by Danu Wijaya danuw | Sep 22, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Tiap orang punya cara untuk menyampaikan nasihat kepada kita. Permata pun bisa dilempar, diulurkankan atau diselip ke saku. Ambillah permatanya. Hawa nafsu membenci nasihat. Nurani mencintai pengingat.
Perhatikan kala masukan datang. Kesanggupan menutup aib saudara dipadu keterampilan menasihati dan ketulusan doa ialah daya agung ukhuwah yang kian langka.
Pernah bersyair Imam Asy-Syafi’i, “Nasihati aku kala sunyi dan sendiri, jangan dikala ramai dan banyak saksi. Sebab nasihat ditengah khalayak terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak. Maka maafkan jika aku terkadang berontak.”
Seorang penasihat pasti akan mencari alasan untuk berbaik sangka. Jika semua tak masuk akal, dia berkesimpulan : “Saudaraku mungkin punya alasan yang tidak kutahu.”
Tetapi cinta yang kadang meluruhkan tegur dan kata, tak boleh meruntuhkan kewajiban yang diamanahkan Tuhannya; nasihat.
Nasihat merupakan kawan sejati bagi nurani. Menjaga cinta dalam ridha-Nya. Tetapi apa yang harus dilakukannya, jika tiada perubahan jua?
Menangislah. Menangis dihadapan Rabbnya, mengadukan lemahnya diri dan buntunya upaya. Lalu sekali lagi sampaikan nasihat, dan lagi, hingga tak punya pilihan selain mengajak untuk curahkan cinta.
Jika cinta telah bicara hingga ke ujung rasa sakitnya, sebagaimana Ibnul Qayim Al Jauziyah yang ingin memberi masukan nasihat kepada gurunya dalam doa :
“Aku sudah tak sanggup ya Allah, hanya Kau yang mampu menegurnya. Aku sangat mencintai guruku, namun kebenaran jauh lebih besar daripada guruku.”
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Sep 22, 2016 | Artikel, Dakwah
Sebagaimana kitab lhya’ Ulumuddin karya Al Ghazali :
Betapa banyak orang yang telah lama bergelut dan menyelami ilmu yang sangat banyak, namun ucapannya (nasihatnya) tidak dapat menyentuh hati orang lain.
Sebaliknya, betapa banyak orang yang hanya mencukupkan diri untuk mempelajari ilmu yang dibutuhkan oleh setiap muslim, namun ia menyertainya dengan amal dan penataan hati, lalu Allah buka baginya pintu hikmah dalam setiap ucapannya.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Danu Wijaya danuw | Sep 21, 2016 | Artikel, Dakwah
Hati yang mati, hilang rasa peduli. Hati yang sakit, rindu puji selangit. Hati yang sehat, berbahagia karena nasihat. Hati kita memang berayun goyah.
Mencadasnya hati karena dua perkara, dengan lalai dan dosa. Namun sentosanya hati dengan dua cara, mohon ampun dan mendzikirNya. Jadilah hatimu selalu tersenyum pada Langit. Jadilah bibirmu selalu tersenyum pada Bumi. Izinkanlah surga rindu padamu. Diri paling miskin adalah enggan memintai-Nya.
Berbuat baiklah walau dikira pamrih. Belalah nurani walau dianggap bersandiwara. Izinkan hanya Allah yang menghakimi hatimu. Hati yang mengingat Allah, sibuk melayakkan diri berdekat pada-Nya dengan prasangka baik, niat baik dan rencana baik.
Mari jaga istiqamah dengan men-sahabati orang-orang benar. Jadikan nama kita ada dalam doa dan nasihatnya. Mencintai dan membenci karena Allah itu adil dan sewajarnya. Walau hati berbolak balik, perasaan bertukar-tukar, maka akhlak mulia tetaplah dijaga.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Danu Wijaya danuw | Sep 21, 2016 | Artikel, Dakwah
Dijalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka atau tidak suka. Melampaui batas cinta dan benci. Karena hikmah sejati tak selalu terungkap diawal pagi.
Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat. Maka taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas. Tetapi yakinlah, dijalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita.
Diantara jalan teragung meraih ilmu adalah takwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya, “Wattaqullah wa yu’allimukumullah (Dan bertakwalah kepada Allah, dan Allah akan mengajarkan ilmu kepada kalian.” Q.S. Al Baqarah : 282
Takwalah penjaga adab sepanjang jalan hingga kesejatian insan berilmu juga diketahui dari rasa takutnya kepada Allah sebagaimana terkandung dalam Q.S. Al Fathir ayat 28.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Danu Wijaya danuw | Sep 20, 2016 | Artikel, Dakwah
Seperti yang dilakukan Umar bin Khattab ketika bergunung-gunung harta Kemaharajaan Persia kilau kemilau berhasil didapat kaum muslimin dan memenuhi kota Madinah.
Semua mengucap selamat dan doa-doa indah atas keberkahannya menggelorakan jihad, meninggikan kalimat Allah, memakmurkan muslimin. Tetapi dipojok sana, sang Khalifah menangis tersedu-sedu. Dihamparan intan, emas, dan segala benda mewah, air matanya tumpah.
“Mengapa kau menangis, hai Amirul Mukminin?” tanya seorang sahabat, “bukankah Allah telah bukakan keberkahan langit dan bumi bagi ummat ini melalui tanganmu?”
Maka Umar mendongak dengan mata memerah dan pipi basah, “Dusta, Demi Allah ini Dusta! Demi Allah bukan begitu! Sebab andai semua ini kebaikan,” ujarnya menunjuk tumpukan berlian dan mas kencana, “mengapa ia tak terjadi di zaman Abu Bakar, juga tidak di zaman Rasulullah? Maka demi Allah, ini semua pasti bukan puncak kebaikan!”
Sungguh pandangan jernih. Harta berlimpah itu bukan kebaikan. Sebab jika ia kebaikan harusnya terjadi pada orang terbaik.
Sedangkan sabda Nabi adalah benar, “Sebaik-baik kurun adalah masaku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang mengikutinya.” HR. Bukhari-Muslim
Maka adakah hari ini kita menimbang kebaikan yang melimpahi dengan ukuran orang-orang terbaik soal rezeki, ibadah dan dakwah?
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media