini menjadi pengekor. Allah befirman, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian seperti orang-orang kafir….” (QS. Ali Imran : 156).
Misalnya dalam masalah kiblat. Tadinya shalat menghadap Masjidil Aqsha. Namun kemudian, Allah kabulkan keinginan Nabi saw dengan merubah kiblat umat Islam sehingga mereka menghadap ke Ka’bah Baitullah.
Contoh lain dalam masalah penanda masuknya waktu shalat. Ada sahabat yang mengusulkan penggunaan terompet. Ada yang mengusulkan penggunaan api. Ada pula yang mengusulkan penggunaan lonceng. Tapi semua itu ditolak oleh Rasul saw lantaran identik dengan umat lain. Lalu beliau mengajari Bilal lafal azan yang kita kenal sampai sekarang.
Demikian pula dalam urusan hari raya, puasa, dan banyak urusan lainnya. Nabi saw mengajari umat ini untuk tampil beda dan istimewa sesuai dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka.
Namun, perjalanan waktu membalikkan kondisi yang ada. Umat ini mulai meninggalkan ajarannya. Mulai meninggalkan identitas mereka.  Ini persis seperti peringatan Nabi saw:
Dari Abu Sa’id (al-Khudry) bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara-cara) orang-orang sebelum kalian, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga andaikan mereka masuk ke lubang masuk ‘dlobb’ (binatang khusus padang sahara, sejenis biawak-red), niscaya kalian akan memasukinya pula”. Kami (para shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! (mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?”. Beliau bersabda: “Siapa lagi (kalau bukan mereka-red)” (HR. Bukhari).
Bayangkan beliau menggambarkan umat yg demikian jatuh dan merosot sehingga mengikuti sesuatu yang tidak rasional dan tidak masuk akal. Umat ini mencontoh dan mengikuti  kenistaan yang mereka lakukan.
Hal ini bisa dilihat dari agamanya, budayanya, pakaiannya, aktvitasnya, pergaulan bebasnya, hura-huranya, pestanya, hiburannya, dan seterusnya. Padahal Nabi bersabda, “Siapa yang menyerupai satu kaum, ia termasuk dari kaum tersebut.”
Lalu mana umat terbaik yang dibanggakan itu? Di mana umat pilihan itu berada? Mana ciri dari umat Muhammad saw tersebut? Mana ajaran beliau dalam kehidupan?
Apakah beliau ridho dengan kondisi ini? Apakah tidak malu menisbatkan diri pada beliau sementara tingkah laku kita berlawanan?
Alih-alih mengajari malah kita yang diajari. Alih-alih menjadi contoh malah kita yang mencontoh. Semoga Allah mengembalikan  kita, umat Islam, pada kemulian dengan kembali menegakkan ajaran Allah dan sunnah Nabi saw. Mari kita tunjukkan bahwa kita adalah muslim hakiki. Isyhaduu bianna muslimun….
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 324 – 27 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Prinsip Islam Moderat : Akhlak yang Mulia

Oleh: Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
 
Kita meyakini bahwa Islam sangat memperhatikan masalah akhlak sampai-sampai Allah SWT memuji Rasul-Nya dengan berkata
Engkau betul-betul berada diatas akhlak yang agung” (Q.S. al Qalam : 4)
Bahkan, Rasul menegaskan misinya kepada kita dengan bersabda,
Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R. Ahmad dari Abu Hurairah)
Lebih dari itu, Islam menjadikan berbagai kewajiban ibadah yang merupakan rukun Islam memiliki sasaran moral dan akhlak. Ia bertujuan merealisasikan akhlak tersebut dalam kehidupan manusia. Apabila sasaran tersebut tidak tercapai, berarti ibadahnya tidak sempurna dan layak tidak diterima oleh Allah.
Bahkan Islam menjadikan akhlak sebagai wujud konkret dari iman yang benar. Al Qur’an menggambarkan kaum beriman sebagai berikut
Orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya; orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna; orang-orang yang menunaikan zakat; orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela sementara siapa mencari yang dibalik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas; serta orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya” (H.R. al Bukhari, al Tirmidzi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Islam mengajarkan berbagai akhlak diatas dalam inti ajaran agamanya yang berupa perintah dan larangan baik yang berasal dari Al Qur’an maupun Sunnah Nabi-Nya. Akhlak-akhlak yang mulia termasuk dalam kewajiban yang Allah perintahkan, sedangkan akhlak yang buruk termasuk kedalam hal yang Allah larang. Sejumlah hadist shahih juga mengaktualisasikan iman dalam keluhuran akhlak
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia menyambungkan tali silaturahim. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ia tidak boleh menyakiti tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia mengucapkan yang baik-baik atau diam.” (H.R. al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)
Adil, ihsan, jujur, amanah, menepati janji, mencintai makhluk, sabar saat mendapat ujian dan kesulitan, malu, tawadhu, bangga dengan iman, dermawan, menjaga kehormatan, santun, memberi maaf disaat mampu membalas, menahan emosi, dan berbagai akhlak lain seperti berbakti kepada orang tua, memberi kepada kerabat, berbuat baik kepada tetangga, mengasihi orang miskin, anak yatim, ibnu sabil, dan pembantu, menolong orang yang lemah, membantu orang yang membutuhkan.
Semua akhlak tersebut termasuk yang diperintahkan agama, yang Allah anjurkan kepada kaum beriman, yang dengannya memberikan kabar gembira kepada mereka yang berbuat baik dan bertaqwa. Hal ini sebagaimna disebutkan pada ayat-ayat permulaan dari surat Al Anfal, awal surat al Mukminun, pertengahan surat Al Ra’ad, beberapa ayat terakhir surat al Furqon sebagai potret hamba Allah yang Maha Penyayang, juga pada surat al Dzariyat sebagai potret kaum bertakwa dan berbuat baik, serta dalam surat al Ma’arij dan dalam berbagai surat lainnya.
Adapun kebalikan seperti berbuat aniaya, melampaui batas, berdusta, berkhianat, menipu, menyalahi janji, bertindak kasar, sombong, angkuh, menggunjing, mengadu domba, bersaksi palsu, melakukan kejahatan baik yang tampak maupun yang terselubung, mencandu narkoba, durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahim, menyakiti tetangga, menghardik anak yatim, berbuat kasar kepada orang miskin, tidak saling menasehati dengan kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, membiarkan kemungkaran merajalela, mengingkari perbuatan zaiim serta takut menegurnya.
Semua akhlak buruk tersebut dan yang sejenisnya termasuk larangan dan kemungkaran dalam Islam. Bahkan sebagiannya dianggap sebagai dosa besar sebagaimana disebutkan oleh sejumlah nash berikut
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mengajurkan memberi makan orang miskin” (Q.S. al Maun : 1-3).
“Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji atom” (H.R. Muslim, al Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abdullah ibn Mas’ud ra)
Cukuplah seseorang dikatakan jahat ketika ia menghina saudaranya sesama muslim” (H.R. Muslim, Abu Dawud, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah ra)
Seorang wanita masuk kedalam neraka karena kucing yang ia tahan sampai mati” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Akhlak  Islam mencakup semuanya. Tidak ada satupun yang terpisah dari seluruh aspek kehidupan. Hal ini berbeda dengan filsafat peradaban lain yang memisahkan antara ilmu dan akhlak, antara ekonomi dan akhlak, antara politik dan akhlak, serta antara perang dan akhlak. Sementara Islam mengikat semuanya dengan akhlak.
Mukmin adalah orang yang manusia lainnya merasa aman dengannya terkait dengan darah dan harta mereka” (H.R. Tirmidzi, an Nasai, dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah ra).
Islam tidak membenarkan konsep tujuan menghalalkan segala cara. Islam tidak membenarkan penggunaan berbagai sarana yang keluar dari kerangka akhlak untuk mencapai tujuan mulia. Namun tujuan mulia tersebut harus dicapai lewat sarana yang bersih. Mencapai kebenaran dengan cara yang bathil sama sekali tidak bisa dibenarkan. Misalnya membangun masjid dengan uang suap, riba dan penimbunan
Allah Maha Baik hanya menyukai yang baik-baik” (H.R. Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah ra)
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Rujuk Setelah Khuluk

Assalamualaikum pak ustad, saya mau tanya tentang rujuk.nama saya anna saya tinggal di jakarta, sudah setahun setengah saya dan suami pisah rumah dan kami juga sudah bercerai, namun suami tidak pernah menceraikan saya, melainkan keluarga yang menginginkan perceraian kami. Dan sekarang kami, saya dan suami ingin kembali membina rumah tangga lagi. Mohon jawaban dari pak ustad apabila kami ingin rujuk apakah harus menikah ulang? Suami tidak pernah menceraikan saya, tetapi saya yang menggugat cerai suami dan kami sudah resmi bercerai. Terima kasih dan mohon penjelasannya pak ustad. Wassalamualaikum
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Dari keterangan yang Anda berikan di atas yang kami pahami bahwa suami tidak menceraikan; tetapi isteri yang menggugat cerai. Jika wali hakim (pengadilan agama) sudah memutuskan dan mensahkan gugatan cerai isteri berarti khulu’ telah sah. Lalu bagaimana cara untuk rujuk kembali?
Dalam hal ini, karena khulu posisinya sama dengan talak bain sughra maka untuk rujuk kembali harus dengan nikah ulang. Yaitu dengan ijab kabul disertai dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.
Semoga Allah memberikan kepada Anda keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah dengan menjadikan pengalaman di masa lalu sebagai pelajaran berharga dan lebih mendekat kepada Allah Swt.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr. wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
 

Mendidik dengan Cara Memukul dan Selingkuh

Assalamualaikum, Pak ustad. Saya mau tanya pantaskah seorang istri dipukuli diselingkuhi oleh suami dengan alasan jalan mendidik. Padahal istri sudah berupaya maksimal memperbaiki sikap sifatnya. Terimakasih,, Wassalamualaikum
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Pertama, Islam membolehkan bahkan mewajibkan seorang suami sebagai kepala keluarga untuk mendidik isteri dan anak-anaknya. Karena itu dalam kondisi ia melihat isterinya melakukan tindakan yang menyimpang atau berbuat nusyuz seperti:

  • Tidak mau digauli tanpa udzur (alasan) yang dibenarkan oleh agama.
  • Tidak mematuhi perintah suami padahal dalam kebaikan.
  • Berbicara dan bersikap kasar kepada suami Dalam kondisi demikian, suami boleh bahkan harus mendidik isterinya.

Namun caranya harus benar; bukan dengan menghalalkan segala cara. Tidak boleh seorang suami dengan alasan mendidik, melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina (selingkuh). Ini jelas sangat dilarang oleh agama.
Alih-alih menyelesaikan persoalan; justru ia menimbulkan persoalan baru. Karena disamping merupakan dosa besar, zina (selingkuh) mendatangkan malapetaka dunia dan akhirat. Dalam Islam, cara mendidik isteri yang membangkang (kalau memang membangkang atau berbuat nusyuz) adalah seperti yang digambarkan oleh Allah dalam QS an-Nisa: 34. Yaitu:

  1. Memberikan nasihat dan bimbingan kepadanya entah secara langsung atau tidak langsung, entah dilakukan sendiri atau dengan meminta bantuan orang lain yang alim dan bijak.
  2. Kalau tidak berhasil maka dengan cara tidak menggaulinya selama beberapa waktu sebagai terapi.
  3. Kalau tidak berhasil juga, maka boleh memukul tapi dengan cara yang tepat dan sesuai koridor syariah: Misalnya (1) tidak sampai menyakitkan apalagi sampai melukai dan mencederai, (2) tidak memukul wajahnya, (3) tidak disertai dengan cacian dan makian, (4) ditujukan untuk maksud yang baik yaitu agar isterinya taat, (5) serta segera berhenti memukul kalau maksud yang diinginkan sudah tercapai.

Jadi, memukul merupakan alternatif terakhir yang bisa dilakukan apabila langkah pertama (menasihati) dan langkah kedua (tidak menggauli) sudah dilakukan secara maksimal namun tidak menuai hasil.
Pemukulan itupun harus dilakukan dengan cara dan tujuan yang benar, bukan dalam rangka menumpahkan segala dendam dan kekesalan. Di luar itu, hendaknya suami berusaha untuk tidak memukul isterinya. Apalagi kalau isteri sudah menampakkan upaya untuk memperbaiki diri.
Pasalnya, tidak ada manusia yang sempurna. Tidak ada manusia yang tidak punya salah dan kekurangan. Karena itu, hendaknya suami isteri berusaha saling memaklumi, memaafkan, mengingatkan, dan memperbaiki kekurangan pasangannya dengan cara yang baik; bukan mengumbar, memerlihatkan, apalagi saling menghukum dan mendendam.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb. 
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Bagaimana Nafkah Suami bagi Isteri Yang Bekerja?

Assalamualaikum wr wb, Saya sudah menikah hampir 4 tahun dan dikaruniai 2 anak dengan kondisi rumah tangga tidak serumah karena lokasi kerja suami saya yang jauh (pelosok) dan berpindah-pindah. Kami berdua sama-sama bekerja, namun secara penghasilan, penghasilan saya lebih besar daripada suami. Selama ini gaji suami digunakan untuk membayar cicilan KPR, membeli tiket pulang pergi dari lokasi kerja ke rumah, serta untuk biaya hidupnya disana. Sedangkan penghasilan saya digunakan untuk biaya operasional rumah tangga, seperti; kebutuhan hidup (makan, minum di rumah), keperluan anak (susu, popok, dan kebutuhan lain), menggaji Asisten Rumah Tangga, biaya terkait komplek perumahan (arisan, iuran sampah, iuran RT, biaya listrik dll) serta kebutuhan saya pribadi. Selama ini jika saya tidak meminta kepada suami, suami saya tdk memberikan uang (diluar cicilan KPR).
Yang ingin saya tanyakan adalah:

  1. Apakah dengan membayar cicilan KPR (rumah atas nama suami) sudah termasuk dalam nafkah kepada istri?
  2. Suami saya tidak secara terbuka melaporkan kondisi keuangannya, namun saya pernah menemukan slip ATM tabungan suami saya yang ternyata saldonya cukup banyak dan saya tidak menyangka. Apakah suami wajib memberitahukan kepada istri mengenai kondisi keuangannya secara terbuka? Atau hal itu hak prerogatif suami untuk memberitahukannya atau tidak?
  3. Apakah Istri memiliki kewajiban untuk menceritakan kondisi keuangan istri, baik seluruh kebutuhan rumah tangga dan kondisi finansial istri?

Demikian pertanyaan dari saya. Besar harapan saya Ustad/Ustadzah berkenan memberi pandangan. Terimakasih atas perhatian Ustad/Ustadzah. Wassalamualaikum wr wb.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi washahbih. Amma ba’du:
Sebelumnya kami doakan semoga Anda berdua diberikan rumah tangga bahagia yang berhias sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Perlu diketahui bahwa nafkah keluarga (isteri dan anak) merupakan tanggung jawab suami. Hal ini sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah: 233. Pemberian nafkah tersebut meliputi kebutuhan anak isteri terhadap makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan jika sakit, dan kebutuhan dasar lainnya.
Hanya saja, kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarga disesuaikan dengan kemampuan suami. (QS ath-Thalaq: 7). Allah tidak membebani di luar kemampuannya. Kalau kemudian suami tidak mampu memenuhi kewajiban memberikan nafkah secara sempurna, lalu isteri memberikan sebagian hartanya untuk menutupi kebutuhan tersebut, maka hal itu merupakan bentuk kebaikan isteri pada suami (bukan kewajibannya).
Karena itu, suami tidak boleh memanfaatkan kemampuan finansial isteri untuk melalaikan kewajibannya dalam memberi nafkah. Sebab kewajiban memberi nafkah tetap menjadi tanggung jawab suami, sementara isteri kalaupun mampu hanya sekedar membantu.
Oleh sebab itu, mencermati kondisi Anda di atas, ada baiknya dilakukan komunikasi dan pembicaraan terkait dengan pemberian nafkah suami. Anda boleh berterus terang dan meminta kesediaan suami untuk memenuhi kewajibannya memberi nafkah dengan baik; bukan dalam konteks memaksa atau menuntut secara berlebihan.
Suami tidak wajib memberitahukan kas yang ia miliki di bank. Demikian pula dengan isteri. Yang terpenting bagaimana suami memenuhi kewajiban memberi nafkah sesuai kemampuan.
Hanya saja keterbukaan, kerja sama, dan upaya untuk saling membantu dan memahami adalah cara terbaik untuk menciptakan suasana saling percaya antar anggota keluarga.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini